KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Aturan Hukum Perlindungan Konsumen yang Perlu Diketahui Konsumen untuk Membentengi Diri dari Pelaku Usaha yang Tidak Bertangggung Jawab ataupun yang Beritikad Tidak Baik

Konsumen yang Cerdas Membekali Diri dengan Payung Hukum agar Berani Menuntut Apa yang memang menjadi Hak-Hak Konsumen

Sedia Payung Hukum ketika Menghadapi Penjual / Pelaku Usaha yang “Mau Untung Sendiri” dengan Merugikan Konsumennya

Question: Sebagai konsumen, aturan hukum apa yang harus kami pegang dan ketahui ketika berhadapan dengan penyedia barang yang melanggar hak-hak kami selaku konsumen? JIka kami mempersengketakan pihak penjual ke pengadilan, apakah akan sangat merepotkan pihak kami mengingat nilai kerugian yang kami derita selaku konsumen dikhawatirkan tidak sebanding dengan waktu maupun tenaga yang harus kami kerahkan untuk gugat-menggugat?

Brief Answer: Sengketa konsumen produk properti, biasanya dimulai dari keberadaan “klausula baku” yang diterapkan secara sepihak oleh pihak penjual, baik dalam formulir pemesanan, syarat dan ketentuan umum jual-beli, maupun Perpanjian Pengikatan Jual Beli, dan Akta Jual Beli—dimana biasanya lebih memberatkan pihak pembeli dimana pembeli diposisikan tidak punya daya tawar sama sekali selain “menerima semuanya” atau “menolak semuanya” (take it or leave it).

Adapun menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, “klausula baku” diartikan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Namun dalam praktik, ketika konsumen berhadapan dengan hegemoni entitas pelaku usaha berupa korporasi raksasa yang dominan posisi serta daya tawarnya, yang ada bukan lagi derajat “klausula baku”, namun “perjanjian / kontrak baku”, “formulir baku”, “syarat dan ketentuan umum baku”, “syarat dan ketentuan teknis baku”, dan lain sebagainya, secara sepihak.

Salah satu lembaga di luar pengadilan yang secara khusus menyelesaikan sengketa antara konsumen terhadap pelaku usaha, ialah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang beroperasi di setiap provinsi atau kota. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdapat pengaturannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan dimaknai sebagai badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dan berperan sebagai lembaga “quasi yudisial” secara arbitrase yang mana putusannya mengikat secara hukum bagi konsumen maupun pelaku usaha yang saling bersengketa. Upaya hukum terhadap putusan BPSK, hanyalah mengajukan “kasasi” ke Mahkamah Agung RI, sehingga dapat lebih efisien ketimbang mengajukan gugat-menggugat di Pengadilan Negeri.

Penyelesaian sengketa konsumen Vs. pelaku usaha di BPSK, menyerupai gugat-menggugat pada umumnya di pengadilan, namun yang menarik ialah dari sekian banyak putusan BPSK yang telah pernah SHIETRA & PARTNERS eksaminasi, sangat amat langka dapat kita jumpai putusan BPSK yang tidak mengabulkan gugatan konsumen terhadap pelaku usaha, sehingga bagi kalangan konsumen tentunya lebih diuntungkan posisi seorang konsumen produk barang ataupun jasa, karena semangat dibalik BPSK ialah perlindungan terhadap hak-hak konsumen ketika menghadapi pelaku usaha yang lebih dominan posisinya—dimana kita ketahui, “power tends to corrupt” sehingga semangat BPSK ialah untuk menyeimbangkan kedudukan kedua belah pihak. Akan tetapi, BPSK secara hukum tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara untuk sengketa hutang-piutang kredit perbankan maupun sengketa “leasing” (sewa guna usaha) lembaga pembiayaan.

PEMBAHASAN:

Pasal 9 Ayat (1) butir (k) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.” Ketentuan tersebut dapat diterapkan dalam kasus-kasus semacam produk properti yang ditawarkan oleh pihak developer kepada pembeli, dimana properti ditawarkan dan diperjual-belikan sekalipun fisik bangunan rumah belum benar-benar berdiri, alias masih sekadar “rumah contoh”, maket atau gambaran pada brosur iklan.

Pasal 8 Ayat (1) Huruf (f) Undang-Undang Perlindungan Konsumen : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.” Acapkali terjadi, konsumen produk properti merasa terkecoh oleh janji-janji yang ditawarkan oleh pihak sales atau petugas marketing, sehingga frasa “iklan” maupun “promosi penjualan” pada ketentuan di atas perlu diperluas makna dan penafsirannya baik promisi maupun iklan secara lisan maupun secara tertulis.

Namun, mengingat sifatnya yang sukar dibuktikan disamping fenomena “lidah tidak bertulang”, kalangan calon konsumen seyogianya menganggap bukanlah “janji” terhadap segala iming-iming ataupun janji-janji yang bersifat lisan semata. Kedua, ketika antara ketentuan tertulis bertolak-belakang ataupun “overlaping” terhadap apa yang dijanjikan atau diiming-imingi secara lisan, maka secara hukum yang berlaku ialah apa yang tertulis “hitam diatas putih”. Untuk itu, bila pelaku usaha penyedia barang / jasa tidak bersedia merevisi ketentuan tertulis-nya untuk disesuaikan atau disejalankan dengan “keterangan / janji lisan”-nya, maka calon konsumen perlu menyadari resiko / bahaya dibaliknya.

Pasal 1491 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):

Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”

Falsafah dibalik hukum perlindungan konsumen, “spirit” atau jiwa utama yang menjadi “jantung” dari urgensi perlindungan terhadap kalangan konsumen maupun calon konsumen, dapat kita temukan dalam Pasal 1504 KUHPerdata:

Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang,”

Kecuali, diperjanjikan sebaliknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1506 KUHPerdata:

“Ia (si penjual) diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah meminta diperjanjikan (dengan pembelinya) bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.”

Pasal 1507 KUHPerdata:

“Dalam hal-hal yang disebutkan dalam pasal 1504 dan 1506, si pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali harga pembeliannya, atau apakah ia akan tetap memiliki barangnya sambil menuntut pengembalian sebagian harta, sebagaimana akan ditentukan oleh Hakim, setelah mendengar ahli-ahli tentang itu.”

Penjual yang “nakal”, sekalipun telah mengetahui bahwa produk / jasa yang ia tawarkan adalah berbeda dari apa yang ia janjikan dalam iklan maupun tawaran, sehingga menimbulkan kerugian materiil maupun kecelakaan (sehingga mengeluarkan biaya pertolongan medik) terhadap konsumen pengguna barang / jasa, berlaku ketentuan Pasal 1508 KUHPerdata:

Jika si penjual telah mengetahui cacat-cacatnya barang, maka selain di wajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya, ia juga diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli.”

Sering terjadi, terutama dalam transaksi via “marketplace”, bilamana pihak “seller” menjual produk yang mengandung cacat, entah diketahui olehnya ataupun tidak, dan ketika pembeli hendak “retur” ataupun “menukar barang”, konsumen / pembeli harus menanggung biaya / ongkos kirim untuk “retur” ataupun “penukaran barang” dari kantung pribadi, biaya mana semestinya menjadi beban pihak penjual, common practice mana telah melanggar norma Pasal 1509 KUHPerdata:

Jika si penjual tidak telah mengetahui cacat-cacatnya barang maka ia hanya diwajibkan mengembalikan harga pembelian, dan mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan, sekadar itu telah dibayar oleh si pembeli.”

Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : “Hak konsumen adalah:

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Banyak kalangan penjual produk, yang mana ketika produk yang ia jual telah ternyata bermutu buruk dan berdampak buruk bagi kesehatan maupun keselamatan konsumennya, berkelit dengan menyatakan bahwa dirinya hanya sekadar “menjual”, dimana kemudian melempar tanggung-jawab kepada pihak produsen, alibi mana bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai tanggung-jawab pelaku usaha atas produk yang mereka perdagangkan (perjual-belikan atau transaksikan), bukan semata kepada yang diproduksi oleh pihak produsen : “Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Penegasan terhadap tanggung-jawab pihak penjual, bukan sekadar tanggung-jawab pihak produsen, mendapat penegasannya dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan / pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan ‘halal’ yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang / dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.

(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.”

Pasal 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

b. mengelabui jaminan / garansi terhadap barang dan/atau jasa;

c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;

f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

Ketika pelaku usaha melanggar satu atau lebih kaidah-kaidah normatif hukum perdata yang menimbulkan kerugian ataupun ancaman kerugian bagi pihak konsumen pengguna barang / jasa, maka salah satu konsekuensinya yuridisnya ialah dibatalkannya jual-beli, dimana bila pembatalan / kebatalan terjadi, maka kondisi para pihak dikembalikan “mundur ke belakang”—dalam hal ini, ke posisi semula seperti seperti ketika para pihak belum melakukan transaksi jual-beli. Ketentuan hukum yang mengatur tentang kebatalan demikian, dapat kita jumpai dalam norma Pasal 1265 KUHPerdata yang mengatur:

“Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi (atau terjadi),  menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.”

Terdapat dua opsi yang dapat dipilih oleh pihak konsumen pengguna jasa / barang yang merasa telah dikecewakan oleh barang / jasa yang dijual oleh pelaku usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata yang menentukan:

Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.