Rekaman Video / Audio secara Tersembunyi, apakah Valid dan Sah menjadi Alat Bukti di Persidangan?

LEGAL OPINION

Kekuatan Alat Bukti Rekaman Audio maupun Video yang Direkam Tanpa Seizin maupun Sepengetahuan Terdakwa / Tergugat

Alat Bukti PENGGEMBIRA / PELENGKAP Vs. Alat Bukti SUBSTANSIAL

Question: Secara hukum, bagaimana nasib kekuatan pembuktian alat bukti berupa rekaman suara ataupun rekaman video, yang diambil tanpa sepengetahuan seseorang yang kita laporkan ke polisi ataupun yang kita gugat ke pengadilan, apakah akan diterima atau ditolak hakim?

Brief Answer: Itu menjadi salah satu pertanyaan paling lazim yang kerap ditanyakan oleh para Klien dari SHIETRA & PARTNERS, sekaligus pertanyaan yang penting untuk ditanyakan dan diketahui pemahamannya secara konkret oleh masyarakat pada umumnya maupun bagi aparatur penegak hukum pada khususnya, mengingat aturan normatif hukum tertulisnya masih demikian ambigu serta pernuh kerancuan bila tidak dapat disebut sebagai penuh polemik yang tidak jelas nasibnya.

Pada satu sisi, segala jenis rekaman digital, termasuk sebagai alat bukti yang menurut Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diakui sah sebagai alat bukti yang valid untuk dipakai di persidangan, baik bagi keperluan pembuktian perkara pidana maupun perkara perdata. Namun pada sisi lain, secara rancu telah pernah terbit putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) yang mengabulkan uji materiil yang dimohonkan oleh seorang Mega-Koruptor kasus korupsi e-KTP bernama Setya Novanto yang tersandung skandal “papa minta saham”, dimana MK RI dalam putusannya menyatakan bahwa rekaman audio yang diambil tanpa seizin ataupun sepengetahuan yang direkam, adalah invalid alias tidak sah. Alhasil, pasca putusan MK RI di atas, praktik rekam-merekam seolah menjadi “ruang hampa” yang tidak jelas dan tidak pasti pengaturan hukumnya perihal kebolehan ataukah larangan untuk merekam secara “candid camera” ataupun “candid voice recorder”.

Dalam dunia pers, sebagai analogi, Kode Etik Pers mewajibkan kalangan insan jurnalis untuk tidak merekam dan tidak mendokumentasikan apapun informasi dari pihak narasumber, bila sang narasumber mengucapkan kalimat berikut : “OUT OFF RECORD”, yang bermaka : tidak boleh direkam ataupun didokumentasikan dalam bentuk wadah atau medium apapun. Kini, kita pun mengenal istilah semacam “citizen journalistic” alias “pewarta warga”, mengingat hampir seluruh warga dewasa ini tergolong aktif mewartakan berbagai berita terkait kehidupan sosial maupun ekonomi bermasyarakat ke media sosial maupun media daring ataupun metode broadcast lainnya, dimana alat perekam audio maupun video, termasuk kamera berdefinisi tinggi, semua itu telah demikian praktis penggunaannya dengan menggunakan perangkat semacam gadget bernama telepon genggam yang sudah menjadi produk massal yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sehari-harinya kemana pun dan dimana pun berada.

Contohnya ialah pihak aparatur penegak hukum kerap menyidik Tersangka kasus kriminalitas seperti pencurian ataupun perampokan, berdasarkan hasil rekaman CCTV (close circuit television) yang menangkap dan merekam aksi kejahatan sang kriminil. Pertanyaan filosofisnya ialah, adakah kalangan penjahat yang demikian bodohnya menyetujui atau mengizinkan aksi jahatnya diketahui dan direkam oleh pihak korban atau oleh pihak lainnya? Kejahatan-kejahatan yang “canggih” (penuh modus tipu-muslihat), hampir selalu terjadi di ruang temaram, jika perlu tertutup sama sekali agar tidak diketahui oleh publik. Tiada kriminil yang transparan, sehingga tabir mereka perlu disingkap (piercing the criminal veil).

Contoh lain, di ruang privat seperti dalam rumah atau bahkan di dalam kamar tidur, seorang penjahat semacam seorang pencuri memasuki rumah korban, tentunya tanpa izin yang punya rumah, lantas “menggasak” harta-harta berharga milik pemilik rumah yang ia temukan di kamar tidur rumah korbannya. Kebetulan, tanpa sepengetahuan sang pencuri, ruang di kamar tidur diawasi dan direkam oleh CCTV yang telah dipasang secara rahasia “candid” oleh pemilik rumah yang pergi meninggalkan rumah untuk bekerja di luar rumah. Pertanyaan falsafah hukum-nya kini ialah, apakah sang “maling” kemudian dapat menolak dihadirkannya alat bukti berupa rekaman CCTV yang berasil merekam aksi jahat sang pencuri, dengan pokok keberatan bahwa:

Rekaman CCTV yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dilakukan tanpa seizin ataupun sepengetahuan saya, bahkan direkam saat saya berada di ruang privat semacam rumah kediaman, tepatnya di kamar tidur!

PEMBAHASAN:

Seringkali, kasus-kasus kriminalitas di tengah masyarakat pelakunya dapat dibekuk aparatur penegak hukum dan dijerat vonis pemidanaan oleh hakim di pengadilan, semata berkat rekaman CCTV sebagai satu-satunya alat bukti substansial yang dimiliki pihak berwenang (penyidik kepolisian) maupun Kejaksanaan selaku Jaksa Penuntut Umum di pengadilan, sementara itu kesaksian korban tidak dapat menentukan secara pasti siapa pelaku kejahatannya saat beraksi semisal, karena faktor jarak, kurangnya perhatian, atau lemahnya ingatan. Saksi mata lainnya pun hanya melihat lokasi kejadian paska ditinggal perginya pelaku. Kesemuanya berkualitas sebagai saksi, namun tidak bersifat substansial untuk dapat menentukan secara pasti siapa pelakunya.

Atau pada kasus ketika penyidik telah mengantungi banyak alat bukti semacam barang hasil kejadian pencurian, alat-alat yang digunakan oleh pelaku ketika melakukan aksi pencurian, sementara itu satu-satunya alat bukti yang dapat menunjuk dan membuktikan seseorang sebagai tersangka utamanya, ialah terungkap dari rekaman CCTV yang terpasang dan mengawasi tanpa sepengetahuan pelaku saat beraksi. Alat bukti dalam contoh kasus demikian, memang telah memenuhi syarat formil tuntutan, yakni lebih dari satu alat bukti untuk dapat didakwa dan dituntutnya seseorang Terdakwa.

Namun demikian, alat bukti yang dapat menunjukkan dengan pasti siapa pelakunya atau bahwa benar Terdakwa adalah pelakunya, dalam banyak kasus seringkali hanya bertopang pada hasil rekaman CCTV—karenanya, alat bukti yang bersifat substansial bisa jadi hanya berupa satu buah alat bukti, selebihnya hanyalah alat bukti “pelengkap” yang tidak signifikan dan sekadar dihadirkan Jaksa Penuntut Umum ke persidangan sebagai “penggembira” atau “pemanis” belaka (semisal warga yang sekadar menjadi penonton di lokasi tempat kejadian perkara), dalam rangka “mengakali” hukum acara pidana yang menurut asasnya menyatakan “satu alat bukti bukanlah alat bukti” (“unus testis nullus testis”)—namun Hukum Acara Pidana tidak mewajibkan dua buah alat bukti yang bersifat substansial, dan itulah tepatnya “celah hukum” yang dibuka ruangnya oleh hukum acara pidana di Indonesia.

Ketika bukti konkret kuat tidak terbantahkan satu-satunya tersebut (hanya ada satu alat bukti yang bersifat substansial, sementara alat bukti lainnya sekadar berperan sebagai “penggembira”) kemudian dinyatakan invalid dan tidak sah untuk dinyatakan sebagai alat bukti yang bernilai dan berharga untuk menyatakan Terdakwa betul telah bersalah sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum, semata karena tidak diizinkan oleh oleh pelaku yang direkam aksinya secara “tersembunyi dan diam-diam tanpa disadari oleh pihak pelaku saat beraksi”, maka apakah artinya sang Terdakwa yang merupakan pelakunya tersebut harus dilepaskan dari jerat hukum oleh hakim di pengadilan?

Ketika “mudarat lebih besar daripada manfaat” saat suatu rekaman “candid” audio maupun video dinyatakan sebagai tidak sah dan invalid, semata karena tidak diketahui ataupun tidak diizinkan oleh sang kriminil yang direkam aksi modus kejahatannya, maka itulah pintu masuk “moral hazard”. Asas kemanfaatan menuntut aparatur penegak hukum untuk lebih berfokus pada kemanfaatan yang lebih besar daripada mudaratnya, yakni tetap mengakui alat bukti rekaman tersebut dalam rangka tegaknya hukum, dan memberi kepastian perlindungan hukum bagi korban, dalam rangka sebagai dis-insentif bagi pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan “celah hukum” dengan bermain dalam ranah itikad tidak baik sembari bersembunyi dan menyembunyikan wajahnya yang bertujuan merugikan warga lain maupun negara. Tentu tidak dapat kita biarkan tanpa penghukuman.

Katakanlah, jika hakim menilai alat bukti berupa rekaman audio maupun video demikian, ialah tidak sahih karena direkam tanpa seizin maupun sepengetahuan pihak Tergugat ataupun Terdakwa, maka ia dapat saja diturunkan “derajat”-nya sebagai alat bukti “persangkaan” dalam perkara perdata maupun sebagai alat bukti “petunjuk” dalam perkara pidana—yang mana bilamana terdapat alat bukti lain seperti barang atau saksi mata, maka telah terpenuhi prasyarat dipidananya seorang Terdakwa karena telah terpenuhi minimal dua alat bukti untuk meyakinkan Majelis Hakim bahwa sah meyakinkan sang Terdakwa telah bersalah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Namun tidak dapat dibenarkan secara moril bila fakta yang terungkap hasil rekaman “candid camera” tidak memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah dan berharga, semata karena Terdakwa berkeberatan telah direkam tanpa seizin dirinya. Sementara itu perihal putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), untuk itu Mahkamah Agung RI (MA RI) telah pernah menyatakan bahwa putusan MK RI bersifat “law in abstracto”, akan tetapi putusan MA RI bersifat “law in concreto”—karenanya apapun putusan MK RI terkait bukti hasil rekaman tanpa seizin seorang Terdakwa, MA RI punya pendiriannya sendiri sebagaimana selama ini berjalan dalam praktik dan menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan konkret di lapangan alih-alih sekadar memuaskan “teori”, sekalipun itu artinya harus bersikap pragmatis perihal bukti rekaman “candid”.

Karena itulah, alat bukti berupa rekaman audio maupun video, sekalipun dihimpun atau direkam tanpa seizin maupun sepengetahuan pihak Terdakwa maupun Tergugat, maka opsi yang paling rasional ialah tetap ajukan sebagai alat bukti ketika Penggugat mendaftarkan gugatan ke pengadilan ataupun ketika Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan ke persidangan perkara pidana, dimana selebihnya hakim yang akan menilai dan menentukan status alat bukti rekaman tersebut, apakah akan dipakai oleh hakim atau tidaknya dalam memerika dan memutus perkara.

Kurang lebih inilah strategi ataupun skenario yang dapat terjadi : Ketika pihak Terdakwa atau Tergugat semata mengajukan keberatan terhadap alat bukti rekaman audio maupun video, yang dihimpun atau direkam tanpa seizin maupun sepengetahuan pihak Terdakwa maupun Tergugat, maka itu menjadi “persangkaan” ataupun “petunjuk” bag hakim yang memeriksa perkara, bahwa isi atau substansi rekaman tersebut adalah benar adanya, semata karena tidak dibantahnya perihal isi rekaman oleh pihak Terdakwa ataupun Tergugat. Sementara itu, bilamana skenario yang kemudian terjadi ialah pihak Terdakwa atau Tergugat membantah isi rekaman, sama artinya yang bersangkutan tidak berkeberatan aksinya telah direkam oleh pihak korban pelapor maupun oleh pihak Penggugat.

Karenanya, sebagai kesimpulan sekaligus sebagai rekomendasi yang dapat kita tarik ialah : lebih besar manfaat bagi kepentingan pihak Penggugat maupun Jaksa Penuntut Umum untuk tetap menghadirkan alat bukti berupa rekaman audio maupun video, sekalipun dihimpun atau direkam tanpa seizin maupun sepengetahuan pihak Terdakwa maupun Tergugat—alias tetap ajukan sebagai alat bukti, tidak ada ruginya karena pihak Tergugat ataupun Terdakwa akan menemukan kondisi “maju kena, mundur juga kena”, buah simalakama ketika ia dihadapkan kepada fakta yang terungkap dalam alat bukti yang bersifat substansial berupa rekaman digital, sekalipun itu direkam tanpa seizin ataupun sepengetahuan pihak yang bersangkutan.

Alat buktinya bisa jadi dinyatakan “tidak sah”, namun fakta yang terungkap di dalamnya tetap saja berstatus sebagai “fakta hukum”, sekalipun wadahnya dinyatakan “tidak sah” semata karena merupakan hasil rekaman tanpa seizin maupun sepengetahuan pihak yang terekam. “Fakta hukum” itu sendiri bersifat bernilai dan berharga, sehingga yang bernilai dan berharga bukanlah “alat bukti” itu sendiri, namun “fakta hukum” yang terungkap dalam proses pembuktian di persidangan.

Tidak penting apakah “alat bukti” semacam itu akan dinyatakan sah atau invalid oleh persidangan nantinya, yang terpenting ialah “fakta hukum” yang tersimpan dibaliknya terungkap di persidangan. Bila “alat bukti” adalah wadah, maka “fakta hukum” ialah substansinya—sehingga keduanya adalah dua yang sejatinya saling terpisah satu sama lainnya. Tidak ada “fakta hukum” yang bersifat tidak sah, semua “fakta hukum” bersifat bernilai dan berharga adanya, demikianlah falsafahnya untuk dipahami setiap aparatur penegak hukum terutama hakim pemeriksa dan pemutus perkara di pengadilan. Hukum yang hidup, lebih sering bersifat “stategis” dan konkret sesuai konteks kebutuhan tegaknya hukum di lapangan, daripada sekadar berupa “teks normatif” perihal boleh atau tidak bolehnya secara formalistik yang kaku dan membekukan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.