SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra : Jadilah
Orang Baik, namun JANGAN PASANG WAJAH / SIKAP ORANG BAIK
BE A PROFESSIONAL : THINK, DECIDE, & ACT LIKE A PROFESSIONAL
Untuk menjadi Orang Baik, harus Siap untuk Disebut sebagai
Bukan Orang Baik, Itulah Seni Paradoks Kehidupan—SI VIS PACEM, PARA BELLUM
Di Balik Layar, jadilah Orang yang Baik. Namun Di
Depan Layar, jadilah Orang yang PROFESIONAL kepada Diri Sendiri dan Orang Lain
Question: Mengapa orang baik, kebaikan hatinya (justru) sering dibalas dengan disepelekan, dijahati, dan tidak dihargai oleh orang lain? Mengapa pemberian budi baik dan air susu (kebaikan hati kita), selalu dibalas air tuba oleh orang lain?
Brief Answer: Kerap penulis menguraikan, bahwa manusia
merupakan “makhluk yang irasional”. Semakin kita melakukan banyak observasi
serta riset sosio-antropologi, atau setidaknya observasi pribadi di keseharian,
kian kita menemukan afirmasi hipotesis penulis tersebut dan menemukan relevansi
dalam setiap sendi kehidupan sosial-kemasyarakatan. Semula, penulis menyetujui
pepatah Inggris yang berbunyi : “Be a
good person, but don’t waste time to prove it.” Namun, belakang hari tips
dari pepatah Inggris demikian tidak lagi memadai untuk bertahan hidup di
Indonesia, sehingga perlu penulis adaptasi menjadi berbunyi : “Jadilah orang
baik, namun jangan perlihatkan sikap baik kita, terlebih mengumbarnya seolah
barang obral-an yang murahan”. Ada cara-cara lain yang lebih kreatif, lebih
sehat, serta lebih tepat-guna untuk menyalurkan kebaikan hati kita, semisal
berdana ke lembaga sosial nirlaba yang profesional, namun jangan pernah
menunjukkan sifat ataupun sikap baik kita kepada sembarang orang tanpa
mencermati “bibit, bebet, dan bobot” yang bersangkutan, mengingat yang kita
hadapi ialah masyarakat kita yang didominasi orang-orang yang “irasional”—sebagian
orang-orang “irasional” tersebut bahkan mmeiliki asumsi bahwa kita akan merasa
senang ketika mereka sakiti dan rugikan.
Jadilah orang baik di belakang orang lain alias
di balik layar atau di ruang temaram, dalam artian tidak memasang “plang” di
atas kepala kita yang bertuliskan “mangsa empuk” untuk dijadikan “sasaran
empuk” para “manusia predator”. Orang dengan niat buruk, lebih cenderung
mencari sasaran empuk bernama orang-orang baik, semata karena sifat pengecut
mereka lebih besar ketimbang rasio mereka. Jadilah orang baik, namun tanpa
terjerumus sifat naif. Kita perlu belajar bahwa kita tidak boleh terlalu
baik kepada orang lain, sebagai prinsip hidup yang perlu kita tegakkan. Seperti
anekdot “Bila ingin hidup damai, bersiap-siaplah untuk berperang” (si vis pacem para bellum). Jika memang
dibutuhkan konfrontasi verbal, maka kita perlu bersikap dinamis (bersikap
fleksibel dalam perilaku) dengan tidak selalu tampil sebagai seorang “good boy”, dalam artian tahu kapan harus
bersikap lunak dan lembut serta tahu kapan harus bersikap tegas dan “bertaring”.
Sebagai solusi yang efektif, kita perlu
mengulang-ulang sabda Sang Buddha berikut ini, “Berbuat baik artinya, tidak merugikan orang lain juga tidak tidak
merugikan diri kita sendiri, serta tidak melecehkan diri kita sendiri.”
Lalu, kita buat prinsip tersebut sebagai aturan main atau parameter indikator,
ketika orang-orang berbuat atau bersikap dan berkata sesuatu yang melampaui “bottom line” kita tersebut, maka kita
harus mengambil sikap tegas seperti menolak ataupun menyatakan keberatan. Kita
pun perlu membuat batasan kepada diri kita sendiri, agar tidak terjerumus
merugikan diri kita sendiri. Cukup Anda sendiri yang tahu dan menyadari
bahwa Anda adalah orang yang baik, selebihnya biarkan orang lain berpikir
bahwa Anda adalah orang yang sebaliknya agar tidak tergoda untuk
menyalah-gunakan sifat baik diri Anda—agar mereka tidak mencoba-coba untuk
bermain-main dengan kebaikan hati dan sifat baik Anda.
Mungkin tips paling sederhana untuk dapat kita
cerna, ialah saran berikut dari pribadi penulis, yakni : Bersikaplah sebagai
seseorang individu atau berkepribadian yang profesional ketika
berhadapan dengan orang lain, bukan sebagai seorang “sinterklas”. Profesional
terhadap orang lain, juga profesional terhadap diri sendiri (dalam artian
memerhatikan apa yang menjadi kebutuhan serta tanggung-jawab kita terhadap diri
kita sendiri). Dibalik layar, silahkan menjadi seorang dermawan, namun jangan
buka ataupun pancing godaan bernama “kesempatan” bagi orang-orang yang memiliki
niat tidak baik terhadap diri kita dengan menjadikan diri kita atau membuka
diri sebagai sasaran untuk dijadikan “mangsa empuk”—itu sama artinya tidak
menghargai diri kita sendiri dan tidak bijaksana. Orang-orang pun akan mengenal
kita sebagai warga / individu yang profesional, dimana kita menghargai
eksistensi diri kita sendiri karenanya orang lain pun perlu bersikap serupa
terhadap kita.
Tiada “deal”
bila orang lain tidak mau bersikap sama profesionalnya terhadap kita, dimana
kita berhak untuk “disconnect” dari
relasi yang tidak profesional demikian. Ketika kita bersikap selayaknya seorang
profesional, kita tidak akan terkungkung oleh perasaan takut ataupun
sungkan untuk menolak ataupun menyatakan ketidaksetujuan, berkata “tidak” bila
secara logika / rasio kalkulasi relasi yang dibangun hanya merugikan diri kita,
mengutarakan pendapat, penilaian, dan juga keputusan kita, memutus relasi jika
diperlukan atau kita nilai / kalkulasi hanya merugikan diri kita dan disaat
bersamaan hanya menguntungkan pihak lain, serta keberanian untuk menuntut apa
yang memang menjadi hak kita disamping menyadari apa yang bukan kewajiban kita.
Relasi yang berupa hanya untung disatu pihak,
pihak lain hanya mau “enak sendirian”, untung di mereka namun rugi di pihak
kita, ataupun seperti “mau menang sendiri”, “mau untung sendiri”, atau “mau
selamat sendiri”, atau bahkan mengorbankan kita demi kepentingan pribadi /
keserakahan mereka, merupakan peringatan dini bagi kita untuk segera memutus
relasi yang tidak sehat demikian, karena kita telah bertekad untuk menjadi
seseorang yang profesional terhadap diri kita sendiri, sehingga dapat
diandalkan oleh diri kita serta menyadari apa yang menjadi hak maupun kewajiban
kita terhadap diri kita sendiri.
Kita pun menjadi mampu untuk berkata tegas, “Itu bukan urusan saya!”, That’s not my business. Jika mereka
mengomentari kita sebagai tidak berjiwa sosial, jawablah tegas tanpa gentar, “MEMANG!”, bahwa Anda bukan seorang
pekerja sosial, namun seorang “businessman”
yang profesional dan hanya berminat untuk “dealing” dengan para profesional lainnya. Bukan kewajiban kita
untuk menjadi “babysitter” orang
lain, silahkan mereka mengganti pokok bau milik mereka sendiri.
Jadikan semboyan berikut sebagai motto yang perlu
kita tanam ke dalam alam bawah sadar kita kemana dan dimana pun kita berada: Be a professional, and act like a
professional. Saya seorang profesional, maka Anda pun harus bersikap
profesional kepada saya. Saya tidak tertarik membuang waktu untuk menjalin
relasi orang-orang yang tidak profesional. Dengan bersikap sebagai individu
yang profesional, mengisyaratkan kepada orang lain bahwa Anda bukanlah
objek untuk dicoba-coba ataupun dipermainkan, bahwa Anda siap untuk menerapkan
sistem “reward” dan “punishment” kepada siapapun yang kita
hadapi, untuk bersikap tegas dan kalkulatif (penuh perhitungan), tegas,
berprinsip, serta tidak membuka diri untuk dimanfaatkan ataupun dirugikan namun
hanya membuka diri untuk saling menguntungkan dalam relasi sosial maupun
bisnis, membatasi diri dari hal-hal yang tidak penting, serta kemampuan untuk
menerapkan penghargaan terhadap diri kita sendiri.
Semua orang, termasuk orang jahat, ingin agar
Anda berperilaku baik bahkan membuka diri menjadi “mangsa empuk” bagi mereka.
Itulah espektasi rata-rata kepribadian masyarakat kita, namun memiliki “standar
ganda” dengan tidak bersikap sama baik atau membalas kebaikan dengan kebaikan.
Seseorang menuntut orang lain berperilaku jujur dan setia kepada dirinya, namun
tidak dirinya kepada orang lain tersebut. Seorang profesional tidak pernah
tertarik untuk “deal” dengan kondisi
“bertepuk sebelah tangan”, lebih baik tidak memaksakan diri untuk “deal” dengan orang-orang tersebut bila
hanya kita seorang yang bersikap jujur.
Fakta atau fenomena sosial tersebut menarik,
sehingga dapat kita maklumi ketika seseorang pernah berpesan dengan pendapat
sebagai berikut, “Yang membuat lelah itu
berusaha memenuhi ekspektasi orang yang jelas tidak ada habisnya” (salah
satunya ekspektasi untuk memuaskan dan menyenangkan diri mereka, bahkan
mengharap kita menjadi “objek pemuas nafsu” mereka). Kita tidak perlu membuat
orang lain berekspektasi apapun kepada kita, tidak menaruh harapan agar disebut
sebagai “a good boy”, sehingga
membuat kita bebas berekspresi dan memaksimalisasi potensi diri atau menjadi
diri sendiri apa adanya, bebas dan merdeka untuk bersikap, berpikir, menilai,
memutuskan, dan menyampaikan pendapat yang memang sesuai apa yang kita
kehendaki dan pikirkan. Sehingga, ketika kita berhasil mencapai sesuatu, maka
sepenuhya itu punya diri kita pribadi.
Tips berikutnya ialah jangan bersikap
seolah-olah Anda si “orang baik” yang (justru) membutuhkan mereka. Orang
baik, cenderung disepelekan karena dinilai “gampangan” sehingga mudah mereka tebak
apa yang menjadi reaksi ataupun respons-nya. Mereka akan menilai bahwa Anda
si “orang baik”, yang (justru) membutuhkan mereka untuk menyalurkan niat
atau obsesi berbuat baik dalam diri Anda—bahkan jika perlu Anda yang
berterimakasih kepada mereka karena telah menolong Anda untuk menyalurkan
hasrat berbuat baik dengan menyenangkan dan memuakan segala keinginan
mereka—sehingga mereka tidak menghargai ataupun menaruh hormat kepada Anda
semata karena delusi bahwa mereka telah “berjasa” (ladang menanam jasa) bagi
Anda sehingga Anda bisa berbuat baik kepada mereka (diperalat dan dimanfaatkan).
Perlu mulai kita sadari, orang-orang dengan
“bibit, bebet, serta bobot” yang buruk, bukanlah “ladang menanam jasa”, lebih
baik kita berwelas-asih dan bersikap baik kepada diri kita sendiri daripada
memaksakan diri berderma kebaikan hati terlebih mengumbar kemurahan hati kepada
orang-orang yang tercela dan tidak tahu budi baik. Tiada yang lebih keliru dan
sekadar menyakiti diri sendiri daripada mengumbar kemurahan hati kepada
sembarang orang. Hanya ada sedikit, manusia yang tahu malu dan tahu budi baik
orang. Karenanya, kita perlu sangat selektif dalam menyalurkan hasrat berbuat
baik secara cerdas disamping tepat sasaran.
Ingat, kita sedang berhadapan atau “dealing” dengan manusia yang
“irasional”, bukan manusia yang sepenuhnya tunduk pada rasio yang logis yang
sehat akalnya. Jangan pernah membuat kesan seolah Anda si “orang baik”, yang
(justru) membutuhkan mereka—jika perlu bersikap “jual mahal”, pemilih,
selektif, membuat batasan diri, penuh syarat, kalkulatif untung-rugi, bertanya
apa manfaatnya bagi Anda, dan menjauhkan diri dari kesan “yes man” atau “easy going”,
tidak lupa akan kepentingan serta kebaaikan bagi diri kita sendiri, agar kita
tidak menemui kesakitan dan kekecewaan terhadap diri kita sendiri. Banyak
manusia diluar sana yang selama ini hidup dengan prinsip “memakan atau
dimakan”, karenanya jangan buka diri secara seronok untuk “dimakan” sebagai
“mangsa empuk” yang bodoh, itu tiada bedanya dengan “mati konyol” dalam
kesia-siaan. Be wise, be smart. Anda tidak sedang
berbuat baik jika menyakiti dan merugikan diri Anda sendiri. Berbuat baik
dimulai dari dan untuk diri kita sendiri.
Jangan pula melupakan, bahwa kita punya diri kita
sendiri serta punya tanggung-jawab terhadap diri kita sendiri pula. Ketika
tidak ada teman seperjalanan yang layak, maka berjalanlah seorang diri. Sama
halnya, ketika tidak ada orang yang layak untuk mendapatkan kebaikan hati kita,
maka cukup bermurah-hati dan berbaik-hatilah kepada diri kita sendiri—kita
layak untuk dikasihi oleh diri kita sendiri, diri kita pun layak untuk
diperlakukan secara baik. Tetapkan sistem meritokrasi “reward and punishment”, dalam artian Anda tetap boleh bersikap baik
dengan batasan tertentu (tidak mengumbarnya) kepada orang-orang yang Anda
jumpai dan hadapi, namun ketika Anda dapati bahwa kebaikan hati Anda justru
disalah-gunakan, tidak dihargai, bahkan menjadi bumerang bagi kepentingan diri
Anda sendiri, maka kita perlu siap memberikna “punishment” dengan sikap tegas kita ataupun dengan tidak lagi
bersikap baik terhadap orang tersebut. Ketika kebaikan hati kita tidak
“bertepuk sebelah tangan”, kita dapat memberi “reward” dengan kembali memberikan kebaikan hati kita kepada orang
tersebut.
Kita tidak perlu memaksakan diri untuk pamer
ataupun mengumpar kebaikan hati, juga tidak perlu memaksa orang lain untuk
menerima kebaikan hati kita bila memang meraka tidak layak dan tidak patut untuk
menerimanya. Jangan pernah membuat sikap atau kesan bahwa Anda yang (justru)
mengemis kepada mereka agar mereka bersedia menerima kebaikan hati kita—itu
namanya tidak menaruh hormat serta gagal menghargai diri kita sendiri yang
karenanya orang lain pun turut tidak menghargai diri kita. Terkadang dan
acapkali, Anda harus menghargai diri Anda sendiri dengan “jual mahal”, selektif
serta cerdas dalam menilai “bibit, bebet, dan bobot” pihak-pihak yang kita
berikan kemurahan hati, dan tidak “gampangan” ataupun “murahan”.
Yang mana bila kita rangkum, maka saran terbaik
yang dapat Anda ingat selalu ialah jadilah seseorang pribadi yang kreatif
dan cerdas, termasuk kreatif dalam menyalurkan niat baik. Tahu kapan
harus memberikan dan tahu kapan harus menahan diri serta menolak, itulah yang
disebut sebagai “seni berbuat baik” alias kebijaksanaan. Orang bodoh,
memang layak dibodohi, termasuk orang-orang baik yang (namun) bodoh. Mereka
gagal untuk melindungi diri mereka sendiri, dan juga tidak mau belajar dari
pengalaman buruk mereka dengan terus-menerus jatuh ke dalam lubang “jebakan”
dan delusi yang sama, yang karenanya mereka bahkan belum bersikap baik kepada
diri mereka sendiri. Kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum
secara prematur mengembangkan hasrat-obsesi untuk menolong dan berbuat baik
kepada orang lain.
Orang-orang yang bijaksana, selalu cerdas sebagai
basis cara berpikirnya. Sebagai contoh, orang yang bijaksana akan terlebih
dahulu memasang masker oksigen ketika pesawat yang ditumpangi olehnya mengalami
keadaan darurat di angkasa, sebelum menolong memasangkan masker oksigen kepada
sanak-keluarganya. Tolong berbuat baik serta bertanggung-jawab kepada diri kita
sendiri terlebih dahulu. Jangan bersikap seolah-olah tidak ada cara berbuat
baik yang lebih sehat, lebih efektif, dan lebih tepat guna. Keberanian,
selalu menjadi pangkal dari kecerdasan. Sementara itu kecerdasan merupakan
pangkal dari kebijaksanaan, dimana kebijaksanaan merupakan pangkal dari
“kebaikan hati yang sehat”.
Be a realistic person, a good person but realistic. Ini adalah dunia manusia,
sang makhluk “serigala bagi sesamanya”, dimana bila kita tidak pandai-pandai
menjaga diri, maka kita yang akan “dimakan bila tidak memakan”. Jadilah orang
baik, dan tampil sebagai orang baik serta curahkan kebaikan hati kita secara
terbuka, ketika kita telah berada di alam surgawi dimana para penghuninya akan
menghargai kebaikan hati kita dan mengharap bersikap saling baik satu sama
lainnya. Jangan sampai secara prematur kita “mati konyol” sebelum sempat
memasuki alam surgawi, akibat dimakan “manusia predator” di dunia manusia. Yang
selalu menjadi masalah utama di dunia manusia ini bukanlah menjadi orang baik,
namun ialah tidak semua orang bekerja dengan cara pikir seperti kita “balas
kebaikan dengan kebaikan”, namun banyak orang diluar sana yang tidak tahu budi
sehingga “balas budi baik dengan air tuba” bahkan tanpa rasa takut ataupun malu
menjadikan orang baik sebagai “mangsa empuk” alih-alih dilestarikan dan dihargai.
Jadilah orang baik yang cerdas dan berani untuk menolak
serta berani untuk jujur kepada diri kita sendiri maupun berani untuk
mendahulukan kepentingan diri kita sendiri, itulah makna bijaksana, dimana niat baik
bertemu dengan cara menyalurkan kebaikan yang benar serta orang-orang yang
tepat untuk menerimanya secara selektif. Mengutip pendapat seseorang tokoh yang
pernah menyatakan kalimat menggugah penuh keberanian untuk “self determination” berikut:
“Delete, unfollow, block, dan
putuskan hubungan dari siapapun dan apapun, yang merampas kedamaian dan
kebahagiaan kita, bukan hanya di media sosial tapi juga di kehidupan nyata,
kita tidak perlu berada di sekitar orang-orang yang gagal serta tidak punya
kemauan untuk melihat dan menghargai nilai yang ada pada diri kita.”
PEMBAHASAN:
Boleh percaya (namun) boleh
juga tidak, “berwajah iblis namun berhati malaikat” akan lebih dihargai dan
disegani serta dihormati oleh orang-orang ketimbang “berwajah malaikat dan
berhati malaikat”. Sinterklas adalah dermawan (orang baik hati yang bermurah
hati), namun mengapa hanya eksis di publik selama 1 hari dari 365 hari dalam
setahun? Karena pada 364 hari lainnya, sang Sinterklas memakai “domba berbulu
musang” agar dapat “survive”
ditengah-tengah masyarakat kita yang dikenal “predatoris”. Seperti dituturkan
oleh Ajahn Brahm, “Orang suci pun
sesekali perlu menampilkan taring tajamnya agar tidak menjadi objek bullying
orang-orang dengan tangan yang nakal.” Psikologi manusia penuh oleh cara
berpikir yang “irasional” dalam melihat dan memandang segala fenomena sosial.
Karenanya, jangan pernah
memasang wajah “malaikat” di muka umum, termasuk di dalam internal keluarga dan
rumah-tangga Anda sendiri, semata karena kita sedang berurusan dengan para
makhluk “irasional”, sehingga dibutuhkan pendekatan maupun sentuhan yang juga
“irasional”. Orang-orang yang bertipe “rasional” (balas kebaikan dengan
kebaikan), adalah langka adanya, karenanya kita boleh berasumsi bahwa setiap
orang yang kita kenal maupun jumpai, ialah orang-orang yang “irasional”—kecuali
hingga terbukti sebaliknya—sehingga tidak jarang kita mendapati kenyataan pahit
“balas budi baik dengan air tuba”, dan pola-pola semacam demikian masif kita
jumpai dikeseharian di tengah-tengah kita dewasa ini, sehingga kita perlu
belajar dari pengalaman tersebut dengan tidak kembali jatuh pada “perangkap
mental” yang sama dalam rangka belajar melindungi diri.
Berdasarkan hasil riset yang
penulis dalami, telah ternyata ribuan “keyword”
seperti “mengapa orang baik disakiti”, “mengapa orang baik tidak dihargai”,
“mengapa orang baik disepelekan”, “orang baik dikecewakan”, “orang baik dan
bodoh beda tipis”, maupun kata kunci semacam “why you should stop being a good
person”, dewasa ini mendominasi pencarian para netizen pada mesin penelusuran
media maya dengan tema sosial-kemasyarakatan, bukan hanya di Indonesia, bahkan
juga menjadi isu sosial kontemporer di mancanegara. Berita baiknya ialah, Anda ternyata
tidak seorang diri. Fakta tersebut mengindikasikan, bahwa fenomena semacam itu
bukanlah anomali, namun sudah menjadi pola sosial masyarakat kita itu sendiri.
Terdengar irasional dan tidak masuk diakal, sama irasionalnya dengan apa yang
telah pernah disabdakan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada:
“Hidup
adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari
muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran. Sebaliknya, hidup adalah sulit
bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat,
terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).”
Hati-hati, seseorang yang
terlalu baik cenderung akan disepelekan orang lain, itulah peringatan pertama
alias “WARNING” bagi Anda,
orang-orang baik yang langka dan hampir punah—alih-alih dilestarikan, justru
dijadikan sasaran dan “mangsa empuk” oleh masyarakat kita—karenanya Anda perlu
menjaga diri dengan baik. Untuk menjadi orang yang baik, ingatlah bahwa modal
utama yang perlu Anda bekali ialah kepribadian yang kuat, setidaknya keberanian
untuk menyatakan apa yang rasio Anda katakan. Bersikap baik, namun tetap bisa bersikap
tegas dan berpendirian teguh, itulah seni yang perlu kita pertajam dan kuasai.
Seseorang akan lebih cenderung dihargai jika ia bisa menampilkan sikap tegas
dan “menjadi dirinya sendiri” (kemampuan untuk bersikap jujur pada diri kita
sendiri).
Pahamilah, bahwa berbuat baik
merupakan hak dan pilihan hidup, bukan kewajiban hidup. Karenanya, berbuat baik
selalu terbuka bagi “option in” dan “option out”, sewaktu-waktu kita merasa
berbuat baik kepada orang yang tidak layak dan tidak tepat, kontraproduktif
terhadap kepentingan dan kebaikan diri kita pribadi sehingga kita berhak untuk
menarik diri dan tidak lagi baik terhadapnya. Keberanian bersikap bertemu
dengan sikap yang fleksibel dan dinamis, agar kebaikan hati Anda tidak mudah
“disetir” oleh orang-orang yang itikadnya belum tentu baik kepada Anda.
Orang naif biasanya memiliki
keyakinan keliru bahwa bersikap polos (sekaligus “bodoh”) akan dihargai oleh
orang lain—itu adalah “delusi”—sehingga merasa tidak memiliki kuasa untuk
menolak permintaan orang lain, tidak bisa mengekspresikan diri seperti
menampilkan kemarahan dan kekecewaan ataupun ketidaksukaan, terlampau
memperdulikan pendapat dan komentar orang lain, berorientasi menyenangkan dan
memuaskan setiap orang, terobsesi disebut “orang baik” sekalipun disakiti,
dikuasai oleh rasa sungkan, lebih suka menanggung derita sendiri, selalu
mengalah demi kepentingan orang lain dan menomorduakan kepentingan diri
sendiri, dan selalu mementingkan kebutuhan orang lain daripada diri mereka
sendiri.
Karakteristik semacam demikian,
dibaca oleh orang lain sebagai tipe kepribadian yang lemah, sehingga seolah-olah
membuka ruang bagi orang lain untuk menyepelekan dan memanfaatkan kebaikan hati
Anda demi keuntungan pribadinya secara terang-terangan ataupun secara
terselubung. Betapa tidak, orang lain akan lebih mudah menebak reaksi Anda jika
diminta pertolongan atau ketika meminta sesuatu dari Anda. Adalah naif, bila
berasumsi bahwa semua orang sama lugu dan jujurnya dengan Anda. Seringkali, niat
baik perlu diselaraskan dengan rasio, berpikir rasional, agar kita memiliki
pola kebiasaan baik yang “sehat”.
Jika memang kita sebenarnya memiliki
pendapat yang berbeda, tak perlu memaksakan diri menjadi “the good boy” semata demi menyenangkan dan memuaskan orang lain. Jika
Anda merasa sungkan, setidaknya jangan tunjukkan rasa sungkan kita di hadapan
orang lain, semata agar kita tidak “dimakan” oleh orang-orang di luar sana.
Tiada jaminan mereka akan bersikap sama baiknya kepada Anda, atau membalas
kebaikan dengan kebaikan hati. Jika tidak siap dikecewakan, maka jangan menaruh
harapan semu. Jangan sampai haparan Anda membiaskan pandangan Anda terhadap
realita dimana dunia ini tidak pernah kekurangan orang-orang dengan niat buruk.
Jadilah dan milikilah kepribadian “orang baik yang rasional”, bukan “orang baik
namun delusif”.
Sikap yang baik jika porsinya
berlebihan, justru akan berdampak buruk, kontraproduktif bagi kepentingan dan
kebaikan diri sendiri. Ingatlah selalu, bahwa diri kita pun punya hak untuk
diperlakukan dengan baik, setidaknya oleh diri kita sendiri dengan menjaga diri
kita baik-baik agar tidak masuk kedalam modus atau perangkap mental seperti
diperalatnya kebaikan hati kita. Belum tentu mereka akan balik membantu kita
juga dikemudian hari, meski kini kita membantu mereka secara tulus bahkan lewat
pengorbanan diri. Bahaya kedua, jika kita sering meng-“iya”-kan permintaan orang
lain, maka itu menggoda mereka untuk melakukan “profiling” terhadap diri kita, bahwa kita akan selalu mengiyakan
permintaan mereka, seperti apapun sikap mereka terhadap kita. Terbuka
kemungkinan mereka hanya akan mendekati kita ketika ada maunya saja, mengambil
keuntungan dari kita—karena kita selama ini membuka diri untuk “dieksploitasi”.
Tutup dan jaga baik-baik pintu rumah Anda, bila tidak ingin mengundang niat
jahat kalangan maling.
Menjadi orang baik memang mulia,
namun terlampau baik tanpa tahu batasan pun bisa menjadi peluru tajam yang
balas melukai kita. maka, berhentilh bersikap terlalu baik, dan ber-“positive thinking” bahwa kita bisa
melanjutkan hidup cukup dengan berwelas-kasih kepada diri kita sendiri sebagai
prioritas utamanya, tanpa perlu mengemis-ngemis agar kita dapat disebut sebagai
“orang baik” dengan meladeni semua keinginan orang lain. Bersikap baik jugalah
kepada diri kita sendiri, diri sendiri sebagai prioritas yang patut kita
utamakan sebagai bagian dari penghargaan terhadap diri kita sendiri (self-respect), dengan begitu kita
barulah menjadi berharga dan bernilai, alias memiliki nilai diri.
Ada yang menyebutkan, seringnya
bersikap terlalu baik kepada orang lain akan membuat kita cenderung lupa dan
abai untuk memperhatikan diri kita sendiri, semata karena terbentuk delusi
bahwa hanya orang lain yang patut mendapat kebaikan hati kita. Sikap seperti
ini bisa menjadi pisau tajam yang melukai kita kelak, karenanya kita perlu
berhati-hati terhadap sifat baik dalam diri kita, dan mengelolanya dengan
manajemen pikiran dan hati yang cerdas sekaligus kreatif. Sifat yang terlalu
baik membuat kita tidak bisa berkata tidak, cenderung menghindari konflik
dengan menyembunyikan ketidaksetujuan, bahkan menutupi kekecewaan diri sendiri,
dan selalu mendahulukan orang lain meski itu harus mengorbankan kepentingan
diri kita sendiri.
Sifat semacam itu membuat orang
akan “menggampangkan” diri kita, cenderung tidak menghargai kita, karena mereka
tahu bahwa apapun yang kamu terima, kamu akan selalu tersenyum gembira dan
senang diperlakukan secara “bodoh”. Itu bukanlah kebaikan hati yang sehat untuk
dikembangkan sebagai jatidiri ataupun identitas diri kita. Bila kita memandang
dan memperlakukan diri kita sebagai tidak berharga, “murahan”, “gampangan”,
“bodoh”, maka orang lain pun akan memperlakukan Anda sebagaimana Anda
memperlakukan diri Anda sendiri. Mencintai diri dan menghargai diri sendiri,
bukanlah opsi, namun kewajiban asasi kita terhadap diri kita sendiri—jika bukan
diri kita yang mengambil tanggung-jawab tersebut, maka siapa lagi yang dapat
kita andalkan untuk itu?
Disebut sebagai orang baik yang
“bodoh”, semata karena mereka terlampau takut untuk membuat penilaian serta mengambil
keputusan sendiri, dan menyerahkannya pada orang lain, meskipun ini adalah soal
hidup kita sendiri. Menjadi tidak mengherankan, orang-orang baik yang “bodoh”
cenderung kurang dewasa kepribadiannya, dan “kekanakan” yang khas dengan sifat
naif mereka. Konflik memang tidak menyenangkan, namun terkadang kita harus memiliki
keberanian untuk berkonfrontasi dengan orang lain untuk mempertahankan apa yang
kamu nilai, semisal menolak dan bersikap “dingin” sebagai bentuk keberatan
ataupun ekspresi kekecewaan, setidaknya berani jujur kepada diri kita
sendiri—itulah yang tidak dimiliki oleh orang baik yang “bodoh”.
Keberanian, selalu menjadi
pangkal dari kecerdasan, termasuk bagi orang baik yang “cerdas”. Memang tidak
menyenangkan berkonflik dengan orang lain, terutama bagi mereka yang selama ini
terbiasa menyenangkan semua orang. Tapi sesekali, bila memang perlu, kita harus
berani mengambil sikap, meski itu memicu konflik dengan orang lain. Bukan karena
kita tidak punya kesabaran ataupun egoistik, tetapi kita pun memiliki
kepentingan untuk menyuarakan apa yang kita nilai dan pikirkan, sehingga orang
lain juga memandang kita sebagai sesosok individu dengan pribadi yang punya
pendapat tegas dan patut diperhitungkan, bukan hanya karena sifat baik dan
kemurahan hati kita.
Sehingga, ketika kita selama
ini hanya dikenal oleh orang lain sebagai “orang baik”, maka kita takut menjadi
kehilangan status “orang baik”, dan terobsesi untuk terus melekat sebagai
“orang baik”, meski itu merugikan dan selama ini hanya menyakiti diri kita,
akibat fatamorgana delusif bahwa dengan tiadanya lagi pandangan orang lain
terhadap kita sebagai “orang baik” maka kita tidak lagi eksis di masyarakat dan
sirna. Karena itu, kita perlu menyadari bahaya dibalik identitas atau status
“orang baik”. Lebih baik kita dikenal sebagai seseorang yang memiliki
kepribadian profesional dan penuh penghargaan terhadap diri kita sendiri, yang
karenanya orang lain pun akan menghargai diri kita. Setidakanya, jadilah
orang baik tanpa melekat pada status “orang baik” tersebut. Jadilah diri
Anda sendiri, dimulai dengan keberanian untuk bersikap jujur terhadap diri kita
sendiri.
Sebaliknya, ketika selama ini
kita dikenal sebagai seseorang yang tegas dan berani juga fleksibel dalam
bersikap, semisal tahu kapan harus bersikap selektif dan tahu kapan harus
bersikap defensif, maka berbuat baik atau menyimpan kebaikan hati kita,
sepenuhnya berpulang pada kehendak dan pilihan bebas kita tanpa rasa takut atas
gunjingan ataupun komentar apapun dari orang lain. Ada dua tipe kepribadian
orang baik, berbuat baik karena kehendak bebas dalam dirinya, dan mereka yang
berbuat baik karena dorongan rasa takut sehingga seakan tiada memiliki pilihan
baik selain berlaku “as a good boy”.
Anda adalah tipe orang baik yang manakah? Ingat selalu pesan berikut dari
penulis, “Kita tidak butuh izin ataupun
komentar orang lain atas apa yang menjadi kehendak serta pilihan bebas kita
sendiri.”
Tips berikutnya ialah : Berani
untuk berdiri diatas kaki serta pikiran kita sendiri. Sebagian orang menganggapnya
sebagai mengerikan, atau bahkan dinilai sebagai asosial. Tapi sesekali, kita
memang harus mencoba menjadi “be alone”.
Alasan utamanya, ialah untuk melatih keberanian mental kita agar menjadi
pribadi yang mandiri, merdeka, serta independen untuk berpikir dan bersikap, tidak
tergantung kepada komentar ataupun pikiran orang lain. Alasan kedua, untuk
menunjukkan kepada siapapun bahwa kita bukanlah orang yang lemah dan tidak
berpendirian. Perlakuan disepelekan yang kita terima, bisa jadi terbit akibat kita
selama ini mengundang penilaian sebagai orang yang mudah “disetir”, “didikte”,
“dibodohi”, serta bisa dimanfaatkan serta senantiasa membuka ruang untuk itu.
“Orang bodoh, dibodohi dan didikte mau saja”, itulah isi pikiran
yang ada dibenak orang-orang yang selama ini memperalat dan memanipulasi
kebaikan hati kita. Di mata mereka, kita bukanlah orang baik, namun orang
bodoh. Mereka tidak menaruh respek ataupun menghargai kebaikan hati Anda, itu
adalah ilusi pikiran Anda, yang berasumsi bahwa masyarakat kita menghargai
orang-orang baik dan akan membalas kebaikan hati Anda dengan penghormatan dan
penghargaan yang serupa dan setara. Kenyataannya, seringkali, mereka berbeda
dengan Anda, namun Anda tidak berani menghadapi dan mengakui kenyataan dengan
memilih untuk hidup didalam harapan semua atau utopia Anda sendiri bahwa
masyarakat kita adalah masyarakat yang telah beradab adanya.
Prinsip klise berikut masih
tetap relevan adanya : sebelum meminta orang lain menghargai kita, kita-lah yang
harus terlebih dahulu mampu menghargai kita diri sendiri terlebih dahulu.
Sebelum mengubah cara orang memperlakukan kita, kita mulai dengan mengubah
kebiasaan-kebiasaan lama kita. Apapun yang kita terima dari dunia diluar sana,
berhubungan dengan perlakuan kita terhadap diri kita sendiri atau cara kita
memandang diri kita sendiri. Sebagai contoh, terbiasa menyanggupi dan menuruti
perkataan ataupun kemauan orang lain, bisa menjerumuskan kita menjadi seorang “people pleaser” yang cenderung selalu
ingin menyenangkan semua orang di sekeliling atau di hadapan kita, sampai kita
abai untuk menghargai kepentingan diri kita sendiri, akibat termakan delusi
bahwa dengan begitu orang-orang akan menghargai dan bersikap sama baiknya
terhadap diri kita. Bukanlah sikap jahat ataupun suatu kejahatan terlebih untuk
ditabukan, ketika kita membuat batasan yang sehat serta tegas untuk diri
sendiri dan orang lain.
Semua orang suka berteman atau
menjalin hubungan dengan orang baik hati, namun itu adalah asumsi Anda, karena
Anda menggunakan cara pikir pribadi kita dalam memandang dunia sosial, dimana
Anda juga ingin bergaul hanya dengan orang-orang yang juga selalu baik pada Anda.
Namun sayangnya, dunia manusia hampir tidak pernah bekerja dengan aturan main
demikian. Menjadi orang naif yang terlalu polos, apa-apa serba menerima dan patuh-menurut
saja, membuat orang lain memandang kita secara “sebelah mata”. Kita akan
dinilai sebagai orang yang sangat membosankan semata karena mudah ditebak.
Sebagai “antidote”-nya ialah, kita perlu mulai menanamkan dan
menginternalisasi paradigma baru bahwa kita pun berhak diperlakukan secara baik
oleh orang lain maupun oleh diri kita sendiri. Ketika kita justru
diperlakukan secara tidak baik oleh orang lain atau bahkan menyakiti diri
sendiri akibat tidak menetapkan batasan saat berbuat baik kepada orang lain,
maka kita perlu mengambil sikap tegas, dimana kita mengambil-alih seluruh
kehendak dan pilihan bebas kita secara sepenuhnya, secara bebas dan merdeka.
Kita suka berada di komunitas maupun di sekitar orang-orang yang sama
beradabnya dengan kita, namun harapan kita seringkali terbentur dengan realita
yang tidak sesuai dengan harapan kita. Harapan dapat menjadi delusi yang
mendistorsi realita akibat perspektif cara kita memandang dunia telah dicemari
harapan semu.
Alasan logis lainnya mengapa
orang baik cenderung disepelekan, ialah karena sang orang baik sukar mengekspresikan
diri sendiri, tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan penilaian pendapat
pribadinya—lagi-lagi masalah tumpulnya keberanian menyatakan diri—yang sama artinya
tidak berani menjadi diri kita sendiri, namun memaksakan diri tetap memasang “persona” sebagai “a good person”. Yang bisa sang “baik namun bodoh” lakukan ialah
memendam emosi, yang lama-lama bisa memicu depresi yang kian hari menggerogoti
dirinya sendiri.
Itulah akar perasaan kecewa
orang-orang yang mengaku baik hati namun (sayangnya) kurang cerdas mengelola
dan membawa diri. Ilmu psikologi mengenal sebuah teori bernama “teori jendela”,
untuk menjelaskan aspek psikologi manusia yang membutuhkan akses aliran keluar-masuk
emosi agar tidak terpendam ataupun tersekap jenuh. Salah satu salurannya ialah,
menjadi diri kita sendiri apa adanya dengan bebas merdeka menyuarakan kata hati
sejujur-jujurnya terhadap diri kita sendiri maupun kepada orang lain—sekalipun
itu artinya mengundang konfrontasi verbal dari pihak orang-orang yang telah
membuat kita kecewa ataupun merasa terluka.
Sikap yang terlampau naif dan
polos, disinyalir akibat oleh kepercayaan diri yang rendah. Hal demikian
menyebabkan seseorang mau dan siap melakukan apa saja untuk kepentingan orang
lain demi mempertahankan status “orang baik”—Anda lihat, itulah pintu masuk
manipulasi orang-orang dengan niat tidak baik kepada orang-orang yang selama
ini dikenal dengan status atau identitas sebagai “baik hati”, dan menjadi
masalah kejiwaan tersendiri meski secara ilmiah-medik ilmu psikologi obsesi
atas status “orang baik” mungkin belum dikategorikan sebagai masalah kejiwaan
yang butuh pertolongan medik secara memadai.
Kesemua itu bukanlah suatu cara
yang sehat untuk mendapatkan pengakuan lingkungan sekitar atas eksistensi diri kita.
Tempatkan diri kita sebagai pribadi yang berdaya dan mampu untuk berpikir,
menilai, dan memutuskan sendiri seperti apa kita hendak bereaksi dan merespons,
alih-alih melabel diri dengan identitas sebagai “orang baik yang bodoh”.
Seperti yang pernah dituturkan oleh Ajahn Brahm, jangan pernah melekat pada
status atau identitas tertentu. Bersikaplah fleksibel dan dinamis, sebagaimana
keadaan membutuhkannya, semata agar tidak disepelekan sebagai sesosok manusia
yang “mudah diterka”, dan orang yang “mudah ditebak” semacam demikian adalah
orang-orang yang rentan manipulasi dan eksploitasi.
Tidak jarang kita mendengar istilah
“orang baik selalu tersakiti”, entah orang lain yang mengalami atau kita
sendiri yang mengalaminya. Pendapat demikian muncul karena kerapkali orang baik
dan perbuatan baiknya disepelekan dan (justru) dibalas dengan kejahatan. Terkadang
orang baik lebih fokus untuk menolong dan mendahulukan orang lain ketimbang
dirinya sendiri, namun balasan yang didapat tidak sebanding dengan
pengorbanannya atau bahkan menjadi bumerang dan dikecewakan akibat “balas budi
baik dengan air tuba”.
Orang baik cenderung
memprioritaskan kebutuhan orang lain, walau ia tahu dirinya juga membutuhkan
hal yang sama. Ironisnya, orang baik terkadang rela berkorban demi kebahagiaan
orang lain hingga lupa dan tidak jakang abai pada kebahagiaannya sendiri.
Mengapa itu dapat terjdi? Semata karena termakan oleh delusi, bahwa orang-orang
yang kita perlakukan baik dan berikan kemurahan hati, akan membalas kebaikan
hati kita dengan kebaikan hati serupa, sekalipun kebaikan hati kita seringkali
“bertepuk sebelah tangan” namun masih pula mempertahankan delusi yang sama,
berkat paradigma semu (menganggap) “semua orang adalah orang baik”.
Hampir semua orang baik sangat
mudah tertipu, sebab ia tidak memelihara perasaan curiga sedikitpun dan
menganggap orang lain memiliki sifat yang baik sepertinya. Itulah bahaya bila
orang-orang baik menggunakan preferensi diri pribadinya ketika memandang dunia
luar, kebaikan hati mereka menjadi demikian rentan dan riskan disalahgunakan
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Karenanya, sebagian besar orang
baik adalah seorang “utopis” yang kurang “membumi” disamping kurang rasional
cara berpikirnya. Memelihara perasaan curiga sangat penting, agar bisa selalu
waspada terutama pada orang asing. Tidak semua orang memiliki sifat penyayang,
dan belas kasih seperti diri kita. Orang-orang baik terlampau berbaik sangka,
kondisi demikian diperparah oleh pendapat umum bahwasannya “negative thinking” adalah buruk dan
harus disingkirkan jauh-jauh.
Orang baik akan dengan mudah
diremehkan, dijatuhkan, disakiti, hingga dinistakan, namun ia tidak pernah
membalas atau sekadar membela diri. Berdiam diri tanpa melakukan pembelaan akan
membuat orang baik selalu tertindas, sebab itu beranilah untuk sekadar membela
diri Anda di saat Anda tidak dihargai. Namun, kembali lagi pada “jebakan
mental” sebagaimana telah penulis uraikan di muka, orang-orang baik terlampau
melekat pada status atau identitasnya sebagai “orang baik”, seolah dengan
runtuhnya image atau citra diri
sebagai “orang baik” di mata orang lain, maka tiada yang tersisa dari dirinya,
karenanya dengan harapan semu ia mempertahankan mati-matian citra diri sebagai
“orang baik” sekalipun itu artinya mengorbankan kepentingan diri sendiri serta
merugi dan terluka seorang diri. Sehingga, masalah utamanya terletak di dalam
diri orang baik itu sendiri, bilamana “jebakan mental” tersebut tetap dibiarkan
terpatri, maka selama itu jualah orang-orang baik menjadi “mangsa empuk”. Tiada
penjelasan lain yang lebih memadai daripada fakta psikologis demikian.
Orang baik yang berani menyuarakan
aspirasi atau kejujuran sesuai isi hatinya, akan mendapat perlakuan “pahit”
dari orang-orang di sekitarnya—namun, yang dimaksud dengan perlakuan “pahit” di
mata orang baik, ialah ketika ia tidak lagi dinilai sebagai “orang baik”.
Itulah ketakutan orang-orang baik, mereka begitu melekat para status atau
identitasnya tersebut, sehingga menjadi ketakutan bila citra tersebut runtuh di
mata orang lain, yang karenanya mau tidak mau ia akan mati-matian
mempertahankannya, bila perlu dengan bersikap “menipu diri sendiri” bahwa orang
lain tidak sejahat itu, bahwa ia dapat tetap bersikap baik kepada mereka, bahwa
semua akan baik-baik saja pada akhirnya, bahwa mereka masih punya hati nurani
dengan membalas kebaikan hati kita, bahwa mereka tidak akan setega itu membalas
kebaikan hati kita dengan air tuba, karena “orang baik akan selamat dan
terlindungi”. Karenanya, orang-orang baik lebih cenderung menjadi seorang
“pemimpi” yang tidak rasional itu sendiri. Itu jugalah, orang-orang baik cenderung
menjadi objek lelucon dan tertawaan orang-orang yang selama ini kerap
mempermainkan, membodohi, dan mengekploitasi kebaikan hati orang-orang baik.
Orang bodoh tidak akan pernah dihargai oleh siapapun, bahkan oleh dirinya
sendiri.
Kita semua tentu sudah tahu
bagaimana realita kehidupan jaman sekarang, namun tidak di mata orang-orang
baik yang kerap delusif. Tidak semua orang yang kita perlakukan dengan baik
akan membalas dengan perbuatan yang baik juga—sayangnya, banyak orang baik
gagal memahami fakta realita paling mendasar demikian. Sebagian yang kita
tolong justru hanya memanfaatkan kebaikan hati kita saja. Orang-orang baik
justru gagal mewaspadai bahaya dibaliknya. Alhasil, kebaikan hati mereka hanya
akan merugikan diri mereka sendiri saja, semata keran mereka yang membuka ruang
kesempatan untuk itu terjadi.
Orang baik, semestinya
dihargai, namun itu adalah logika atau cara berpikir orang-orang yang tergolong
rasional, sementara itu (masalahnya) orang-orang rasional sudah sangat langka
jika tidak dapat kita sebut sebagai telah terancam mendekati kepunahan
eksistensinya. Amat sangat jarang kita dapat menjumpai orang-orang rasional,
setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Sebaliknya, orang-orang yang
tergolong irasional memiliki cara memandang yang lain dan bertolak-belakang,
yakni orang baik justru akan diremehkan dan tidak dianggap oleh mereka karena
dinilai “gampangan”. Contoh sederhana, sebagai analogi, gadis yang cantik namun
“jual murah”, cenderung tidak dihargai. Sementara itu gadis yang memang cantik
namun “jual mahal”, lebih cenderung dikejar-kejar dan digila-gilai para kaum
pria. Orang baik adalah “cantik”, namun sayangnya seringkali “jual murah”
dirinya.
Kita akan lebih banyak
disepelekan dan tidak dihargi jika terlalu baik saat berhadapan dengan orang
lain. Orang lain juga tidak akan menghormati kita lagi. Sesekali penting bagi
kita untuk bersikap tegas dan menunjukkan sisi emosi kita, serta keberanian
untuk menyuarakan kepentingan maupun penapat pribadi kita agar alam bawah sadar
yang irasional milik mereka mendapat pesan komunikasi nonverbal bahwasannya
kita sebagai orang baik pun menghargai diri kita sendiri karenanya kita
menuntut untuk saling dihargai dan saling menghormati. Jika kita tidak
menunjukkan atau membuat indikasi kepada pihak eksternal, bahwa kita layak dan
patut dihargai, maka orang lain akan menganggap kebaikan Anda adalah kelemahan
yang kita miliki sehingga tidak perlu mereka hormati.
Insting hewani umat manusia,
berkat otak reptil di kepada manusia-manusia yang kurang beradab, masih
menyisakan satu warisan peninggalan nenek-moyang mereka, yakni menjadikan
orang-orang yang lebih lemah sebagai sasaran dan “mangsa empuk”. Ketika
seseorang hendak “memakan” atau “memangsa” orang lain, yang lebih cenderung
dijadikan target buruan (korban) ialah orang-orang baik, dan orang-orang baik
dikonotasikan sebagai lemah karena menerapkan prinsip “ahimsa” serta “pemaaf”
nan “pemurah” yang baik hati. Karena itulah, orang baik identik dengan orang
bodoh, sehingga layak dibodohi dan salah sendiri bila terbodohi. Orang bodoh
tidak mungkin dihargai terlebih dihormati. Disini, kita berhadapan dengan sisi
irasional mayoritas umat manusia yang tidak tahu malu dan tidak tahu budi baik
orang lain, berani laksana gagak, penuh kekotoran, dan tercela perilakunya.
Hanya ada sedikit orang yang tahu malu dan tahu budi.
Orang-orang baik cenderung
menjadi korban manipulasi pikiran dan manipulasi logika moril. Orang-orang yang
sudah tahu sifat baik kita, akan mulai mengharapkan bahwa sifat baik dan kemurahan
hati kita tidak pernah putus. Sehingga seperti apapun perlakuan mereka terhadap
kita, sekalipun kita dikecewakan, kita tetap harus tetap berbuat baik pada mereka
demi mempertahankan identitas sebagai “orang baik”. Letak intimidasi mentalnya
ialah, ketika kita menunjukkan sikap yang berbeda seperti sebelumnya seperti
protes, marah, mengeluh, kecewa, emosi, atau menjerit kesakitan dan
ketidaksetujuan ataupun cara-cara penolakan lainnya, mereka akan langsung
memperlakukan kita dengan berbeda dan menyebut kita sebagai “bukan orang baik”,
sehingga kita terjebak dalam kondisi dilematis, memilih untuk benar-benar
menjadi “bukan orang baik” yang artinya menyia-nyiakan semua kebaikan kita
selama ini kepada mereka, ataukah tetap memasang sikap “a good boy” yang meladeni apapun kemauan mereka.
Mereka hanya ingin melihat kita
dengan sikap penuh kebaikan dan selalu membantu mereka. Mulai pahami, relasi
yang sehat ialah relasi yang bertimbal-balik secara “equal”, dalam artian SALING bersikap baik satu sama lainnya, SALING
menghargai, dan SALING tolong-menolong—simbiosis mutualisme, resiprokal /
resiprokal. Diluar relasi semacam itu, maka tidak layak kita bangun karena
hanya merugikan dan menyakiti diri kita sendiri bukanlah tergolong sebagai
“perbuatan baik”, namun “perbuatan bodoh” sehingga Anda memang layak dibodohi
serta tidak dihargai. Jangan paksakan diri untuk mempertahankan relasi yang
tidak sehat demikian, bila memang lebih baik kita “berjalan seorang diri”.
Seni membangun keseimbangan
antara sikap baik dan sikap tegas, ibarat mengendarai kendaraan bermotor di
tempat umum, tahu kapan harus menginjak pedal gas-akselerasi, dan tahu kapan
harus menekan dalam-dalam pedal rem-deselerasi. Terdapat komunikasi nonverbal
ketika kita selalu tampil bak “a good boy”,
yakni kita dinilai hanya butuh disukai dan merasa dibutuhkan, namun tidak
membutuhkan dihargai maupun dihormati. Setiap komunikasi maupun aksi, selalu
mengundang makna implisit maupun makna eksplisit di benak orang lain. Mungkin
kita sendirilah yang mengirimkan sinyal-sinyal indikasi bahwa kita memang
adalah “objek pemuas serta pelampiasan nafsu” bagi orang lain.
Kejadian berikut, dapat penulis
pastikan pernah dialami semua orang baik, yakni\ setelah membantu mereka dengan
sepenuh hati dan segala pengorbanan, justru mereka tidak mau balik membantu
saat kita benar-benar membutuhkan pertolongan. Bahkan, yang kita tolong,
hidupnya lebih enak dan lebih daripada kita. Yang terlebih ironis, mereka tidak
punya rasa bersalah ataupun sikap berterimakasih. Tentu saja, alasan mengapa mereka
tidak mau merepotkan diri membantu kita, semata karena kita dapat mereka tebak tidak
akan marah jika mereka menolak membantu. Ketika kita akhirnya terdesak dan
terpaksa untuk mengungkit bantuan yang selama ini sudah pernah kita berikan
pada mereka, inilah respons mereka : “Kan,
kamu sendiri yang memberikan bantuan dan pertolongan dengan senang hati kepada
saya. Saya yang sudah membuat kamu merasa senang dengan menolong dan membantu
saya, bukan saya yang harus berterimakasih ataupun berhutang budi pada kamu!”
Itulah yang dimaksud sebagai, “tidak tahu badi”.
Tidak perlu terobsesi membuat orang
lain untuk menerima diri kita, oleh sebab dengan demikian dapat memberi kita
ruang kebebasan begitu luas untuk membuat pilihan kita sendiri dalam hidup,
tanpa harus menyenangkan siapa pun. Anda tidak harus mengkompromikan
nilai-nilai dan keyakinan dan bisa tetap jujur pada diri sendiri. Tidak ada yang
mengendalikan kita lagi, dan respons orang lain pun tidak lagi begitu penting
di mata atau di telinga kita, dan alih-alih demikian, kita mulai lebih
menghargai aspirasi, kata hati, penglihatan, pendengaran, pendapat, penilaian,
maupun keputusan yang kita buat sendiri.
Menjauhkan diri dari “toxic people”, adalah tips terbaik bagi
orang-orang baik. Orang-orang yang tidak tergolong “toxic people”, adalah sama
langkanya dengan orang baik itu sendiri. Karenanya, tidak jarang orang-orang
baik tersisihkan dan terpaksa harus mengasingkan atau mengisolir diri.
Buktinya, sosok semacam Sinterklas tidak pernah hadir ataupun eksis pada 364
hari setiap tahunnya. Jika ia tampil sebagai Sinterklas di depan umum untuk
setiap harinya, dapat dipastikan ia sudah punah di-“mangsa” hidup-hidup. Tidak
percaya? Silahkan Anda coba buktikan sendiri. Sinterklas tidak butuh
meng-iklan-kan diri, hanya para penjahat dan penipu yang mengiklankan diri.
Buat apa juga meng-iklan-kan diri sekadar untuk dikerubuti para “manusia
predator” yang hanya tahu meminta tolong namun tidak mau menolong, yang hanya
pandai sibuk meminta dan mengambil tanpa mau bersedia memberi?
“Toxic People” ada dimana-mana, bahkan mungkin juga di dalam
keluarga kita sendiri. JIka kita tidak dapat sepenuhnya menghindari mereka,
maka setidaknya “jaga jarak” dengan mereka, dengan tidak terlibat terlampau
dekat dengan mereka agar tidak menjadi bumerang bagi diri kita sendiri—salah
satu ciri parameternya ialah, ketika kebaikan hati kita justru menjadi bumerang
bagi kepentingan dan kebaikan diri kita atau ketika kita justru dikecewakan
oleh sikap “balas air susu dengan air tuba”. Kita harus berani membangun
hubungan, juga keberanian yang sama untuk memutus dan mengakhiri hubungan.
Sisakan ruang bagi diri kita sendiri, dan sisakan kebaikan hati kita untuk diri
kita sendiri.
Tidak lagi menjadi “a good boy” kemungkinan membuat kita
mulai berjarak dengan anggota keluarga kita dan orang lain, sensai serasa seperti
orang luar di keluarga kita sendiri dan seperti orang asing di negeri dan
kampung halaman kita sendiri, namun konon kerenggangan demikian sebenarnya bisa
lebih baik untuk diri kita. Kontrol selalu diri kita supaya tidak terus-menerus
untuk mengubah dan menyesuaikan diri dengan segala keinginan orang lain yang
belum tentu memiliki niat baik terhadap diri kita. Dengan begitu, kita pun
menjadi tidak sungkan dan tidak segan untuk menjaga dan membela diri kita
sendiri ketika dibutuhkan sikap-sikap tegas dan profesional.
Jangan memaksakan standar
mereka kepada diri kita semata agar kita diterima oleh mereka, karena dapat
benar-benar mempengaruhi kesehatan mental dan cara pandang diri kita sendiri.
Jadi menjauhlah dari orang-orang yang hanya menuntut diri kita untuk
menyesuaikan diri demi mereka. Orang-orang besar telah membuktikan bahwa mereka
bisa “survive” meski hidup “terkucilkan” karena memilih untuk menjadi diri mereka
sendiri, bukan selalu menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain yang
senantiasa menginginkan agar kita bersikap baik terhadap mereka namun mereka
menerapkan “standar ganda” dengan tidak bersedia bersikap sama baiknya dengan
kita disaat bersamaan.
There is pain, there is gain. Menjadikan
diri kita seorang profesional dalam memandang dan menyikapi segala sesuatu,
secara tidak langsung membentuk kepribadian kita menjadi lebih mandiri, lebih
bebas, lebih merdeka, dan lebih soliter serta independen, dalam segi pilihan
hidup, pilihan sikap, serta pilihan pikiran—konon, kualitas-kualitas mental
demikian merupakan sebentuk pencapaian atau “berkah tersendiri” yang tidak
boleh kita remehkan. Menjadi berbeda dari orang lain atau memilih bersikap
berbeda dari kehendak orang lain, mengajarkan kita untuk berani mandiri.
Untuk itu, kita tidak dapat
mempercayai orang lain untuk membuat pilihan bagi kita ataupun untuk mendikte
pikiran dan penilaian kita, karena mereka akan selalu memikirkan kepentingan
serta memaksakan kemauan mereka sepihak saja dan apa yang mereka anggap menguntungkan
bagi mereka sendiri. Kita tidak bersikap egoistik terhadap orang lain, namun
tetap saja itu tidak menjamin orang lain tidak bersikap egoistik terhadap diri
kita. Sehingga, kita terdorong untuk belajar mengandalkan diri sendiri daslam
membuat keputusan-keputusan sehari-hari dalam hidup, berpikir di atas kaki
sendiri (“berdikari”). Secara sendirinya kita akan terlatih bersikap dan
berpikir secara mandiri dan terbiasa sendiri dalam membuat penilaian serta
keputusan, apapun yang orang lain katakan dan komentari mengenai kita.
Dengan kata lain, mandiri dalam
berpikir mendewasakan serta membuat kita lebih tegar, lebih kuat, serta mulai
lebih berani menghadapi kehidupan dan melanjutkan hidup sebagai diri kita
sendiri, bukan sebagai apa kata ataupun kemauan orang lain—sekalipun itu
artinya tidak memuaskan semua orang dan tidak menyenangkan semua orang yang
kita hadapi, semata karena kita punya tangggung-jawab atas diri dan keselamatan
serta kebaikan disamping kepentingan diri kita sendiri. Tidak diterima dalam
keluarga maupun komunitas juga dapat membuat dirimu lebih siap mengahadapi hari
esok. Kita dapat berkata, “Tidak masalah,
kita tidak bergantung dan tidak mengandalkan mereka, karena saya masih punya
diri saya sendiri.” Begitulah prosesnya kita akan lebih kuat menghadapi
setiap rintangan maupun kesukaran yang bersumber dari niat-niat tidak baik
orang lain. Kita pun akan lebih mampu membela diri kita sendiri dari gangguan
apapun, disamping lebih realistis memandang dunia sosial.
Orang lain bahkan anggota
keluarga kita sendiri menganggap diri kita sebagai “aneh”, semata karena kita tidak
memiliki banyak kesamaan dengan mereka, dan berani untuk menjadi diri kita
sendiri serta membuat penilaian maupun keputusan kita sendiri secara personal,
sehingga kita tidak mudah dibodohi maupun dimanipulasi—bisa dikata, kita telah
memiliki imunitas modus-modus kejahatan yang marak diluar sana berupa
manipulasi pikiran hingga aksi “putar-balik logika moril”. Justru pikiran
terbuka kita mengintimidasi mereka, dan inilah yang membuat mereka merasa tidak
senang atau bahkan marah karena gagal untuk mengambil keuntungan dari diri kita
yang menolak untuk “ditumbalkan”, dan berani untuk menyatakan kepentingan kita
sendiri.
Itulah psikologi mendasar, yang
menjelaskan mengapa mereka ingin membuat kita merasa aneh dan tidak nyaman
dengan diri Anda sendiri, namun itu tidak membuat kita merasa bersalah dan
harus merubah diri, justru kita berhasil dengan mudah mengungkap apa yang
tersembunyi dibalik “persona”
(topeng) yang dikenakan oleh orang lain, sehingga mereka tidak akan dapat
mengambil keuntungan dari kita dengan mengorbankan diri kita semata demi
kepentingan pribadi mereka sendiri. Contoh, pernah suatu ketika penulis
mendatangi kios penjual minyak pelumas mesin kendaraan bermotor, dan ketika
penulis tanyakan, “Apakah minyak pelumas
yang Bapak jual, adalah orisinal?” Sang penjual justru melecehkan penulis
dengan pernyataan mengandung diskredit alias modus manipulasi mental berikut
yang ia ulang-ulangi : “Saya jadi bingung
sendiri dengan pertanyaan kamu! Pertanyaan kamu membingungkan!”
Bagi seorang penakut, ia akan
mudah dijadikan “mangsa empuk” modus-modus kejahatan serupa. Pernah juga pada
suatu hari penulis mengunjungi rumah makan yang menjual masakan tradisional
gado-gado dan keredok yang mayoritas komponennya ialah sayur-mayur, penulis
bertanya hal penting (sebagai bentuk profesional diri terhadap diri sendiri)
berikut : “Apakah sayur-sayurnya sudah
dicuci?” Sang penjual seketika naik pitam sembari menghardik dan memaki
penulis, menjawab : “Pertanyaan aneh!
Tanya yang aneh-aneh saja!”—itulah yang dikenal dengan istilah “putar-balik
logika moril”, semacam “lebih galak yang bersalah daripada korban yang
menegur”.
Kita juga perlu menyadari,
bahwa apa yang keluarga atau orang lain maupun komunitas kita dianggap sebagai
“aneh”, dan bahkan tidak dapat mereka terima, sebenarnya adalah normal, lazim, dan
lumrah untuk kelompok orang lain. Seperti contoh di atas, semua dokter yang
baik menyarankan kita untuk mencuci bersih sayur-mayur dari karsinogenik residu
pestisida agar tidak memicu kanker, juga imbauan semua mekanik yang baik bahwa
kita hanya boleh memakai minyak pelumas mesin yang original agar tidak merusak
mesin kendaraan yang kita sayangi. Jika tidak, alih-alih hendak sehat atau
merawat kendaraan, yang ada ialah datangnya penyakit dan kerusakan yang akan
kita sesali sendiri di kemudian hari, dan jika sudah sudah seperti itu, apakah
para pelakunya mau bertanggung-jawab pada kita selaku korban? Jangankan
bertanggung-jawab atau dapat dimintakan pertanggung-jawaban, mau tahu pun
mereka tidak, karena memang itulah niat mereka sedari sejak awal, “memakan” dan
“memangsa” diri kita demi kepentingan diri mereka sendiri.
Jika orang lain menganggap
bahwa sikap profesional berarti bersikap egois, maka itu urusan mereka.
Ingatlah selau prinsip berikut : jika orang lain memandang atau menganggap apa
yang kita nilai, pikirkan, dan putuskan, sebagai masalah menurut mereka, maka
itu masalah mereka, bukan masalah kita. Biarkan mereka mengurus urusan mereka
sendiri, urusan kita ialah mengurus urusan kita sendiri seperti memastikan
makanan yang kita beli ialah aman untuk dikonsumsi dan hanya membeli produk
yang terjamin kualitasnya. Orang lain tidak punya hak untuk mendikte apa yang
harus kita pikirkan, putuskan, nilai, serta lihat, dan dengar.
Menjadi bermanfaat bagi orang
lain memang baik, asalkan tetap pada batas yang wajar dan tidak merugikan diri
sendiri. Ada yang menyebutkan, terdapat perbedaan antara “baik” dan “terlampau
baik” (menjurus “naif”). Bersikap “baik” adalah ketika kita memiliki gaya
interpersonal yang baik, dimana kita mengerti standar etis serta batasan
perilaku mana yang dapat diterima dan mana yang tidak. Sementara itu bersikap “terlampau
baik” adalah sisi kebalikannya alias tidak tahu batasan diri serta tidak
selektif disamping tidak cerdas dalam membawa dan menjaga diri. Individu yang
terlalu baik bisa saja hanya akan selalu menyenangkan orang lain agar terlihat
baik, sekalipun itu artinya memaksakan diri dan membiarkan diri dikorbankan.
Jika sudah tahu dan sadar itu tidak baik bagi diri kita dan tidak sehat bagi
perkembangan mental kita, mengapa dipaksakan demi status identitas “orang
baik”?
Teruntuk individu yang membatasi
diri di level “baik” saja, mereka akan lebih nyaman dengan diri mereka dan
tidak terlalu peduli dengan bagaimana orang lain melihatnya, karena mereka tahu
dan paham betul siapa diri mereka, sekalipun semua orang menilainya sebagai
“orang tidak baik”. Seorang pemimpin negara atau perusahaan, kerap membuat
keputusan yang kontroversial, namun bukan dilandasi sikap jahat, akan tetapi
memang tiada kebijakan yang menyenangkan sekaligus memuaskan semua pihak. Tetap
saja, keputusan seberat apapun konsekuensi dibaliknya, harus diambil oleh
seorang pemimpin yang bijaksana. Kita pun harus mampu berlatih menjadi seorang
pemimpin yang baik dan arif bagi diri kita sendiri.
Sebaliknya, orang yang “terlampau
baik”, biasanya memiliki pola watak berupa hati yang rapuh, tidak tega, dan
tidak enak hati, yang cenderung mudah dimanfaatkan oleh orang lain, semata
karena mereka membuat dirinya terlihat lemah dan ternyata memang dapat disetir
oleh orang lain yang juga dapat dengan mudah diterka oleh orang lain apa yang
menjadi respons orang-orang yang tergolong “terlampau baik”.
Saran terbaik yang dapat kita
temukan ialah, kita perlu berlatih untuk mampu membedakan antara “bersikap
profesional” dan “bersikap baik hati”. Terkadang antara sikap profesional dan
bersikap baik hati menjadi rancu, dimana membiarkan atau pura-pura tidak tahu
saat melihat ada suatu yang salah dan berdampak buruk. Maka, ini sebenarnya
bukanlah sikap yang baik, tapi tidak profesional. Contoh, orangtua yang profesional
tidak akan mengerjakan Pekerjaan Rumah anak-anaknya di rumah, namun membimbing
mereka. Orangtua yang mengerjakan tugas-tugas sekolah anaknya di rumah,
bukanlah “baik”, namun menjerumuskan.
Terdapat nasehat yang cukup
baik, bahwa terlampau baik hati hanya karena kita merasa tidak percaya diri,
bukanlah solusi, namun menutupi persoalan dengan persoalan lainnya. Kita hanya
akan terus menerus berputar-putar dalam lingkaran yang sama dalam rangka mencari
jati diri dan pengakuan orang lain. Kita mungkin takut akan dicap buruk oleh
orang lain. Tapi ingatlah, bahwa reputasi dibangun berdasarkan kualitas personal
diri kita. Cari dan bentuk prestasi tersendiri, sehingga mampu meredam
suara-suara buruk di luar sana terhadap diri kita, dan kita pun dengan demikian
akan mampu melangkah lebih percaya diri yang pada gilirannya membangun
penghargaan terhadap diri kita sendiri. Sering-seringlah untuk “self talk”
dengan kalimat berikut : “Itu kemauan
kamu / kalian, bukan kemauan, keputusan, ataupun pikiran dan penilaian saya.
Saya punya pikiran, penilaian, serta keputusan saya sendiri, dan saya
menghargainya. Saya mengemban
tanggung-jawab atas hidup saya sendiri.”
Segala hal yang berlebihan
tidaklah berdampak positif pada akhirnya. Tapi yang terpenting adalah menjadi “diri
sendiri” serta mengakui suara-suara ataupun pemikiran, keputusan, dan penilaian
yang terbit dari “diri sendiri”. Kewajiban utama kita bukanlah menjadi “a good boy” bagi setiap orang maupun
bagi sembarang orang, namun menjadi pribadi yang penuh tanggung-jawab terhadap
diri kita sendiri sebagai prioritasnya—jika bukan kita sendiri, maka siapa lagi
yang akan mengambil peran penting tersebut, kecuali Anda tidak menghargai diri
Anda sendiri?!. Tanggung-jawab, adalah tonggak atau pilar utama sikap
profesionalisme diri.
Tips berikutnya ialah salah
satu inovasi metode psikologi yang penulis temukan dan kembangkan dalam rangka
membentuk keberanian mental diri kita sendiri (self-help therapy). Seandainya, bayangkanlah sebagai senyata
mungkin, seseorang menyuruh Anda untuk melompat ke dalam jurang yang sangat
dalam dan berbatu, apakah Anda akan mengikuti perintah tersebut atas dasar dorongan
rasa takut pada sang pemberi perintah? Jawabannya ialah, “TIDAK!”, kita akan menolak untuk mengikuti
perintah dan kemauan orang lain tersebut, apapun konsekuensi dibalik sikap
tegas kita tersebut.
Mengapa? Itulah psikologi
mendasar manusia yang perlu kita gali serta berdayakan untuk kita optimalkan
demi kebaikan serta kepentingan eksistensi diri kita, yakni insting kita
untuk tetap hidup dan bertahan hidup. Namun entah bagaimana, insting atau
naluriah untuk “survive” warisan
nenek-moyang yang membuat para leluhur kita berhasil lolos melewati seleksi
alam tersebut bersifat dorman dalam artian potensinya harus dipicu terlebih
dahulu secara sadar untuk dapat diaktifkan. Bagaimana cara memicu insting atau
naluri untuk bertahan hidup pada orang-orang baik? Bagai cahaya lilin yang
perlu terlebih dahulu memantik bibit api untuk membakar sumbu lilin sebelum
lilin tersebut dapat menyala.
Insting dan naluri untuk “survive”, merupakan kunci keberlangsungan
hidup nenek-moyang manusia dalam menghadapi kerasnya seleksi alam sekaligus
sebagai insting yang paling “basic”
dalam sejarah umat manusia. Hal tersebut menyerupai insting purba “melawan atau
lari” (fight or run), akan tetapi dalam
perjalanan evolusi umat manusia, timbul benih-benih anomali berwujud manusia
bertipe altruistik yang menyimpang dari jalur semula (Anda lihat, manusia
altruistik merupakan anomali sosial bila kita melakukan observasi terhadap
perjalanan evolusi umat manusia, bukan sebaliknya).
Kini, tahap selanjutnya ialah,
tanyakan kepada diri Anda sendiri, naluri dan keinginan untuk tetap hidup dan “survive”, apakah merupakan sebentuk
sifat “egoistik”? Apakah memilih untuk bersikukuh tetap “survive” apapun yang terjadi, merupakan cerminan sikap orang yang tidak
baik? Kini Anda paham, bahwa menjaga dan membela diri baik-baik adalah hak Anda,
semua orang memiliki hak tersebut tidak terkecuali diri kita masing-masing. Kita
tidak dapat disebut sebagai “egois”, semata karena menggunakan apa yang memang
sudah menjadi hak kita—justru adalah mereka yang telah bersikap “egoistik” dengan
melarang kita menggunakan hak personal kita atau bahkan berupaya merampas apa
yang menjadi hak kita untuk hidup. Kita berjuang hidup dan mempertahankan hidup
yang sehat serta selamat, dalam rangka berwelas-asih serta bertanggung-jawab kepada
diri kita sendiri, bukan “egoisme”.
Naluri untuk tetap “survive” tidak memiliki relevansi antara
orang baik maupun orang yang tidak baik. Ketika orang lain mencoba menyakiti
atau bahkan mencelakai diri kita, maka kita berhak untuk menjadi “a bad boy” alih-alih tetap bersikap
sebagai “a good boy”. Kini kita
menjadi paham sepenuhnya, bahwa semua bergantung pada konteks (situasi dan
kondisinya, “sikon”), dimana kebijaksanaan memainkan peranannya, kita perlu
belajar untuk tahu kapan harus menjadi lembut dan lunak, serta kapan harus
bersikap keras dan tegas serta jika perlu “represif”. Bahkan, menurut ilmu
hukum negara seperti hukum pidana, ketika kita dihadapkan kepada kondisi “membunuh
atau dibunuh” semisal saat pelaku begal menghadang dan mencoba merampok kita
dengan senjata tajam, maka pilihannya adalah “mati atau mematikan”—tiada
relevansi antara “orang yang baik” maupun “orang yang tidak baik”.
Cara untuk melakukan “re-framing” serta “re-programming” persepsi diri, ialah dengan terus mengulang-ulang latihan
visualisasi imajiner ketika kita disuruh dan diperintahkan oleh orang lain
untuk melompat ke dalam jurang, serta merenungkan apakah keinginan untuk tetap
hidup merupakan sikap “egoistik” ataukah
wujud welas asih yang positif atas hidup kita sendiri yang layak untuk
diperjuangkan? Dalam rangka welas asih kepada diri kita sendiri, kita
menjadi berani untuk menghadapi kerasnya dunia ini maupun tidak ramahnya orang-orang
di luar sana. Ilmu psikologi menyebutnya sebagai reformasi diri menuju “self-love” alih-alih “a good boy”, kecintaan-diri mana direkomendasikan
secara ilmu psikomedik untuk mulai kita internalisasikan kedalam diri kita
dengan tujuan meningkatkan sistem imun mental kita agar tidak mudah untuk
dijatuhkan oleh pihak-pihak yang belum tentu baik itikadnya.
Pada saat itulah, secara berangsur-angsur
insting dan naluri yang sangat berharga untuk “survive” hasil warisan seleksi alam maupun evolusi yang panjang nenek-moyang
kita dapat terpicu dan aktif dari “tidur”-nya—pada mulanya hanya berupa api
temaram, namun bila terus diinternalisasi ke dalam diri lewat visualisasi
demikian, bibit api tersebut akan berkembang menjadi bara api yang menyala
hebat menjadi sumber oase keberanian diri yang tidak pernah kering, seolah-olah
kita adalah sewujud makhluk legendaris Phoenix yang terlahirkan kembali dalam
wujud diri yang baru sama sekali, tidak lagi gentar ataupun penuh ketakutan terhadap
sikap-sikap buruk orang lain terhadap diri kita saat kita tidak lagi memaksakan
diri tampil sebagai “a good boy”.
Kembali merujuk apa yang
dilansir Psychologytoday, orang yang berperilaku terlalu baik justru bukan
orang yang baik. Sebab segala sesuatu yang berlebihan adalah buruk dan
negatif adanya. Hanyalah asumsi pribadi kita sendiri, bahwa bersikap baik
akan mengundang rasa hormat oleh orang lain—yang jika dalam bahasa penulis : Adalah
delusi, ketika kita berasumsi bahwa dengan bersikap lemah, takut-takut, tidak
berdaya, maupun senantiasa membungkukkan kepala dan dada, tidak terkecuali jika
kita senantiasa menyenangkan semua orang dengan menjadi “a good boy”, maka kita akan dihormati, dihargai, maupun mengundang
simpati. Yang terjadi ialah kita justru akan diremehkan dan disepelekan, yang
pada muaranya ialah eksistensi kita tidak akan dihargai oleh pihak manapun
termasuk oleh diri kita sendiri.
Seseorang akan lebih cenderung
dihargai dan dihormati jika seseorang mampu membawa dan menempatkan diri dengan
sikap tegas dan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri dengan mengutarakan
apa yang menjadi aspirasi, pendirian, pemikiran, penilaian, keputusan,
kehendak, pendapat, serta kepentingan diri kita—perhatikan kembali betapa
kontras perbedaannya dengan contoh sifat yang dirinci pada paragraf sebelumnya.
Keberanian selalu menjadi elemen esensial kedewasaan berpikir dan bersikap,
keberanian mana jarang dimiliki oleh orang-orang baik, akibat insting atau
naluri “survive” mereka yang lama
tertidur dan mengendap jauh di dasar alam bawah sadar mereka.
Orang yang penakut merupakan orang
yang lemah—setidaknya lemah dari segi kejiwaan—dimana sifat lemah membuat
dirinya rentan dengan selalu berpikir bahwa tiada pilihan lain selain selalu
mengalah demi orang lain dan selalu mementingkan kebutuhan orang lain akibat
dicekam ketakutan ketika mencoba memprioritaskan kepentingan diri sendiri.
Akibatnya sikap dan sifat lemah menjadi maskot diri orang-orang baik, seolah membuka
kesempatan bagi orang lain untuk menyepelekan serta mengundang niat buruk orang
lain untuk menyalah-gunakan / memperalat kebaikannya. Ketika seseorang
mempersepsikan dirinya sendiri sebagai lemah, maka ia akan benar-benar tumbuh
sebagai orang dengan kepribadian yang lemah.
Tiada atau minimnya keberanian diri,
membuat kita harus membayar mahal dengan kepercayaan diri menjadi rendah atau
rapuh sehingga mudah patah semangat dan patah jiwa. Akibatnya, kita akan
menjadi seseorang yang (merasa terpaksa) selalu bersedia dan siap-sedia melakukan
apa saja untuk orang lain demi mendapatkan penerimaan dan disukai serta demi
tetap dinilai sebagai “orang baik”—bukankah itu suatu predikat “semu” yang
tidak layak harus kita tebus dengan harga yang teramat mahal ini? Itulah, pintu
masuk manipulasi diri yang kita buka lebar sendiri bagi orang lain untuk
menyusup dan mengambil keuntungan dengan mengorbankan diri kita. Tidak heran
bila pepatah klasik yang masih tetap relevan hingga saat kini, pernah berpesan
bahwa tiada manusia yang lebih gagal daripada seseorang yang mencoba untuk
menyenangkan atau bahkan mencoba untuk selalu menyenangkan dan memuaskan semua
orang.
Sehingga, tepat adanya ketika
disebutkan bahwa sifat naif—sifat yang tidak memiliki kecerdasan maupun
keberanian—hanya akan menjadi bumerang bagi diri sang naif itu sendiri. Orang-orang
naif dikenal sebagai individu yang sangat sukat mengutarakan apa yang
sebenarnya mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan, apa yang mengusik dan
mengganggunya, sehingga mereka sering kali mengalami kecewa seorang diri dan
hanya bisa menyakiti diri sendiri sebagai pelampiasannya, sebelum akhirnya benar-benar
tersisihkan dari percaturan dunia.
Perasaan kecewa yang
terakumulasi tanpa manajemen mental yang memadai (lihat kembali makna “teori
jendela”, analogi dari sirkulasi udara rumah yang baik ialah terdapatnya
jendela untuk pertukaran keluar-masuknya udara segar ke dalam rumah maupun
untuk keluarnya udara jenuh dari dalam rumah), akan menyebabkan kelelahan
hingga perasaan dan mental menjadi labil, bahkan berpotensi berujung depresi
akibat energi mental yang terkuras habis semata untuk berjibaku menahan emosi
terpendam setiap harinya—perang batin disertai “mentalitas korban” akibat
perasaan tidak berdaya atas nasibnya sendiri yang begitu terbiasa bergantung
pada komentar orang lain atas dirinya, bahkan masuk dalam tahap mencandu untuk
dipuji dan disukai sebagai “orang baik”. Berikut ilustrasi suara-suara yang
kerap diutarakan dalam senyap oleh mereka yang tergolong “orang baik namun
selalu dikecewakan”, apakah Anda menjadi salah satunya?
Saya selalu ga enakan sama
orang.
Tapi orang se-enak-nya sama
saya.
~~~
Jangan terlalu baik sama orang.
~~~
Ikhlas sih saat menolong dan
memberi kemurahan hati, tapi kan waktu kita gak buat ngebantu orang lain saja.
Giliran aku yang butuh bantuan, pasti ada aja alasan mereka untuk berkelit.
~~~
Terlalu baik emang sering
diremehkan, temanku.
~~~
Jangan pernah berpikir semua orang itu baik seperti Anda
pribadi, bahaya... Hati orang gak
ada yang tahu.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.