LEGAL OPINION
Hukum yang Ideal Bersifat Elaboratif, Deliberatif,
Inovatif, Solutif, serta Akomodatif
Contra Legem dan Hukum yang Futuristik, Terbuka bagi Perubahan sesuai Kebutuhan Masyarakat dan Manfaat yang Lebih Besar
Question: Hukum acara perdata di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan pihak Penggugat yang telah dimenangkan dan dikabulkan gugatannya oleh pengadilan, sehingga kesulitan untuk mengeksekusi penghukuman terhadap pihak Tergugat untuk membayar sejumlah ganti-rugi sesuai amar putusan hakim, terutama tidak pernah transparannya kalangan pihak Tergugat dalam mengungkap harta-harta miliknya untuk dapat diletakkan “sita eksekusi”. Apakah ada solusi, agar potensi “menang diatas kertas” demikian dapat dimitigasi sedemikian rupa sehingga pihak Tergugat yang kalah dan dihukum oleh putusan pengadilan tidak dapat lagi berkelit?
Brief Answer: Sepanjang ada putusan pengadlan yang membolehkan
pihak Penggugat untuk menghadap instansi pemerintah yang berwenang dalam rangka
menghimpun informasi terkait aset-aset atau harta kepemilikan pihak Tergugat,
baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun tidak
berwujud, berdasarkan atau berbekal “Nomor Induk Kependudukan” (NIK, single identity number) pihak Tergugat, maka
akan jadi sah-sah saja dilaksanakan dan dieksekusi sebelum kemudian menjadi
kebiasaan praktik baru (konvensi) di lembaga pemerintahan terkait semisal di
Direktorat Catatan Sipil maupun di Kantor Pertanahan, sebagai contoh diberikan
izin bagi pihak Penggugat untuk membuka data terkait harta Tergugat untuk tujuan
dletakkan “sita eksekusi” terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht).
Untuk itu, menyusun strategi pra-gugatan, menjadi
sangat penting disamping vital bagi seorang litigator baik pihak Penggugat
maupun kuasa hukum yang mewakili pihak Penggugat untuk bersidang di pengadilan.
Rumusan dan konsep dalam surat gugatan, baik kronologi / konstruksi peristiwa (posita) maupun pokok tuntutan (petitum), menjadi fondasi paling dasar
dari suatu upaya hukum bernama gugatan. Dapat disertakan dalam “posita” gugatan, uraian mengenai urgensi
diberi hak akses data / informasi terkait aset harta kepemilikan pihak Tergugat
dalam rangka “sita eksekusi” ketika gugatan dikabulkan dan dimenangkan oleh
hakim di pengadilan, untuk selanjutnya merumuskan “petitum” agar mekanisme demikian dapat diakomodir oleh Majelis
Hakim di pengadilan saat memutuskan dan menjatuhkan amar putusan terhadap
gugatan.
PEMBAHASAN:
Hukum acara perdata kita di
Indonesia memang tidak mengenal ataupun mengakomodir kemungkinan pihak
Penggugat melacak atau mengakses data-data terkait harta kepemilikan pihak
Tergugat dalam rangka menelusuri aset untuk dibebankan “sita eksekusi” semata
agar putusan menjadi tidak “ilusioner” alias dapat dieksekusi ketika pihak
Tergugat tidak kooperatif untuk mengindahkan dan melaksanakan penghukuman dalam
amar putusan hakim pengadilan—sekalipun kebutuhan konkret demikian sudah sejak
lama dibutuhkan dan dikeluhkan para pencari keadilan di Indonesia pada
khususnya sengketa perkara perdata. Namun, selain norma hukum tertulis, kita
mengenal pula norma hukum kebiasaan (best
practice) untuk mengisi kekosongan hukum sesuai kebutuhan praktik di
lapangan, alias “konvensi” itu sendiri.
Sebagai contoh analoginya,
perkawinan beda agama tidak diatur kebolehannya dalam Undang-Undang di
Indonesia, namun juga disaat bersamaan tidak terdapat norma hukum yang mengatur
larangan secara tegas bagi Warga Negara Indonesia yang hendak melangsungkan
perkawinan beda agama di teritori Indoensia. Sehingga timbul pertanyaan dalam
praktik, “boleh” atau “tidak boleh” kawin beda agama dan dicatatkan ke Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil?
Kekosongan hukum tidak boleh
dibiarkan begitu saja, agar sendi kehidupan sipil serta administrasi
pemerintahan terus dapat berjalan dan berputar, karenanya dibutuhkan sebentuk
keberanian untuk mendobrak kebekuan lewat menerapkan “konvensi” baru untuk
menjadi hukum tidak tertulis itu sendiri yang perlu dibentuk serta dilembagakan
kedalam praktik (best practice)
sebagai inisiatif pemecahan masalah untuk menjawab kebutuhan konkret di
lapangan.
Perhatikan bagaimana praktik
lapangan di pemerintahan perlu bersikap akomodatif, kreatif, serta solutif
membentuk “best practice” baru yang
inovatif sekalipun norma hukum tertulisnya “kosong” ketika memberikan pelayanan
publik bagi masyarakat umum, dimana bermula dari polemik pernikahan beda agama yang
menjadi isu di lembaga pemerintahan sejak tahun 1980-an, terutama pada instansi
pemerintahan dibawah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil.
Mahkamah Agung (MA RI) kemudian
menerbitkan putusannya sebagaimana register Nomor 1400 K/Pdt/1986, yang memutuskan
bahwa perkawinan beda agama adalah dibolehkan dan dimungkinkan untuk dilakukan
di Indonesia dengan jalan warga yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama
memohonkan “penetapan” ke pengadilan untuk memberi izin bagi calon pasangan
dimaksud sebagai pihak Pemohon untuk melangsungkan pernikahan sekalipun sang
pasangan berbeda agama. Sejak terbitnya putusan yang bersejarah itu, Kantor Catatan
Sipil di Indonesia sudah bisa mencatatkan kawin beda agama atas dasar penetapan
pengadilan kasus per kasus sesuai identitas pihak pemohon yang telah membekali diri
dengan penetapan dimaksud.
Selang puluhan tahun kemudian, dibelakangan
hari terbit Surat Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri No. 472.2/3315/DUKCAPIL
tertanggal 3 Mei 2019. Surat tersebut berisi penjelasan pencatatan sipil bagi
Warga Negara Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan di Indonesia, salah
satunya pencatatan perkawinan beda agama bila salah satu pasangan dan pasangan
yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya. Surat Dirjen Dukcapil
tersebut menindaklanjuti Surat Panitera MA RI yang menjawab surat penjelasan
hukum yang sebelumnya dimohonkan Ditjen Dukcapil Kemendagri pada 10 Oktober
2018.
Adapun substansi Surat Jawaban
Panitera MA RI No. 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019, pada poin 2
menjelaskan tentang pencatatan perkawinan beda agama, menyatakan dengan kutipan
sebagai berikut:
“Perkawinan beda agama tidak
diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika
perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan
pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka
perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan
dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan
berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA).”
Konstruksi di atas menyerupai
perkawinan anak dibawah umur, dilarang oleh hukum dalam Undang-Undang tentang
Perkawinan mengenai batas minimum usia pasangan suami-istri. Namun,
masing-masing calon pasangan lewat walinya dapat memohon dispensasi usia
perkawinan ke pengadilan negeri setempat, sehingga bila dikabulkan, maka
terbitlah penetapan pengadilan yang berisi izin atau kompensasi bagi kedua
belah pihak Pemohon untuk melangsungkan pernikahan sekalipun masih berstatus
dibawah umur kecakapan untuk melangsungkan pernikahan di Indonesia.
Pada mulanya, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang menerima berkas perkara berupa permohonan “izin kawin beda
agama” melalui Penetapan No. 382/Pdt/P/1986/PN.Jkt.Pst menyatakan “menolak”
permohonan perkawinan beda agama, dimana Majelis Hakim konsisten merujuk semata
pada Undang-Undang tentang Perkawinan yang mana secara tertulis (norma hukum
tertulis) mengatur bahwa perkawinan terjadi ketika kedua mempelai seagama atau saling
beragama sama. Namun, kedua calon mempelai tidak menerima begitu saja penolakan
Pengadilan Negeri, mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang ternyata
Hakim Agung kemudian mengabulkan permohonan kedua mempelai atas dasar pertimbangan
hak asasi manusia (HAM). Putusan MA RI demikian kini menjadi dasar “best practice” (konvensi peradilan) diperbolehkannya
nikah beda agama sebelum kemudian dicatatkan di kantor catatan sipil (konvensi
administrasi pemerintahan). Kebijakan yang mengakomodir kebutuhan masyarakat
demikian, menjadi solusi yang pro terhadap rakyat, dimana pada asasnya hukum
memang harus bersifat solutif disamping inovatif.
Sebagai kesimpulannya, saat
kini Kantor Pencatatan Sipil sudah mulai bisa mencatatkan kawin beda agama
sejak tahun 1986. Sejak tahun bersejarah itulah, yurisprudensi di atas kerap dirujuk
masyarakat ketika ada pasangan yang hendak menikah dalam kondisi saling berbeda
agama namun terkendala upaya mencatatkannya agar menjadi sah oleh hukum negara.
Dewasa ini, permohonan penetapan serupa meingkat kebutuhannya dari tahun ke
tahun oleh anggota masyarakat yang memiliki masalah serupa di negara dengan latar-belakang
agama yang majemuk, perkawinan antara WNI dalam kondisi saling berbeda agama,
dan pernikahan mana hendak dilangsungkan di teritori Negara Indonesia.
Putusan yang layak menyandang
gelar “landmark decision”, monumental
dan bersejarah, yang mengedepankan inovatif dan solutif itu tetap sah-sah saja
menjadi sumber hukum yang diakui dalam sistem hukum Indonesia, tercatat sebagai
salah satu “yurisprudensi” atau “preseden” yang menjadi sumber hukum “best practice” praktik peradilan maupun
bagi masyarakat luas pada umumnya. Karena itu, Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986
demikian menjadi rujukan yurisprudensi paling utama mengenai kawin beda agama agar
dinyatakan sah dengan syarat kedua calon pasangan mengantungi penetapan
pengadilan yang terlebih dahulu mengabulkan permohonan izin mereka sebelum
dibawa ke Kantor Pencatatan Sipil.
“Mind set” lama sebagian orang yang hendak melangsungkan perkawinan
beda agama, ialah perkawinan dilangsungkan di luar negeri dimana negara
tersebut norma hukum tertulisnya membolehkan terjadinya perkawinan beda agama
di teritori wilayah negaranya, lalu kedua pasangan WNI ini kembali ke Negara Indonesia,
sebelum kemudian meminta dicatatkan ke Kantor Pencatatan Sipil di Indonesia dan
selama ini pada umumnya memang diterima “jalan memutar” yang berliku demikian, sehingga
status WNI yang menikah di luar negeri tersebut dalam catatan kependudukannya
akan dinyatakan sudah menikah meski beda agama—banyak yang menyebutnya sebagai “penyelundupan
hukum”, walaupun senyatanya sejak tahun 1986 para WNI tidak perlu pergi ke luar
negeri untuk menikah dengan calon pasangannya yang berbeda agama, dimana mereka
cukup memohonkan produk pengadilan saja yang bernama “penetapan”, meski aturan
tertulisnya belum ada namun sudah terdapat praktik kebiasaan baru di lembaga Dukcapil
serta bukan hal yang baru dalam praktik peradilan, sudah lazim terjadi dan
berlangsung.
Disebutkan bahwa, dari sejumlah
putusan hakim mengenai permohonan penetapan perkawinan beda agama, banyak
diantaranya dikabulkan hakim, sekalipun masih ditemukan sejumlah putusan yang
ditolak permohonannya, dimana beberapa penetapan pengadilan yang menolak
permohonan WNI yang hendak menikah dengan status beda agama akibat hakim yang
memutus permohonan tidak merujuk pada yurisprudensi MA RI sebagaimana dimaksud di
atas, akan tapi merujuk semata pada Undang-Undang tentang Perkawinan dan Undang-Undang
Administrasi Kependudukan saat menjatuhkan putusan berupa permohonan penetapan
kawin beda agama—namun itu tidaklah penting, yang terpenting ialah fakta bahwa
kini lembaga pemerintah mulai membuka diri dan membuka potensi kelaziman baru, lebih
terbuka (open minded), lebih
inovatif, serta lebih solutif dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat serta
melayani rakyat luas.
Yang dalam terminologi istilah
hukum, dikenal dengan sebutan “contra
legem”, yang bermakna bahwa ketentuan normatif hukum (teks norma hukum) tertulis
dapat disimpangi oleh praktik peradilan bilamana konteks hukum yang dihadapi
membutuhkan solusi konkret serta keberanian untuk melakukan terobosan dalam
rangka kemanfaatan yang lebih besar bagi masyarakat luas—lebih besar manfaat
daripada mudarat ketika teks norma hukum disimpangi, kasus per kasus secara
kasuistik sesuai konteks peristiwa hukum yang terjadi.
Sekalipun secara eksplisit “menabrak”
ketentuan teks normatif hukum yang berlaku, namun kebutuhan konkret di lapangan
menuntut agar dibentuk praktik kebiasaan berhukum yang baru, maka itulah yang
kemudian terlembagakan sebagai sebuah “best
practice”, salah satunya seperti contoh yurisprudensi di atas, dimana
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Indonesia dibawah
Kementerian Dalam Negeri dalam satu dasawarsa dewasa ini memberikan pelayanan publik
dengan beragam inovasi yang patut diapresiasi oleh masyarakat di Indonesia.
Jika bisa dipermudah, mengapa dipersulit, itulah motto yang humanis dari
lembaga pelayanan publik yang ideal.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.