Konsumen yang Cerdas Membekali Diri dengan Payung Hukum agar Berani Menuntut Apa yang memang menjadi Hak-Hak Konsumen
Sedia Payung Hukum ketika Menghadapi Penjual / Pelaku
Usaha yang “Mau Untung Sendiri” dengan Merugikan Konsumennya
Question: Sebagai konsumen, aturan hukum apa yang harus kami pegang dan ketahui ketika berhadapan dengan penyedia barang yang melanggar hak-hak kami selaku konsumen? JIka kami mempersengketakan pihak penjual ke pengadilan, apakah akan sangat merepotkan pihak kami mengingat nilai kerugian yang kami derita selaku konsumen dikhawatirkan tidak sebanding dengan waktu maupun tenaga yang harus kami kerahkan untuk gugat-menggugat?
Brief Answer: Sengketa konsumen produk properti, biasanya
dimulai dari keberadaan “klausula baku” yang diterapkan secara sepihak oleh
pihak penjual, baik dalam formulir pemesanan, syarat dan ketentuan umum
jual-beli, maupun Perpanjian Pengikatan Jual Beli, dan Akta Jual Beli—dimana
biasanya lebih memberatkan pihak pembeli dimana pembeli diposisikan tidak punya
daya tawar sama sekali selain “menerima semuanya” atau “menolak semuanya” (take it or leave it).
Adapun menurut Undang-undang Perlindungan
Konsumen, “klausula baku” diartikan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Namun dalam praktik,
ketika konsumen berhadapan dengan hegemoni entitas pelaku usaha berupa
korporasi raksasa yang dominan posisi serta daya tawarnya, yang ada bukan lagi
derajat “klausula baku”, namun “perjanjian / kontrak baku”, “formulir baku”, “syarat
dan ketentuan umum baku”, “syarat dan ketentuan teknis baku”, dan lain
sebagainya, secara sepihak.
Salah satu lembaga di luar pengadilan yang secara
khusus menyelesaikan sengketa antara konsumen terhadap pelaku usaha, ialah Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang beroperasi di setiap provinsi atau
kota. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdapat pengaturannya dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan dimaknai sebagai badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dan
berperan sebagai lembaga “quasi
yudisial” secara arbitrase yang mana putusannya mengikat secara hukum bagi
konsumen maupun pelaku usaha yang saling bersengketa. Upaya hukum terhadap
putusan BPSK, hanyalah mengajukan “kasasi” ke Mahkamah Agung RI, sehingga dapat
lebih efisien ketimbang mengajukan gugat-menggugat di Pengadilan Negeri.
Penyelesaian sengketa konsumen Vs. pelaku usaha
di BPSK, menyerupai gugat-menggugat pada umumnya di pengadilan, namun yang
menarik ialah dari sekian banyak putusan BPSK yang telah pernah SHIETRA
& PARTNERS eksaminasi, sangat amat langka dapat kita jumpai putusan
BPSK yang tidak mengabulkan gugatan konsumen terhadap pelaku usaha, sehingga
bagi kalangan konsumen tentunya lebih diuntungkan posisi seorang konsumen
produk barang ataupun jasa, karena semangat dibalik BPSK ialah perlindungan
terhadap hak-hak konsumen ketika menghadapi pelaku usaha yang lebih dominan
posisinya—dimana kita ketahui, “power
tends to corrupt” sehingga semangat BPSK ialah untuk menyeimbangkan
kedudukan kedua belah pihak. Akan tetapi, BPSK secara hukum tidak berwenang
memeriksa dan memutus perkara untuk sengketa hutang-piutang kredit perbankan
maupun sengketa “leasing” (sewa guna usaha) lembaga pembiayaan.
PEMBAHASAN:
Pasal 9 Ayat (1) butir (k)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : “Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.”
Ketentuan tersebut dapat diterapkan dalam kasus-kasus semacam produk properti
yang ditawarkan oleh pihak developer kepada pembeli, dimana properti ditawarkan
dan diperjual-belikan sekalipun fisik bangunan rumah belum benar-benar berdiri,
alias masih sekadar “rumah contoh”, maket atau gambaran pada brosur iklan.
Pasal 8 Ayat (1) Huruf (f)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen : “Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.”
Acapkali terjadi, konsumen produk properti merasa terkecoh oleh janji-janji
yang ditawarkan oleh pihak sales atau petugas marketing, sehingga frasa “iklan”
maupun “promosi penjualan” pada ketentuan di atas perlu diperluas makna dan
penafsirannya baik promisi maupun iklan secara lisan maupun secara tertulis.
Namun, mengingat sifatnya yang
sukar dibuktikan disamping fenomena “lidah tidak bertulang”, kalangan calon konsumen
seyogianya menganggap bukanlah “janji” terhadap segala iming-iming ataupun janji-janji
yang bersifat lisan semata. Kedua, ketika antara ketentuan tertulis
bertolak-belakang ataupun “overlaping”
terhadap apa yang dijanjikan atau diiming-imingi secara lisan, maka secara
hukum yang berlaku ialah apa yang tertulis “hitam diatas putih”. Untuk itu, bila
pelaku usaha penyedia barang / jasa tidak bersedia merevisi ketentuan
tertulis-nya untuk disesuaikan atau disejalankan dengan “keterangan / janji
lisan”-nya, maka calon konsumen perlu menyadari resiko / bahaya dibaliknya.
Pasal 1491 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata):
“Penanggungan yang menjadi
kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal,
yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram;
kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang
sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”
Falsafah dibalik hukum
perlindungan konsumen, “spirit” atau
jiwa utama yang menjadi “jantung” dari urgensi perlindungan terhadap kalangan
konsumen maupun calon konsumen, dapat kita temukan dalam Pasal 1504 KUHPerdata:
“Si penjual diwajibkan
menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat
barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian
mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat
itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya
selain dengan harga yang kurang,”
Kecuali, diperjanjikan
sebaliknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1506 KUHPerdata:
“Ia (si penjual) diwajibkan
menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak
mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah
meminta diperjanjikan (dengan pembelinya) bahwa ia tidak diwajibkan menanggung
sesuatu apapun.”
Pasal 1507 KUHPerdata:
“Dalam hal-hal yang disebutkan
dalam pasal 1504 dan 1506, si pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan
barangnya sambil menuntut kembali harga pembeliannya, atau apakah ia akan
tetap memiliki barangnya sambil menuntut pengembalian sebagian harta,
sebagaimana akan ditentukan oleh Hakim, setelah mendengar ahli-ahli tentang
itu.”
Penjual yang “nakal”, sekalipun
telah mengetahui bahwa produk / jasa yang ia tawarkan adalah berbeda dari apa
yang ia janjikan dalam iklan maupun tawaran, sehingga menimbulkan kerugian materiil
maupun kecelakaan (sehingga mengeluarkan biaya pertolongan medik) terhadap konsumen
pengguna barang / jasa, berlaku ketentuan Pasal 1508 KUHPerdata:
“Jika si penjual telah
mengetahui cacat-cacatnya barang, maka selain di wajibkan mengembalikan
harga pembelian yang telah diterimanya, ia juga diwajibkan mengganti
segala biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli.”
Sering terjadi, terutama dalam
transaksi via “marketplace”, bilamana
pihak “seller” menjual produk yang
mengandung cacat, entah diketahui olehnya ataupun tidak, dan ketika pembeli
hendak “retur” ataupun “menukar barang”, konsumen / pembeli harus menanggung
biaya / ongkos kirim untuk “retur” ataupun “penukaran barang” dari kantung
pribadi, biaya mana semestinya menjadi beban pihak penjual, common practice mana telah melanggar
norma Pasal 1509 KUHPerdata:
“Jika si penjual tidak telah
mengetahui cacat-cacatnya barang maka ia hanya diwajibkan mengembalikan harga
pembelian, dan mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan
untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan, sekadar itu telah dibayar oleh
si pembeli.”
Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen : “Hak konsumen adalah:
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Banyak kalangan penjual produk,
yang mana ketika produk yang ia jual telah ternyata bermutu buruk dan berdampak
buruk bagi kesehatan maupun keselamatan konsumennya, berkelit dengan menyatakan
bahwa dirinya hanya sekadar “menjual”, dimana kemudian melempar tanggung-jawab
kepada pihak produsen, alibi mana bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mengenai tanggung-jawab pelaku usaha atas produk yang
mereka perdagangkan (perjual-belikan atau transaksikan), bukan semata kepada yang
diproduksi oleh pihak produsen : “Kewajiban
pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Penegasan terhadap
tanggung-jawab pihak penjual, bukan sekadar tanggung-jawab pihak produsen,
mendapat penegasannya dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan / pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
‘halal’ yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang / dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi
secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya
dari peredaran.
Pasal 9 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen:
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri
kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa
lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 15 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen:
“Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan
atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen.”
Pasal 17 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen:
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan,
kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan
barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan / garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang
berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang
telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
Ketika pelaku usaha melanggar satu
atau lebih kaidah-kaidah normatif hukum perdata yang menimbulkan kerugian
ataupun ancaman kerugian bagi pihak konsumen pengguna barang / jasa, maka salah
satu konsekuensinya yuridisnya ialah dibatalkannya jual-beli, dimana bila
pembatalan / kebatalan terjadi, maka kondisi para pihak dikembalikan “mundur ke
belakang”—dalam hal ini, ke posisi semula seperti seperti ketika para pihak
belum melakukan transaksi jual-beli. Ketentuan hukum yang mengatur tentang
kebatalan demikian, dapat kita jumpai dalam norma Pasal 1265 KUHPerdata yang mengatur:
“Suatu syarat batal adalah
syarat yang apabila dipenuhi (atau terjadi),
menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada
keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat
ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si
berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa
yang dimaksudkan terjadi.”
Terdapat dua opsi yang dapat dipilih
oleh pihak konsumen pengguna jasa / barang yang merasa telah dikecewakan oleh
barang / jasa yang dijual oleh pelaku usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal
1267 KUHPerdata yang menentukan:
“Pihak terhadap siapa
perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat
dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian,
ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya
kerugian dan bunga.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.