NEGATIVE THINKING adalah Petaka ataukah Berkah? Racun ataukah Penyelamat?
NEGATIVE THINKING merupakan Hak Asasi Manusia. Yang
Melarang seorang Warga Menggunakan Apa yang menjadi Hak Asasinya, adalah
PENJAHAT
Banyak yang tidak mengetahui, atau bahkan tidak mau mengakui, bahwa ada perbedaan prinsipil antara “seleksi alam” dan “seleksi sosial”. Yang disebut pertama, “seleksi alam”, hasilnya berupa kemampuan “survival of the fittest” yang kini menjadi warisan nenek-moyang kita dalam rangka “survive” dari kerasnya alam. Namun, nenek moyang kita untuk “survive” melangsungkan hidup di tengah alam liar, juga hidup di tengah dunia sosial antar “manusia purba”, mewariskan pula kepada generasi penerusnya apa yang disebut sebagai “negative thinking”, yakni hasil “seleksi sosial”.
Karena itulah, “negative thinking” merupakan berkah
sekaligus modal bagi manusia untuk melangsungkan hidupnya agar bisa hidup dan
bertahan hidup (survive) ditengah-tengah
komunitas manusia alias antar manusia. Manusia adalah “makhluk sosial”, bukan
hanya “makhluk alam”, sehingga dua faktor berikut inilah yang menjadi penentu
dapat terus bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan, yakni : 1.) “seleksi
alam”; dan 2.) “seleksi sosial”. Selama ini, dan hingga saat kini, penulis
dapat menjaga harta benda maupun harta kekayaan serta mengumpulkannya, adalah
berkat “negative thinking” ketika
hidup di tengah dunia sosial. Karenanya pula, penulis tidak akan pernah
menanggalkan modal hidup terpenting tersebut agar dapat lolos dari “seleksi
sosial”.
Calon konsumen, berhak “negative thinking” bila mendapati
bentuk-bentuk ketidakjujuran yang mengundang kecurigaan, serta berhak pula
untuk waspada dan menjaga diri baik-baik agar tidak menjadi korban modus
penipuan, mengingat jual-beli properti tidaklah seperti jual-beli “kacang
goreng” yang hanya senilai ribuan perak Rupiah, juga tidak seperti jual-beli
bahan bangunan yang senilai ratusan ribu Rupiah, namun menyangkut dana hasil
bekerja jirih-payah dan menabung selama puluhan tahun bahkan sepanjang hayat pihak
pembeli bila juga menggunakan dana kredit hasil pinjaman bank.
Terdapat “agen tidak waras
bernama Puput Fudrianti” yang merasa berhak mendikte dan mewajibkan penulis
untuk “POSITIVE THINKING” terhadap
SELURUH kalangan “agen properti”—semata karena itu merupakan profesi sang “agen
tidak waras bernama Puput Fudrianti”—bahkan merasa berhak menghakimi
berbagai pengalaman pribadi penulis yang bukan satu atau dua kali
terkecoh oleh berbagai iklan yang dipasang oleh agen properti yang memasarkan
properti secara tidak jujur dan menyesatkan informasinya, belum lagi berbagai
pemberitaan sengketa-sengketa konsumen produk properti, membuat penulis cukup “trauma”
sehingga penulis memutuskan untuk perlu menjaga diri baik-baik dan menggunakan
hak penulis untuk ber-“negative thinking”.
Bagaimana mungkin, dirinya
merasa berhak mengakimi apa yang menjadi pengalaman pribadi orang lain? Pengalaman
hidup bersifat personal serta aktual real-nyata (dialami sendiri, bukan sekadar
melihat ataupun mendengar cerita orang lain), tiada siapapun yang berhak
menghakimi apa yang menjadi pengalaman hidup kita sendiri. Itu sama seperti
hendak mengatakan, bahwa penulis adalah sudah “pikun”, “tuli” ataupun “buta”,
sekalipun semua pengalaman tersebut adalah pengalaman PRIBADI penulis.
Ia pikir siapa dirinya, merasa
berhak mewajibkan orang lain untuk TIDAK BOLEH jaga diri dan melindungi diri
dari modus-modus penipuan kalangan agen properti? Kewajiban darimanakah, setiap
warga harus “positive thinking”
terhadap warga lainnya? Ini adalah dunia manusia, dunia dimana tidak pernah
kekurangan orang-orang jahat dan penipu, bukan alam surga yang isinya hanyalah orang-orang
baik dan jujur. Sekalipun, “negative
thinking” merupakan Hak Asasi setiap warga. Terlagipula, penulis ber-“positive thinking” dengan memercayai
berbagai masifnya pemberitaan mengenai kekecewaan konsumen produk properti yang
selalu mewarnai media massa setiap tahunnya, secara masif.
Pernah terjadi, seseorang
mengirimi penulis pesan berisi pelecehan dan segala diskredit yang menyerang
kehormatan serta martabat pribadi penulis. Ketika penulis debat dan membalikkan
keadaan, sang pelaku kemudian merasa berhak menggurui mata indera penglihatan penulis
bahwa tidaklah seperti itu yang telah penulis baca. Ia seolah mau berkata,
bahwa penulis adalah “buta”, sehingga ia merasa berhak memberitahu penulis apa
yang telah penulis baca. “Kamu mau bilang
saya buta? KAMU YANG BUTA!”
Sama halnya, “agen tidak waras
bernama Puput Fudrianti” bersikap seolah-oleh semua orang adalah bodoh sehingga
dapat ia bodohi dan dikte apa yang menjadi pikiran, penilain, maupun pengalaman
orang lain. “Kamu mau bilang kami semua
bodoh? KAMU YANG BODOH!” Agen tersebut mendesak penulis untuk “survei
kucing dalam karung”, dimana iklan produk properti yang penulis dapatkan di
internet demikian masif, ribuan properti, maka apakah penulis harus survei satu
per satu ribuan iklan tersebut, seolah penulis tidak punya pekerjaan lain yang
lebih produktif dan harus “wasting time”
untuk “survei kucing dalam karung”? TIME
IS MONEY, YOU ARE WASTING MY MONEY!
Sang “agen tidak waras bernama
Puput Fudrianti” tidak menghargai waktu miliknya sendiri, karena memang waktu
milik “agen tidak waras bernama Puput Fudrianti” adalah “SAMPAH”—itu urusan
yang bersangkutan. Namun, yang tidak dapat penulis tolerir ialah dirinya tidak
menaruh respek ataupun rasa hormat kepada calon konsumen, dengan tidak
menghargai waktu yang sangat berharga milik calon konsumen, yang bisa jadi
sudah cukup bosan dan trauma melakukan berbagai “survei kucing dalam karung”. Bagi
seorang kalangan “feelancer”, dimana “satu
hari tidak kerja artinya satu hari tidak makan”, waktu merupakan hal yang sangat
sensitif. Itulah cerminan, betapa dangkal atau “tiarap” EQ milik sang “agen
tidak waras bernama Puput Fudrianti”. Survei “kucing dalam karung”? NO WAY!
Sang “agen tidak waras bernama
Puput Fudrianti” itu sendiri yang telah menstigma setiap orang yang dijumpai
olehnya sebagai “bodoh”, yang tidak mampu menyadari dan belajar dari pengalaman
buruk hidupnya sendiri sehingga perlu didikte dan diberitahukan apa yang
menjadi realita di luar sana. Mendebat apa yang menjadi pengalaman hidup calon
konsumen, itulah satu-satunya kesan yang penulis dapatkan ketika menghubungi “agen
tidak waras bernama Puput Fudrianti” atas properti yang ia pasarkan. “Kamu mau bilang kami buta dan tuli? KAMU
YANG BUTA DAN TULI!”
Mengapa agen properti benama
Puput Fudrianti patut disebut agen yang “tidak waras”? Karena dirinya merasa
berhak mewajibkan dan memaksa penulis untuk berpraduga positif secara naif
terhadap SELURUH KALANGAN AGEN PROPERTI (yang notabene profesi yang
bersangkutan), sekalipun ber-“negative
thinking” dan “jaga diri” merupakan hak asasi manusia, serta sekalipun beli
properti menyangkut uang yang tidak sedikit (ratusan juta hingga miliaran
Rupiah) dan tidak seperti jual-beli bahan bangunan, disamping itu menyangkut uang
milik calon konsumen atau pembeli, bukan uang milik sang agen properti yang
jelas ada “conflict of interest”
dimana dirinya berpotensi akan “hit and
run” bilamana pembeli produk properti dirugikan—dan terjadi ribuan kasus
setiap tahunnya, mulai dari developer yang kabur tanpa membangun apartemen yang
telah dibeli konsumen, sertifikat berganda, penjual kabur setelah menerima uang
panjar, tanah bukan milik developer, tidak ada sertifikat sekalipun sudah
dibayar lunas pembeli, dan berbagai modus penipuan lainnya yang masif sifatnya
sepanjang tahun. Untuk apa calon konsumen harus mengalami pengalaman buruk
serupa, jika bisa cukup belajar dari pengalaman buruk para konsumen lainnya?
Apakah dunia ini, kekurangan “SCAMMER”? Enak serta mudah saja bagi “agen
tidak waras bernama Puput Fudrianti” menjebloskan dan menjerumuskan calon
konsumen, dimana jika benar-benar terjadi sesuatu yang merugikan pembeli, ia akan
seringan “bertanggung-jawab dengan segampang meminta maaf” sementara itu yang
merugi ratusan hingga miliaran juta Rupiah ialah pembeli. “Negative thinking” merupakan serta menjadi hak prerogatif yang
punya uang dan yang akan membayar, yakni konsumen atau pembeli. Ia pikir siapa
dirinya, merasa berhak melarang yang punya uang untuk menjaga diri dan
berwaspada?
Apa hak yang bersangkutan,
menuntut penulis untuk ber-“positive
thinking” terhadap diri maupun profesinya, dan disaat bersamaan melarang
penulis untuk ber-"”negative
thinking”, sekalipun dana untuk jual-beli ialah uang pribadi milik
penulis, bukan milik sang “agen tidak waras bernama Puput Fudrianti”. Untuk
berdana pun, kita harus sangat berhati-hati, waspada, dan tidak mudah percaya,
akibat seringnya dana donasi disalahgunakan untuk membiayai kegiatan radikalisme,
sehingga warga yang cerdas harus menyelidiki “bibit, bobot, dan bebet”
seseorang sebelum diberikan sejumlah dana, terlebih terhadap orang asing tidak
dikenal, terlebih terhadap iklan yang seringkali “too good to be true”. Lihatlah yayasan seperti Yayasan Aksi Cepat
Tanggap, mengaku malaikat berkedok kegiatan sosial lembaga nirlaba, telah
ternyata menyalahgunakan dan menyelewengkan dana pemberian para donatur untuk
kepentingan pribadi pemimpinnya maupun untuk kegiatan teror!sme internasional.
Sebagai contoh, biarlah orang
memandang penulis sebagai “kikir”, karena penulis telah belajar banyak pengalaman
pahit berdana kepada sembarangan orang. Pernah terjadi, seseorang mengaku butuh
dana untuk berobat, tanpa menaruh curiga dengan mudahnya penulis berikan dana donasi
yang besar kepada yang bersangkutan, setara gaji satu minggu penulis bekerja,
telah ternyata dipakai oleh yang bersangkutan untuk membeli obat-obatan terlarang.
Berdana ke tempat ibadah, ternyata digelapkan oleh pengurusnya. Berdana cukup
besar kepada pengemis yang membuat kesan “berkaki buntung”, tidak lama
berselang penulis temukan ternyata kesemua itu hanya akting sang “pengemis
penipu”. Kini, penulis amat sangat selektif dalam berdonasi.
Apakah dunia ini kekurangan
para pendosa, orang-orang jahat, maupun penipu? HANYA PENIPU, YANG MELARANG ORANG
LAIN UNTUK “NEGATIVE THINKING” DALAM
RANGKA MENJAGA DIRI! Maaf saja ya,
recehan pun akan saya jaga, karena saya menghargai jirih-payah uang yang saya cari
dan kumpulkan, terlebih disuruh percaya begitu saja dan berbaik sangka terkait
uang senilai ratusan juta hingga miliaran rupiah? Sang “agen tidak waras
bernama Puput Fudrianti” sendiri menerapkan “standar ganda”, dimana dirinya
dapat kita pastikan tidak akan berbaik sangka kepada setiap orang terlebih terhadap
orang asing manapun.
Apa jadinya, bila bank tidak
menerapkan asas “prudent” dengan ketat
menerapkan prinsip “know your customer”,
lalu berbaik sangka begitu saja menyalaurkan kredit KPR? Ini soal uang tidak
sedikit, wajar dan memang sudah menjadi kewajiban moril kita untuk menjaga
diri baik-baik—bukan lagi hak, namun kewajiban moril kita terhadap diri kita
sendiri. Sang “agen tidak waras bernama Puput Fudrianti” silahkan mengajari
sanak keluarga atau anaknya sendiri, untuk tidak perlu menjaga diri dan waspada
terkait uang, harus berbaik sangka kepada siapapun dan profesi manapun,
termasuk itu orang asing, sekalipun sudah banyak kasus-kasus developer yang
kabur tanpa membangun apartemen atau rumah, tidak pernah AJB meski sudah
dibayar lunas oleh pembeli, maket dan brosur iklan yang menyesatkan, garansi
yang diingkari, tidak pernah balik nama sertifikat, dsb.
Sang “agen tidak waras bernama
Puput Fudrianti” pun mendalilkan, dirinya maupun agen properti lainnya tidak
bersedia menyebutkan atau mencantum alamat lokasi objek rumah yang ditawarkan
dalam iklan, agar calon konsumen tidak datang survei sendiri lalu bertemu agen
lain dan “deal” dengan agen lain. Itu
alasan yang konyol, karena objek rumah yang ia pasarkan di-iklan-kan pula oleh berbagai
agen properti lainnya, sehingga atas properti yang sama calon konsumen dapat
menemukan lebih dari dua agen properti cukup lewat mencarinya pada iklan di website
internet jual-beli rumah yang sama.
Itulah yang paling membuat
penulis merasa “trauma” untuk “survei kucing dalam karung”, karena
mendapati lokasi objek rumah, meski bangunannya menarik, telah ternyata
lokasinya sangat tidak “marketable”
dan tidak layak untuk dibeli, seperti sangat jauh dari fasilitas umum,
terlampau di “pelosok”, dan kondisi lingkungan sekitar rumah yang buruk atau
bahkan kumuh. Alhasil, pembeli kerap pulang dengan tangan hampa, sia-sia, dan “WASTING TIME IS WASTING MY MONEY!”
Jika calon konsumen cukup
membuka applikasi peta (semacam “Google map”),
lalu memasukkan nama jalan, dan melihat dalam penampang peta ataupun “street view” telah ternyata tidak cocok
dengan minat kita, maka untuk apa buang-buang waktu “survei kucing dalam karung”?
Dari itu saja, sudah tampak tiada asas keterbukaan maupun transparansi,
bagaimana nantinya setelah keluar uang untuk membayar pembelian? Seperti kata
para pakar properti, yang paling penting ialah “lokasi, lokasi, dan lokasi”. Pakar
“Feng Shui” pun lebih mengedepankan lokasi, karena faktor bentuk bangunan masih
dapat direkayasa dan diperbaiki dengan cara renovasi ulang, sementara tidak
dengan faktor lokasi objek rumah yang akan didiami / dihuni.
Seketika penulis memblokir agen
yang lancang mendebat calon konsumen tersebut, dan menghubungi agen properti
lainnya, dimana kita mendapati perbedaan pendekatan yang lebih “rasional” serta
“sensitif / ramah konsumen”, dengan komunikasi yang penulis ajukan antara lain:
Rumah di foto iklan Bapak,
betul itu yang dijual serta rincian spek rumah, luas tanah & bangunan, dan
harga maupun rincian lainnya dalam iklan? Calon pembeli akan kecewa dan
keberatan bila kenyataannya berbeda.
Semoga dapat Bapak maklumi ya
bila saya tanya secara rinci karena saya tidak mau beli kucing dalam karung
untuk uang yang saya kumpulkan puluhan tahun maupun untuk KPR puluhan tahun ke
depan juga sehingga saya perlu hati-hati sekali.
Sangat wasting time
survei-survei rumah yang ternyata beda dengan iklan atau nggak sesuai dengan
harapan saya.
Jadi saya tanya seperti itu
sebetulnya juga respect kepada agen seperti bapak agar tidak wasting time Bapak
maupun tidak wasting time saya sendiri.
Alih-alih berkelit atau
melindungi nama “korps” profesi yang bersangkutan, sang agen kemudian memberi tanggapan,
bahwa “memang saya akui ada agen yang nakal”.
Itulah jawaban yang lebih rasional, mengakui fakta dan realita, juga mengakui
serta menghargai kecemasan atau kekhawatiran calon konsumen, menghormati
pengetahuan konsumen, mengingat ini adalah uang konsumen, dan uang mana tidak
sedikit nilai nominalnya. Kita tentunya akan lebih menaruh hormat terhadap agen
properti atau penyedia jasa manapun itu, yang bersikap rasional, dimana sikap
rasional ialah cerminan profesionalisme.
Terdapat juga agen yang secara
terbuka bercerita kepada penulis, bahwa ada “agen nakal” yang bahkan mencoba
menipu agen lainnya dengan modus berpura-pura menjadi calon properti, dengan tujuan
hanya untuk “listing” properti,
mengajak bertemu untuk survei rumah, dan saat hari-H ternyata tidak muncul
meski sang agen telah mengundang pemilik rumah yang jauh-jauh datang dari
provinsi lain, lalu sang “agen nakal” mendadak muncul untuk mencuri “klien”
agen lain yang ditipu olehnya. Sehingga, kini pun ia “selektif” terhadap calon
pembeli yang mencoba menghungi sang agen. Tidak “wasting time” orang lain, sama artinya menghargai dan menghormati
orang lain tersebut juga menghargai waktu dirinya sendiri.