SENI PIKIR & TULIS
Ketika terdapat Pihak-Pihak yang Mendiskreditkan
Martabat Kita, Jawablah : Saya Tidak Perduli Apa Kata Anda, Saya hanya Perduli
dengan Apa Kata Ribuan hingga Jutaan Pembaca Publikasi ini yang menjadi Juri
sekaligus Hakimnya
]Itulah yang Dimaksud sebagai Kekuatan Dibalik Warga Media
Daring, para Netizen / Warganet yang menjadi Juri Sekaligus Hakimnya
Media Sosial dapat menjadi RUANG PENGADILAN yang Ideal (Fungsi Kontrol Sosial)—Sepanjang Apa yang Kita Ungkap adalah FAKTA, maka Tiada “Pencemaran Nama Baik”, yang Ada ialah Pelaku Tidak Bermoral Itu Sendiri yang telah Menodai Nama dan Citra Dirinya Sendiri
Penulis tidak perduli pada apapun komentar ataupun perkataan orang-orang yang bersikap sinis terhadap prinsip hidup maupun etika profesi penulis selaku individu yang bebas dan merdeka dalam menentukan pilihan hidup serta menetapkan “syarat dan ketentuan layanan” profesi yang penulis bangun dan jalankan. Penulis tidak pernah merugikan orang lain, karenanya penulis memiliki hak moril untuk tidak menolerir pihak manapun yang mencoba merugikan penulis. Karena itulah juga, penulis hanya perduli pada pendapat maupun opini ribuan hingga jutaan pembaca publikasi ini, dimana Anda dan seluruh pembaca lainnya yang menjadi juri sekaligus sebagai hakimnya.
Berangkat dari pengalaman
sepanjang hayat, berbagai pengalaman manis dan pahit telah mengajarkan penulis
bahwasannya adalah delusif, ketika kita berasumsi bahwa kita dapat mengajak
orang “dungu” (ignorant) untuk
berdialog, berpikir, dan bernalar secara logis, secara rasional, secara dewasa,
maupun secara berakal-sehat. Orang-orang dungu, lebih cenderung menampilkan
corak watak “akal sakit milik orang sakit”. Itulah sebabnya, berhadapan dengan
atau dihadapkan kepada orang-orang dungu, sangatlah membuat frustasi,
meletihkan, menguras emosi, disamping memboroskan energi, dimana hasilnya
selalu nihil (seakan berbicara dengan “tembok tebal” yang “bebal”) atau bahkan
kontraproduktif mengingat kita yang memakai “akal sehat” tidak akan pernah
“nyambung” dengan cara berpikir si dungu yang kerap berpikir dan bersikap
serampangan.
Sebagai contoh, website
publikasi ilmu hukum sekaligus merangkap website profesi penulis selaku
konsultan hukum ini, dibangun dengan pengorbanan yang tidak terhitung lagi
besarnya dari segi modal biaya, (terutama) waktu, pikiran, tenaga, tetesan air
mata, perasan keringat, kucuran darah, dimana pihak-pihak yang tidak
bertanggung-jawab alih-alih berterimakasih atas budi baik penulis
mempublikasikan berbagai karya tulis dan ilmiah hukum, justru membalas budi
baik penulis tersebut dengan perbudakan hingga “perkosaan” terhadap profesi
penulis, baik secara terselubung maupun secara vulgar, secara arogan dan tanpa
rasa malu ataupun rasa bersalah berani sengaja melanggar larangan dan
peringatan dalam website ini, bahkan memakai modus-modus tipu-muslihat yang
melecehkan secara disengaja, seolah-olah orang baik adalah “mangsa empuk”,
seolah-olah orang baik tidak boleh dibiarkan bekerja dengan damai bebas dari
gangguan.
Atas dasar keserakahan
disamping kegilaan, mereka berpikir dapat memperkosa profesi konsultan hukum
semudah, seenak, dan segampang bermain handphone di tangan mereka secara tidak
bertanggung-jawab, seolah-olah memperkosa profesi orang lain yang sedang
mencari nafkah ialah “iseng-iseng berhadiah” dan tidak tercela. Bahkan, korban
perkosaan mereka pun mereka larang untuk menjerit (sekalipun itu adalah hak
asasi korban), disebut sebagai “tidak sopan” (seolah-olah sikap mereka yang
melecehkan adalah telah “sopan” dan “santun”), dan menuntut agar korban mereka
bungkam seribu bahasa bak mayat yang hanya dapat terbujur kaku mereka perksoa
hingga puas.
Sebiadab itukan bangsa bernama
Indonesia yang konon “agamais” ini? Lihat saja para Terdakwa kasus korupsi,
selalu tampil di persidangan bak “agamais” dengan busana “agamais” mereka.
Percaya atau tidak percaya, telah ribuan warga Indonesia mencoba melecehkan,
memperbudak, hingga memperkosa profesi penulis—kelakuan yang paling hina dan
paling tercela secara tidak terperi. Seorang pengemis sekalipun tidak pernah
sampai merampas nasi dari piring milik orang lain. Dari berbagai pengalaman
pribadi penulis, para pelakunya tersebut bukan tidak sanggup membayar tarif
konsultasi yang tidak seberapa nominalnya, namun akibat minimnya rasa malu
(tidak punya malu) dan tebalnya keserakahan mereka cerminan nihilnya kemampuan
pengendalian diri (hewanis, alih-alih humanis).
Dapat Anda bayangkan, pernah
terjadi, seseorang menghubungi penulis perihal sengketa hukum jual-beli tanah
senilai 15 miliar Rupiah, namun meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif
jasa SEPESER PUN, dan kejadian demikian sudah masif penulis hadapi dan alami
sebagai korban eksploitasi dan perkosaan terhadap profesi penulis yang
jelas-jelas sedang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum.
Rasa jijik terhadap “manusia-manusia hewan” semacam itu, lebih besar ketimbang
rasa murka penulis terhadap mereka. Adalah dusta bila ada orang dewasa, mengaku
tidak tahu apa itu profesi “konsultan hukum”, sekalipun anak kecil pun dapat
membaca berbagai keterangan di website profesi penulis ini perihal profesi
“konsultan” ialah menjual jasa tanya-jawab sebagai sumber nafkah sang
konsultan.
Diatas kesemua itu, sekalipun
website profesi penulis ini telah mencantumkan peringatan adanya sanksi bagi
pihak-pihak yang mencoba menyalah-gunakan nomor kontak kerja maupun email
profesi penulis, ketika mereka sengaja melanggar dan sanksi pun penulis jatuhkan
kepada mereka karena “you asked for it!”,
alih-alih merasa bersalah mereka justru lebih sibuk berdebat, berkelit,
mendebat, serta beralibi sedemikian rupa seolah kegilaan dan kesalahan mereka
belum cukup dan harus ditutupi dengan produksi berbagai kesalahan dan
kebiadaban baru lainnya. Sungguh, betapa penulis merasa muak dan hendak muntah
dalam arti sesungguhnya menghadapi sikap-sikap “manusia hewan” (predatoris)
semacam demikian, jauh dari sila “Kemanusiaan
yang Adil dan BERADAB”, mereka bahkan bangga mempertontonkan kebiadaban
mereka, dan menolak ketika penulis jatuhi sanksi, sekalipun mereka sendiri yang
“meminta”-nya secara disengaja—tiada perkosaan yang terjadi akibat kelalaian.
Aksi-aksi tidak beradab semacam
putar-balik fakta, maling teriak maling, bersikap seolah-olah penulis adalah “buta”
dan “tuli” sehingga perlu mereka ajarkan bahwa perbuatan mereka bukanlah
pelanggaran—sekalipun penulis memiliki mata serta pikiran untuk menilai sendiri
perilaku mereka maupun perasaan pribadi penulis ketika profesi penulis
dilecehkan serta “diperkosa”—menggurui penulis selaku tuan rumah seolah-olah
tamu yang berhak menentukan aturan main kepada tuan rumah, dan berbagai
perilaku atau sikap tidak etis hingga irasional, kesemua itu pernah penulis
hadapi. Sungguh bangsa yang “tidak kenal malu”, terlebih rasa bersalah, bangsa
yang “sudah putus urat malunya”. Watak-watak demikian menyerupai sedang dijajah
oleh anak bangsa sendiri, mentalitas penjajah, “stockholme syndrome” akibat lima abad lamanya bangsa ini dijajah.
Pengemis manakah, yang punya
masalah hukum perihal upah, tanah, kredit, kepailitan, perusahaan, dan lain
sebagainya? Bahkan pengemis masih lebih terhormat, karena tidak mencari makan
dengan cara merampok nasi dari piring milik profesi orang lain. Sebaliknya,
akibat termakan oleh sifat serakah mereka sendiri, mereka menjadi abai terhadap
rasa malu sekalipun sekujur tubuh mereka dibungkus busana serba tertutup,
sekalipun makanan yang masuk ke mulut dan perut mereka serba “halal” (namun
tidak dari segi ucapan yang keluar dari mulut mereka), meski telah memiliki
aset kekayaan berupa hak atas tanah sekalipun, masih juga dengan serakahnya
merampok hak nafkah penulis—sekalipun nafkah ialah urusan hidup dan mati,
dimana mengganggu orang yang sedang bekerja mencari nafkah saja sudah sangat
tercela, terlebih memperkosa dan memperbudak profesi orang lain yang sedang
bekerja mencari nafkah secara legal dan punya hak untuk bekerja bebas dari
segala gangguan? Itu sebangun dengan koruptor yang tanpa rasa malu masih
juga merampas nasi dari piring para rakyat yang lebih miskin daripada sang
koruptor.
Sungguh manusia “Made in Indonesia” adalah
makhluk-makhluk yang irasional. Telah ribuan pihak-pihak tidak
bertanggung-jawab, menyalah-gunakan info nomor kontak kerja maupun email profesi
penulis, semata untuk memperkosa dan memperbudak ataupun merampok nasi dari
piring milik profesi penulis—mental penjajah, seolah-olah diri mereka berhak
menjajah profesi orang lain untuk bekerja rodi, seolah-olah martabat mereka
lebih tinggi daripada warga lainnya. Sebagian diantaranya seketika merasa malu
ketika penulis tegur secara keras karena secara tidak langsung menyuruh penulis
dan keluarga penulis untuk “mati makan batu” (sebaliknya, mereka mati sekalipun
apa urusannya dengan penulis?), namun sebagian diantaranya tergolong “bebal”
dimana penulis harus menghabiskan banyak waktu, energi, hingga emosi untuk
berdebat dan beragumentasi verbal dengan mereka selama berjam-jam,
berhari-hari, bahkan bertahun-tahun lamanya, barulah mereka mengakui dan menyadari
betapa tercela perilaku mereka dan betapa mereka telah melakukan kesalahan yang
tidak dapat ditolerir seolah-olah profesi orang lain adalah berhak mereka
permainkan dan lecehkan, seolah-olah memperkosa profesi konsultan hukum dengan
menyalah-gunakan nomor kontak kerja sang konsultan merupakan “iseng-iseng
berhadiah”, seolah-olah mereka memiliki “hak” untuk itu—namun disaat bersamaan
menolak dibebani “kewajiban”.
Diantara sekian banyak dan
masifnya penyalah-guna dan pemerkosa tersebut, terdapat satu ekor “hewan”
(tidak layak disebut sebagai “manusia”, karena manusia seyogianya punya malu)
pelanggar dan penyalah-guna sekaligus pemerkosa profesi penulis konsultan hukum
yang berlanjut hingga “perang dingin” berlarut-larut, dimana pihak tersebut
gagal merasa malu sehingga masih bersikukuh bahwa perilakunya adalah “sudah
benar”, lurus, dan tidak tercela, bahkan melakukan intimidasi verbal, teror,
hingga “cyber bullying” semata dalam
rangka memaksa dan menuntut penulis untuk memberikan pelayanan jasa tanya-jawab
seputar hukum sementara yang bersangkutan tidak bersedia membayar tarif layanan
jasa SEPERAK PUN.
Sungguh, betapa letih dan
menguras emosi disamping energi mental menghadapi kegilaan para “manusia hewan”
yang irasional demikian. Jika Anda bertanya “apa resiko usaha profesi konsultan
hukum?”, itulah salah satunya, terutama konteksnya ialah masyarakat “Made in Indonesia” yang mana “Anda sudah
tahu sendiri”. Penulis bahkan telah sampai dalam taraf “traumatik”, menghadapi
sifat-sifat “hewanis” dan “predatoris” bangsa ini, meski hidup harus berjalan
terus dan rode ekonomi profesi perlu terus beroperasi, dimana penulis hanya
dapat memitigasinya lewat membangun dan menerapkan sistem SOP, disamping
merumuskan “terms and conditions”
layanan, yang memang dirancang secara khusus untuk menyulitkan dan membuat
“repot / ribet” pihak-pihak yang hanya memiliki niat batin untuk
menyalah-gunakan nomor kontak kerja maupun email profesi penulis, salah satunya
ancaman sanksi berupa publikasi “BLACKLIST PELANGGAR & PEMERKOSA PROFESI
KONSULTAN HUKUM”.
Bukanlah sang pelaku tidak
sanggup membayar tarif layanan jasa yang tidak seberapa harga nominalnya, namun
akibat faktor keserakahan semata—seolah adalah “keuntungan” dapat merampok dan
merampas nasi dari piring milik profesi orang lain tanpa rasa malu dan tanpa
rasa takut meski website profesi penulis ini telah sedemikian tegas mengatur
“syarat dan ketentuan layanan”, disamping ancaman sanksi bagi pelanggar dan
penyalah-guna. Cobalah sendiri, mungkinkah Anda dapat menemukan informasi
terkait cara menghubungi penulis, tanpa didahului membaca tata-cara sesi
konsultasi, maupun seputar tarif konsultasi, ketentuan deposit tarif, maupun “terms and conditions” layanan? Tetap
saja mereka bersikukuh tidak pernah membacanya, dan secara gaib mampu
mendapatkan info kontak profesi penulis. Belum apa-apa, sudah berdusta,
melanggar, dan melecehkan tuan rumah, lantas masih juga mengharap dilayani
dengan sopan, santun, ramah, dan baik?—itu namanya “TIDAK MENDIDIK”, dimana
ketika yang melanggar seharusnya diberi “punishment”
justru diberi “reward” berupa
keramahan pelayanan. Sering penulis berikan repons berupa tanggapan berikut
kepada para pelanggar tersebut : “Anda
sewa saja babysitter untuk menggantikan pokok bau milik Anda, yang mana bukan
urusan saya bahwa Anda memiliki masalah dengan bokong bau Anda tersebut!
Silahkan Anda cari sampai dapat, babysitter dungu yang puas dengan cukup diberi
upah berupa ucapan ‘terimakasih’.”
Silahkan berdelusi, sepanjang
tidak merugikan pihak lain, terlebih mengganggu orang yang sedang bekerja
mencari nafkah. Mereka berdelusi, dengan mengklaim tidak membaca semua itu,
dapat menjadi alibi atau “alasan pembenar” untuk memperkosa profesi
penulis—sekalipun asas hukum telah menyebutkan, ketidaktahuan bukanlah alasan
pembenar. Mereka seketika (belum apa-apa) sudah melecehkan penulis dengan tidak
menaruh hormat, terutama sikap yang tidak menghargai SOP maupun “syarat dan
ketentuan layanan” profesi penulis, lantas sekonyong-konyong menyalah-gunakan
nomor kontak kerja penulis semata untuk “memperkosa”, bahkan masih pula
berdelusi dengan menuntut diberi pelayanan secara antusias, ramah, baik hati,
sopan, santun, namun tanpa perlu membayar SEPESER PUN?—harapan dan tuntutan
yang berlebihan. Lantas, apanya lagi yang perlu dinegosiasikan dengan para
PENJAJAH yang MEMPERBUDAK profesi sesama anak bangsa ini?
Terdapat pula pihak-pihak yang
justru memaksakan “aturan main” miliknya sendiri secara sepihak, sekalipun
sejatinya mereka hanyalah seorang “tamu” yang sedang bertamu, dimana penulis
merupakan “tuan rumah” ketika mereka hubungi ataupun ketika mereka mengunjungi
“kantor hukum virtual” penulis ini. Menurut Anda, apakah sehat jiwanya ketika
seorang “tamu” yang justru menggurui, mengatur-ngatur, dan merongrong “aturan
main” milik “tuan rumah”? Itu bukanlah mitos, oleh sebab penulis sudah
“kenyang” menghadapi tingkah-polah dan sikap-sikap masyarakat kita di Indonesia
yang tidak kenal rasa hormat terhadap profesi orang lain, bahkan membalas budi
baik dengan perkosaan dan tipu-muslihat eksploitatif, bagai “menu” sehari-hari,
dimana salah satu dengan derajat terparah, setidaknya hingga saat ulasan ini
disusun, akan kita simak bersama di bawah ini.
Salah satu orang “sukar”
sebagaimana penulis singgung di muka, salah ialah ketika penulis dipaksa dan
terpaksa menghadapi seorang penipu “tidak tahu malu” bernama Johnsen Tannato,
memakai modus berpura-pura hendak mendaftar sebagai klien pengguna jasa
konsultasi seputar hukum kepada penulis, dengan itikad buruk semata untuk
mengecoh dalam rangka memperbudak dan memperkosa profesi penulis. Sekalipun
website profesi konsultan hukum yang penulis dirikan dan kelola telah secara
tegas mengatur “syarat dan ketentuan layanan” berupa tarif jasa serta ketentuan
deposit tarif barulah pihak pengguna jasa dapat menghubungi penulis untuk
meminta dilayani, kemudian mengirim text via messenger ke nomor seluler kerja profesi penulis : “Nama saya Johnsen.. domisili daerah kamal
muara Jakut. Tujuan ingin konsultasi masalah yang berkaitan dengan kepailitan. Siap
membayar jasa konsultasi yang berlaku.”
Penulis menanggapi : “Bapak hendak Konsultasi tatap muka ataukah
via online?” Johnsen Tannato alih-alih membayar jasa konsultasi yang
berlaku, meski ia telah menyatakan “siap membayar” dan secara tidak wajar
alih-alih bertanya seputar tarif konsultasi, tata-cara layanan, maupun bertanya
perihal “syarat dan ketentuan layanan”, sekonyong-konyong menyalah-gunakan
nomor kontak kerja penulis semata untuk modus “perkosaan” terhadap profesi
penulis dengan pesan text sebagai berikut : “Sebaiknya konsultasi secara tatap muka saja. Sebelumnya boleh sy
bertanya satu hal mengenai case sy...”—perhatikan, alih-alih
bertanya perihal tarif konsultasi, tata-cara konsultasi, maupun “syarat dan
ketentuan layanan”, sekonyong-konyong meminta dilayani, apakah wajar dan apakah
itikad dibaliknya adalah menghormati atau sebaliknya melecehkan “tuan rumah”?
Penulis tegur penipu bernama
Johnsen Tannato tersebut, bahwa sudah jelas penulis selaku Konsultan Hukum
mencari sedang nafkah dengan menjual jasa tanya-jawab seputar “CASE” (kasus hukum), termasuk masalah
hukum kepailitan yang disebutkan olehnya, dimana dirinya menyatakan hendak
konsultasi “tatap-muka”, namun telah ternyata belum apa-apa sudah memperkosa
profesi penulis. Lantas penipu bernama Johnsen Tannato menyatakan “baik” untuk
deposit tarif, akan tetapi kembali diingkari oleh dirinya dengan tidak pernah
merealisasikannya sehingga hanya sekadar mengecoh dan mengganggu waktu kerja
produktif penulis. Penipu bernama Johnsen Tannato tersebut pikir bahwa
menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi konsultan ialah “iseng-iseng
berhadiah”, adalah “UNTUNG” jika berhasil mengekspolitasi dan menipu, dan dapat
memperkosa profesi konsulatn dengan semudah bermain handphone di tangan secara
tidak bertanggung-jawab.
Penulis bernama Johnsen Tannato
tersebut kemudian penulis “BLACKLIST” semata karena “you asked for it” dan sengaja melanggar larangan maupun tidak
mengindahkan ancaman sanksi bagi pelanggar. Akan tetapi alih-alih membayar
tarif layanan jasa yang tidak seberapa nilainya, dengan mental “gembel”-nya
Johnsen Tannato lebih sibuk menyewa “haters”
bernama Fenny Imelda untuk melecehkan secara verbal (cyber bullying), berbagai teror, intimidasi, pencemaran nama baik,
fitnah, dan segala bentuk tindakan tercela untuk merongrong profesi penulis,
semata demi memaksa dan menuntut penulis untuk meladeni nafsu “libido
keserakahan” Johnsen Tannato yang tidak ingin membayar SEPERAK PUN untuk
dilayani konsultasi hukum seputar kasus kepailitan—“gembel” yang punya kasus
kepailitan, luar biasa, itulah “gembel” bernama Johnsen Tannato!
“Gembel” mana yang punya
masalah hukum (CASE) kepailitan?
Ternyata ada, “gembel” bernama Johnsen Tannato yang kemudian menyatakan: “Sebagai seorang konsumen saya juga berhak
bertanya dulu... masak saya harus bayar dulu hanya untuk menanyakan hal
simpel seperti itu”. Satu sisi mengklaim sebagai “konsumen” yang
memiliki “hak” meminta dilayani—namun disisi lain bersikukuh bahwa dirinya
tidak wajib dan tidak perlu mem-“bayar” layanan jasa SEPESER PUN. “Hal
simpel”? Memperkosa disebut sebagai “simpel”? Entah sudah berapa banyak korban
perkosaan Johnsen Tannato yang tidak mampu mengendalikan dan mengekang libido
birahi nafsu hewaninya sendiri. Pengemis saja tidak sampai “sesinting” dan
“seserakah” itu. Pengemis saja masih tahu dan kenal rasa malu, mencari makan
tanpa merampok nasi dari piring milik profesi orang lain. Tidak pernah “bayar”
SEPERAK PUN, lantas mengaku-ngaku sebagai “konsumen” dan “berhak” minta
(menuntut dan memaksa) dilayani? Silahkan, cari sampai dapat konsultan hukum
yang sudi meladeni “tukang perkosa” semacam Johnsen Tannato. Masih pula, kami
selaku korban yang justru ia maki, fitnah, lecehkan, dan bully.—tipikal khas bangsa kita, “lebih galak yang ditegur”.
Dapat dipastikan “Mr. Arogant”
bernama Johnsen Tannato yang merasa berhak memperbudak dan memperkosa profesi
orang lain tersebut tidak akan diterima oleh tuan rumah manapun, semata karena
sifat arogansinya yang memaksakan “aturan main” miliknya sendiri alih-alih
tunduk dan menghormati aturan milik tuan rumah ketika bertamu. Konsultan hukum
ataupun penyedia jasa manakah, yang akan sudi meladeni dan direpotkan oleh
“saya konsumen yang berhak dilayani, tapi tidak wajib bayar layanan jasa
SEPESER PUN” semacam Johnsen Tannato? Sekalipun, SOP yang penulis terapkan juga
diterapkan oleh berbagai Konsultan Hukum lainnya di Indonesia, dan sudah
menjadi kelaziman terutama layanan sesi konsultasi secara daring
non-tatap-muka.
Beruntunglah, masih ada
sebagian kecil diantara masyarakat kita yang masih “waras”, dan kini menjadi
para klien pengguna jasa profesi penulis, yang betul-betul penulis hargai dan
layani dengan baik, semata karena mereka menghargai profesi penulis karena itu
bersikap saling menghargai dan menghormati profesi satu sama lainnya—asas
resiprositas, alias “tidak bertepuk sebelah tangan”, “tidak sopan sebelah
tangan”, “tidak melayani sebelah tangan”, “tidak memberi sebelah tangan”, namun
saling sopan serta saling menerima dan memberi. Itulah yang disebut sebagai
relasi yang “sehat” serta profesional. Sesukar itukah untuk dipraktikkan oleh
bangsa kita di Indonesia, sampai penulis harus repot-repot menuliskan ulasan
ini yang semestinya cukup disadari sendiri oleh mereka yang mengaku sudah
dewasa dan berakal sehat, tanpa perlu menunggu sampai ditegur.
Ketika “tamu” bersikap tidak
hormat dan tidak menghargai “tuan rumah”, vonis nasibnya sudah jelas, ditendang
keluar atau diusir keluar secara “tidak hormat” oleh tuan rumah. Jika tidak
suka, maka jangan bertamu, dan tiada “tuan rumah” manapun yang sudi diganggu
ketenangan hidupnya oleh “tamu” pembuat onar demikian. Demikianlah, suka dan
duka menjalankan profesi Konsultan Hukum di Indonesia, menghadapi mentalitas
watak bangsa Indonesia yang arogan, “sukar”, suka merampas hak orang lain,
“tidak punya malu”, dan irasional. Semakin lama memikirkan perilaku irasional bangsa
kita, semakin tidak masuk diakal—namanya juga perilaku yang “irasional”, maka
rasio tidak berlaku di situ, semata kebodohan dan kedunguan perilaku yang
ditonjolkan dan dipertontonkan tanpa rasa malu, bahkan merasa bangga “mempertontonkan
kebodohan” sendiri.
Adalah benar ketika pepatah
berkata, “Merupakan kegagalan terbesar
seorang manusia, ketika ia mencoba menyenangkan dan memuaskan semua pihak.”
Penulis dan profesi penulis bukanlah “objek pemuas nafsu” keserakahan maupun
libido para “manusia hewan” tersebut, namun untuk dihargai dan dihormati
sebagaimana Anda dan profesi Anda hendak dihormati dan dihargai. Sesukar itukah,
hidup secara saling menghormati dan saling menghargai antar sesama anak bangsa?
Bila mereka sendiri tidak suka ditipu, dieksploitasi, dilecehkan, lantas
mengapa juga mereka masih melecehkan, menipu, bahkan mengeksploitasi orang
lain? Itulah sifat irasional manusia “Made
in Indonesia” yang tidak pernah mampu penulis pahami hingga saat kini,
dimana mungkin juga mereka sendiri tidak paham atas diri mereka sendiri—meski
itu bukanlah “alasan pembenar” ataupun “alasan pemaaf” untuk bersikap lancang
dan sewenang-wenang kepada pihak lain. Kesalahan sudah demikian besar (sebesar
gajah) di depan mata, namun masih juga menunjuk-nunjuk semut di seberang
samudera.
Ketika “niat batin” (mens rea) seseorang memandang orang lain
ataupun profesi orang lain sebagai “mangsa empuk”, maka pada saat itulah sikap
tidak respek dan tidak menghargai telah ia tampilkan kepada calon “sasaran
empuk”-nya, yang karenanya adalah tuntutan berlebihan ketika ia sendiri menuntut
dihormati ataupun dihargai oleh korban yang bersangkutan. Prinsip hidup umat
manusia yang paling utama ialah asas egaliter, yang bermakna siapa yang
memiliki kontribusi kepada kehidupan orang lain maka ialah yang patut dan layak
untuk dihargai oleh orang lain tersebut. Jika seseorang hanya tahu meminta,
mengambil, bahkan merampas, maka dirinya tidak patut mendapat penghormatan
apapun, bahkan membuat hina dan menista diri serta martabatnya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.