Hukum memang Tidak Berlaku Surut, namun Hukum juga Sarat Pengecualian, Akal Sehat menjadi Penentunya
Retroaktif Tidaklah Tabu, namun dapat Diberlakukan
secara Limitatif dalam Koridor yang Dimungkinkan oleh Hukum
Asas Non-Retroaktif Tidaklah Absolut, Terutama
Konteks Tata Usaha Negara, Kebijakan Boleh Diberlakukan secara Surut
(Retroaktif) jika Lebih Berfaedah (Asas Kemanfaatan)
Question: Kebijakan maupun peraturan yang baru yang lebih sempurna pengaturannya, diterbitkan oleh pemerintah untuk menutup berbagai celah hukum yang terbuka kemungkinannya oleh peraturan lama yang sebelumnya berlaku. Pertanyaannya, bisakah peraturan yang baru diberlakukan secara surut untuk memperbaiki permasalahan hukum yang timbul akibat keberlakuan peraturan lama yang belum sempurna? Singkatnya, apakah memang peraturan tidak bisa diberlakukan secara surut ke-belakang (retroaktif), apapun alasannya, sekalipun peraturan yang lampau cukup fatal sehingga membuka ruang “moral hazard”?
Brief Answer: Betul bahwa asas non-retroaktif bersifat
universal, dalam artian setiap negara dengan tipe “negara hukum”, akan melarang
keberlakuan surut suatu peraturan perundang-undangan yang baru dibentuk dan
disahkan untuk mengadili ataupun mengeksekusi kejadian-kejadian hukum yang
terjadi sebelum disahkannya peraturan terbaru dimaksud. Namun, sifat asas
non-retroatif tidaklah semutlak itu, terutama dalam konteks tata usaha negara,
dimana Undang-Undang pada suatu negara dapat saja dan dimungkinkan untuk
memberlakukan surut suatu kebijakan ataupun peraturan.
Contoh paling aktual lainnya, berdasarkan Pasal
1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa ketika perjanjian
dibatalkan oleh pengadilan, maka akibat hukumnya ialah segala sesuatu kembali
seperti ke keadaan semula. Begitupula terhadap perjanjian-perjanjian yang
bersifat “bersyarat batal”, dimana para pihak sepakat mengikatkan diri dalam
suatu perikatan perdata, namun disertai suatu klausula yang mengatur “syarat
batal”—yang bermakna bilamana kondisi sebagaimana dipersyaratkan tersebut
benar-benar terjadi dikemudian hari, maka perjanjian diantara para pihak
menjadi batal sebagai akibatnya.
Tanpa kita sadari, keseharian berhukum kita
sangat lekat dengan peristiwa hukum dimana suatu peraturan perundang-undangan
diberlakukan secara surut. Sebagai contoh, sebuah buku dengan Hak Cipta
diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang tentang Hak Cipta terbaru dibentuk dan
sekalipun kejadian pelanggaran terjadi saat Undang-Undang terbaru telah
dibentuk, maka terhadap pelaku pelanggar Hak Cipta buku dimaksud, tetap saja
pelakunya akan dipidana berdasarkan ketentuan pada Undang-Undang Hak Cipta
terbaru sekalipun buku tersebut diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang Hak
Cipta terbaru diterbitkan oleh negara.
PEMBAHASAN:
Retroaktif dan non-retroaktif,
merupakan dua kutub ekstrem yang saling bertolak-belakang. Namun tetap saja,
sifat keduanya ialah sama-sama ekstrem. Sehingga, praktik berhukum yang paling
ideal ialah sikap moderat, dalam artian untuk koridor tertentu, semestinya ada
peraturan-peraturan yang bisa diberlakukan secara surut (secara “limited”) demi asas “kemanfaatan yang
lebih besar”. Untuk itu, pemerintah selaku otoritas negara dapat membuat
legitimasi bagi ruang berlakunya retroaktif suatu peraturan
perundang-undangan—dengan rambu-rambu dan limitasi atau batasan tertentu secara
jelas dan terukur, tentunya, membentuk apa yang kita kenal sebagai “koridor
hukum”—sehingga ketika suatu norma hukum atau peraturan diberlakukan secara
surut, tidak lagi mengundang kontroversi dengan tudingan telah melanggar
“kepastian hukum” ataupun asas-asas hukum umum bangsa beradab.
Perhatikan kedua konsepsi yang
tampak bertolak-belakang berikut ini. Pembatalan perkawinan merupakan
tindakan pengadilan yang berupa putusan yang menyatakan perkawinan yang
dilakukan itu dinyatakan tidak sah, sehingga perkawinan dianggap tidak pernah
ada, yang artinya kebatalan berlaku secara surut. Pembatalan perkawinan berbeda
dengan perceraian, dimana perceraian merupakan pembubaran perkawinan
yang sah dari perkawinan yang telah terjadi, baik atas persetujuan bersama atau
atas permintaan satu pihak, namun sifatnya tidak berlaku secara surut—“terminated”, bukan “annulment”.
Dalam konteks pembatalan
perkawinan, perkawinan telah terjadi, namun di kemudian hari diketahui
bahwa terdapat kekurangan-kekurangan yang menyangkut persyaratan perkawinan yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yang telah ternyata tidak
dipenuhi oleh dilanggar oleh satu atau dua mempelai, sebagai contoh belum cakap
hukum umur pernikahan salah satu mempelai, sebagaimana disyaratkan oleh
Undang-Undang tentang Perkawinan, namun saling menikah tanpa dispensasi oleh
penetapan pengadilan dan tanpa seizin walinya.
Sama seperti perbedaan konsepsi
antara pembatalan (annulment) dan
penghentian atau pengakhiran (termination)
dalam konteks perjanjian kontraktual keperdataan, konsekuensi yuridis antara keduanya
saling berbeda satu sama lainnya. Dalam peristiwa kebatalan, segala sesuatu
kembali seperti keadaan semula, seperti ketika perikatan atau perbuatan itu
belum pernah terjadi, semisal penjual diwajibkan mengembalikan uang yang
dibayarkan pembeli dan pembeli diwajibkan untuk menyerahkan kembali barang yang
dibeli olehnya—tidak lain tidak bukan ialah berlaku secara surut (lebih
jelasnya lihat ketentuan normatifnya dalam Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
Cobalah Anda cari dan buku
buku-buku lama koleksi Anda di rak buku atau di gudang, kemungkinan besar halaman
awal buku lama Anda mencantumkan ancaman bagi yang melanggar Hak Cipta milik
pihak penerbit / penulis buku, masih merujuk pasal dan Undang-Undang yang lama
tentang Hak Cipta. Ketika saat kini Anda melanggar ancaman sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang terbaru tentang Hak Cipta, maka Anda
akan dijerat oleh pasal dari Undang-Undang Hak Cipta yang terbaru, bukan
Undang-Undang Hak Cipta versi yang lama sekalipun Undang-Undang yang lama
tersebut yang tercantum dalam buku Anda tersebut.
Ambigu atau kerancuan terjadi
ketika kita bertanya, sekadar sebagai contoh, Undang-Undang Hak Cipta yang lama
mengatur bahwa Hak Cipta dilindungi oleh negara untuk selama 50 tahun. Lantas,
Undang-Undang Hak Cipta yang baru mengatur dan mengubahnya menjadi perlindungan
selama 60 tahun. Pertanyaannya, ketika umur buku tersebut telah genap mencapai
usia 50 tahun, maka apakah artinya Hak Cipta buku tersebut telah kadaluarsa
sesuai ketentuan Undang-Undang Hak Cipta lama yang berlaku saat buku tersebut
diterbitkan, ataukah masih tersisa 10 tahun kedepan sebagaimana diatur oleh
Undang-Undang Hak Cipta yang baru?
Katakanlah buku tersebut
kemudian dicetak ulang, maka ancaman bagi pelanggar Hak Cipta yang dicantum
dalam halaman awal buku, menggunakan dasar hukum rujukan Undang-Undang Hak
Cipta yang lama ataukah yang baru? Ketidakjelasan serta ketidakpastian hukum
terjadi pula dalam konteks bidang hukum lainnya, semisal seseorang telah
bekerja selama 30 tahun lamanya, dan akan mendekati masa usia pensiun.
Undang-Undang Ketenagakerjaan, sekadar sebagai contoh, mengatur hak pensiun
yang akan diterima oleh sang pekerja ialah berupa pesangon dengan upah sebesar
20 kali besaran nominal upah bulanan yang terakhir kali ia terima. Namun,
ketentuan perihal besaran pesangon diubah oleh Undang-Undang yang terbaru,
tepat sebelum sang pekerja akan memasuki usia pensiun, menjadi hanya sebesar 10
kali upah bulanan, dan ketentuan yang terbaru itulah yang berlaku baginya
ketika menuntut upah pesangon saat pensiun—tidak lain tidak bukan, berlaku
surut, retroaktif secara “terselubung”.
Bila kita konsisten terhadap
adagium hukum bahwa hukum tidak boleh diberlakukan secara surut, alias
“non-retroaktif” atau “larangan retroaktif” sebagai asas universal, namun tanpa
kita sadari banyak sendi kehidupan hukum kita diberlakukan secara surut oleh
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru saja diterbitkan oleh
negara, kita sadari maupun tidak kita sadari dan sekedar “ikut arus” (common practice). Contoh ilustrasi
sempurnanya ialah kasus polisi bernama Brotoseno yang sempat menyedot perhatian
publik pada tahun 2022.
Alih-alih diberhentikan, eks
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu justru kembali bekerja di POLRI,
sekalipun Brotoseno telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana kolusi berupa menerima suap dan telah dihukum selama lima tahun penjara.
Kembalinya yang bersangkutan menjadi bagian dari korps anggota Kepolisian aktif
pada Bareskrim POLRI paska menjalani masa hukuman penjara—alih-alih
dipecat—membuat institusi kepolisian mendapat kritik dari publik.
Sekalipun, Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia
(PP 1/2003) telah mengatur bahwa Anggota Polri “diberhentikan secara tidak
dengan hormat” apabila didapati dihukum pidana penjara berdasarkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak
dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian. Relevansi
terhadap kasus Brotoseno, syarat pertma telah terpenuhi, yakni putusan vonis
berupa hukuman lima tahun penjara terhadap yang bersangkutan. Sedangkan satu
syarat lainnya atau yang kerap disebut sebagai sidang kode etik, mestinya
langsung memberhentikan Brotoseno karena ia melakukan kejahatan dalam jabatan
dan telah dibuktikan saat proses persidangan.
Yang unik dan yang melukai
nurani masyarakat, sidang etik terhadap Brotoseno jusru meloloskannya dengan
argumentasi yang dinilai mengada-ngada. Berdasarkan pengakuan Kepala Divisi
Profesi dan Keamanan (Kadiv Propam), Irjen Pol Ferdy Sambo—beliau tidak lama
kemudian dipidana karena melakukan skandal aksi pembunuhan berencana terhadap
anggota kepolisian dalam institusinya, sehingga sesama penjahat adalah lumrah
bila saling melindungi serta saling berkompromi—terdapat sejumlah alasan
terkait keaktifan kembali Brotoseno di POLRI.
Kedua, Kadiv Propam juga
mengutarakan perihal perilaku Brotoseno yang dinilai baik saat menjalani masa
pemidanaan di lembaga pemasyarakatan. Sekalipun, sudah menjadi pemahaman umum
dan kewajiban bagi seorang terpidana untuk berkelakuan baik selama menjalani
pemidanaan demi mendapatkan pembebasan bersyarat serta dalam rangka remisi. Ketiga,
Brotoseno dinilai berprestasi selama menjalankan dinas di kepolisian. Ini pun
janggal, sebab, bagaimana mungkin seseorang yang menggunakan jabatannya untuk
meraup keuntungan secara melawan hukum (kolusi) justru dianggap berprestasi,
bukankah perbuatan itu justru merendahkan marwah institusi POLRI sendiri?
Mengapa POLRI bersikap
kompromistis terhadap anggotanya yang menjelma kriminil daripada terhadap
kriminal yang non-anggota? Kolusi, merupakan tindak pidana yang bersifat
pelanggaran berat serta disengaja untuk kepentingan pribadi sang pelaku, bukan
kejahatan karena kelalaian. Keempat, disebutkan adanya surat pertimbangan dari
atasan Brotoseno bahwa yang bersangkutan layak untuk dipertahankan sebagai
anggota Polri. Dalam kaitan ini, Kadiv Propam harus menyampaikan secara
transparan, siapa sebenarnya sang atasan tersebut, dan mengapa sang atasan
tidak mendidik ataupun tidak memberi teladan baik berupa ketegasan sikap “no excuse” bagi aksi-aksi tercela
semacam korupsi maupun kolusi?
Polisi, yang memonopolistik
penegakan hukum pidana, haruslah paling ditabu dan dipantang untuk
menyalah-gunakan wewenang dan melanggar apa yang menjadi “sumpah jabatan”
ataupun melalaikan tugas, peran, dan tanggung-jawabnya. Perlu kita ingat,
preman pasar pelaku aksi kejahatan, tidak disumpah untuk menegakkan hukum dan
kebenaran, namun anggota kepolisian disumpah untuk itu dan telah ternyata
melanggarnya secara disengaja, sehingga sama artinya mengangkangi hukum dan
konstitusi. Mengambil untung dengan menjual-belikan hukum dan menyalah-gunakan
jabatan ataupun kewenangannya dengan menegakkan hukum secara “tebang pilih”,
sama artinya melukai rakyat, alias kejahatan terhadap rakyat semesta. Pihak “atasan”
yang memberikan rekomendasi positif terhadap Brotoseno, mestinya juga ditindak
atau setidaknya diperiksa, perihal motif dan tujuannya mempertahankan
Brotoseno. [NOTE Penulis : JIka saja Kapolri bersikap tegas dengan mencopot
Kadiv Propam tersebut yang justru melindungi kriminil, maka kasus tewasnya
“Brigadir Joshua” akibat skandal sang Kadiv Propam beberapa bulan berselang,
tidak akan terjadi.]
Dalam pemberitaan per tanggal
17 November 2021, Indonesian Corruption Watch menemukan pernyataan dari Kadiv
Propam yang menegaskan komitmennya untuk menindak oknum polisi bermasalah.
Namun bagaimana mungkin, polisi yang bermasalah hendak menindak anggota polisi
yang bermasalah lainnya, dimana bahkan menjadi teladan yang buruk bagi bawahan
dan anggotanya? Faktanya, ungkapan-ungkapan itu hanya ilusi semata dan sekadar
janji manis pemberantasan korupsi yang tidak terbukti, bahkan terbukti
sebaliknya.
Karena viral oleh sebab serta
desakan publik, berlanjut pada episode dengan tajuk “Peninjauan Kembali Sidang
Etik AKBP Brotoseno”, POLRI menyatakan
bahwa sudah ada hasil sidang Komisi Kode Etik Polri Peninjauan Kembali (KKEP
PK) AKBP Brotoseno, dengan agenda untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan
kode etik sang kolutor yang sudah diketuk tahun 2020 lalu. POLRI kemudian resmi
memecat dan memberhentikan tidak dengan hormat terhadap Ajun Komisaris Besar
Polisi Brotoseno dari institusi keplisian, dalam forum sidang KKEP PK pada
tanggal 8 Juli 2022.
KKEP PK merupakan mekanisme
hukum yang baru dikenal dalam Peraturan Kapolri tahun 2022 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian. Dalam Pasal 83 Ayat (1) mengatur : “Kapolri berwenang melakukan Peninjauan Kembali atas putusan KKEP atau
putusan KKEP banding yang telah final dan mengikat.” Selengkapnya dengan
kutipan peraturan yang baru diterbitkan pada tahun 2022 dimaksud, terkandung
pasal berisi akrobatik norma hukum yang menyusupkan kemungkinan “retroaktif”,
sebagai berikut:
BAB VI
KKEP PENINJAUAN KEMBALI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 83
(1) Kapolri berwenang melakukan peninjauan kembali atas putusan KKEP atau
putusan KKEP Banding yang telah final dan mengikat.
(2) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
apabila:
a. dalam putusan KKEP atau KKEP Banding terdapat suatu kekeliruan;
dan/atau
b. ditemukan alat bukti yang belum diperiksa pada saat Sidang KKEP atau
KKEP Banding.
(3) Peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun
sejak putusan KKEP atau putusan KKEP Banding.
Peninjauan Kembali terhadap
putusan sidang komisi etik atas nama Brotoseno, menuai tanggapan netizen berupa
keheranan, antara lain : “Lha apa bisa
ya, putusan sidang etik sebelum munculnya Perkap 7/2022 di-PK saat sekarang?”, ataupun tanggapan seperti “Sesuai asas non retroaktif, aturan sekarang
tidak bisa untuk menjerat kasus yang lampau atau lalu.” Dengan mendalilkan “POLRI
memperhatikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat, dibentuklah mekanisme
peninjauan kembali terhadap putusan-putusan yang dikeluarkan kembali oleh
sidang komisi kode etik”, meski dinilai menabrak asas-asas hukum umum dengan
merumuskan norma Peninjauan Kembali yang sebelumnya belum diatur dalam Perkap,
terhadap putusan komisi etik anggota kepolisian yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Ketika AKBP Brotoseno
diberhentikan dari keanggotaan POLRI, yang bersangkutan berpotensi melakukan
upaya hukum banding bahkan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas
keputuan pemberhentiannya sebagai anggota POLRI. Sejumlah kalangan menilai, Peninjauan
Kembali yang diterapkan dalam putusan etik atas nama AKBP Brotoseno,
dikhawatirkan melanggar asas hukum umum menganai salah satunya ialah asas
legalitas yang sudah lama dikenal dalam hukum pidana (nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali)—kekhawatiran
mana menurut penulis tidaklah relevan, mengingat putusan sidang majelis etik
tersebut bersifat keputusan tata usaha negara, rezim hukum hukum administrasi
negara, bukan rezim hukum pidana.
Mereka yang menentang langkah Peninjauan
Kembali terhadap putusan etik AKBP Brotoseno, menilai bahwa telah terjadi
pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam
konstitusi UUD RI 1945, yang menegaskan bahwa hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28 I Ayat ke-1 UUD 1945). Para pengamat
tersebut juga merujuk “asas non-retroaktif” yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur : “Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.”
Pengamat tersebut secara tidak
sesuai konteksnya menyebutkan pula, pemberlakuan secara “surut” dapat
dibenarkan bilamana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP, yang mengatur
“Bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan.” Kasus putusan sidang etik
Brotoseno, merupakan rezim “hukum administrasi negara”, bukan terkait norma
sanksi hukum pidana dimana putusan tindak pidana kolusi Brotoseno telah
berkekuatan hukum tetap dan ia telah menjalani masa hukuman penjara, dua
stelsel hukum yang saling berdiri sendiri dan terpisah. Sehingga, kita perlu
memilah antara “pemecatan” dan “pemidanaan penjara”. Norma hukum pidana memang
tidak dapat berlaku secara surut, namun tidak dengan norma hukum administrasi
negara.
Salah kaprah juga kita jumpai
pada sikap Indonesian Police Watch, yang dalam berbagai kesempatan
mempublikasikan tajuk “IPW Sebut Revisi Perkap yang Disahkan Kapolri Tidak Bisa
Jadi Dasar AKBP Brotoseno Kembali Disidang”, dengan argumentasi yang tidak
sesuai konteksnya, dimana Indonesia Police Watch (IPW) menilai Peraturan
Kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode
Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak bisa menjadi dasar peninjauan
kembali hasil sidang etik AKBP Brotoseno. Adapun Kapolri baru mengesahkan
revisi Perkap tersebut pada 14 Juni 2022 lalu, dalam rangka menjadi dasar hukum
untuk melakukan upaya Peninjauan Kembali terhadap sidang etik AKBP Brotoseno.
“Perkap nomor 7 tahun 2022 tentang revisi perkap nomor 14 tahun 2011
tentang Kode etik Polri tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan peninjauan
atas putusan sidang kode etik Brotoseno karena terdapat prinsip hukum non
retroaktif,” papar Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, kepada sejumlah
media. Sugeng menuturkan AKBP Brotoseno tidak bisa lagi diproses sidang etik
ulang karena keputusan sidang tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Menurutnya,
Perkap tersesbut barulah dapat diberlakukan terhadap pelanggaran yang akan
dilakukan anggota POLRI ke depannya.
Dengan demikian, Indonesian
Police Watch berpendirian, secara reaktif pihak POLRI menerbitkan peraturan
baru berupa Peraturan Kepala Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Polisi
yang mengakomodir kemungkinan upaya Peninjauan Kembali terhadap putusan sidang
Komisi Etik Profesi Kepolisian, namun peraturan terbaru tidak dapat diberlakukan
secara surut karena melanggar asas non-retroaktif yang merupakan asas hukum
universal. Pertanyaan kita bersama ialah, apakah asas demikian adalah mutlak
dan membuta adanya? Secara teori “tekstual book” mungkin iya, namun tidak
secara falsafah yang lebih mengedepankan pendekatan “kontektual”.
Untuk itu, penulis hendak
meluruskan perspektif yang belum seutuhnya tepat secara normatif demikian.
Sepanjang negara telah menerbitkan Undang-Undang yang memungkinkan suatu
peraturan ataupun kebijakan diberlakukan secara surut, maka menerapkannya
tidaklah dapat disebut sebagai merusak kepastian hukum, mengingat hukum telah
mengakomodirnya dengan memberi ruang untuk itu, sehingga masih dalam konteks
“koridor hukum” alias tidak menabrak ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Brotoseno tidak akan dibenarkan
oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sekalipun menggugat surat keputusan tata
usaha negara yang memberhentikannya secara tidak hormat, karena hukum adalah
sebuah “sistem” yang saling berkelindan antar norma hukum, salah satu titik
persinggungan dengan ketentuan berikut:
UNDANG–UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30
TAHUN 2014
TENTANG
ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
Pasal 58
(1) Setiap Keputusan harus mencantumkan batas waktu mulai dan berakhirnya
Keputusan, kecuali yang ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Batas waktu berlakunya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
Keputusan dan/atau dalam Keputusan itu sendiri.
(3) Dalam hal batas waktu keberlakuan suatu Keputusan jatuh pada hari
Minggu atau hari libur nasional, batas waktu tersebut jatuh pada hari kerja
berikutnya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku jika
kepada pihak yang berkepentingan telah ditetapkan batas waktu tertentu dan
tidak dapat diundurkan.
(5) Batas waktu yang telah ditetapkan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam suatu Keputusan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali untuk
menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau terabaikannya hak Warga
Masyarakat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.