PROSEDUR Tertinggi Bukanlah Peraturan Hukum, namun AKAL SEHAT
Question: Apakah betul, saat berlangsung (agenda acara persidangan dalam upaya hukum gugat-menggugat di Pengadilan Negeri) mediasi, pihak pengguna jasa pengacara (principal) diharuskan dan diwajibkan hadir sendiri dengan ataupun tanpa didampingi pengacara (kuasa hukum)? Apa konsekuensinya, bila pihak pengguna jasa pengacara sebagai pihak penggugat tetap tidak pernah hadir saat mediasi?
Brief Answer: Aturan normatif “law in abstracto”-nya demikian pengaturannya, namun secara “law in concreto” hampir tidak pernah
diterapkan secara mutlak. Peraturan di Mahkamah Agung RI memang menyebutkan
serta mengatur secara tersurat (eksplisit), pihak “principal” (pemberi surat kuasa dalam gugat-menggugat) wajib hadir secara
langsung saat mediasi (mediasi mana bersifat wajib diadakan pra pembacaan surat
gugatan oleh pihak Penggugat). Secara normatif, konsekuensi tidak terpenuhinya
ketentuan “principal wajib hadir langsung saat mediasi” demikian ialah, berupa
ancaman bahwa gugatan akan dinyatakan “gugur” oleh Hakim Pemeriksa Perkara
berdasarkan berita acara yang dibuat oleh pihak Mediator. Bila peraturan
demikian tetap diberlakukan secara mutlak, maka akan menjurus pada “moral hazard”, alias lebih banyak
mudarat daripada faedahnya.
Dapat Anda bayangkan, sebuah perusahaan dengan
puluhan hingga ratusan kantor cabang yang tersebar dari Sabang hingga Merauke,
dengan puluhan ribu karyawan yang setiap harinya ada saja karyawan yang digugat
atau menggugat, rekan bisnis yang menggugat atau digugat, pihak konsumen yang
menggugat atau digugat, pihak supplier yang menggugat atau digugat, sementara
itu menurut Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas hanyalah Organ Perseroan
bernama Direksi yang berhak mewakili perseroan diluar dan didalam pengadilan (legal mandatory).
Maka, jika ketentuan mediasi “principal wajib
hadir” benar-benar diberlakukan secara “membuta”, dapat dipastikan sang Direksi
akan lebih sibuk menghabiskan seluruh sumber daya waktunya untuk menghadapi
upaya hukum gugat-menggugat demikian, alih-alih berfokus pada “core business”-nya. Begitupula terhadap
kasus-kasus dimana ratusan kantor cabang perbankan menghadapi gugatan dari
ribuan nasabah debitornya, apakah dimungkinkan bila direksi dari perbankan
tersebut harus turun langsung ke persidangan, menunggu dimulainya proses
persidangan, secara “membelah diri” karena dapat terjadi ada dua atau lebih
persidangan disaat bersamaan pada berbagai pengadilan yang tersebar di berbagai
kota maupun daerah? Karena itulah, “best
practice” peradilan sejak dahulu kala hingga saat kini, kalangan hakim
bersikap pragmatis sekalipun terjadi pelanggaran terhadap peraturan perihal
mediasi.
PEMBAHASAN:
Mediasi merupakan cara
penyelesaian sengketa keperdataan melalui proses perundingan para pihak yang
saling bersengketa antara Penggugat dan Tergugat, dengan difasilitasi oleh seorang
Mediator, dimana dapat terjadi kesepakatan perdamaian ataupun dinyatakan “deadlock” alias tidak terjadi
kesepakatan, dimana sifat mediasi ialah wajib diadakan selama paling lama 30
hari, sebelum kemudian gugat-menggugat dapat kembali dilanjutkan bila tidak
terjadi perdamaian saat mediasi berlangsung.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur mediasi di
Pengadilan
Pasal 2
(1) Ketentuan mengenai Prosedur Mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung
ini berlaku dalam proses berperkara di Pengadilan baik dalam lingkungan
peradilan umum maupun peradilan agama.
Pasal 3
(1) Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi.
(2) Hakim Pemeriksa Perkara dalam pertimbangan putusan wajib menyebutkan
bahwa perkara telah diupayakan perdamaian melalui Mediasi dengan menyebutkan
nama Mediator.
(3) Hakim Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk
menempuh Mediasi sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Mediasi di
Pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), apabila diajukan upaya hukum maka Pengadilan Tingkat Banding
atau Mahkamah Agung dengan putusan sela memerintahkan Pengadilan Tingkat
Pertama untuk melakukan proses Mediasi.
(5) Ketua Pengadilan menunjuk Mediator Hakim yang bukan Hakim Pemeriksa
Perkara yang memutus.
(6) Proses Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan
sela Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
(7) Ketua Pengadilan menyampaikan laporan hasil Mediasi berikut berkas
perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ke Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung.
(8) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Hakim
Pemeriksa Perkara pada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung menjatuhkan
putusan.
Bagian Kedua
Jenis Perkara Wajib Menempuh
Mediasi
Pasal 4
(1) Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk
perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak
berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap
pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih
dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
(2) Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui
Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sengketa yang pemeriksaannya
di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:
1. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;
2. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan
Industrial;
3. keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4. keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5. permohonan pembatalan putusan arbitrase;
6. keberatan atas putusan Komisi Informasi;
7. penyelesaian perselisihan partai politik;
8. sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan
9. sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang
waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. sengketa yang pemeriksaannya
dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara
patut;
c. gugatan balik (rekonvensi)
dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);
d. sengketa mengenai
pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
e. sengketa yang diajukan ke
Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi
dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat
tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani
oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.
(3) Pernyataan ketidakberhasilan Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf e dan salinan sah Sertifikat Mediator dilampirkan dalam surat
gugatan.
(4) Berdasarkan kesepakatan Para Pihak, sengketa yang dikecualikan
kewajiban Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, dan
huruf e tetap dapat diselesaikan melalui Mediasi sukarela pada tahap
pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum.
Bagian Ketiga
Sifat Proses Mediasi
Pasal 5
(1) Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali Para Pihak
menghendaki lain.
(2) Penyampaian laporan Mediator mengenai pihak yang tidak beriktikad
baik dan ketidakberhasilan proses Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara
bukan merupakan pelanggaran terhadap sifat tertutup Mediasi.
(3) Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio
visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar
secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.
Bagian Keempat
Kewajiban Menghadiri Mediasi
Pasal 6
(1) Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan
Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.
(2) Kehadiran Para Pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dianggap sebagai kehadiran langsung.
(3) Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya
dapat dilakukan berdasarkan alasan sah.
(4) Alasan sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi antara lain:
a. kondisi kesehatan yang tidak
memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;
b. di bawah pengampuan;
c. mempunyai tempat tinggal,
kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
d. menjalankan tugas negara,
tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Bagian Kelima
Iktikad Baik
Menempuh Mediasi
Pasal 7
(1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib
menempuh Mediasi dengan iktikad baik.
(2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa
hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal
yang bersangkutan:
a. tidak hadir setelah
dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi
tanpa alasan sah;
b. menghadiri pertemuan Mediasi
pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah
dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;
c. ketidakhadiran
berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
d. menghadiri pertemuan
Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak
lain; dan/atau
e. tidak menandatangani konsep
Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.
Sholihin, S.Ag., M.H., Wakil
Ketua PA. Pasarwajo, dalam artikelnya berjudul “Akibat Hukum Pihak Yang Tidak
Beriktikad Baik Dalam Mediasi”, menuliskan sebagai berikut:
Praktik mediasi di Pengadilan
terkadang terdapat kendala dalam pelaksanaanya, hal ini terjadi karena
kurangnya / ketidaksamaan pemahanan terhadap PERMA 1 Tahun 2016.
Disini penulis sedikit akan
membahas praktik pelaksanaan PERMA 1 Tahun 2016, terutama bagi Hakim yang
berperan sebagai Mediator atau Hakim pemeriksa perkara. Permasalahan yang akan
penulis angkat yaitu berkenaan dengan akibat hukum pihak yang tidak beriktikad
baik dalam Mediasi. Bahwa penulis pernah menemukan perkara yang mediatornya
membuat laporan bahwa Penggugat tidak beriktikad baik karena tidak menghadiri
secara langsung mediasi tetapi hanya diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat
kuasa istimewa, padahal ketidak hadiran Penggugat bukan karena alasan yang sah,
namun berdasarkan laporan mediator tersebut majelis hakim yang menyidangkan
perkara tetap melanjutkan pemeriksaan pokok perkara. Ada juga yang penulis
temukan Mediator melaporkan mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan,
padahal salah satu pihak tidak hadir secara langsung tetapi hanya diwakili oleh
kuasanya, ketidak-hadiran Penggugat juga bukan karena alasan yang sah.
Mediator menyampaikan laporan
penggugat yang tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai
rekomendasi pengenaan biaya mediasi dan perhitungan besarannya dalam laporan
ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi.
Berdasarkan laporan Mediator
tersebut Hakim Pemeriksa Perkara mengeluarkan putusan yang merupakan putusan
akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima disertai penghukuman
pembayaran biaya mediasi dan biaya perkara.
Berdasarkan penjelasan tersebut
di atas, apabila ada pihak yang oleh Mediator dinyatakan tidak beriktikad baik,
tentunya majelis hakim yang memeriksa pokok perkara tentunya harus menindak
lanjuti sesuai dengan aturan yang ada dalam PERMA 1 Tahun 2016. Bagi Hakim yang
menjadi mediator tentunya harus melaporkan hasil mediasi juga harus mengacu
pada PERMA 1 Tahun 2016.
Namun, senyatanya terdapat inkonsistensi
redaksional antar norma PERMA No. 1 Tahun 2016, dimana dalam Pasal 6 dengan sub
judul “Kewajiban Menghadiri Mediasi”,
mengatur bahwa “Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan
Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.”
Dilanjutkan pada Pasal 7 peraturan yang sama, mengatur bahwa “Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau
kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam
hal yang bersangkutan: a.) tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua)
kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah; b.) menghadiri
pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya
meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan
sah.”
Ketidakkonsistenan redaksional
norma PERMA No. 1 Tahun 2016 di atas, terjadi tumpang-tindih norma, dimana
Pasal 6 menyatakan pihak “principal” wajib datang langsung menghadiri proses
mediasi, dengan atau tanpa didampingi pengacaranya. Namun kemudian
dianulir sendiri lewat redaksional norma Pasal 7 peraturan yang sama, bahwa salah
satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat
dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan
tidak menghadiri mediasi—sehingga Pasal 7 dimaksud dimaknai “salah satu pihak dan/atau
pengacaranya”, yang secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa mediasi dapat
sah cukup dihadiri oleh pihak kuasa hukum, dimana pihak “principal” tidak wajib
dan tidak perlu hadir secara langsung saat menempuh mediasi saat proses
gugat-menggugat.
Bahkan, kaum legalis (sarjana
hukum pengikut mazhab hukum legalisme) akan menyatakan, Pasal 6 PERMA 1 Tahun
2016 memiliki redaksional secara tersurat : “PARA PIHAK wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum”—secara
kasat mata, bahkan seorang anak Sekolah Dasar pun dapat membaca dan memaknainya
sebagai “bukan hanya pihak Penggugat yang wajib hadir secara langsung dengan atau
tanpa didampingi pengacaranya, namun juga pihak Tergugat”. Bila itu yang
terjadi, maka semua gugatan dimana pihak “principal” dari Para Tergugat tidak
hadir secara langsung dalam proses mediasi, dan gugatan sebagai akibatnya akan
dinyatakan “gugur” sekalipun “principal” pihak Penggugat senantiasa hadir saat
mediasi berlangsung, apakah pihak Penggugat akan bersedia menerima pemberlakuan
norma PERMA 1 Tahun 2016 di atas? Tentu saja, “akal sehat” merupakan prosedur
tertinggi, bukan Peraturan Mahkamah Agung ataupun peraturan pemerintah lainnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.