Indonesia Butuh Undang-Undang BADAN HUKUM, Hapus Undang-Undang Koperasi, Yayasan, maupun Perseroan Terbatas
Question: Menyebut diri yayasan, yang konon katanya nirlaba, namun mengapa pengurusnya bisa begitu banjir harta kekayaan? Lihat saja kasus terkuaknya penyelewengan dana Yayasan Aksi Cepat Tanggap, semata karena jurnalis suatu majalah menemukan kejanggalan gaya hidup bermewah-mewah pengurusnya, sementara itu yayasannya menggalang dana dari publik maupun dana CSR perusahaan-perusahaan dengan alasan atau kedok untuk kegiatan donasi dan amal. Mengapa yayasan yang katanya nirlaba, faktanya bisa seperti itu? Apa memang ada yang salah dengan Undang-Undang Yayasan kita di Indonesia.
Brief Answer: Hampir semua, jika tidak mau disebut semua, badan
hukum semacam Yayasan disalah-gunakan untuk kepentingan serta keuntungan
pribadi segelintir pihak yang menjadi petinggi / pemimpinnya, tidak terkecuali
yayasan yang bergerak dibidang sosial maupun keagamaan. Yayasan, sudah
merupakan sebuah komoditi itu sendiri, dimana arus transaksi keluar dan
masuknya uang, dana, maupun modal, demikian tinggi di republik ini, dimana
disaat bersamaan menikmati berbagai keistimewaan dan kelonggaran oleh negara,
semisal pembebasan pajak maupun dapat memiliki Sertifikat Hak Milik atas berbagai
bidang tanah, namun sepanjang tahun pula yayasan tersebut semakin subur dan
kian menggurita. Salah satunya ialah yayasan yang menjadi payung berdirinya
universitas ataupun perguruan tinggi, yayasan yang menaungi para pekerja alih
daya (outsourcing), yayasan yang
bergerak dibidang penyedia sewa ruang pada rumah duka, dan lain sebagainya.
Begitupula badan hukum lainnya semisal Koperasi, SHIETRA
& PARTNERS dalam beberapa kesempatan menangani Klien dengan keluhan
terkait kegiatan Koperasi yang murni “profit
oriented” untuk kepentingan pemiliknya, meski konon Koperasi ialah “dari
anggota dan untuk anggota”, namun bersistem “kanibalisasi”, sehingga sejatinya
dan esensi kegiatan operasionalnya memang tidak ubahnya badan hukum korporasi
berupa Perseroan Terbatas, dimana pemilik Koperasi (biasanya pihak pendiri atau
ahli warisnya) menguasai Koperasi lewat kaki-tangan maupun orang bayaran, dan
menikmati berbagai keuntungan operasional Koperasi.
Kita dapat bercermin pada kasus fenomenal semacam
Koperasi Cipaganti yang mana pengurusnya dijerat pidana akibat melakukan
praktik ilegal “skema ponzi” alias “skema piramida”. Berbagai pegadaian swasta yang
kerap kita jumpai di berbagai sudut kota, yang mana operasionalnya murni “business oriented” namun uniknya
berbadan hukum Koperasi alih-alih Perseroan Terbatas. Karenanya, mendirikan Perseroan
Terbatas seolah diberi “dis-insentif” oleh negara lewat pembebanan pajak yang
tinggi hingga puluhan persen, namun bila badan hukum lainnya yang juga berbasis
mengejar laba dan profit setinggi-tingginya dengan “kemasan” berwujud Koperasi,
maka tren kedepannya akan semakin banyak pengusaha bermental “profit oriented” mendirikan Koperasi
ataupun Yayasan alih-alih Perseroan Terbatas—tren mana kian menjamur dewasa
ini.
Jika praktik real di lapangannya terus seperti
demikian, maka menjadi wajar dapat kiat maklumi, bila masyarakat kemudian
bertanya, mengapa tidak dibubarkan saja Undang-Undang tentang Koperasi maupun
Yayasan? Secara pribadi, penulis yang telah pernah mendalami Undang-Undang kedua
badan hukum dimaksud, juga pernah terlibat dalam operasional sebuah Yayasan,
menemukan bahwa perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang sekalipun tidak
akan mampu memperbaiki sistem kedua badan hukum tersebut, dan tetap terbuka
potensi atau peluang penyalah-gunaan pengurus bersama-sama pembinanya, dimana hal
semacam “kolusi” (“kongkalikong”) antar organ didalam suatu organisasi di
republik ini bukanlah “cerita baru” ataupun “barang langka”. Di ruang temaram,
segala kejahatan dapat terjadi, semata disamping ada niat, juga ada kesempatan.
Sederhananya, bila dalam suatu organisasi semacam
Yayasan, terjadi kolusi antara Ketua, Pembina, dan Pengawas, maka itulah “the perfect crime”. Sementara itu dalam
Koperasi, bila terjadi kolusi antara Bendahara, Ketua, dan Sekretaris, maka itulah
“the perfect crime”. Sesederhana itu
saja, dan “de facto”-nya berbagai
Yayasan maupun Koperasi, terutama yang arus keluar-masuk atau aliran dananya
tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi yang bernaung dibawah Yayasan, siapa
yang hendak menjabat menjadi Pengurus Yayasan saling sikut-menyikut satu sama
lainnya. Apa yang sebetulnya mereka kejar dari segala sikut-menyikut demi
menduduki jabatan sebagai Pengurus Yayasan tersebut?
Tidak lain tidak bukan ialah menguras harta
kekayaan Yayasan untuk dialih-wujudkan ke dalam bentuk gaji ataupun fasilitas
bagi sang Pengurus—satu-satunya modus “money
laundring terang-terangan” yang dilegalkan oleh pemerintah. Sesederhana itu
saja, modus dan pola yang sama selalu berulang, tidak akan mampu dibendung sekalipun
lewat revisi peraturan perundang-undangan dibidang Koperasi maupun Yayasan. Hanya
moralitas para pengurus internal organisasi itu sendiri, yang menjadi rambu
pembatasnya (norma moral mana lebih kerap patut kita ragukan).
Idealnya, hanya ada satu badan hukum di Indonesia,
yakni “Badan Hukum”, bukan Perseroan Terbatas, Koperasi, maupun Yayasan yang masing-masing
diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Ketika kegiatan usaha atau operasional
“Badan Hukum” tersebut, semisal “Badan Hukum Kerja Pontang Panting” telah
ternyata menghasilkan profit atau laba usaha, dan ada aliran dana dari “Badan
Hukum” kepada organ Pengurusnya, maka itu dapat dimaknai sebagai gaji atau
upah, sehingga “Badan Hukum” dimaksud dikategorikan sebagai “korporasi” yang menjadi
subjek wajib pajak.
Sebaliknya, ketika suatu “Badan Hukum” telah
ternyata murni berkegiatan sosial, semisal “Badan Hukum Kerja Rodi” tanpa ada
aliran dana dari “Badan Hukum” kepada para Pengurusnya, yang murni bekerja
secara sukarela selain diakomodasi makan siang dan transportasi, maka tidak
dikategorikan sebagai “korporasi” dan karenanya dibebaskan dari pajak dan
diberi keistimewaan tertentu oleh negara. Konsepsi demikian jauh lebih
menawarkan kepastian serta legitimasi yang menutup celah rawan penyalah-gunaan
para pendiri, pemilik, ataupun pengurusnya. Istilah awamnya, tidak lagi “seksi”
untuk disalah-gunakan seperti Koperasi maupun Yayasan yang dewasa ini menjamur
namun tidak terkontrol dan tidak terawasi dengan efektif oleh pemerintah yang
kerap mengobral izin namun minim supervisi dan penindakan.
Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), sebagai contoh,
telah dideteksi melakukan mal-administrasi keuangan terkait dana donasi para
donaturnya oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sejak
bertahun-tahun lampau, namun Kementerian Sosial cenderung pasif terhadap
laporan aktivitas mencurigakan yang diberikan PPATK, tanpa proaktif menindak-lanjuti,
dan baru mencabut izin kegiatan ACT bertahun-tahun kemudian saat semua
mal-praktik ACT tidak lagi terbendung dari “mata publik” yang viral karena
disorot oleh media jurnalistik investigasi yang notabene pihak sipil akibat
abainya peran pengawasan oleh negara, sehingga kebijakan pemerintahan rezim
saat kini terkesan reaktif-kuratif ketimbang preventif.
PEMBAHASAN:
Ulasan ini akan mengungkap “celah
hukum” apakah yang menjadi saripati masalah berbagai badan hukum NON-Perseroan
Terbatas di Indonesia, semacam Yayasan maupun Koperasi, tanpa bertele-tele,
namun secara lugas dan gamblang langsung mengarah pada jantung masalahnya yang
tidak akan pernah dapat diperbaiki ataupun direkayasa oleh “kutak-katik”
peraturan peraturan perundang-undangan sekalipun, dimana kita akan mengerucut
pada satu kesimpulan, bahwa sudah saatnya Indonesia hanya mengenal satu jenis
badan hukum, yakni “Badan Hukum”—yang artinya menghapus eksistensi Perseroan
Terbatas, Yayasan, maupun Koperasi.
Modus yang lazim dan umum
dilakukan oleh Perseroan Terbatas, ialah “transfer
pricing” alias “profit shifting”.
Sejatinya, modus-modus penyelewengan berbagai Koperasi dan Yayasan juga tidak
berbeda dengan itu, yakni mengalihkan harta berupa keuangan milik Koperasi
ataupun Yayasan ke dalam bentuk remunerasi, fasilitas, maupun gaji bagi para
pengurusnya maupun afiliasinya. Yayasan berkedok pendidikan, namun pendidikan “dibisniskan”,
dan bisnis yang menggiurkan. Koperasi berkedok Koperasi Simpan-Pinjam, namun “membisniskan”
Koperasi, juga merupakan bisnis yang meneteskan air liur para pemodal dan
pengusaha. Mengapa? Itulah yang akan penulis ungkap dalam bahasan ini.
Dalam pemberitaan dengan tajuk “ACT
kutip 30% dari dana donasi. Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tercatat menerima
donasi sebesar Rp2 triliun sejak 2005”, sumber : https:// www. alinea .id /nasional/act-kutip-30-dari-dana-donasi-b2fny9Fwl,
diakses pada tanggal 04 Agustus 2022, terungkap fakta bahwa kalangan
internal para petinggi Yayasan itu sendiri yang membentuk “norma hukum
otonom” (autonomic legislation) untuk
melegalkan, mensahihkan, dan menjustifikasi aksi penyalah-gunaan yang mereka
lakukan di ruang temaram yang tidak kasat-mata di mata publik akibat
minimnya transparansi maupun akuntabilitas, sehingga sejatinya kental akan
nuansa “conflict of interest”, dengan
berita sebagai berikut:
Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tercatat menerima donasi
sebesar Rp2 triliun sejak 2005. Namun, sebanyak Rp450 miliar dipotong untuk
operasional lembaga kemanusiaan tersebut.
“Total donasi yang masuk ke
yayasan ACT dari tahun 2005 sampai tahun 2020 sekitar Rp2 triliun. Dan dari Rp2
triliun ini donasi yang dipotong senilai Rp450 miliar atau sekitar 25% dari
seluruh total yang dikumpulkan,” kata Karo Penmas Divhumas Polri Brigjen
Ahmad Ramadhan, dikutip Minggu (31/7).
“Dengan alasan operasional,
di mana sumber anggaran operasional didapat dari pemotongan yang dilakukan oleh
pengurus yayasan,” sambungnya.
Lebih lanjut Ahmad menjelaskan,
ACT sejak 2015 hingga 2019 melakukan pemotongan dana donasi sebesar 20% hingga
30%. Sedangkan sejak 2020 hingga sekarang dipotong sebesar 30%.
“Pada tahun 2015 sampai 2019
dasar yang dipakai oleh yayasan untuk memotong adalah surat keputusan dari
pengawas dan pembina ACT dengan pemotong berkisar 20% hingga 30%. Kemudian pada
tahun 2020 sampai sekarang berdasarkan opini komite dewan syariah Yayasan ACT
pemotongannya sebesar 30%,” katanya.
Sebelumnya, Bareskrim Polri
telah menetapkan Presiden ACT Ibnu Khajar dan mantan Presiden ACT Ahyudin sebagai
tersangka kasus dugaan penggelapan dana donasi. Ahyudin dan Ibnu Khajar serta
dua tersangka lainnya terancam hukuman 20 tahun penjara.
Dua tersangka lainnya, yakni
Hariyana Hermain, merupakan salah satu pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi
lain di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Ada juga tersangka lain, yakni Novariandi
Imam Akbari (NIA) selaku Ketua Dewan Pembina ACT.
Keempatnya pun disangkakan
Pasal Tindak Pidana Penggelapan dan/atau Penggelapan dalam Jabatan dan/atau
Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Tindak Pidana Yayasan
dan/atau Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372
KUHP, lalu Pasal 374 KUHP.
Berlanjut pada pemberitaan
bertajuk “Polisi ungkap dana lain yang diselewengan ACT. Ada dana donasi lain
yang dikelola ACT selain dana Boeing sebesar RP130 miliar”, sumber : https:// www.
alinea .id /nasional/polisi-ungkap-dana-lain-yang-diselewengan-act-b2fnw9Fvk,
diakses pada tanggal 04 Agustus 2022, diungkapkan:
Yayasan Aksi Cepat Tanggap
(ACT) diduga telah melakukan penyelewengan dana juga terhadap dana donasi
kemanusian yang telah dihimpun sebesar Rp2 triliun selama periode 2015-2019.
Hal itu diketahui dari pemeriksaan terhadap empat orang tersangka hari ini
(29/7).
Kepala Biro Penerangan
Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, dana tersebut
dipotong dan diselewengkan oleh para tersangka dalam kasus ini sebanyak 25%
atau Rp450 miliar.
“Jadi, ada dana donasi lain
yang dikelola ACT selain dana Boeing sebesar RP130 miliar. Jadi, ada dua
anggaran yang dikelola oleh yayasan ini,” kata Ramadhan di Mabes Polri, Jumat
(29/7).
Ramadhan menyebut, pemotongan
dana donasi itu dilakukan para tersangka dengan mengeluarkan surat keputusan
Yayasan ACT. Surat itu menyebutkan adanya pemotongan dana donasi sebesar
20-30%. Alasannya, untuk kepentingan operasional lembaga kemanusiaan ini.
“Dengan alasan operasional, di
mana sumber anggaran operasional didapat dari pemotongan yang dilakukan oleh
pengurus yayasan,” ujar Ramadhan.
Polisi juga sempat
mengkhawatirkan empat tersangka melarikan diri. Keempat orang tersebut, yakni
Ahyudin selaku pendiri dan mantan Ketua Yayasan ACT, Ibnu Khajar (IK) selaku
Ketua Yayasan ACT, Hariyana Herain (HH) selaku Dewan Pengawas ACT, dan NIA
selaku anggota dewan pembina saat A menjabat sebagia Ketua Yayasan ACT.
Sebagai informasi, dalam kasus
ini keempat tersangka diduga bersama-sama melakukan pemotongan dana donasi
sebesar 20-30%. Mereka juga bersama-sama membuat kebijakan Dewan Syariah
Yayasan ACT tentang pemotongan dana operasional sebesar 30% dari dana donasi
yang dikumpulkan.
Bahkan, Ahyudin berperan
sebagai pendiri, ketua pengurus, dan ketua lembaga filantropi itu dari
2019-2022. Ia juga mengendalikan ACT dan badan hukum yang terafiliasi dengan
ACT.
Ahyudin menduduki kursi direksi dan komisaris agar dapat
memperoleh gaji serta fasilitas lainnya. Pada 2015, membuat SKB bersama pembina
dan pengawasan Yayasan ACT terkait pemotongan donasi sebesar 20% hingga 23%.
Pada 2020, Ahyudin membuat
opini Dewan Syariah Yayasan ACT tentang pemotongan dana operasional sebesar 30%
dari dana donasi. Setelah itu, ia menggerakan Yayasan ACT untuk mengikuti
program dana bantuan boeing atau Boeing Community Investment Fund (BCIF)
terhadap ahli waris korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610.
Disebut “nirlaba”, namun pada
muaranya “bersifat laba” bagi kepentingan tertentu, sebagaimana diungkap dalam
berita bertajuk “ACT Disebut Terima Rp 1,7 T, 50% Lebih Dipakai Beli
Rumah-Villa”, 04 Agu 2022, sumber : https:// 20.detik .com /detikflash/20220804-220804081/act-disebut-terima-rp-17-t-50-lebih-dipakai-beli-rumah-villa,
disebutkan pula:
Kepala Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyebut yayasan ACT
menerima uang donasi sebesar Rp 1,7 triliun dan lebih dari 50% mengalir ke
kantong pribadi. Uang tersebut digunakan untuk pembelian rumah hingga
villa.
Bukan hal yang mengejutkan,
ketika diberitakan pula tajuk “Komisi VIII DPR Minta 176 Lembaga Selewengkan
Dana Mirip ACT Diaudit”, 04 Agustus 2022, sumber : https:// news.detik .com /berita/d-6216308/komisi-viii-dpr-minta-176-lembaga-selewengkan-dana-mirip-act-diaudit,
dengan rincian:
Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini menyerahkan dokumen kepada Mensos
terkait 176 lembaga serupa Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang diduga
menyelewengkan dana. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily meminta
Kementerian Sosial (Kemensos) mengaudit seluruh yayasan serupa ACT.
“Belajar dari kasus ACT ini,
pihak Kementerian Sosial juga diminta segera mengaudit lembaga-lembaga ini.
Tidak hanya berkedok kegiatan agama tertentu, tetapi juga agama lainnya,” kata
Ace kepada wartawan, Kamis (4/8/2022).
Ace meminta aparat penegak
hukum bertindak tegas terhadap lembaga mana pun yang melakukan tindak pidana.
Terlebih terhadap mereka yang melakukan penyelewengan bantuan berkedok
filantropi.
“Pihak penegak hukum harus
tegas kepada lembaga mana pun yang melakukan tindakan yang melanggar hukum,
dengan cara melakukan penyelewengan bantuan berkedok filantropi Islam,” kata
Ketua DPD Jawa Barat itu.
Dengan demikian, Ace mendorong
penegakan hukum terhadap lembaga-lembaga tersebut. Ace mendesak agar lembaga bermodus
aktivitas filantropi oleh masyarakat kemudian diselewengkan di luar
peruntukannya diusut.
“Kita harus menegakkan hukum
atas lembaga-lembaga seperti itu. Modus menarik uang dari masyarakat dengan
dalih bantuan bencana namun diselewengkan untuk kepentingan di luar
peruntukannya harus diusut,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Kepala
Pusat PPATK Ivan Yustiavandana menyerahkan dua dokumen kepada Mensos. Salah
satu dokumennya terkait 176 lembaga serupa Yayasan ACT yang diduga
menyelewengkan dana.
Ivan menyebutkan pihaknya sudah
menyerahkan dokumen terkait kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) untuk
mendalami kasus yang serupa. Dia menjelaskan ke-176 lembaga baru ini
memiliki modus yang sama dengan ACT.
“Kami nyatakan, ACT ini
bukan satu-satunya. Jadi kita masih menduga ada lembaga-lembaga lain yang
memiliki kegiatan serupa, dan 176 tadi salah satu di antaranya yang kemungkinan
(melakukan penyelewengan dana), kami sudah serahkan ke penegak hukum,” kata
Ivan kepada wartawan di gedung Kemensos, Jakarta, Kamis (4/8).
Komentar dari para netizen
berikut, dikutip dari https:// news.detik .com /berita/d-6206388/act-terima-donasi-rp-2-triliun-sejak-2005-rp-450-m-dipotong,
dengan “sentilan-sentilan” jenaka namun “mengena” tepat pada sasaran, antara
lain:
Demi hedon beragama dan berjenggot
gamis caplok duit donatur... mentara donatur berharap bisa ngebantu in yg
musibah bencana eh malah ke model ginian.
====
Enak ya modal jenggot doang....
===
Yang berjenggot lebih serem
daripada yang berpistol.
===
Perampok aja ga mau merampok
duit buat kemanusian.. ini kelompok jenggot malah lebih rakus.
===
Gitu2 masih ada yg bela loh...
===
Mulai sekarang sumbangan
mendingan langsung ke orang yang bersangkutan. Terlalu banyak tangan² kotor
berdalih agama.
===
Mohon amil zakat diperiksa juga
pak. Konon katanya berhak 30% atas zakat. Jadi pasti lebih gila2an potongannya.
Baznas dkk coba cek pak berapa yg dipotong.
===
jika ingin menguasai orang
bodoh, bungkuslah sesuatu yang bathil itu dengan agama.
===
orang yg donasi ngarep donasi
nye ke yg berhak ..eh ga tau nye berhak ke pengurus2 yg hedon dgn dipotong2
pake syariah segala ...
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.