The End of Lawyers, Berakhirnya Era Keemasan Profesi Pengacara

ARTIKEL HUKUM

Disrupsi Teknologi Informasi dan Era Dunia Digital + Kian Terbukanya Akses Peradilan bagi Masyarakat Umum Awam Hukum = Lonceng Kematian Profesi Pengacara

Semakin dibuka lebarnya, membuka diri, dan kian dipermudahnya akses peradilan bagi masyarakat umum oleh Lembaga Yudikatif di bawah Mahkamah Agung RI, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama, maupun Pengadilan Niaga, maka kian mendekatkan masyarakat yang sama sekali tidak memiliki gelar kesarjanaan dibidang hukum untuk mandiri dan swadaya menuju ruang peradilan baik secara konvensional tatap-muka maupun secara daring lewat eCourt dan eLitigation. Singkat kata, gugat-menggugat menjadi terjangkau bagi masyarakat, karena aksesnya saat kini kian dipermudah bagi masyarakat pencari keadilan tanpa harus didampingi serta tanpa perlu bergantung pada kuasa hukum semacam pengacara / advokat / lawyer.

Ketika seekor anjing menggigit manusia, kasusnya sudah banyak terjadi, sehingga bukan lagi menjadi berita yang fenomenal meski tetap memprihatinkan adanya. Namun ketika terjadi peristiwa, dimana seorang manusia yang menggigit seekor anjing, maka kasus langka demikian menjadi memiliki nilai bobot yang akan mendapat sorotan dari publik luas. Sama halnya, seorang Penggugat / Tergugat yang diwakili oleh seorang pengacara berhasil mengalahkan lawan kliennya yang tidak didampingi pengacara di ruang persidangan, bukanlah hal yang tidak lazim terjadi. Namun ketika seorang masyarakat awam hukum yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi hukum, maju bersidang perkara gugat-menggugat baik sebagai Penggugat ataupun Tergugat, tanpa diwakiliki oleh kuasa hukum manapun, dan berhasil menaklukkan serta membuat pengacara lawannya bertekuk-lutut mengakui kekalahan (dipecundangi atau dijungkalkan), barulah menjadi berita yang fenomenal dan layak menjadi pemberitaan bagi konsumsi publik.

Sebenarnya, peristiwa dimana seorang pengacara kalah di ruang persidangan saat menghadapi masyarakat pencari keadilan yang tidak didampingi oleh kuasa hukum, bukanlah hal baru dalam praktik pengadilan di Indonesia. Begitupula dalam kasus atau perkara pidana, Jaksa Penuntut Umum yang berhadapan dengan Terdakwa yang tidak didampingi pengacara saat didakwa dan dituntut, tidak semuanya berakhir pada dikabulkannya tuntutan dari pihak Jaksa oleh Majelis Hakim di persidangan, sebagian dari Terdakwa tersebut mampu membela dirinya dengan menyusun “pledooi” (nota pembelaan) sendiri sehingga dibebaskan dari ancaman hukuman sebagai vonisnya.

Akan tetapi, fenomena di atas kian menjamur dan kian lazim dewasa ini, ketika akses menuju ruang persidangan semakin terbuka lebar bagi masyarakat umum, disertai masuknya era disrupsi teknologi digital yang mana informasi seputar ilmu maupun praktik keterampilan hukum membanjiri dunia maya mulai dari peraturan perundang-undangan, draf surat gugatan, putusan pengadilan, dan lain sebagainya, sehingga tren kekinian ialah semakin beraninya masyarakat awam hukum sekalipun untuk maju bersidangan tanpa didampingi kuasa hukum ataupun diwakili pengacara manapun, baik sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat—mereka menjadi “pengacara” untuk diri mereka sendiri.

Yang menjadi reaksi paling lumrah dari kalangan pengacara (mewakili kliennya) saat menghadapi lawan berupa seorang warga awam hukum yang tampil seorang diri tanpa didampingi pengacara manapun di persidangan, baik sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat, ialah diremehkan dan disepelekannya warga dimaksud, baik secara verbal eksplisit merendahkan ataupun menertawakan, intonasi, maupun lewat mimik wajah atau bahasa tubuh—namun yang tidak diketahui oleh para pengacara tersebut ialah, di latar belakang, dibalik sosok sang warga yang tampil seorang diri, terdapat seorang “arsitek” atau seorang konseptor hukum yang memandu dan memberi asistensi sang warga dari jarak jauh sehingga tampil percaya diri seorang diri ke persidangan menghadap hakim maupun menghadapi lawannya yang didampingi pengacara, sosok tidak kasat mata demikian tidak lain ialah penulis selaku seorang konsultan hukum.

Jauh sebelum fenomena yang kian marak demikian, tepatnya pada era digital internet dan keterbukaan informasi perihal peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan (baik preseden maupun yurisprudensi) dan format-format baku baik surat gugatan maupun surat jawaban, terbuka lebar demikian derasnya di dunia maya, penulis telah memprediksi akan datangnya fenomena “Digital era mean the end of lawyers” yang kini benar-benar terjadi dan menjadi kenyataan, sehingga penulis mengambil inisiatif radikal berupa “banting setir” dari dunia litigasi di ruang pengadilan dengan merintis jasa konsultasi seputar hukum sebagai seorang Konsultan Hukum.

Penulis akui, penulis merupakan salah satu diantara sedemikian banyak para motor penggerak masuknya era baru yang menjadi titik balik akhir dari dunia profesi pengacara di Tanah Air, dengan dibangunnya website hukum ini sejak satu dekade lampau, serta menjadi konseptor maupun “arsitek” dibalik upaya hukum gugat-menggugat yang dihadapi Klien ketika harus tampil bersidang seorang diri tanpa didampingi kuasa hukum semacam pengacara—profesi mana sudah sangat buruk citranya di mata masyarakat, akibat ulah banyak kalangan pengacara itu sendiri sehingga mengundang banyak antipati maupun sentimen negatif dan pandangan sinis dari masyarakat awam hukum sekalipun.

Dapat Anda bayangkan, bagaimana jatuh terpuruknya mental seorang pengacara ketika dipukul jatuh dan “K.O.” (Knock Out) di ruang persidangan ketika sang warga yang maju bersidang seorang diri berhasil mengalahkan seorang pengacara maupun satu tim pengacara yang pada mulanya memandang sebelah mata sang warga yang maju seorang diri tanpa pendampingan kuasa hukum—terkecuali pengacara yang memang tidak pernah punya harga diri, dimana juga tidak punya malu setelah ditaklukkan dan dibuat bertekuk-lutut oleh mereka yang tidak bergelar Sarjana Hukum, namun masih juga banyak bicara, sesumbar, berbangga diri dengan gelarnya sebagai pengacara, pengobral statusnya sebagai pengacara, besar mulut, serta tampil arogan seolah menjadi penguasa di ruang persiangan yang diklaim mereka sebagai “rumah kedua” kalangan pengacara.

Sekadar sebagai gambaran bagi para pembaca, era keemasan kalangan profesi pengacara, saat kini sejatinya telah lewat dan berlalu menjadi bagian dari sejarah masa lalu, dimana mimpi indah dinikmati oleh kalangan pengacara dari generasi sebelumnya yang kini sudah tua dan sebagian diantaranya telah uzur atau bahkan telah menjelma “almarhum”, yakni tepatnya pada era dimana dunia digital daring belum dikenal luas dan merakyat seperti sekarang ini dimana hampir setiap keluarga memiliki akses internet untuk menghimpun dokumen-dokumen seperti format baku surat gugatan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, teori-teori ilmu hukum, dan lain sebagainya—yang mana kesemua itu dahulu kala menjadi monopoli kalangan pengacara, saat era kehidupan masyarakat masih sangat konvensional.

Sejak tahun 2008, yang artinya satu dekade lebih sebelum uraian ini penulis susun, berakhirnya era keemasan kaum pengacara telah mampu diprediksi secara akurat oleh seorang tokoh yang mencetuskan istilah “The End of Lawyers” lewat bukunya yang fenomenal dan mengundang banyak perhatian maupun kontroversi dari kalangan pemerhati maupun praktisi hukum di seluruh dunia, tidak terkecuali mendapat perhatian luas dari kalangan hukum di Indonesia. Review buku dimaksud dapat kita rujuk dari https:// www. lawgazette .co.uk /reviews/book-review-the-end-of-lawyers-paperback-edition/58077.article, dengan kutipan sebagai berikut:

BOOK REVIEW The End of Lawyers? (paperback edition).

Author: Richard Susskind.

Publisher: Oxford University Press.

In many ways, Richard Susskind has much to be happy about. As he notes in the introduction to the paperback edition of The End of Lawyers?, he can identify key ways in which the global legal market has developed along lines he advocated in his 1996 book The Future Law.

Writing in the current environment, Susskind feels confident charting his own vindication. Many more managing partners are arguing that there are too many lawyers, and too many law firms; use of technology has improved dramatically; there is offshoring and legal process outsourcing; the shape of both law firms and legal advice is changing.

‘Over the last 30 years,’ he writes, ‘my conviction about the need for change in the legal system has remained fairly steady. In contrast… the position of most legal practitioners has shifted.’ This is, he thinks, ‘in response to my published views on the future of the legal world…’.

Perhaps because the legal world has changed, The End of Lawyers? lacks the impact of earlier works. As Susskind acknowledges, commenting on technology, lawyer-client relationships, outsourcing and offshoring is a crowded area these days. And for those who comment, Susskind included, there are now many more credible examples of technology, tools and business models that can be generalised in to a hugely changed legal landscape.

But general counsel should negotiate harder on fees, Susskind argues, and have ‘little appetite’ for the technology planning and systems-design that will change the legal system. Unless more respond to ‘intolerable pressure’ on costs, Susskind thinks that some general counsel will be among those who do not have a future.

Advice that could be wholly or partially ‘automated’ is a key part of Susskind’s book, and here there are a growing number of examples for him to cite. These now include products that, price-wise, are within the reach of the public, and smaller legal practices. The ability of the non-lawyer consumer to use these products will, Susskind argues, make possible ‘access’ to legal services that, in many instances, bypass lawyers.

But he does not envisage the actual ‘end’ of lawyers. Some types will wither, others will adapt, and others may sit in different countries to their clients; technology will have a role that is stronger than offering electronic versions of the ‘scribe’ of ancient times, or the cut-and-paste functions that it was utilised for from the mid-90s.

Eduardo Reyes.

[NOTE : Richard Susskind is IT adviser to the Lord Chief Justice of England and Wales. He is also visiting professor at the Oxford Internet Institute.]

Siapa yang menyangka, bahwa profesi Konsultan Hukum merupakan “predator” yang mematikan profesi Pengacara, semata karena fungsi atau peran utama Konsultan Hukum sejak semula ialah mengajak dan mengasistensi Klien untuk memitigasi masalah atau bibit sengketa hukum, preventif alih-alih kuratif. Hal tersebut terungkap menjadi salah satu pokok sentral bahasan tulisan Richard Susskind, disamping faktor disrupsi teknologi informasi berbasis internet era digitalisasi serta keterbukaan informasi yang begitu deras tanpa sekat ruang maupun waktu, tidak terkecuali akses peradilan yang kian terbuka lebar bagi masyarakat umum. Preposisi demikian kita jumpai dalam sumber https:// www. advicenow .org.uk /lawforlife/research-and-theory/the-end-of-lawyers-rethinking-the-nature-of-legal-services, dengan kutipan sebagai berikut:

The end of lawyers? Rethinking the nature of legal services

Access to Justice.

In this influential book Richard Susskind (2008) argues that in a just society, access to justice should be extended to include legal guidance and legal health promotion - legal insight should be at everyone's fingertips.

Susskind argues that access to justice is as much about dispute avoidance as it about dispute resolution. Just as lawyers are themselves able, because of their training and experience, to recognize and avoid legal pitfalls, in a just society - one in which legal insight is an evenly distributed resource - non-lawyers would be similarly forewarned.

However, he observes that clients are often by told by lawyers that they should have consulted them earlier. He uses this to illustrate how clients are often disadvantaged either because they look for legal guidance too late or because they miss altogether an opportunity to assert their entitlements.

Solving legal problems and resolving disputes is affordable, in practice only to the very rich or those who are eligible for some sort of state support. Susskind asks how society can extend the availability of legal services to those not at these poles of the financial spectrum. He suggests a combination of six building blocks. The first of these is to empower citizens, so that they can take care of some legal affairs on their own and work more productively with those who advise them.

In seeking to redefine access to justice, Susskind compares the law to health using the analogy - prevention is better than cure arguing that people would prefer a fence at the top of the cliff rather than an ambulance at the bottom.

Semakin perlunya memberi edukasi kepada masyarakat, betapa preventif lebih baik daripada kuratif, yakni menjalani sesi konseling hukum dengan profesi Konsultan Hukum sebelum potensi sengketa tercipta merupakan mitra hukum yang paling ideal serta paling efisien bagi masyarakat. Dengan kata lain, dimasa yang akan datang, kompetitor paling utama kalangan profesi pengacara bukanlah pengacara lainnya yang telah banyak menjamur di berbagai kota dan daerah, namun kalangan profesi Konsultan Hukum. Disamping itu, Konsultan Hukum konvensional akan kalah bersaing menghadapi Konsultan Hukum yang eksis pada serta merambah dunia digital.

Yang jelas, dari praktik hukum penulis selama ini, seluruh peran dan fungsi pengacara dapat digantikan oleh seorang Konsultan Hukum yang cukup memainkan perannya di latar-belakang sebagai pemandu dan konseptor bagi masyarakat yang hendak bersidang secara mandiri, dan telah penulis buktikan efektivitasnya disamping lebih membuahkan rasa puas bagi Klien pengguna jasa, mengingat Klien mengusai seluruh proses jalannya persidangan secara langsung dan memegang kendali atas seluruh dokumen tanpa harus bergantung pada itikad kaum pengacara yang sukar diterka niat batinnya. Sementara itu dalam situs “https:// susskind .com”, tertuang sinopsis singkat beberapa buku karya tulis Richard Susskind, antara lain:

Online Courts and the Future of Justice by Richard Susskind

Out in paperback on 14 November 2019 (UK) and 14 December 2019 (US).

Published by Oxford University Press.

In this book, Richard Susskind, the world's most cited author on the future of legal services, shows how litigation will be transformed by technology and proposes a solution to the global access to justice problem.

Online courts provide online judging - the determination of cases by human judges but not in physical courtrooms. Online courts also provide tools to help users understand relevant law and to formulate arguments and assemble evidence. They offer non-judicial settlements such as mediation, not as an alternative to the public court system but as part of it. In years to come, court determinations may even be made by AI-based systems.

Online Courts and the Future of Justice is a case study in the digital transformation of a vital public service.

Tomorrow's Lawyers Second Edition

out in paperback on 25 May 2017

Published by Oxford University Press

For Richard Susskind, the future of legal service is neither Grisham nor Rumpole. Instead, he predicts a world of online courts, AI-based global legal business, liberalized markets, commoditization and outsourcing, internet-based simulated practice, and new legal jobs.

This book is a definitive and updated introduction to this future – for aspiring lawyers, and for all who want to modernize and upgrade our legal and justice systems. It offers practical guidance for everyone intending to build careers and businesses in the law.

Richard Susskind--Biography

Professor Richard Susskind OBE is an author, speaker, and independent adviser to major professional firms and to national governments. His main area of expertise is the future of professional service and, in particular, the way in which the IT and the Internet are changing the work of lawyers. He has worked on legal technology for over 30 years. He lectures internationally, has written many books, and advised on numerous government inquiries.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.