KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Contoh Sempurna Asas RETROAKTIF, Peraturan Bisa Berlaku Surut

Hukum memang Tidak Berlaku Surut, namun Hukum juga Sarat Pengecualian, Akal Sehat menjadi Penentunya

Retroaktif Tidaklah Tabu, namun dapat Diberlakukan secara Limitatif dalam Koridor yang Dimungkinkan oleh Hukum

Asas Non-Retroaktif Tidaklah Absolut, Terutama Konteks Tata Usaha Negara, Kebijakan Boleh Diberlakukan secara Surut (Retroaktif) jika Lebih Berfaedah (Asas Kemanfaatan)

Question: Kebijakan maupun peraturan yang baru yang lebih sempurna pengaturannya, diterbitkan oleh pemerintah untuk menutup berbagai celah hukum yang terbuka kemungkinannya oleh peraturan lama yang sebelumnya berlaku. Pertanyaannya, bisakah peraturan yang baru diberlakukan secara surut untuk memperbaiki permasalahan hukum yang timbul akibat keberlakuan peraturan lama yang belum sempurna? Singkatnya, apakah memang peraturan tidak bisa diberlakukan secara surut ke-belakang (retroaktif), apapun alasannya, sekalipun peraturan yang lampau cukup fatal sehingga membuka ruang “moral hazard”?

Brief Answer: Betul bahwa asas non-retroaktif bersifat universal, dalam artian setiap negara dengan tipe “negara hukum”, akan melarang keberlakuan surut suatu peraturan perundang-undangan yang baru dibentuk dan disahkan untuk mengadili ataupun mengeksekusi kejadian-kejadian hukum yang terjadi sebelum disahkannya peraturan terbaru dimaksud. Namun, sifat asas non-retroatif tidaklah semutlak itu, terutama dalam konteks tata usaha negara, dimana Undang-Undang pada suatu negara dapat saja dan dimungkinkan untuk memberlakukan surut suatu kebijakan ataupun peraturan.

Contoh paling aktual lainnya, berdasarkan Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa ketika perjanjian dibatalkan oleh pengadilan, maka akibat hukumnya ialah segala sesuatu kembali seperti ke keadaan semula. Begitupula terhadap perjanjian-perjanjian yang bersifat “bersyarat batal”, dimana para pihak sepakat mengikatkan diri dalam suatu perikatan perdata, namun disertai suatu klausula yang mengatur “syarat batal”—yang bermakna bilamana kondisi sebagaimana dipersyaratkan tersebut benar-benar terjadi dikemudian hari, maka perjanjian diantara para pihak menjadi batal sebagai akibatnya.

Tanpa kita sadari, keseharian berhukum kita sangat lekat dengan peristiwa hukum dimana suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan secara surut. Sebagai contoh, sebuah buku dengan Hak Cipta diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang tentang Hak Cipta terbaru dibentuk dan sekalipun kejadian pelanggaran terjadi saat Undang-Undang terbaru telah dibentuk, maka terhadap pelaku pelanggar Hak Cipta buku dimaksud, tetap saja pelakunya akan dipidana berdasarkan ketentuan pada Undang-Undang Hak Cipta terbaru sekalipun buku tersebut diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang Hak Cipta terbaru diterbitkan oleh negara.

PEMBAHASAN:

Retroaktif dan non-retroaktif, merupakan dua kutub ekstrem yang saling bertolak-belakang. Namun tetap saja, sifat keduanya ialah sama-sama ekstrem. Sehingga, praktik berhukum yang paling ideal ialah sikap moderat, dalam artian untuk koridor tertentu, semestinya ada peraturan-peraturan yang bisa diberlakukan secara surut (secara “limited”) demi asas “kemanfaatan yang lebih besar”. Untuk itu, pemerintah selaku otoritas negara dapat membuat legitimasi bagi ruang berlakunya retroaktif suatu peraturan perundang-undangan—dengan rambu-rambu dan limitasi atau batasan tertentu secara jelas dan terukur, tentunya, membentuk apa yang kita kenal sebagai “koridor hukum”—sehingga ketika suatu norma hukum atau peraturan diberlakukan secara surut, tidak lagi mengundang kontroversi dengan tudingan telah melanggar “kepastian hukum” ataupun asas-asas hukum umum bangsa beradab.

Perhatikan kedua konsepsi yang tampak bertolak-belakang berikut ini. Pembatalan perkawinan merupakan tindakan pengadilan yang berupa putusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, sehingga perkawinan dianggap tidak pernah ada, yang artinya kebatalan berlaku secara surut. Pembatalan perkawinan berbeda dengan perceraian, dimana perceraian merupakan pembubaran perkawinan yang sah dari perkawinan yang telah terjadi, baik atas persetujuan bersama atau atas permintaan satu pihak, namun sifatnya tidak berlaku secara surut—“terminated”, bukan “annulment”.

Dalam konteks pembatalan perkawinan, perkawinan telah terjadi, namun di kemudian hari diketahui bahwa terdapat kekurangan-kekurangan yang menyangkut persyaratan perkawinan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yang telah ternyata tidak dipenuhi oleh dilanggar oleh satu atau dua mempelai, sebagai contoh belum cakap hukum umur pernikahan salah satu mempelai, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang tentang Perkawinan, namun saling menikah tanpa dispensasi oleh penetapan pengadilan dan tanpa seizin walinya.

Sama seperti perbedaan konsepsi antara pembatalan (annulment) dan penghentian atau pengakhiran (termination) dalam konteks perjanjian kontraktual keperdataan, konsekuensi yuridis antara keduanya saling berbeda satu sama lainnya. Dalam peristiwa kebatalan, segala sesuatu kembali seperti keadaan semula, seperti ketika perikatan atau perbuatan itu belum pernah terjadi, semisal penjual diwajibkan mengembalikan uang yang dibayarkan pembeli dan pembeli diwajibkan untuk menyerahkan kembali barang yang dibeli olehnya—tidak lain tidak bukan ialah berlaku secara surut (lebih jelasnya lihat ketentuan normatifnya dalam Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Cobalah Anda cari dan buku buku-buku lama koleksi Anda di rak buku atau di gudang, kemungkinan besar halaman awal buku lama Anda mencantumkan ancaman bagi yang melanggar Hak Cipta milik pihak penerbit / penulis buku, masih merujuk pasal dan Undang-Undang yang lama tentang Hak Cipta. Ketika saat kini Anda melanggar ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang terbaru tentang Hak Cipta, maka Anda akan dijerat oleh pasal dari Undang-Undang Hak Cipta yang terbaru, bukan Undang-Undang Hak Cipta versi yang lama sekalipun Undang-Undang yang lama tersebut yang tercantum dalam buku Anda tersebut.

Ambigu atau kerancuan terjadi ketika kita bertanya, sekadar sebagai contoh, Undang-Undang Hak Cipta yang lama mengatur bahwa Hak Cipta dilindungi oleh negara untuk selama 50 tahun. Lantas, Undang-Undang Hak Cipta yang baru mengatur dan mengubahnya menjadi perlindungan selama 60 tahun. Pertanyaannya, ketika umur buku tersebut telah genap mencapai usia 50 tahun, maka apakah artinya Hak Cipta buku tersebut telah kadaluarsa sesuai ketentuan Undang-Undang Hak Cipta lama yang berlaku saat buku tersebut diterbitkan, ataukah masih tersisa 10 tahun kedepan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta yang baru?

Katakanlah buku tersebut kemudian dicetak ulang, maka ancaman bagi pelanggar Hak Cipta yang dicantum dalam halaman awal buku, menggunakan dasar hukum rujukan Undang-Undang Hak Cipta yang lama ataukah yang baru? Ketidakjelasan serta ketidakpastian hukum terjadi pula dalam konteks bidang hukum lainnya, semisal seseorang telah bekerja selama 30 tahun lamanya, dan akan mendekati masa usia pensiun. Undang-Undang Ketenagakerjaan, sekadar sebagai contoh, mengatur hak pensiun yang akan diterima oleh sang pekerja ialah berupa pesangon dengan upah sebesar 20 kali besaran nominal upah bulanan yang terakhir kali ia terima. Namun, ketentuan perihal besaran pesangon diubah oleh Undang-Undang yang terbaru, tepat sebelum sang pekerja akan memasuki usia pensiun, menjadi hanya sebesar 10 kali upah bulanan, dan ketentuan yang terbaru itulah yang berlaku baginya ketika menuntut upah pesangon saat pensiun—tidak lain tidak bukan, berlaku surut, retroaktif secara “terselubung”.

Bila kita konsisten terhadap adagium hukum bahwa hukum tidak boleh diberlakukan secara surut, alias “non-retroaktif” atau “larangan retroaktif” sebagai asas universal, namun tanpa kita sadari banyak sendi kehidupan hukum kita diberlakukan secara surut oleh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru saja diterbitkan oleh negara, kita sadari maupun tidak kita sadari dan sekedar “ikut arus” (common practice). Contoh ilustrasi sempurnanya ialah kasus polisi bernama Brotoseno yang sempat menyedot perhatian publik pada tahun 2022.

Alih-alih diberhentikan, eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu justru kembali bekerja di POLRI, sekalipun Brotoseno telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kolusi berupa menerima suap dan telah dihukum selama lima tahun penjara. Kembalinya yang bersangkutan menjadi bagian dari korps anggota Kepolisian aktif pada Bareskrim POLRI paska menjalani masa hukuman penjara—alih-alih dipecat—membuat institusi kepolisian mendapat kritik dari publik.

Sekalipun, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia (PP 1/2003) telah mengatur bahwa Anggota Polri “diberhentikan secara tidak dengan hormat” apabila didapati dihukum pidana penjara berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian. Relevansi terhadap kasus Brotoseno, syarat pertma telah terpenuhi, yakni putusan vonis berupa hukuman lima tahun penjara terhadap yang bersangkutan. Sedangkan satu syarat lainnya atau yang kerap disebut sebagai sidang kode etik, mestinya langsung memberhentikan Brotoseno karena ia melakukan kejahatan dalam jabatan dan telah dibuktikan saat proses persidangan.

Yang unik dan yang melukai nurani masyarakat, sidang etik terhadap Brotoseno jusru meloloskannya dengan argumentasi yang dinilai mengada-ngada. Berdasarkan pengakuan Kepala Divisi Profesi dan Keamanan (Kadiv Propam), Irjen Pol Ferdy Sambo—beliau tidak lama kemudian dipidana karena melakukan skandal aksi pembunuhan berencana terhadap anggota kepolisian dalam institusinya, sehingga sesama penjahat adalah lumrah bila saling melindungi serta saling berkompromi—terdapat sejumlah alasan terkait keaktifan kembali Brotoseno di POLRI.

Kedua, Kadiv Propam juga mengutarakan perihal perilaku Brotoseno yang dinilai baik saat menjalani masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan. Sekalipun, sudah menjadi pemahaman umum dan kewajiban bagi seorang terpidana untuk berkelakuan baik selama menjalani pemidanaan demi mendapatkan pembebasan bersyarat serta dalam rangka remisi. Ketiga, Brotoseno dinilai berprestasi selama menjalankan dinas di kepolisian. Ini pun janggal, sebab, bagaimana mungkin seseorang yang menggunakan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum (kolusi) justru dianggap berprestasi, bukankah perbuatan itu justru merendahkan marwah institusi POLRI sendiri?

Mengapa POLRI bersikap kompromistis terhadap anggotanya yang menjelma kriminil daripada terhadap kriminal yang non-anggota? Kolusi, merupakan tindak pidana yang bersifat pelanggaran berat serta disengaja untuk kepentingan pribadi sang pelaku, bukan kejahatan karena kelalaian. Keempat, disebutkan adanya surat pertimbangan dari atasan Brotoseno bahwa yang bersangkutan layak untuk dipertahankan sebagai anggota Polri. Dalam kaitan ini, Kadiv Propam harus menyampaikan secara transparan, siapa sebenarnya sang atasan tersebut, dan mengapa sang atasan tidak mendidik ataupun tidak memberi teladan baik berupa ketegasan sikap “no excuse” bagi aksi-aksi tercela semacam korupsi maupun kolusi?

Polisi, yang memonopolistik penegakan hukum pidana, haruslah paling ditabu dan dipantang untuk menyalah-gunakan wewenang dan melanggar apa yang menjadi “sumpah jabatan” ataupun melalaikan tugas, peran, dan tanggung-jawabnya. Perlu kita ingat, preman pasar pelaku aksi kejahatan, tidak disumpah untuk menegakkan hukum dan kebenaran, namun anggota kepolisian disumpah untuk itu dan telah ternyata melanggarnya secara disengaja, sehingga sama artinya mengangkangi hukum dan konstitusi. Mengambil untung dengan menjual-belikan hukum dan menyalah-gunakan jabatan ataupun kewenangannya dengan menegakkan hukum secara “tebang pilih”, sama artinya melukai rakyat, alias kejahatan terhadap rakyat semesta. Pihak “atasan” yang memberikan rekomendasi positif terhadap Brotoseno, mestinya juga ditindak atau setidaknya diperiksa, perihal motif dan tujuannya mempertahankan Brotoseno. [NOTE Penulis : JIka saja Kapolri bersikap tegas dengan mencopot Kadiv Propam tersebut yang justru melindungi kriminil, maka kasus tewasnya “Brigadir Joshua” akibat skandal sang Kadiv Propam beberapa bulan berselang, tidak akan terjadi.]

Dalam pemberitaan per tanggal 17 November 2021, Indonesian Corruption Watch menemukan pernyataan dari Kadiv Propam yang menegaskan komitmennya untuk menindak oknum polisi bermasalah. Namun bagaimana mungkin, polisi yang bermasalah hendak menindak anggota polisi yang bermasalah lainnya, dimana bahkan menjadi teladan yang buruk bagi bawahan dan anggotanya? Faktanya, ungkapan-ungkapan itu hanya ilusi semata dan sekadar janji manis pemberantasan korupsi yang tidak terbukti, bahkan terbukti sebaliknya.

Karena viral oleh sebab serta desakan publik, berlanjut pada episode dengan tajuk “Peninjauan Kembali Sidang Etik AKBP Brotoseno”,  POLRI menyatakan bahwa sudah ada hasil sidang Komisi Kode Etik Polri Peninjauan Kembali (KKEP PK) AKBP Brotoseno, dengan agenda untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan kode etik sang kolutor yang sudah diketuk tahun 2020 lalu. POLRI kemudian resmi memecat dan memberhentikan tidak dengan hormat terhadap Ajun Komisaris Besar Polisi Brotoseno dari institusi keplisian, dalam forum sidang KKEP PK pada tanggal 8 Juli 2022.

KKEP PK merupakan mekanisme hukum yang baru dikenal dalam Peraturan Kapolri tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian. Dalam Pasal 83 Ayat (1) mengatur : “Kapolri berwenang melakukan Peninjauan Kembali atas putusan KKEP atau putusan KKEP banding yang telah final dan mengikat.” Selengkapnya dengan kutipan peraturan yang baru diterbitkan pada tahun 2022 dimaksud, terkandung pasal berisi akrobatik norma hukum yang menyusupkan kemungkinan “retroaktif”, sebagai berikut:

BAB VI

KKEP PENINJAUAN KEMBALI

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 83

(1) Kapolri berwenang melakukan peninjauan kembali atas putusan KKEP atau putusan KKEP Banding yang telah final dan mengikat.

(2) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan apabila:

a. dalam putusan KKEP atau KKEP Banding terdapat suatu kekeliruan; dan/atau

b. ditemukan alat bukti yang belum diperiksa pada saat Sidang KKEP atau KKEP Banding.

 (3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak putusan KKEP atau putusan KKEP Banding.

Peninjauan Kembali terhadap putusan sidang komisi etik atas nama Brotoseno, menuai tanggapan netizen berupa keheranan, antara lain : “Lha apa bisa ya, putusan sidang etik sebelum munculnya Perkap 7/2022 di-PK saat sekarang?”, ataupun tanggapan seperti “Sesuai asas non retroaktif, aturan sekarang tidak bisa untuk menjerat kasus yang lampau atau lalu.” Dengan mendalilkan “POLRI memperhatikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat, dibentuklah mekanisme peninjauan kembali terhadap putusan-putusan yang dikeluarkan kembali oleh sidang komisi kode etik”, meski dinilai menabrak asas-asas hukum umum dengan merumuskan norma Peninjauan Kembali yang sebelumnya belum diatur dalam Perkap, terhadap putusan komisi etik anggota kepolisian yang telah berkekuatan hukum tetap.

Ketika AKBP Brotoseno diberhentikan dari keanggotaan POLRI, yang bersangkutan berpotensi melakukan upaya hukum banding bahkan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas keputuan pemberhentiannya sebagai anggota POLRI. Sejumlah kalangan menilai, Peninjauan Kembali yang diterapkan dalam putusan etik atas nama AKBP Brotoseno, dikhawatirkan melanggar asas hukum umum menganai salah satunya ialah asas legalitas yang sudah lama dikenal dalam hukum pidana (nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali)—kekhawatiran mana menurut penulis tidaklah relevan, mengingat putusan sidang majelis etik tersebut bersifat keputusan tata usaha negara, rezim hukum hukum administrasi negara, bukan rezim hukum pidana.

Mereka yang menentang langkah Peninjauan Kembali terhadap putusan etik AKBP Brotoseno, menilai bahwa telah terjadi pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD RI 1945, yang menegaskan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28 I Ayat ke-1 UUD 1945). Para pengamat tersebut juga merujuk “asas non-retroaktif” yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur : “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.”

Pengamat tersebut secara tidak sesuai konteksnya menyebutkan pula, pemberlakuan secara “surut” dapat dibenarkan bilamana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP, yang mengatur “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan.” Kasus putusan sidang etik Brotoseno, merupakan rezim “hukum administrasi negara”, bukan terkait norma sanksi hukum pidana dimana putusan tindak pidana kolusi Brotoseno telah berkekuatan hukum tetap dan ia telah menjalani masa hukuman penjara, dua stelsel hukum yang saling berdiri sendiri dan terpisah. Sehingga, kita perlu memilah antara “pemecatan” dan “pemidanaan penjara”. Norma hukum pidana memang tidak dapat berlaku secara surut, namun tidak dengan norma hukum administrasi negara.

Salah kaprah juga kita jumpai pada sikap Indonesian Police Watch, yang dalam berbagai kesempatan mempublikasikan tajuk “IPW Sebut Revisi Perkap yang Disahkan Kapolri Tidak Bisa Jadi Dasar AKBP Brotoseno Kembali Disidang”, dengan argumentasi yang tidak sesuai konteksnya, dimana Indonesia Police Watch (IPW) menilai Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak bisa menjadi dasar peninjauan kembali hasil sidang etik AKBP Brotoseno. Adapun Kapolri baru mengesahkan revisi Perkap tersebut pada 14 Juni 2022 lalu, dalam rangka menjadi dasar hukum untuk melakukan upaya Peninjauan Kembali terhadap sidang etik AKBP Brotoseno.

Perkap nomor 7 tahun 2022 tentang revisi perkap nomor 14 tahun 2011 tentang Kode etik Polri tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan peninjauan atas putusan sidang kode etik Brotoseno karena terdapat prinsip hukum non retroaktif,” papar Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, kepada sejumlah media. Sugeng menuturkan AKBP Brotoseno tidak bisa lagi diproses sidang etik ulang karena keputusan sidang tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Menurutnya, Perkap tersesbut barulah dapat diberlakukan terhadap pelanggaran yang akan dilakukan anggota POLRI ke depannya.

Dengan demikian, Indonesian Police Watch berpendirian, secara reaktif pihak POLRI menerbitkan peraturan baru berupa Peraturan Kepala Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Polisi yang mengakomodir kemungkinan upaya Peninjauan Kembali terhadap putusan sidang Komisi Etik Profesi Kepolisian, namun peraturan terbaru tidak dapat diberlakukan secara surut karena melanggar asas non-retroaktif yang merupakan asas hukum universal. Pertanyaan kita bersama ialah, apakah asas demikian adalah mutlak dan membuta adanya? Secara teori “tekstual book” mungkin iya, namun tidak secara falsafah yang lebih mengedepankan pendekatan “kontektual”.

Untuk itu, penulis hendak meluruskan perspektif yang belum seutuhnya tepat secara normatif demikian. Sepanjang negara telah menerbitkan Undang-Undang yang memungkinkan suatu peraturan ataupun kebijakan diberlakukan secara surut, maka menerapkannya tidaklah dapat disebut sebagai merusak kepastian hukum, mengingat hukum telah mengakomodirnya dengan memberi ruang untuk itu, sehingga masih dalam konteks “koridor hukum” alias tidak menabrak ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Brotoseno tidak akan dibenarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sekalipun menggugat surat keputusan tata usaha negara yang memberhentikannya secara tidak hormat, karena hukum adalah sebuah “sistem” yang saling berkelindan antar norma hukum, salah satu titik persinggungan dengan ketentuan berikut:

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 30 TAHUN 2014

TENTANG

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Pasal 58

(1) Setiap Keputusan harus mencantumkan batas waktu mulai dan berakhirnya Keputusan, kecuali yang ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Batas waktu berlakunya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Keputusan dan/atau dalam Keputusan itu sendiri.

(3) Dalam hal batas waktu keberlakuan suatu Keputusan jatuh pada hari Minggu atau hari libur nasional, batas waktu tersebut jatuh pada hari kerja berikutnya.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku jika kepada pihak yang berkepentingan telah ditetapkan batas waktu tertentu dan tidak dapat diundurkan.

(5) Batas waktu yang telah ditetapkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam suatu Keputusan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau terabaikannya hak Warga Masyarakat.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.