LEGAL OPINION
Semua Gugatan Perdata memang Bersifat Menghina
sekaligus Mencemarkan Nama Baik pihak Tergugat
Semua Dakwaan & Tuntutan Pidana pun memang
Bersifat Praduga Bersalah terhadap Terdakwa
Question: Sebagai seorang konsumen, saya merasa telah
dirugikan oleh pihak developer (perusahaan pengembang dan penjual unit
perumahan / real estate) yang sejak awal menawarkan rumah yang mereka bangun
dan kembangkan, tidak bersikap jujur dan terbuka kepada calon konsumen atas
beberapa informasi yang bersifat penting bagi pembeli produk properti, sehingga
saya selaku calon konsumen kemudian tergiur dan masuk dalam perangkap mereka
yang tampaknya memang jebakan yang sengaja mereka rancang untuk mengecoh calon
konsumen untuk tidak menaruh waspada juga tidak menaruh kecurigaan apapun.
Barulah saya sadari (dikemudian
hari), ada hal yang tidak beres dari properti yang mereka tawarkan dan
pasarkan, akan tetapi mereka tidak mau mengembalikan uang panjar yang telah
saya bayarkan dan mereka nyatakan hangus bila saya batalkan pembelian unit
rumah yang mereka pasarkan ini. Namun bila saya hendak mengeluh di media massa,
seperti beberapa pemberitaan baru-baru ini, konsumen yang justru dipidana
penjara dengan alasan mencemarkan nama baik pihak penjual. Bagaimana ini,
apakah ada solusi hukumnya?
Semua orang yang disakiti dan dirugikan, mestinya berhak menjerit dan jeritan kesakitan mana yang sifatnya sopan dan santun? Jangan salahkan asap, asap adalah “akibat”. Salahkan api yang menjadi “penyebab”-nya. Seekor anjing saja boleh dan berhak menjerit kesakitan ketika ekornya diinjak, maka mengapa warga selaku manusia dituntut untuk menyerupai sebongkah mayat yang hanya terbujur kaku dan membisu bungkam seribu bahaya meski disakiti pihak lain?
Brief Answer: Seseorang konsumen, secara hukum maupun
setidaknya secara moril adalah benar telah terkecoh bilamana mengalami
konstruksi berikut : bila saja dari sedari sejak awal yang bersangkutan
mengetahui segala hal yang semula mereka tutupi, menawarkan produk secara tidak
tranparan, maka ia tidak akan berminat untuk membeli ataupun membayar uang
tanda jadi. Untuk itu, SHIETRA & PARTNERS asumsikan bahwa benar
bahwa Anda dalah calon konsumen yang telah dirugikan sehingga patut merasa
kecewa terhadap pihak penyedia barang yang tidak bersikap terus-terang membuka
seluruh “syarat dan ketentuan yang berlaku” terhadap calon konsumennya tanpa
ada yang disembunyikan dari sejak semula.
Biasanya pihak marketing pihak developer hanya
akan sesumbar segala kelebihan produk yang mereka tawarkan, akan tetapi kekurangannya
baru akan diungkap setelah calon pembeli membayar sejumlah uang panjar tanda
jadi pembelian produk properti. Untuk mengeluhkan kejadian serta sekadar
mengisahkan pengalaman pribadi (curhat, curahan hati) ke media sosial, rentan
dan berpotensi dikriminalisasi terutama bila pihak yang dikeluhkan ialah
perusahaan besar ternama yang memiliki kekuatan sumber daya ekonomi ataupun
politik sebagai kekuasaan dan daya tawarnya di mata pemerintah maupun
pengadilan.
Salah satu cara cerdik yang dapat ditempuh warga
selaku konsumen sebagai solusinya, ialah menggunakan instrumen hukum bernama
menggugat, dimana konsumen mencurahkan segala “unek-unek” dan pengalaman serta
tudingannya ke dalam surat gugatan terhadap pihak yang dikeluhkan. Apakah
seseorang yang mengeluhkan pengalaman dan menuangkan kekecewaannya ke dalam
surat gugatan dan benar-benar didaftarkan ke pengadilan, dapat dipidana dengan
alasan menghina ataupun mencemarkan nama baik pihak Tergugat selaku perusahaan
yang dikeluhkan oleh sang konsumen?
Pada dasarnya serta fakta lapangannya selama ini
di ruang pengadilan, semua gugatan bersifat mencemarkan nama baik pihak yang
digugat, gugatan mana, proses persidangan, serta putusan pengadilannya bahkan
dibuka bagi umum sehingga dapat disimak langsung maupun dibaca putusannya oleh
publik luas. Namun keunikan gugatan ialah, Tergugat diberi hak untuk membantah
atau “hak jawab” lewat wadah yang bernama “surat bantahan” atau “surat
jawaban”, karenanya pihak Tergugat tidak memiliki hak untuk mengkriminalisasi
pihak Penggugat yang sekalipun nyata-nyata telah memfitnah dan melebih-lebihkan
dalilnya dalam surat gugatan.
Untuk itu, setelah pihak konsumen secara resmi
melayangkan surat gugatan ke pengadilan, sang konsumen dapat dibenarkan untuk
memposting statusnya di media sosial, sembari membuat keterangan dengan contoh
sebagai berikut:
“Saya telah memasukkan gugatan
kepada Developer ABC yang menjual perumahan DEF di XYZ, dengan dalil-dalil
antara lain : 1.) membuat rumah percontohan yang tidak sejalan dengan brosur
penjualan sehingga mengecoh calon konsumen sehingga berminat atau tergiur
membeli. 2.) iming-iming yang sekadar janji-janji palsu, nihil realisasi. 3.)
spesifikasi bangunan yang diubah secara sepihak oleh pihak Tergugat selaku
penjual. 4.) Janji pihak sales saat menjual ternyata berbeda dengan pernyataan pihak
developer di kontrak yang baru muncul dikemudian hari. 5.) ...”
Tidak terkecuali perkara pidana, seseorang yang
baru memasuki tahap diperiksa sebagai Tersangka / Tersidik di kantor polisi,
atau baru dibacakan surat dakwaan di persidangan oleh pihak Jaksa Penuntut
Umum, belum memasuki tahap tuntutan terlebih vonis hakim di pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht),
namun sudah diliput oleh media massa dimana juru bicara pihak aparatur penegak
hukum telah melakukan “press release”
ke publik yang secara langsung mencemarkan nama baik pihak Tersangka ataupun
Terdakwa (trial by the press) yang
secara tidak langsung mengindikasikan diberlakukannya asas “praduga bersalah”
alih-alih “asas praduga tidak bersalah”.
Fakta dan realitanya, seluruh surat dakwaan
bersifat mencemarkan nama baik pihak Terdakwa, karena masyarakat umum telah
terlanjur menempatkan stigma serta sentimen negatif kepada sang Terdakwa yang belum
dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim di pengadilan. Namun, mengapa sekalipun
terdapat sebagian dari total dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum telah
ternyata ditolak oleh Majelis Hakim di pengadilan dan Terdakwa divonis “bebas”
atau “lepas dari segala tuntutan”, tiada mantan Terdakwa manapun yang
mengajukan tuntutan balik kepada pihak aparatur penegak hukum karena telah
mencemarkan nama baik sang mantan Terdakwa? Jawabannya ialah semata karena sang
mantan Terdakwa telah diberi kesempatan membantah dakwaan dengan mengajukan
“nota pembelaan” (pledooi) saat didakwa sebagai “pesakitan” di ruang
persidangan.
PEMBAHASAN:
Semua gugatan perdata bersifat
mencemarkan nama baik pihak Tergugat, bahkan sebagian kecil atau sebagian besar
diantaranya mengandung muatan fitnah, tudingan yang berlebihan, tidak
terkecuali putar-balik fakta yang pada pokoknya mencoba menyudutkan, melecehkan
(harassment), perundungan (bullying), dan mendiskreditkan posisi
pihak Tergugat di mata hakim maupun di mata publik yang dapat turut mengakses
dokumen putusan pengadilan maupun turut menyaksikan jalannya persidangan secara
langsung. Singkat kata, penuh nuansa akrobatik kata, polesan fakta, tudingan,
cercaan, diskredit, hingga mendramatisir peristiwa yang pernah terjadi maupun
rekaan.
Salah satunya ialah gugatan
buruh terhadap perusahaan tempatnya bekerja atau pengusaha pemberi kerja, dapat
saja dan lumrah bila kita jumpai tudingan semacam “eksploitatif”, “perbudakan”,
“penghisap darah”, dan anekdot lainnya yang mengarah pada degradasi martabat
pihak yang digugat, dengan tujuan menegaskan kesakit-hatian ataupun kekecewaan
sang buruh yang telah bekerja memeras keringat dan “membanting tulang” demi
membesarkan perusahaan namun berbuntut kesewenangan-wenangan dengan melanggar
apa yang menjadi hak-hak normatif sang buruh ataupun mantan buruh. Sebaliknya,
ketika perusahaan yang menggugat sang buruh, disebutkan bahwasannya sang
pegawai adalah “pemalas”, “tidak bertanggung-jawab”, “makan gaji buta”, ‘tidak dapat
diandalkan”, “pembantah”, “provokator”, dan lain sebagainya.
Hampir tidak ada, sebagai
contoh, gugatan perceraian yang tidak mengandung “bumbu-bumbu sinisme” dan “sentimen
disertai penguat rasa” dengan kalimat-kalimat berbunga yang mengundang simpati
hakim agar dikabulkan gugatan cerainya, semisal sekalipun benar bahwa sang
suami telah bermain kekerasan fisik terhadap sang istri yang kini menggugat
cerai suaminya, cenderung dipilih untuk dicantum frasa hiperbola “menganiaya”
atau “ditampar hingga memar”, alih-alih “tepukan lembut di pipi”, “tamparan
dengan bibir di pipi”, atau kalimat lunak dan santun lainnya.
Kalimat-kalimat semacam “main
mata”, “selingkuh”, “menyeleweng”, “pria idaman lain”, “menelantarkan”, “tidak
memberi nafkah lahir dan batin”, “tidak bertanggung-jawab”, “kejam”,
“otoriter”, “suka main fisik”, “wanita idaman lain”, kental mewarnai gugatan
perceraian—sekalipun persidangannya ditutup bagi umum, namun penulis dan
masyarakat umum dapat mengakses website Mahkamah Agung RI untuk menemukan nama
pihak-pihak yang terlibat sengketa gugat-menggugat cerai, dan mendapati telah
ternyata “tidak rahasia-rahasia amat” putusan sengketa perceraian mereka.
Kesemua itu, sejatinya ialah pencemaran nama baik, karena tentunya pihak
seberang akan mengklaim bahwa semua dalil Penggugat ialah fitnah belaka. Bila Anda
kenal seseorang yang pernah gugat-menggugat perceraian, cobalah masukkan nama
lengkap yang bersangkutan ke website database putusan milik Mahkamah Agung RI,
maka Anda akan menemukan berkas gugat-menggugat perceraian mereka dalam satu putusan.
Pada pertengahan tahun 2022,
publik global digemparkan oleh pemberitaan aktor kawakan Hollywodd bernama Johnny
Depp yang menggugat “pencemaran nama baik” kepada mantan istrinya, Amber Heart,
gugatan yang fenomenal karena nilai tuntutan dalam gugatannya yang bombastis (Depp
meminta ganti rugi tidak kurang dari 50 juta dolar, meskipun juri meminta Amber
Heard hanya cukup membayar US$10,35 juta sesuai batasan ganti rugi yang berlaku
pada hukum di Virginia), telah ternyata gugatan mana dimenangkan oleh juri dan
menyedot perhatian banyak kalangan di dalam dan di luar persidangan. Hampir
seluruh media pers meliputnya, baik lokal maupun mancanegara, bagai panggung
drama itu sendiri yang menjadi tontonan disimak klimaksnya.
Mari kita belajar dari
pengalaman mereka dengan rincian berikut ini. Depp menuduh bahwa Heard
mencemarkan nama baik yang bersangkutan, oleh sebab Heard ternyata menjadi
seorang penulis pada sebuah kolom opini di surat kabar pada tahun 2018 dan
dipublikasikan oleh “The Washington Post”. Opini yang terbit pada bulan
Desember tahun itu berjudul “Saya bersuara
menentang kekerasan seksuil — dan menghadapi kemarahan masyarakat kita. Itu
harus berubah.” Itulah, kesalahan terbesar Heard, pintu masuk gugatan
“pencemaran nama baik” oleh mantan suaminya.
Di dalamnya, Heard menuliskan,
“Seperti banyak wanita, saya telah
dilecehkan dan diserang secara seksuil pada saat saya masih kuliah. Tapi saya
tetap diam — saya ada niatan untuk membawanya
ke pengadilan. Dan saya tidak melihat diri saya sebagai korban. Kemudian
dua tahun lalu, saya menjadi figur publik yang mewakili kekerasan dalam rumah tangga,
dan saya merasakan sepenuhnya kemarahan masyarakat kita terhadap perempuan yang
menyuarakan haknya,” tulis Heard.
Nama Johny Depp tidak
disebutkan dalam tulisan tersebut, tetapi kuasa hukum Depp berpendapat bahwa
esai tersebut mengandung “implikasi yang jelas bahwa Depp adalah pelaku
kekerasan dalam rumah tangga”, yang dikatakan “secara kategoris dan terbukti
salah”, seperti dikutip dari tulisan Heard. Depp mengambil kesaksian pada hari
kelima sidang kesaksian pada 19 April 2022 dan mengklaim Heard “keji”, “mengganggu”
dan “tidak didasarkan pada jenis kebenaran apa pun” (alias “pembohong” makna
implisitnya)—Anda lihat, dengan cerdik Depp balik mencemarkan nama baik Heard
di persidangan saat Depp dimintakan keterangannya di persidangan, cara paling
aman untuk mencemarkan nama baik orang lain adalah dalam forum di persidangan,
bukan di luar persidangan.
Jika kita meneapkan asas “fairness”, maka sejatinya sengketa
antara kedua mantan pasangan suami-istri tersebut telah “impas” dan Depp tidak
lagi berhak menuntut ganti-rugi dari mantan istrinya, oleh sebab Depp sendiri
telah ternyata secara frontal menghina dan mencemarkan nama baik Heard di depan
persidangan dan diliput oleh media serta disaksikan oleh jutaan penduduk dunia
yang mana lebih hebat dan meluas sifat pencemaran nama baiknya ketimbang apa
yang telah dilakukan oleh Heard. Namun mengapa juri dan pengadilan masih juga
mengabulkan tuntutan Depp? Depp mengaku tidak terima dihina dan dicemarkan nama
baiknya, namun Depp disaat bersamaan menjadi pelaku penghinaan dan mendiskredit
pihak lain di depan persidangan, cerminan kekentalan sikap arogansi itu
sendiri.
Heard menuduh Depp mengatur “kampanye
kotor” terhadapnya dan menggambarkan gugatannya sendiri sebagai kelanjutan dari
“kekerasan dan pelecehan.” Ia juga menyebut bahwa hiruk-pikuk media sosial “tidak
adil” seputar kasus ketika bergulir di persidangan. Begitu banyak unggahan di media
sosial yang sangat mendukung Johnny Depp selama enam pekan persidangan. Yang
menarik ialah, Amber Heard mengaku paham alasan juri berpihak dan bersimpatik kepada
mantan suaminya. Dalam preview wawancara bersama NBC pada tanggal 13 Juni 2022,
Amber Heard mengaku paham ketika para juri persidangan pada akhirnya membuat
keputusan yang sebagian besar membela Johnny Depp.
“Saya tidak menyalahkan mereka (juri),” kata Amber Heard. “Saya sesungguhnya paham. Dia (Depp)
merupakan karakter yang dicintai dan orang-orang merasa mereka mengenalnya. Dia
(Depp) aktor yang fantastis.” Dalam persidangan, Heard sebelumnya juga
sudah mengaku tak kaget banyak yang membela mantan suaminya tersebut, termasuk
ketika bersaksi. “Saya tahu berapa banyak
orang yang akan keluar dan mengatakan apa pun untuknya. Itu adalah kekuatannya,”
kata Heard seperti dikutip CNN (26/5).
Heard, bisa jadi merupakan
korban “hyper-reality”, dimana
masyarakat atau publik, tidak terkecuali para juri, sudah memiliki prasumsi
mengenai sosok dan tokoh bernama Depp tersebut, bahwa mereka sudah mengenal baik
sosok yang bernama Depp. Depp selalu memerankan tokoh protagonis yang baik
melawan yang jahat, dan kebetulan kali ini panggung dramanya ialah menempatkan
Heard sebagai pihak yang “jahat”, dan yang “jahat” harus dikalahkan, tokoh
utamanya harus dibela dan dimenangkan. Juri, menganggap putusan mereka sebagai
telah membela kebenaran dan mendukung keberlanjutan hidup tokoh protagonis yang
baik.
Sebelumnya, telah dilaksanakan
pengadilan dalam yurisdiksi yang berbeda dan dengan terdakwa yang berbeda di
tahun 2018. Pada tahun 2018, di Inggris, Depp menggugat News Group Newspapers,
perusahaan yang menerbitkan The Sun, atas tuduhan pencemaran nama baik atas
sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar tabloid pada bulan April tahun
itu. Kasus ini diadili pada tahun 2020. Heard bersaksi sebagai saksi untuk The Sun.
Depp kalah dalam persidangan pencemaran nama baik pada November 2020, ketika
Hakim Andrew Nicol mengatakan para terdakwa membuktikan bahwa tuduhan mereka
terhadap Depp “secara substansial benar,” seperti yang dilaporkan oleh The
Associated Press pada saat itu.
Inilah yang tercatat pernah
dikatakan oleh Heard. “Saya tidak peduli dengan yang orang lain pikirkan
tentang saya atau penilaian yang ingin anda buat tentang privasi rumah saya
sendiri, pernikahan saya, di balik pintu tertutup,” kata Heard. “Saya tidak
menilai orang-orang harus mengetahui hal itu. Jadi, saya tidak menanggapi itu
secara pribadi. Bahkan seseorang yakin saya pantas menerima semua kebencian dan
kekejaman ini, bahkan jika Anda berpikir saya berbohong, Anda masih tidak bisa
menatap mata saya dan memberi tahu saya bahwa kami pikir di media sosial ada
representasi yang adil.”
Sebuah media melansir berita
bahwa Seorang Psikolog forensik mendiagnosa Amber Heard, mantan istri dari
Jhonny Depp dengan gangguan stres pasca trauma (PTSD, post traumatic sindrome
disorder). Amber Heard menderita PTSD akibat kekerasan yang dilakukan pasangan
intimnya, Jhonny Depp. Dawn Hughes sebagai seorang Psikolog menyimpulkan dalam
kasus ini Jhonny Depp yang harus disalahkan mengingat Amber Heard adalah
seorang penderita PTSD. Hughes menyampaikan bahwa Jhonny Depp menjadi penyebab
utama Amber Heard mengalami PTSD. “Saya
mendiagnosis Amber dengan gangguan pasca trauma, penyebabnya adalah kekerasan pasangan
intim dari Johnny Deep,” ujarnya bersaksi.
Hughes mendiagnosis Amber
setelah gugatan yang diajukan oleh Depp pada awal tahun 2019 lalu. Hughes
bersaksi dan memberikan keterangan bahwa Amber menderita ‘kekerasan pasangan
intim’ yang ditandai dengan kontrol paksaan, pengawasan, dan faktor lainnya. Dia
juga mengatakan jika diagnosis PTSD yang dilakukan dirinya terhadap Amber Heard
ada hubungannya dengan Depp. “Amber menderita kekerasan fisik dari ayahnya
sebagai seorang anak dan dibesarkan dari kedua orang tua yang memiliki masalah
penyahgunaan obat-obatan, hal itu yang membuat Amber tetap bertahan dengan
perilaku Depp karena ada pelecehan saat ia masih anak-anak,” kata Hughes.
Dia juga menambahkan jika Amber
belajar untuk mencintai seseorang yang menyakitinya dan berharap dirinya bisa
memperbaiki Depp dari masalah penyalahgunaan obat terlarang, namun tidak
berhasil. Tidak hanya itu, Hughes juga memberikan keterangan jika Amber
mengalami cedera yang jauh lebih tinggi daripada Depp. Hughes mengatakan jika
Depp mendorong, menampar, dan menendang Amber, bahkan menyerangnya secara
seksual—kembali kita melihat, bahwa Hughes telah menghina dan mencemarkan nama
baik Depp di depan persidangan, namun tiada resiko hukum apapun melakukan
penghinaan ekstrem semacam itu di depan persidangan dalam rangka
gugat-menggugat dan sekalipun diliput media luas atas masalah sengketa domestik
rumah-tangga keduanya.
Hughes menuduh Johnny
memaksanya melakukan hubungan intim dan menusuknya dengan botol alkohol. Tidak
ada yang benar-benar tahu siapa yang benar-benar “benar” dan siapa yang
benar-benar “bersalah”. Sebagai penutup, sekadar sebagai catatan dalam sejarah
sistem peradilan berdasarkan juri, 15 Februari 399 SM, merupakan tanggal
bersejarah dimana filsuf Socrates dihukum mati berkat putusan para juri yang
menyidangkan sang filsuf. Apakah Anda tahu, berapa banyak total juri yang
mengambil suara pada saat Socrates dinyatakan bersalah? Jika Anda tahu
jawabannya, Anda akan paham betapa sistem juri di persidangan yang terbuka bagi
umum sekalipun, tidak otomatis merepresentasikan keadilan dan kebenaran. Sentimen,
lebih kental mewarnai praktik persidangan, dan menjadi momok tersendiri,
sekaligus menggambarkan betapa irasionalnya umat manusia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.