Adakah yang Lebih Jahat daripada Kejahatan? Kejahatan (yang) TERSELUBUNG

Sifat Kejahatan Dibalik Segala Sesuatu yang Terselubung

Yang Jujur, Terang-Benderang, Transparan dan Akuntabel. Sebaliknya, Ketidakjujuran, Menyelubungi Diri dengan Selubung, Terselubung

Seri Artikel Sosiologi Hukum bersama Hery Shietra

Question: Apakah ada, yang sifatnya lebih jahat daripada kejahatan?

Brief Answer: Ada, yakni kejahatan-kejahatan yang sifatnya “terselubung”. Tindak pidana seperti penipuan, sejatinya termasuk kejahatan namun diselubungi oleh selubung “kebaikan”, karenanya dalam beberapa preseden putusan pidana, hakim biasanya menjadikan modus penipuan sebagai alasan yang memberatkan hukuman bagi pihak Terdakwa pelakunya, semata karena sifat pidana penipuan adalah lebih jahat daripada kejahatan biasa.

Menjadi dapat kita pahami, segala jenis kejahatan, bila sifatnya terselubung, selalu bersifat lebih jahat daripada kejahatan biasa. Disamping sifatnya tidak kasat-mata, bekerja dibalik layar, juga biasanya memanfaatkan celah cacat psikologis manusia yang secara irasional kurang lebih memberi perhatian terhadap segala bentuk kejahatan yang bersifat terselubung. Contoh nyata, berangkat dari pengalaman pribadi penulis menjadi Konsultan Hukum dari Klien (korban) yang tersangkut perkara menghadapi kaum mafia tanah, para mafia tanah tersebut jauh dari kesan preman ataupun premanisme, namun cara-cara para mafia tanah tersebut selalu lebih jahat dari sekadar kejahatan biasa, yakni “kejahatan (yang) terselubung”, merampas hak atas tanah warga lain secara “berdarah dingin”, dimana para pelakunya mengenakan kemeja bewarna putih, bertutur-kata lembut, seolah tampil sebagai sosok yang beradab, dan bahkan kerap menampilkan citra seakan dirinya adalah “humanis”.

Contoh ekstrem yang paling cukup mewakili, ialah diberitakannya pemberitaan yang saat ulasan ini penulis susun pada medio Juli 2022, menyedot perhatian publik luas karena seorang guru di pesantren atau madrasah telah ternyata menyetubuhi para murid-santri-nya, dimana beberapa diantaranya bahkan sampai mengandung. Yang unik, pihak pesantren, ayah sang pelaku yang merupakan seorang pemuka agama setempat, maupun umat simpatisannya, menghalang-halangi aparatur kepolisian yang hendak “menjemput” sang pelaku untuk ditahan.

Namun sadarkah Anda, bahwa sang pelaku sejatinya telah melakukan “pencurian (secara) terselubung”, mengingat yang dirampas atau dirampok / dicuri oleh sang pelaku ialah “kegadisan” atau “keperawanan” sang murid-muridnya. Bukankah mencuri, hukumannya ialah “potong tangan”? Apakah rasional, bila pencuri yang melakukan pencurian secara terang-terangan (benama “copet” oleh “pencopet”), diganjar oleh main hakim sendiri (persekusi) secara radikal dan beringas oleh warga yang mengeroyoki hingga babak-belur bahkan tidak jarang hingga tewas di tempat pelakunya (pencopet), namun mengapa terhadap pelaku “pencurian terselubung” terhadap “kegadisan” anak gadis orang lain, pelakunya justru dibiarkan berkeliaran bebas?

Contoh ekstrem berikut ini amat sangat jarang disadari ataupun diperhatikan oleh masyarakat, karena terselubung oleh “kelaziman”, sehingga jarang kita amati ataupun waspadai. Para petani, demi memanen hasil bumi agar melimpah tanpa resiko hama, “jor-jor-an” menyemprotkan pestisida ke tanaman sayur maupun buahnya. Pestisida, bersifat karsinogenik yang memicu kanker serta residunya bertahan di dalam sayur bahkan di dalam buah, bahkan terakumulasi. Paparannya sudah sangat mengkhawatirkan karena petani kerap menyemprotkan pestisida sejak tanaman masih berbentuk bibit, tumbuh, hingga besar dengan intensitas yang kabarnya jauh berkali-kali lipat melampaui ambang batas pemakaian wajar. Bahkan, dikala akan panen, pestisida pun tetap disemprotkan. Dikabarkan pula, para petani buah seperti pepaya di Indonesia, menjadikan limbah plastik sebagai “pupuk”, berakibat buah mengandung racun “micro plastic” yang karsinogenik.

Diberitakan pula, demi mengejar laba, cabai yang masih hijau oleh pihak petani ataupun oleh pihak pedagang di pasar tradisional, disemprot oleh cat semprot agar bewarna merah. Begitupula di pasar, ayam potong diberi pewarna sepuhan untuk tekstil, hasil tangkapan nelayan diberikan pengawet mayat, beras yang diberi pewarna putih dan pengharum, tahu diberi pengawet yang bukan untuk peruntukkan konsumsi, buah-buahan disuntik pemanis buatan, maupun bahan pangan lainnya yang diberi bahan kimia agar lebih menarik untuk dibeli konsumen. Praktis, hampir semua pangan yang kita jumpai di pasaran diwarnai oleh nuansa kimia, pewarna artifisial, “bumbu” racun, dan berbagai “limbah” beracun lainnya untuk dibeli, dibayar, dan dikonsumsi masyarakat kita itu sendiri—Hukum Karma pun berbicara, akibatnya kesuburan alam di Indonesia kian tahun kian merosot, terbukti oleh pengakuan sejumlah petani.

Berlanjut di tingkat pedagang makanan, yang “jor-jor-an” memasak makanan yang dijualnya dengan penyedap / penguat rasa, pemanis artifisial, bumbu dari bahan kimia, bahkan yang terlebih sering ialah tidak mencuri kulit telur saat dipegang untuk dimasak (alias mengandung “bumbu” berupa kotoran ternak unggas), sayur-mayur yang sama sekali tidak dicuci juga tidak dibilas sebelumnya, tidak mencuci tangan saat menerima uang dari pembeli dan kembali memegang bahan makanan untuk pembeli berikutnya, gorengan yang diberi racikan bumbu plastik saat digoreng bersama minyak goreng, minyak goreng super-jelantah, air yang tidak higienis, sanitasi yang buruk, piring dan sendok yang dicuci sekadarnya atau bahkan sama sekali tidak dicuci, dan berbagai sikap tidak etis lainnya, meski para pelaku usaha tersebut menerima nafkah dari para konsumennya yang membayar dan mengucapkan “terimakasih”, namun membalas bayaran dan kepercayaan konsumennya dengan mencelakai kesehatan konsumennya—itulah yang disebut dengan “mencelakai secara terselubung”. Tidak tahu balas budi dan tidak bertanggung-jawab, Hukum Karma pun berbicara dengan menjadikan investor asing sebagai raja di negeri ini. Sadarkah Anda, sudah begitu mengkhawatirkannya hegemoni asing di negeri kita ini?

Contoh berikutnya ialah perihal “perundungan / bullying (secara) terselubung”, dimana analogi sederhana berikut terjadi dalam setiap aspek sendiri kehidupan sosial masyarakat kita, semisal seseorang menyengkat kaki kita hingga kita tersandung dan terjatuh sebagai akibatnya. Alih-alih prihatin dan merasakan empati, orang-orang yang menyaksikan justru menertawai jatuhnya kita. Sikap-sikap semacam menertawai derita orang lain, bergembira atas kesusahan hidup orang lain, menyepelekan perasaan korban, menjadikan kesulitan hidup orang lain sebagai bahan lelucon, bahkan masih pula mendiskreditkan pihak korban—alih-alih mencela perbuatan buruk dan terleca sang pelaku yang membuat derita korbannya—merupakan cerminan “sense of justice” yang buruk, disamping menjadi parameter empati yang dangkal.

Banyak penulis amati dan temukan afirmasi terhadap hipotesis pribadi penulis, bahwasannya “tiada SQ ataupun EQ tanpa IQ yang memadai”. Anda tidak harus menjadi seorang jenius ber-IQ selangit, namun setidaknya pilar penopang SQ maupun EQ, selalu kita temukan landasannya pada IQ itu sendiri. Karenanya, segala bentuk kenakalan, segala bentuk kejahatan, segala bentuk kriminalitas, segala bentuk “kejahatan terselubung”, segala bentuk kekelirutahuan (tahu, namun keliru), segala bentuk kekotoran batin, segala bentuk keserakahan (akibat tumpulnya kreativitas, seolah menjadi bahagia harus dengan cara merampas hak-hak orang lain), segala bentuk tragedi kemanusiaan, selalu bersumber dari kurang atau minim dan miskinnya IQ, bukan sebaliknya.

Polanya selalu sama, dan berulang. Sama seperti tabiat atau watak dasar seseorang individu, tidak bisa berubah atau hampir mustahil berubah, polanya selalu sama dan berulang sejak ia muda sampai tua dan uzur (genetic factor), terkecuali terjadi mutasi ataupun evolusi. Pihak-pihak yang mendiskreditkan peran penting IQ, sejatinya tengah merusak peradaban bangsa, setidaknya secara “terselubung”. Begitupula “kesadaran kolektif” suatu bangsa, bernama “budaya”, salah satunya kultur “jahat secara terselubung”, bila kita tarik dari sejarah sejak lima abad lampau di republik ini, sampai kini, akan kita temukan pola sama yang selalu berulang. Seekor ikan tidak tahu apa itu “air”, sampai ia mencicipi pengalaman terkapar di tanah tanpa air dan menggelepar kehabisan nafas.

Sejumlah tokoh sudah sejak lama menyebutkan, sejarah selalu berulang, bagi suatu bangsa yang tidak mau belajar dari sejarah bangsanya sendiri. Tentunya, kita akan jatuh pada lubang kekeliruan yang sama, bila kita tidak pernah mau belajar dan mengakui berbagai kesalahan yang sebelumnya telah pernah kita buat. Mungkin, kekurangan terbesar banga kita ialah minimnya penghargaan terhadap arti penting “introspeksi diri”, hal langka ditengah bangsa “agamais”. Musuh terbesar peradaban umat manusia, bukan sekadar kejahatan yang terjadi secara eksplisit terang-benderang, namun adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara “terselubung”.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, tepat kiranya penulis akan memberi contoh-contoh nyata dan konkret sederhana dalam keseharian hidup yang bisa kita jumpai langsung (proximity), sehingga dapat menjadi pengetahuan baru yang bermanfaat demi kebaikan masyarakat untuk lebih menaruh perhatian terhadap berbagai modus-modus “kejahatan terselubung”. Pernah pada suatu kesempatan, seseorang yang berprofesi sebagai “rentenir”, mendaftar sebagai Klien pengguna jasa sesi konseling seputar hukum yang penulis selenggarakan.

Sang “rentenir” menyatakan, bahwa para pengacaranya menyebutkan bahwa tingkat suku bunga untuk memancing calon peminjam dana (debitor) untuk tergiur meminjam sejumlah dana pinjaman darinya, cukup kecil saja tingkat suku bunganya, jika perlu lebih rendah dari tingkat suku bunga bank, namun komponen “denda” boleh dibuat setinggi-tingginya tanpa resiko dinyatakan sebagai “rentenir” oleh pengadilan. Menurut penuturan sang Klien, pengacaranya menerangkan bahwa “rentenir” alias “lintah darah” hanya terkait dengan tingkat suku bunga, bukan merujuk pada kompoenen “denda” akibat kelalaian debitor untuk mencicil bulanan hutang-hutangnya, sehingga yang diatur dan dibatasi oleh negara ialah tingkat suku bunga, bukan tingkat “denda”.

Penulis luruskan pandangan keliru tersebut, bahwa sejatinya nurani (suara hati) pun tidak dapat membenarkan praktik demikian, sekalipun kita tidak atau belum mengetahui hukum negara bentukan praktik peradilan (best practice) perihal “bunga terselubung”. Acapkali kepada setiap Klien ataupun kepada para pembaca berbagai karya tulis penulis, penulis sampaikan bahwa “akal sehat merupakan hukum tertinggi”. Pengacara sang Klien telah memberikan pandangan hukum serta rekomendasi yang menyesatkan disamping jahat sifatnya. Namun, tahukan Anda, ternyata sifat praktik atau modus semacam di atas bukan sekadar “jahat”, namun “kejahatan (yang) terselubung” sifatnya, sebagaimana dapat penulis buktikan lewat norma hukum “preseden” berupa yurisprudensi putusan Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986: [Sumber: Majalah Hukum Varia Peradilan No. 18 Tahun II. Maret 1987 Hlm. 5.]

Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut:

Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda tersebut harus ditolak.

Sebenarnya, tanpa bukti berupa preseden di atas pun, akal sehat dan nurani sudah mampu menerangkan—namun entah mengapa, nurani dan “sense of justice” masyarakat kita di Indonesia benar-benar tumpul, akibat IQ dan EQ yang minim. Masyarakat kita bahkan mendiskreditkan peran penting IQ, meski segalanya butuh IQ dan EQ pun sejatinya terkait erat dengan IQ secara sejalan. Segala sesuatu yang bersifat “terselubung”, selalu lebih jahat daripada kejahatan biasa, semata karena sifatnya mengandung modus-modus “tipu daya” dimana korbannya dikondisikan dalam kondisi lengah, kurang kewaspadaan, minim perhatian, tiada kecuriaan, dan segala bentuk irasional lainnya.

Disamping itu, diperlukan kejelian dan “sense of justice” aparatur penegak hukum yang mampu menyadari adanya kejahatan dibalik “selubung” tersebut, belum lagi masyarakat kita yang kerap gagal menyadari dan tidak eling bahwa sang korban benar-benar adalah korban dari kejahatan yang “terselubung” sifatnya. Kini, dapat para pembaca pahami betapa sukar dan dilematisnya posisi korban kejahatan-kejahatan dengan modus yang demikian “terselubung”. Postulat sederhananya, semakin kejahatan itu terselubung, semakin korban tidak mudah menyadarinya, terlebih aparatur penegak hukum. Salah satu contohnya ialah “white collar crime” semacam persaingan usaha tidak sehat, monopoli harga, kartelisasi, oligopoli, penguasaan dari usaha hulu hingga hilir, dan sebagainya.

Sebagai contoh lainnya, seseorang yang merampas hidup orang lain dengan menggunakan racun sianida ke dalam makanan ataupun minuman, jauh lebih jahat daripada pembunuhan berencana, mengingat pelakunya sukar sekali dilacak disamping pihak korban tidak dapat menjaga dirinya untuk tidak dirampas hak atas hidupnya semata karena tidak mengetahui bahwa hidupnya diambang kematian akibat racun sianida dalam makanan ataupun minuman yang akan dikonsumsi olehnya. Dalam kasus Jessica dengan kopi sianidanya, pelakunya dihukum berat akibat ada sorotan publik dan media. Dapat penulis pastikan, secara psikologis, pembunuhan lewat aniaya fisik akan cenderung dihukum lebih berat oleh hakim ketimbang pembunuhan lewat memasukkan racun ke makanan, semata karena lebih berdarah-darah, dan korbannya mengeluarkan darah—sekalipun hasil akhirnya sama, korban tewas terbunuh. Anda lihat, psikologi manusia tidaklah sempurna, penuh cacat irasional.

Kita, selaku warga yang menyaksikan pun, mungkin akan geram bila ada warga di tengah jalan dianiaya hingga tewas. Namun, ada cacat dalam psikologi manusia, dimana bila orang yang tewas tersebut akibat diracun, maka tingkat ke-geram-an kita seolah tidak sekuat ketika korban tewas akibat dianiaya secara fisik oleh pelakunya. Sungguh, aktivitas bernama alm. Munir merupakan korban pembunuhan berencana yang “terselubung” sifatnya, lebih jahat daripada pembunuhan berencana biasa. Namun, bagaimana kini dengan dengan pelakunya, adakah keadilan bagi keluarga almarhum?

Begitupula praktik-praktik seperti membisniskan agama, membisniskan kegiatan sosial, semisal lembaga nirlaba berwujud yayasan yang bergerak dibidang penghimpunan maupun penyaluran dana dan bantuan sosial, telah ternyata para petinggi di lembaga “nirlaba” tersebut mengeruk banyak keuntungan demi kepentingan pribadinya dari dana yang diamanatkan dan dipercayakan para donaturnya—penyelewengan dana sosial—dimana masyarakat berdana dan berdonasi, namun para pengurus atau petinggi dan pemimpin lembaga “sosial” tersebut alih-alih turut memberi dan berdonasi, tanpa merasa malu justru merampas hak-hak masyarakat yang semestinya menjadi penerima dana donasi dari para donatur, tiada bedanya dengan “koruptor” yang “menyunat” hak-hak para rakyat, ibarat mencuri nasi dari piring korban-korban yang lebih malang daripada sang pencuri. Salah satu contoh yang sempat menjadi berita yang menyita perhatian publik, ialah penyelewengan dana donasi yang dilakukan Yayasan Aksi Cepat Tanggap oleh para petinggi dan pemimpinnya.

Kini kita beralih pada ilustrasi lainnya. Seorang Kepala Negara, menunjuk seorang kepala kepolisian maupun panglima militer yang otoriter yang selama ini dikenal senantiasa represif terhadap rakyat, sementara itu di depan publik, sang Kepala Negara selalu menampilkan wajah dan sikap-sikap seolah “humanis” dan penuh perhatian dan simpati belas-kasih kepada segenap rakyatnya, seperti bagi-bagi sertifikat tanah, bertutup kata lembut dan santun saat berpidato, suka “blusukan” ke kampung-kampung, dsb. Alhasil, yang dikritik dan diberi antipati oleh publik, ialah para aparatur tersebut, bukan diri pribadi sang Kepala Negara, sekalipun para aparatur “diktator” tersebut bersikap otoriter demi kepentingan sang Kepala Negara yang mengangkat mereka dan memberinya jabatan serta kekuasaan untuk bersikap otoriter kepada rakyat—terbukti dengan tidak pernah dicopotnya sang aparatur “otoriter” tersebut oleh sang Kepala Negara sekalipun telah bersikap otoriter terhadap sipil dan publik.

Fenomena psikologis demikian, dapat kita jumpai dalam skala makro maupun mikro pada setiap organisasi maupun wadah masyarakat, semisal perusahaan, ataupun organisasi-organisasi kemasyarakatan dan komunitas lainnya, seorang “ketua” atau seorang pucuk pimpinan, bisa jadi dikenal oleh pihak eksternal sebagai bersikap toleran, pemaaf, pemurah, dermawan, lemah-lembut, gemulai, humanis, demokratis, penyabar, anti kekerasan, adil, yang pada pokoknya membuat sosoknya disukai sehingga berhasil merebut simpati publik, pegawai, anggota, maupun masyarakat komunitasnya—masyarakat mana tidak menyadari, bahwa sejatinya kesemua pencitraan demikian adalah dalam rangka “ada udang di balik batu”, yakni “hidden agenda” menggalang simpati dan dukungan.

Yang tidak disadari oleh anggota, pegawai, maupun simpatisan yang bersangkutan ialah, sang pucuk pimpinan tersebutlah yang telah merekrut manajer atau semacam pengurus harian, yang diberi perintah dan tugas utama yakni untuk bersikap represif dan kejam alias tidak humanis terhadap anggota, komunitas, maupun para pegawai. Bahasa informalnya, dibayar atau digaji untuk berperan atau mengisi peran menjadi sosok “the bad guy”, tangan-tangan mana dibutuhkan untuk pekerjaan “kotor”, semata agar tangan dan citra sang pucuk pimpinan tetap “bersih” di mata publik, sekalipun segala tindakan tidak populis diri manajernya atau pengurusnya tersebut ialah dalam rangka kepentingan maupun menjalankan instruksi dari sang pucuk pimpinan.

Ibaratnya, seseorang pengemudi mobil menabrak seorang pejalan kaki, dan sang pengemudi memberi tanggapan dengan seringan berkata bahwa, “Salahkan saja bumper mobil saya yang telah menabrak Anda. Bukan saya yang telah menyerempet atau menabrak Anda, namun bumper mobil saya ini. Kalau saya pribadi, tidak pernah menyakiti siapapun, sehingga bagaimana mungkin Anda menyebut saya orang jahat atau yang harus bertanggung-jaawb kepada Anda sekalipun bukan saya yang telah menabrak ‘bokong’ Anda!” Kita jarang menyadari, bahwa yang sejatinya terjadi ialah “the man behind the gun” yang paling bertanggung-jawab untuk itu. Lihatlah, banyak Kepala Negara yang tetap populer di mata masyarakat, sekalipun negara yang dipimpinnya represif terhadap rakyatnya sendiri.

Sama halnya ketika Anda mengklakson pejalan kaki, seolah-olah pejalan kaki adalah kasta rendah yang mana Anda merasa bahwa Anda lebih berhak menguasai jalan (milik) umum untuk melintas, sembari mendalilkan, “bukan saya yang mengejutkan dan melecehkan pejalan kaki, tapi klakson motor saya, motor saya yang mengklaksoni pejalan kaki itu!”—sejatinya sikap semacam demikian adalah sebentuk kekotoran batin, baik kekotoran batin yang tebal maupun yang tipis, digerakkan oleh keserakahan, abuse of power terhadap “banteng besi” yang Anda kendarai, alias “arogansi (secara) terselubung” itu sendiri. Mungkin, pelakunya itu sendiri tidak menyadari bahwa kekotoran batin yang terselubung sifatnya, telah membajak cara ia memandang maupun berpikir. Itulah tepatnya, sifat bahaya dibalik kekotoran batin.

Pernahkah Anda sadari, ketika pemerintah membuat berbagai prosedur dan persyaratan yang demikian birokratis, bahkan warga pembayar pajak masih juga harus di-“ping-pong” alih-alih dilayani, maka itulah cerminan atau bentuk lain dari “arogansi terselubung”, direpresentasikan oleh slogan : jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah? Ada bentuk-bentuk lain “kejahatan terselubung” yang bersifat masif, semisal merampas hak pejalan kaki maupun hak pengguna jalan lainnya. Coba Anda perhatikan secara saksama, ketika seorang pengendara kendaraan bermotor berpapasan dengan pejalan kaki di sisi kiri jalan, maka sang pengendara tidak akan segan-segan membunyikan klakson agar pejalan kaki memberi jalan bagi pengendara yang seolah di republik ber-hukum ini pejalan kaki ialah kasta paling rendah.

Namun, ketika para pengendara tersebut mendapati adanya kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat yang terpakir di bahu maupun separuh badan jalan, para pengendara yang sama tersebut ketika melintas “mendadak alim” dengan berubah 180 derajat menjadi “penyabar”, yakni memperlambat laju kendaraan hingga berhenti sama sekali, dan merayap hingga lewat tanpa membunyikan klakson—fenomena sosial mana hampir setiap waktunya penulis jumpai sejak dahulu kala. Bagi para pengendara tersebut, pejalan kaki (sesama manusia) selaku makhluk hidup tidak lebih penting daripada kendaraan bermotor si benda mati yang mereka jumpai terparkir di pinggir jalan. Itulah, perampasan hak pejalan kaki secara terselubung, baik oleh pengendara yang melaju di jalanan maupun pemilik kendaraan yang memarkirkan kendaraannya di jalan milik umum.

Sebagai penutup, contoh kejadian berikut penulis alami baru-baru ini, dimana akibat pandemik COVID-19 (corona viruse disease) yang melanda dunia global tidak terkecuali di Indonesia sejak awal tahun 2020, penulis murni menerapkan “WFH” (work from home), membuka jasa konseling hukum sebatas virtual, berakibat kendaraan bermotor milik penulis dikandangkan dalam arti harfiah selama bertahun-tahun (pengorbanan mana semestinya mendapat insentif dari pemerintah), disamping pertimbangan resiko menuju SAMSAT untuk membayar pajak tahunan kendaraan, harus berjubel-jubel dan berdesak-desakan dengan para pemilik kendaraan lainnya, maka penulis memilih resiko berupa dikenakannya denda keterlambatan pembayaran pajak kendaraan yang menggunung akibat bertahun-tahun menunggak pembayaran pajak tahunan kendaraan.

Ketika penulis telah vaksin paket lengkap COVID, dua kali vaksin plus booster, barulah penulis siap mendatangi SAMSAT dan membayar tunggakan pajak kendaraan, yang ternyata dendanya benar-benar menggunung, berakibat dana yang penulis bawa ternyata hanya cukup untuk membayar pajak dan denda tertunggak yang telah menggunung, dan harus pulang tanpa membawa serta lembar pembayaran pajak tahunan untuk tahun berjalan berikutnya, dan cukup puas berlega-diri setidaknya tunggakan pajak kendaraan tahun-tahun sebelumnya telah penulis tebus dan lunasi. Saat penulis mendatangi SAMSAT Jakarta Barat, ialah pada medio bulan Juni 2022.

Saat memasuki bulan berikutnya, tepatnya tanggal 18 Juli 2022, tanggal mana tepat menjadi tanggal akhir STNK pajak satu tahunan kendaraan penulis, yang artinya belum memasuki tanggal kadaluarsa untuk pembayaran pajak kendaraan, dengan “konsekuensi logis” ialah tiada denda yang dapat dipungut dari penulis ketika membayar pajak kendaraan untuk tahun berikutnya pada tanggal tersebut (paling lambat). Namun, meski penulis selaku warga wajib pajak hendak membayar pajak, justru dipersulit oleh para petugas di SAMSAT Jakarta Barat, dengan modus klasik “di-ping-pong” naik dan turun lantai atas dan lantai bawah, disamping dipertontonkan sikap-sikap arogansi yang hanya “jago kandang” ala sikap pengecut aparatur Kepolisian yang hanya berani tampil arogan terhadap kalangan sipil, sekalipun sumber gaji mereka ialah pajak yang salah satunya ialah penulis bayarkan.

Karena penulis memiliki dasar hukum, yakni lembar atau slip “SURAT KETETAPAN PAJAK KENDARAAN” yang mencantum kolom blok dengan keterangan “berlaku s.d.” tanggal 18 Juli 2022, yang artinya belum kadaluarsa, namun pihak petugas SAMSAT bersikukuh bahwa “beschikking” atau surat keputusan tata usaha negara tersebut telah kadaluarsa, dengan berbagai dalih, mulai dari aturan “fiktif” klaim versi mereka sendiri, maupun dalil tidak logis seperti “mungkin sudah ada denda”—itulah yang disebut sebagai “common practice”, alias kebiasaan “business as usual”, yang tidak jarang tidak sejalan dengan “common sense”. Meski, “akal sehat merupakan SOP tertinggi”, kata Hakim Agung pada MA RI bernama Jaya Surya. Logika sederhana telah berkata, jika tidak lewat dari jatuh tempo pajak satu tahunan, maka tiada resiko konsekuensi denda, bahkan mengemudikan kendaraan di jalan dan bertemu polisi sekalipun, polisi tidak dapat menilang.

Telah ternyatanya tiada satu pun petugas di SAMSAT Jakarta Barat yang memiliki “otak”, dimana mereka lebih sering bermain “otot”—sehingga tidak heran mereka lebih kerap memamerkan arogansi ketimbang bersikap manusiawi, humanis, beradab, terlebih ber-“otak”—sekalipun kita mengetahui betul, “otot” tidak memiliki “otak” dan “otak” tidak memiliki “otot”, yang mana dapat pula kita simpulkan bahwa orang-orang yang kerap mempertontonkan arogansi tidak mungkin memiliki “otak”. Terbukti, seluruh petugas di loket SAMSAT yang penulis jumpai ketika di-“ping-pong”, tiada satu pun dari mereka yang mau menerima kenyataan bahwa lembar slip SURAT KETETAPAN PAJAK KENDARAAN yang penulis hendak bayarkan mencantumkan kolom blok “berlaku sampai dengan” dan belum jatuh tempo alias belum kadaluarsa.

Jikalau pun memang ada tilang elektronik, maka cukup dilihat pada sistem komputerisasi milik mereka, jika telah ternyata berstatus “clear”, mengapa masih juga dipersuli jika bisa dipermudah warga wajib pajak yang hendak MEMBAYAR pajak sumber gaji mereka?! Akhirnya, terlontar keluarlah satu kalimat berikut dari mulut penulis, “Saya orang hukum, saya minta DASAR HUKUM Bapak menyatakan SURAT KETETAPAN PAJAK KENDARAAN saya telah kadaluarsa, meski di surat ini dicantum keterangan ‘BERLAKU SAMPAI DENGAN’ dan belum kadaluarsa!” Mereka tidak bisa menunjukkan dasar buktinya, dan selalu mendalilkan “sistem” sebagai alibi klise “sempurna” mereka untuk berkelit, sistem yang tidak ber-“otak” dan tidak mencerdaskan justru dibiarkan menguasai dan mengendalikan kehidupan segenap umat manusia yang semestinya ber-“otak”. Bila Undang-Undang dibuat untuk diubah dan direvisi pada suatu ketika, maka sistem pun bukanlah bebas dari segala kekurangan untuk diperbaiki di masa mendatang.

Akibatnya, penulis diberi sikap sinis oleh para aparatur “arogan” yang notabene para anggota kepolisian yang semestinya mengayomi dan melindungi masyarakat (bayangkan, jika polisi di republik kita saja demikian “premanis” dan “barbaris”, maka bagaimana dengan sikap para preman yang berkeliaran di luar sana?), dan mendapatkan perlakuan antipati dari para petugas di SAMSAT Jakarta Barat. Dengan kata lain, “dipersulit” alias “arogansi terselubung” itu sendiri. Belum cukup sampai di situ, terdapat seorang petugas loket yang menunjukkan “kemarahan terselubung”—bukan lewat kata-kata makian yang keras, namun terselubung sifatnya hendak menyakiti dan merepresi mental penulis—dengan sikap “semata buka mulut lebar-lebar namun menutup telinga rapat-rapat” sehingga apapun argumentasi penulis, ia selalu merasa paling benar dan merasa paling berhak menggurui warga sipil.

Kamu mengerti tidak?!” bentak sang petugas yang sekalipun telah penulis sodorkan “STNK lima tahunan” namun tidak diberi stempel validasi meski warga lain diberikan stempel, secara terselubung nada bicaranya mengisyaratkan ketidaksukaan dan permusuhan, tentunya, namun tidak dengan gestur tubuh yang tetap saja menunjukkan kemarahan. Ketika penulis mendapati sang petugas ialah orang “irasional” yang berbicara tanpa dilandasi dasar hukum maupun dasar logika yang sahih, maka penulis kemudian tidak menghiraukan dirinya. Mendadak kaca partisi ditepuk dengan sikap arogan, sembari berkata, “KAMU KALAU DITANYA, JAWAB! JANGAN DIAM SAJA JIKA DITANYA, MENGERTI TIDAK?

Anda lihat, itulah sikap rata-rata polisi di Indonesia yang sejak dahulu “khas” polisi, dan tidak pernah berubah hingga ulasan ini penulis susun. Adalah percuma mendebat polisi di Indonesia, bahwa polisi di negara-negara lebih beradab seperti di Amerika Serikat, memiliki komitmen moril bernama hukum acara pidana, salah satunya ialah “Miranda Rule”, yang mana seorang Tersangka yang ditangkap sekalipun diberikan dan disampaikan hak-hak, salah satunya ialah “You have right to remain SILENT!” Diam, dan tidak menjawab, adalah hak kami selaku warga sipil. Sang petugas, telah memamerkan arogansi disamping “kemarahan secara terselubung”, dimulai dari membentak penulis dengan sikap layaknya sedang menginterogasi seorang tahanan yang seolah tidak punya hak untuk diam, juga tidak memberi cap validasi “STNK lima tahunan” sekalipun telah penulis sodorkan.

Mendapati intimidasi verbal secara “durhaka” oleh petugas kepolisian terhadap warga pembayar pajak, penulis bersiasat dengan meladeni kemauannya, dengan mundur surut beberapa saat, lalu kembali menemui petugas bersangkutan. “Pak, coba Bapak lihat lembar ini, judulnya SURAT KETETAPAN PAJAK KENDARAAN, bukan masa berlaku STNK TAHUNAN. Lihat, ada kolom blok ‘BERLAKU SAMPAI DENGAN’. Jika dianggap kadaluarsa, lalu buat apa ini ada kolom ‘BERLAKU SAMPAI DENGAN’? ini namanya ‘ngecoh’, MENGECOH warga! Bapak jika diberi tahu, jangan marah-marah!

Sang petugas tidak bisa membantah seperti sebelumnya yang merasa “sok pintar sendiri’, kali ini bungkam dengan tatapan mata tetap melekat pada lembar slip milik penulis tersebut, slip mana yang setiap harinya ia tangani dan bersentuhan dengan ribuan lembar slip serupa—bagai mengajari seekor ikan cara untuk berenang. Rupanya, sang petugas baru menyadari isi slip yang selama ini mereka tangani setiap harinya. Itulah bukti, sekalipun mereka punya indera penglihatan, namun mereka sejatinya selayaknya orang “buta”. Penulis seketika menarik kembali slip milik penulis, balik badan, dan pergi berlalu.

Namun sang petugas kemudian cepat-cepat mengambil mic, lalu berkata lewat pengeras suara, “Saya tidak marah, Bapak yang marah-marah!”, diiringi gerai tawa para warga lain yang mengantri. Lihat, betapa rusaknya moral petugas dan bangsa bernama Indonesia yang pernah dijajah namun kini dijajah oleh anak bangsa sendiri, “sense of justice” yang buruk, EQ yang “tiarap” (namun mengaku-ngaku “agamais” dan ber-SQ), disamping kerap semudah itu “putar-balik logika moril”.

Jika polisi yang disumpah-jabatan untuk menegakkan keadilan dan bersikap adil saja, seperti itu wataknya secara rata-rata ataupun kulturnya, bagaimana “sipil terhadap sipil”, pernahkah Anda pertanyakan? Setidaknya, seorang preman tidak pernah di-sumpah-jabatan untuk melindungi dan memberi rasa aman bagi masyarakat sebagaimana polisi, sehingga polisi lebih jahat dan lebih tercela daripada seorang preman jalanan ataupun preman pasar. Apapun itu, paling tidak, hari tersebut penulis telah membalas sikap arogansi seorang anggota kepolisian arogan, dan “mempercundangi” sang polisi yang semula merasa “paling benar sendiri”—meski sejatinya ber-IQ “jongkok”. Ketika kalah berdebat, sang polisi pun bermanuver “mendadak alim” serta menjelma “play victim”, sungguh kekanakan.

Ya, tidak marah-marah secara eksplisit, namun secara “terselubung”, “kemarahan terselubung”. Segala kejahatan yang terselubung, lebih sukar di-“endus” (sukar di-deteksi oleh korban maupun oleh aparatur penegak hukum), lebih tidak kasat mata, lebih jahat sifatnya, bahkan korban pun tidak mendapatkan simpati dari publik, sementara itu pelakunya kian populis. Itulah, nasib tinggal di tengah bangsa yang mana “common practice” serta “otot” lebih dikedepankan, ketimbang “common sense” dan “otak” yang selalu dianak-tirikan.

Banyak jenis modus kejahatan terselubung lainnya yang tidak akan cukup dibahas dalam kesempatan ini, semisal modus “transfer pricing” yang menjadi momok bagi para petugas pajak, penguasaaan asing atas bumi Indonesia lewat praktik “nominee”, segelintir “beneficial owner” yang merajai dan menguasai berbagai bidang usaha dengan selubung entitas bisnis (penyalahgunaan badan hukum Perseroan Terbatas yang mudah didirikan), dan berbagai praktik terselubung lainnya, selalu membayangi bagaikan “mimpi buruk” bagi bangsa yang miskin “common sense” ini. Salah siapa, jika sudah seperti itu?

Seperti kata pepatah, yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang. Sama halnya, yang hidup dari melecehkan “common sense” akan mati akibat keringnya “common sense” dan semata menjadi budak “common practice”. Mengapa tidak pernah ada perbaikan yang reformatif di republik ini? Semata karena minimnya saluran input, feedback, maupun saran dari masyarakat. Ketika penulis pada awalnya berbicara dengan nada santun dan sesopan mungkin, “Pak, saya ingin sekadar saran dan usul, bahwa ini SURAT KETETAPAN PAJAK, lebih baik jangan lagi dicantum kolom blok ‘berlaku sampai dengan’, karena...” namun saat penulis baru sedikit membuka mulut, seketika di-“cut” oleh para petugas “konyol” tidak ber-“otak” tersebut, dan mereka semata ingin membuka mulut lebar-lebar namun menutup telinga rapat-rapat.

Penulis tidak menyebut mereka sebagai “oknum”, karena fakta realnya kesemua petugas kepolisian tersebut memiliki corak seragam, berjemaah, arogan yang eksplisit maupun arogan yang “terselubung”, sudah rahasia umum sehingga menjadi absurd jika masih ada yang hendak membantahnya, fakta mana terjadi sepanjang tahun sejak dahulu kala, begitu masif, dan tiada kecenderungan kearah perbaikan yang reformatif selain “pencitraan” dan “tambal sulam” ketika masalah di tubuh internal kepolisian menjadi viral di tengah masyarakat. Bagaimana dengan nasib yang tidak viral? Tentu jauh lebih masif pelanggaran oleh anggota kepolisian, sebagian besar diantara ialah pengabaian dan penelataran bahkan meremehkan dan menyepelekan aduan ataupun laporan masyarakat / korban, sekalipun mereka mengemban tanggung jawab untuk itu akibat memonopolisir penegakan hukum pidana maupun akses menuju peradilan pidana.

Sebagai penutup, izinkan penulis menyampaikan tantangan terbuka kepada seluruh kalangan aparatur kepolisian dibawah payung POLRI di Tanah Air : Tanggalkan senjata api Anda, mari kita naik ke atas ring tinju, dan duel melawan saya secara jantan satu lawan satu, tangan kosong. Adalah pengecut, polisi yang hanya “jago kandang”, yang hanya berani ketika menyandang senjata api, yang hanya berani melawan sipil, sekalipun sejatinya para aparatur kepolisian tersebut telah merampas hak sipil untuk “main hakim sendiri”, memonopolisir penggunaan senjata api, menangkap, menahan, menyita, menggeledah, melumpuhkan, termasuk memonopolisir hak akses peradilan pidana.

Para polisi tersebut makanannya “halal”, namun mengapa ucapan dan kata-kata yang mereka lontarkan keluar dari mulut mereka kepada sipil, demikian “busuk”? Tanya mengapa... Semestinya, mereka merasa malu terhadap warga sipil pembayar pajak sumber gaji mereka, terlebih bersikap arogan maupun durhaka. Namun, si “dungu” tentunya “tidak punya malu”, merasa bangga dapat pamer arogansi. Sehingga tepatlah apa yang telah pernah disabdakan oleh Sang Buddha, sejak ribuan tahun lampau dan akan tetap relevan pada era dimana sikap-sikap “tidak tahu malu” dipertontonkan secara vulgar dan demikian seronok secara berjemaah (sampai-sampai kita selaku sipil yang merasa “risih” melihat watak para anggota kepolisian RI):

DHAMMAPADA

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

328. Andaikata seseorang mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan menegakkan perhatian – berjalan dengannya.

329. Andaikata seseorang tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.

330. Berjalan sendirian adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.