Contract in Abstracto Vs. Contract in Concreto, Klausula dalam Perjanjian yang Disimpangi secara Diam-Diam oleh Salah Satu atau Kedua Belah Pihak

Law in Abstracto Vs. Law Concreto, Norma Hukum yang secara Diam-Diam Tidak Diberlakukan

Mengubah / Menyimpangi Isi Surat Perjanjian secara Diam-Diam, namun Minus Konsistensi, Potensi Sengketa Hukum menjadi Resiko Dikemudian Hari

Question: Apa ada resikonya, bila terhadap suatu surat perjanjian, kedua belah pihak cukup simpangi sebagian isinya dengan membiarkan pihak yang satu untuk menyimpangi satu atau lebih pasal-pasal di dalam kontrak? Kami berbaik hati menganggapnya sebagai “toleransi”. Pertanyaannya ialah, apakah mungkin kebaikan kami yang memberi “toleransi” demikian, dapat berbalik menjadi bumerang bagi kepentingan hukum kami itu sendiri dikemudian hari?

Brief Answer: Sama seperti asas-asas pemerintah yang baik (good governance), untuk merubah suatu sendi-sendi pemerintahan maka harus terlebih dahulu direvisi atau diubah dasar hukum pembentukan ataupun operasional lembaga pemerintahan dimaksud, agar tercipta “kepastian hukum”. Tujuan atau falsafah dibalik nilai pentingnya “kepastian hukum”, ialah dalam rangka memitigasi terciptanya konflik sosial maupun sengketa hukum, dimana tanpa “kepastian hukum” maka tiada “keadilan hukum”.

Karenanya, untuk mengubah implementasi suatu kesepakatan atau perikatan perdata, dalam konkret realisasinya, hendaknya tidak dilakukan secara “diam-diam” (implisit atau tersirat), namun secara eksplisit atau tersurat dengan cara merevisi, novasi, reconditioning, ataupun melakukan “addendum” perubahan terhadap surat perjanjian yang ada, atau setidaknya harus sesegera mungkin disepakati “addendum” tertulis yang mengubah beberapa atau lebih klausul-klausul di dalam kontrak antar para pihak. Dalam beragam kasus, perubahan isi perikatan perdata secara “diam-diam” alias secara implisit, telah ternyata memicu terbentuknya sengketa hukum antara kedua belah pihak—sengketa hukum mana, sejatinya tidak perlu terjadi bila kedua belah pihak mampu menyadari potensi resiko dibaliknya.

Alternatif sikap kedua, ialah salah satu pihak menyatakan bahwa “pembiaran” terhadap pihak lainnya yang menyimpangi satu atau sebagian dari pasal-pasal dalam surat perjanjian, merupakan sebuah “toleransi” yang bersifat terbatas, dimana pilihannya bagi pihak pertama ialah terus membiarkan dan memberi “toleransi” serupa dengan konsekuensi yuridis telah terjadi “perubahan isi kontrak secara diam-diam”, atau memberi surat teguran berisi peringatan bahwa “toleransi demikian tidaklah dapat diartikan merubah isi kontrak secara diam-diam”.

Ketika opsi alternatif kedua tersebut yang dipilih oleh masing-masing pihak, maka langkah selanjutnya ialah harus konsisten terhadap “contract in concreto”, alias kontrak yang secara real dijalankan selama ini—alias telah menjelma “hukum kebiasaan” diantara kedua belah pihak yang saling mengikatkan diri demikian, tidak terkecuali terhadap segala penyimpangan-penyimpangannya—dan tidak lagi dapat dibenarkan secara “berstandar ganda” secara ambigu masih merujuk pada satu, sebagian, atau beberapa pasal dalam surat perjanjian awal (“contract in abstracto”) yang sebelum ini telah pernah dibiarkan untuk disimpangi oleh pihak lainnya, baik dengan atau tanpa izin dari pihak pertama.

PEMBAHASAN:

Dalam praktik, terdapat beragam contoh pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang menurut sifatnya, tidak dapat diaplikasikan, alias menjadi “pasal-pasal ompong”. Itulah yang dimaksud sebagai “law in abstracto”, alias bunyi Undang-Undang yang tertuang “di atas kertas”. Namun, “hitam di atas putih” demikian tidak identik dengan praktik di lapangan, dimana “law in concreto”-nya bisa jadi secara diam-diam suatu pasal peraturan perundang-undangan demikian tidak secara efektif diberlakukan karena satu faktor atau lebih. Kemungkinan kedua, adanya “hukum kebiasaan” yang hidup ditengah-tengah masyarakat, turut berkontribusi terhadap “law in concreto”, sekalipun hukum tertulis yang diterbikan oleh negara tidak mengaturnya.

Salah satu contoh “hukum kebiasaan” dalam praktik di ruang peradilan (best practice), bernama “preseden” atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah sebagai “yurisprudensi”. Pendirian hakim pemeriksa dan pemutus perkara, yang menilai bahwa dalam kasus-kasus tertentu, secara kasuistik, dapat dibenarkan untuk “menyimpangi” aturan hukum tertulis, dengan pertimbangan demi kepentingan umum ataupun bilamana dinilai akan lebih besar mudarat daripada manfaatnya bila diterapkan, maka itulah yang dalam terminologi ilmu hukum dikenal dengan istilah “contra legem”—alias “law in concreto” itu sendiri.

Dengan bahasa lebih mudahnya, segala jenis “preseden” (judge made law), yang bersifat kasuistik terkait karakteristik perkara yang unik, merupakan aplikasi semangat “law in concreto”. Contoh aplikasi lainnya dari prinsip perihal “law in concreto”, ialah kerapnya Mahkamah Agung RI dalam memutus suatu perkara di tingkat kasasi, secara terang-terangan menyatakan menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi RI, yang dinilai oleh para Hakim Agung pemeriksa dan pemutus perkara sebagai tidak aplikatif, dimana kemudian Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat “law in abstracto” sementara itu putusan Mahkamah Agung RI bersifat “law in concreto”.

Seakan-akan dengan menyatakan demikian, lembaga Mahkamah Agung RI yang menjadi pucuk Lembaga Yudikatif dibebaskan untuk membantah, memungkiri, membangkang, memberontak, dan “mengangkangi” norma peraturan perundang-undangan maupun putusan Mahkamah Konstitusi RI—sementara itu pun Mahkamah Konstitusi RI kerap menyimpangi putusan-putusannya sendiri sebagai contoh dalam uji materiil undang-undang terkait importasi ternak dari negara terjangkit penyakit hewan, semula Mahkamah Konstitusi RI memutus “maximum security” namun kemudian disimpangi secara tidak konsisten menjelma “relative security” (putusan “sponsored” hasil jual-beli putusan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang menerima suap dari importir ternak).

Bahasan di atas, konteksnya ialah hukum bentukan negara yang bersifat “erga omnes”, berlaku secara meluas bagi umum. Sementara itu bila konteksnya ialah perikatan privat keperdataan, penulis memperkenalkan istilah baru, yakni “contract in abstracto” yang berhadap-hadapan dengan “contract in concreto”. Perihal “contract in concreto”, sebenarnya sudah lama mewarnai praktik di persidangan, bahkan diakui pula peluang terjadinya demikian oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Antara apa yang tertulis di kontrak, bisa jadi dalam real-nya disimpangi atau diubah oleh para pihak yang saling mengikatkan diri dalam kontrak, secara “DIAM-DIAM”.

Salah satu pengakuan atau kemungkinan demikian, yakni “agreement by conduct” (maupun “revised by conduct”) alias “persetujuan secara diam-diam” (dalam hal ini, ialah perbuatan berupa “mendiamkan”), juga ketika kita merujuk ketentuan Pasal 1347 KUHPerdata yang mengatur semangat senada : “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.” Alhasil, kemungkinan terbentuknya “contract in concreto” dalam pengejawantahannya, dapat berupa kemungkinan-kemungkinan dengan variasi sebagai berikut:

1.) Perikatan perdata kontraktual, alias kesepakatan dan perjanjian, dibentuk dan disepakati secara “diam-diam”;

2.) Perikatan perdata dalam suatu surat perjanjian tertulis, dalam konkret aplikasinya disimpangi oleh salah satu ataupun kedua belah pihak secara “konsensus lisan” (adanya permohonan izin oleh satu pihak dan diberi izin secara lisan oleh pihak lainnya untuk menyimpangi satu atau lebih klausula dalam perjanjian);

3.) Surat perjanjian yang “tipis”, hanya mengatur hal-hal yang esensial, sementara itu selebihnya terhadap para pihak berlaku ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”;

4.) Substansi perikatan perdata di dalam kontrak, di-revisi atau diubah secara “diam-diam” oleh kedua belah pihak yang tidak mempermasalahkan ketika salah stau kedua belah pihak berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, ataupun menyerahkan sesuatu (ber-prestasi) secara berbeda dari apa yang diatur dan telah pernah mereka sepakati dalam kontrak atau bahkan tidak ber-prestasi sama sekali sesuai kontrak;

5.) Perikatan perdata diakhiri atau dibubarkan secara “diam-diam” oleh salah satu maupun kedua belah pihak.

Uraian dan rincian kemungkinan di atas mengindikasikan, suatu perjanjian dalam kontrak pun bisa diubah secara “DIAM-DIAM” dalam real / konkret aplikasinya secara konkret di lapangan oleh para pihak—biasanya berupa pembiaran, toleransi yang di-baku-kan, maupun sepakat di-revisi sebatas secara lisan oleh kedua belah pihak, maupun lain penyebab lainnya. Terminologi “secara diam diam”, dalam bahasa lainnya ialah “stilzwijgend”, “implied”, atau “tacitly”, sehingga sejatinya bukanlah hal yang asing dalam dunia bisnis, dunia sosial, maupun dunia hukum, bahkan sudah lumrah dalam kehidupan sehari-hari.

Pernah terjadi, terdapat gugatan dari kalangan debitor yang cukup unik dan menarik untuk kita cermati. Isi Perjanjian Kredit (contract in abstracto), mengatur bahwa selama masa kredit, debitor wajib mengasuransikan agunan. Namun, dalam kenyataannya, yakni “contract in concreto”, pihak bank yang justru sejak awal masa kredit yang secara sepihak dan monopoli mengasuransikan agunan ke perusahaan asuransi (anak usaha milik bank), dengan membebankan biaya premi asuransi ke tagihan total hutang debitor setiap tahun berjalannya masa kredit yang saat sang debitor belum memasuki fase “macet”.

Pada suatu ketika, debitor masuk dalam kondisi “kredit macet”, sehingga fasilitas kredit modal kerja pun dinyatakan “terminate” atau diakhiri oleh pihak bank. Bank berasumsi, jika kredit telah menjelma “macet” dan fasilitas kredit dinyatakan diakhiri, maka agunan tidak lagi perlu diasuransikan. Namun, tidak lama kemudian, tanpa diduga, objek agunan berupa pabrik mengalami bencana kebakaran, dan ternyata agunan tersebut tidak lagi telah diasuransikan oleh pihak bank sehingga debitor pemilik agunan merasa dirugikan oleh kenyataan bahwa bank tidak lagi mengasuransikan agunan saat terjadinya bencana kebakaran, meski selama ini dan bahkan sejak awal masa kredit, pihak bank yang mengasuransikan objek agunan meski dengan beban biaya yang harus ditanggung oleh pihak debitor.

Debitor terdorong untuk berpikir dan berasumsi bahwa, sejak awal dan selama ini, “contract in concreto”, pihak bank yang aktif dan secara sepihak bahkan monopolistik mengasuransikan agunan ke anak usaha milik bank, atas biaya yang harus ditanggung pihak debitor. Sehingga, pihak debitor kemudian berasumsi, bahwa agunan masih dalam kondisi diasuransikan sekalipun sudah “macet” status kreditnya—itulah contoh paling nyata dan aktual, betapa berbahayanya “contract in abstracto” yang dibiarkan disimpangi tanpa membuat “addendum” terhadap isi kontrak Perjanjian Kredit-nya.

Dalam kasus di atas, terjadi konflik perspektif : Debitor berpegang pada dasar hukum berupa “contract in concreto”, sementara itu pihak kreditor berpendirian semata berpegang pada dasar hukum berupa “contract in abstracto”—karenanya, antara pihak debitor dan kreditor, tidak lagi “satu frekuensi”, seolah-olah terhadap “kontrak ganda” yang saling bertolak-belakang isinya. Bibit konflik, sejatinya telah lahir sejak ketika pihak bank itu sendiri yang secara “diam-diam” menyimpangi isi kontrak atau Perjanjian Kredit yang dibuat sendiri oleh pihak bank secara sepihak, sehingga terlembagakan atau terbakukan-lah perubahannya secara “diam-diam”, menjelma “contract in concreto” sebagai konsekuensi logis maupun konsekuensi yuridisnya.

Saat terjadi bencana kebakaran atas objek agunan, telah ternyata agunan tidak dilindungi asuransi apapun, dan debitor merasa telah dirugikan oleh bank yang selama ini telah merubah isi kontrak / Perjanjian Kredit secara “diam-diam” juga secara tidak konsisten, alias “contract in concreto”, namun ketika terjadi kebakaran terhadap objek agunan, pihak bank kemudian dengan mudah serta dengan “enteng”-nya lepas tangan dan lepas tanggung-jawab, dengan berdalih bahwa isi kontrak menyatakan itu kewajiban debitor untuk mengasuransikan agunan (“contract in abstracto”).

Dalam kasus nyata di atas, maupun kasus-kasus sejenis lainnya, pihak bank itu sendiri yang telah menerapkan kebijakan “standar ganda” dan tidak konsisten sehingga menjadi rancu bahwa yang berlaku ialah “contract in abstracto” ataukah “contract in concreto”? Itulah, yang SHIETRA & PARTNERS maksudkan dengan bahaya dibalik “penyimpangan dan revisi secara diam-diam”. Solusinya,  tetapkan dan tegaskan sesegera mungkin secara eksplisit, alih-alih implisit “diam-diam”.

Sebagai kesimpulan, sebuah kontrak atau bahkan Undang-Undang sekalipun, bukanlah “harga mati”, sebab mereka hanyalah sebentuk “contract in abstracto” maupun “law in abstracto”, yang masih terbuka peluang ataupun kemungkinan dalam real implementasinya justru disimpangi secara “diam-diam” menjelma “contract in concreto” serta “law in concreto”. Barulah salah dan keliru, ketika pihak yang menyimpangi secara diam-diam justru kemudian “berstandar ganda” dan tidak konsisten, maka dapat dipastikan bibit sengketa pun akan terpicu dan konflik tidak terelakkan. Ketika itu yang terjadi, maka pihak debitor yang kemudian paling dirugikan serta selalu diposisikan sebagi pihak yang merugi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.