SENI PIKIR & TULIS
Hanya Manusia Bertipe “Mangsa Empuk” yang Tidak Punya
Syarat
Jadilah Pribadi yang Profesional dengan Cara PENUH
SYARAT serta memiliki “Syarat & Ketentuan Berlaku”
Selamat datang di Universitas Kehidupan. Bersikap “tanpa syarat” dengan harapan akan dihormati dan dihargai oleh orang lain, itu adalah DELUSI! Tidak terhitung banyaknya pengalaman pahit selama puluhan tahun melangsungkan hidup di Indonesia, telah mengajarkan penulis secara pribadi, bahwa bersikap baik maupun memberikan kepercayaan secara “tanpa syarat”, lantas berharap pihak lain akan menaruh hormat dan menghargai kebaikan hati maupun kepercayaan kita serta membalas “air susu dengan air susu”, akan tetapi realita berbicara lain : selalu berbuah kontraproduktif bagi kepentingan pribadi diri penulis.
Begitu mudahnya kebaikan maupun
kepercayaan disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang bersikap seolah-olah diri
penulis merupakan “mangsa empuk”, semata karena tidak menetapkan “syarat” apapun
di muka—akibatnya, mereka berdelusi seolah-olah kita yang membutuhkan
mereka, bukan saling membutuhkan. Semata bertaruh dan mengandalkan itikad
baik pihak lain terhadap diri kita, hanya akan membuat kita kecewa pada
muaranya, harapan yang bertepuk sebelah tangan dan menderita / menanggung
kerugian seorang diri, atau pengorbanan diri yang menjadi sia-sia dan tidak berbalas
kebaikan serupa.
Sampai pada puncaknya,
kontemplasi mendalam membuat penulis merasakan urgensi untuk menyelidiki apa
yang sebenarnya terjadi. “Seni hidup” kemudian mengajarkan penulis, bahwa
dengan menetapkan sebentuk “syarat”, baik dalam relasi sosial maupun hubungan
bisnis, keperluan pekerjaan, rumah-tangga, atau apapun itu, maka kita baru akan
benar-benar memiliki apa yang disebut sebagai “daya tawar” dan lebih dapat
dihargai, oleh orang lain maupun oleh diri kita sendiri. Setidaknya, dengan
menetapkan sebentuk “syarat” secara eksplisit maupun secara implisit, kita
memberi penghormatan terhadap eksistensi serta kepentingan diri pribadi kita
sendiri. Ketika kita menghormati dan menghargai eksistensi diri pribadi kita,
maka orang lain akan menaruh hormat kepada diri kita dan menghargainya.
Sering-seringlah ketika
membangun hubungan sosial, dengan membuat tanggapan “... Boleh, tapi / namun dengan syarat : Pertama, ... .
Kedua, ... , dst...”. Bila itu adalah relasi bisnis ataupun kepentingan
pekerjaan yang hendak kita bangun, maka selalu-lah lekatkan “label” berikut : “Syarat
dan Ketentuan berlaku” (terms and
conditions applied). Dahulu, ketika pada tahun-tahun awal penulis merintis
karir pribadi sebagai Konsultan Hukum, ribuan pihak tidak bertanggung-jawab
menyalah-gunakan nomor kontak profesi penulis, terjadi akibat penulis kurang
tegas dalam membuat batasan-batasan berupa “Terms
and Conditions”.
Dengan bersikap seolah-olah tidak
memiliki “syarat dan ketentuan” layanan bagi mereka yang hendak menghubungi
penulis, maka ketika penulis menegur sikap mereka yang telah mengganggu
pekerjaan penulis, menyalah-gunakan nomor kontak profesi penulis, maupun “memperkosa”
profesi penulis, telah ternyata secara irasional tidak jarang pihak yang
ditegur bersikap lebih galak daripada penulis. Bangsa bernama Indonesia ini
sangat kental mentalitas irasional, dimana mereka seolah tidak mampu berpikir
sendiri bahwasannya penyedia jasa tentulah mencari nafkah dari menjual jasa—bukan
hanya barang yang dapat dijual sebagai sumber nafkah profesi, namun juga jasa—sehingga
kita perlu di muka menegaskan rincian apa saja “syarat dan ketentuan layanan”,
dimana bila mereka bersedia patuh dan setuju, barulah mereka memiliki hak
menghubungi penulis. Diluar itu, mereka tidak punya hak untuk menghubungi
penulis, semata karena mereka tidak bersedia mengindahkan dan patuh untuk
tunduk pada “syarat dan ketentuan” yang diberlakukan oleh penyedia jasa.
Nafkah adalah perihal hidup dan
mati profesi seseorang warga, ketika masyarakat membalas “air susu” setelah
mereka menikmati publikasi ilmu hukum hasil jirih-payah penulis, dengan
pemerkosaan terhadap profesi penulis, maka itu jauh lebih tercela dari sekadar
mengganggu orang lain yang sedang mencari nafkah. Mereka bahkan menuntut
dihormati sementara itu mereka sendiri menolak menghormati profesi maupun
hak-hak profesi penulis yang berhak atas tarif jasa profesi, sekalipun
Konstitusi UUD RI 1945 telah menegaskan : “Imbalan
merupakan hak asasi manusia”!
Ketika Anda adalah seorang
investor yang hendak berinvestasi, mendapati adanya tawaran dari pihak-pihak
yang membutuhkan modal usaha, maka janganlah bersikap seolah-olah tidak punya
syarat, sekalipun itu adalah kawan dekat, saudara, kenalan, ataupun sahabat
karib sekalipun, dengan menyatakan, “Tentu,
boleh saja, dengan syarat berupa apa yang jaminannya? Berikan saya agunan
sebagai jaminannya!” Begitupula ketika seseorang melamar Anda untuk menjadi
pasangan suami / istri, maka tetapkanlah berbagai “syarat” bagi calon pasangan
Anda, dan ikat sebagai komitmen moral bersama. Ingat, jangan bersikap “sungkan”,
agar Anda tidak “dimakan”—setidaknya bila Anda merasa “sungkan”, jangan
tunjukkan rasa “sungkan” itu. “Be
professional towards ourselves!” Jadilah manager yang baik dan bila
perlu bersikap “cerewet” ketika mendampingi diri Anda sendiri.
Ketika Anda hendak
melangsungkan pekerjaan, mendapati calon pemberi kerja hanya sekadar memberi
iming-iming berupa janji atau kesepakatan lisan yang bersifat “lidah tidak
bertulang”, maka janganlah bersikap seolah-olah Anda membuka diri untuk
dijadikan “sasaran empuk” dengan membuat kesan bahwasannya Anda tidak memiliki
“daya tawar” apapun—lewat memasang wajah yang terlihat jelas oleh pihak calon
pemberi kerja, seolah hendak menyampai pesan “yang penting dapat pekerjaan,
daripada tidak ada pekerjaan sama sekali”—namun beranikanlah Anda untuk
bersikap tegas, “Berminat, namun dengan
syarat ada perjanjian kerja ‘hitam diatas putih’, rangkap dua, dan masing-masing
pihak komitmen untuk patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Lebih baik pahit di muka, daripada pahit di belakang hari dan
baru menyesal kemudian ketika segala sesuatunya telah “terlanjur basah”.
Pengacara atau konsultan hukum
yang baik, akan senantiasa memberi nasehat kepada sang klien untuk bersikap “penuh
syarat” ketika menghadapi calon rekanan bisnis atau siapapun itu, dalam rangka
“lebih baik preventif daripada kuratif”. Maka, jadilah pengacara yang baik
untuk diri Anda sendiri!
Bagaimana caranya, agar dapat “menjadi pengacara bagi diri kita sendiri”? Cara
atau kiatnya adalah semudah bersikap seolah-olah diri Anda adalah seorang
pengacara yang Anda sewa untuk kepentingan diri Anda pribadi dan senantiasa
mendampingi diri Anda kemana pun Anda berada.
Lantas, pertanyaan lanjutan
sebagai konsekuensi logisnya ialah, bagaimana cara agar dapat bersikap
seolah-olah sebagai “pengacara untuk diri kita”? Tips-nya sudah diterangkan
di muka, yakni “jangan bersikap seolah-olah tidak punya SYARAT”, namun
“bersikaplah PENUH SYARAT” atau setidaknya “memiliki SYARAT”. Sesederhana itu
saja. Jika pihak calon rekanan menyatakan bahwa Anda “cerewet” ataupun “rewel”,
maka pakailah “mind set” seorang
pengacara, dengan menjawab secara lugas dan singkat saja : “Itu memang sudah tugas dan urusan saya.
Kejelasan dan detail serta kepastian, merupakan hak saya, saya hanya sekadar
meminta dan memakai apa yang memang sudah menjadi hak saya.”
Dengan menerapkan strategi “memiliki
syarat” ataupun “penuh syarat”, maka lawan bicara akan membuat penilaian dalam
alam bawah sadar mereka, bahwasannya kita menghargai eksistensi dan kepentingan
diri pribadi kita, sehingga oleh karenanya patut untuk turut dihargai
dan dihormati oleh mereka. Sebaliknya, ketika Anda bersikap seolah-olah “tidak
punya syarat” apapun, maka yang terlintas dalam benak lawan bicara Anda ialah,
bahwa Anda tidak menaruh hormat ataupun penghargaan terhadap diri Anda sendiri,
sehingga orang lain pun tidaklah perlu untuk menaruh rasa hormat terlebih
menghargai diri Anda. Manusia, sebagaimana kerap penulis nyatakan, adalah
“makhluk irasional”—dengan memahami betapa irasionalnya seorang manusia, maka
kita dapat menemukan ruang “celah” untuk kita masuki ke dalam pikiran diri mereka,
serta menerapkan strategi berupa “seni hidup” yang efektif disamping tepat-guna
sesuai dengan watak atau karakter irasional masyarakat kita masing-masing.
Ingatlah pula selalu, sekalipun
itu anggota keluarga Anda, saudara kandung Anda, saudara dari keluarga besar
Anda, atau bahkan pasangan hidup Anda, tidak terkecuali anak ataupun orangtua
Anda sendiri, ketika Anda bersikap seolah-olah “tidak punya syarat” dilandasi asumsi
bahwa Anda menyayangi mereka dan mereka pun (semestinya) akan balas menyayangi diri
Anda, maka kebaikan hati Anda akan berbuah “bumerang” bagi kepentingan diri
Anda sendiri dikemudian hari.
Daripada sekadar “mengharap”
kebaikan berbalas kebaikan (terlampau idealis harapan kita terhadap dunia
manusia ini, sehingga kurang rasional), dengan resiko kecewa dikemudian hari,
lebih kita ikat komitmen bersama dengan menerapkan sebentuk “syarat” bagi
mereka setujui atau tidak setujui di muka. Kita tidak bisa selalu mengandalkan
itikad baik orang lain, yang bisa kita lakukan ialah memitigasi resiko dengan
cara bersikap selayaknya seorang eksekutif yang profesional, yakni membentuk dan
menetapkan sebentuk SOP, yakni berbagai “syarat”, sebelum kemudian
menerapkannya.
Bersikap seolah-olah “tanpa
syarat”, menyerupai ketika Anda memberikan mereka “blangko kosong” untuk mereka
isi sesuka hati, secara serampangan atau seenak hati mereka, bahkan
disalah-gunakan, semata karena kesempatan untuk itu Anda buka sendiri. Seperti
pesan “Bang Napi”, kejahatan terjadi ketika niat jahat bertemu dengan
“kesempatan”. Karenanya, bersikap seolah-olah “tanpa syarat”, mengakibatkan Anda
memantik api untuk membakar diri Anda sendiri bila tidak dapat disebut sebagai telah
menjerumuskan diri kita sendiri.
Maka, saran terbaik ialah tutup
rapat segala bentuk celah “cara berpikir irasional” pihak lain tersebut dengan
semata membuat “syarat” atau serangkaian “syarat”, sehingga mereka tidak
tergoda untuk berdelusi bahwasannya kita tampak menyerupai “mangsa empuk”
semakin kita mereka lihat. Ketika Anda menyetujui, menyanggupi, atau
menyepakati sesuatu, tanpa membuat sebentuk “syarat” untuk dipatuhi dan
dihormati pihak lainnya tersebut, maka pada saat itulah Anda telah menempatkan
“bom waktu” ke dalam selimut Anda sendiri, yang sewaktu-waktu dapat terpicu,
meledak, dan melukai diri Anda sendiri.
Sebaliknya, dengan menerapkan
strategi “penuh syarat” atau “memiliki syarat”, maka Anda akan cenderung
berpikir dan bertindak secara profesional layaknya para profesional, dan Anda
pun akan dipandang sebagai seorang profesional karenanya orang lain tidak akan
berani mencoba-coba ataupun bermain-main dengan Anda, sang “profesional”,
sehingga opsi yang bisa mereka ambil ialah bersikap saling profesional satu
sama lainnya terhadap Anda. Tiada profesi yang tidak memiliki maupun menerapkan
“syarat dan ketentuan” layanan yang mereka sediakan bagi pengguna jasa—karena
itulah, mereka disebut sebagai para profesional. Ketika Anda sebaliknya, di-cap
sebagai “gampangan”, lebih murah daripada murahan, alias “tanpa syarat”, maka
nasib Anda akan menyerupai barang ataupun jasa yang tidak menerapkan tarif
apapun, yakni disepelekan, tidak berharga, dan seolah dapat seenaknya
dilecehkan pihak-pihak lainnya.
Corak dengan nuansa senada,
ialah “kredo” penulis lainnya yang berbunyi : Jangan bersikap seolah-olah punya
kewajiban (meski senyatanya kita tidak memiliki kewajiban demikian), dan juga jangan
bersikap seolah-olah kita tidak punya hak (untuk dipakai haknya, untuk menuntut
suatu kontraprestasi, ataupun menagih janji-janji mereka). Dengan tidak
bersikap seolah-olah tidak memiliki “syarat”, maka akan memudahkan bagi kita
untuk menuntut apa yang menjadi hak-hak kita berdasarkan komitmen bersama yang
dibangun berdasarkan “syarat” tersebut. Karenanya, “syarat” merupakan pilar
penopang perikatan atau kesepakatan itu sendiri, baik secara legal-hukum maupun
mengikat secara moril untuk ditagih komitmen realisasinya—hubungan bertimbal-balik
pun, menjadi lebih “terukur” sifatnya, bukan lagi sekadar mengandalkan itikad
baik pihak lain tersebut.
Tahukah Anda, dengan bersikap “memiliki
syarat”, menurut perspektif psikologi akan membuat Anda tampak sebagai orang
yang cerdas dari kacamata orang lain yang mencoba menjalin relasi dengan kita. Sebaliknya,
bersikap seolah “tidak memiliki syarat apapun”, dan membiarkan orang lain secara
seenaknya dapat mempermainkan Anda, karenanya justru membuat Anda tampak
sebagai kurang matang dan kurang dewasa di mata orang lain. Dengan lebih
memahami pola atau cara berpikir irasional psikologi seorang manusia, kita
dapat menyusun strategi pendekatan yang lebih efektif, tidak lagi spekulatif. Bersikap
“tanpa syarat” itu sendiri, juga merupakan ajang spekulasi “untung-untungan”,
yang mana peluang menangnya bagi kepentingan Anda adalah lebih kecil daripada
segala permainan “untung-untungan” manapun.
Untuk menciptakan kondisi “win win solution”, maka bersikaplah “memiliki
syarat”. Tanpa ketegasan berupa “syarat”, maka relasi dapat terombang-ambing,
atau bahkan pada gilirannya “menggoda” pihak lain untuk terjerumus dalam
perbuatan kurang bijaksana terhadap Anda. Demikianlah, salah satu “kredo” yang
menjadi “seni hidup” yang penulis rancang secara pribadi berdasarkan pengalaman
hidup penulis, berdasarkan “try and
failure” selama puluhan tahun tumbuh besar di republik “serba keras”
bernama Indonesia ini.
Berikut berbagai “kredo”
lainnya hasil kreasi dan ciptaan pribadi penulis, kecuali disebutkan
sebaliknya, antara lain: (yang mana masing-masing “kredo” akan dibahas secara
terpisah pada lain kesempatan)
- Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri.
- Jika merasa sungkan, rasa
bersalah, atau rasa takut, maka jangan tunjukkan, agar tidak “dimakan” oleh
orang lain.
- Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya daya tawar maupun pilihan bebas serta opsi lain untuk dipilih.
- Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya syarat. (Kita punya syarat dan berhak punya syarat ketika seseorang
meminta sesuatu dari kita.)
- Jangan bersikap seolah-olah tidak
punya hak untuk menolak dan berkata “TIDAK” ataupun untuk menyatakan
berkeberatan sebagai “tidak setuju”.
- Jangan bersikap seolah-olah
punya kewajiban terlebih bersikap seolah-olah hanya punya kewajiban kepada
orang lain. (Kita juga punya kewajiban kepada diri kita sendiri.)
- Jangan bersikap seolah bukan
individu atau pribadi yang bebas dan merdeka. (Kita adalah warga dari bangsa
yang merdeka dari penjajahan orang asing maupun penjajahan oleh sesama anak
bangsa.)
- Jangan bersikap seolah-olah
kita yang butuh mereka.
- Perbuatan baik artinya, tidak
rugikan orang lain juga tidak rugikan DIRI KITA SENDIRI juga tanpa melecehkan
diri kita sendiri. (Dikutip dari Sabda Sang Buddha.)
- Kita tidak butuh izin dari
orang lain atas pilihan hidup kita sendiri, juga tidak butuh komentar orang
lain atas hidup kita sendiri.
- Lebih baik disakiti ataupun
dilecehkan, daripada menyakiti diri kita sendiri.
- Adalah delusi, ketika kita
berpikir bahwa bersikap lemah, takut, dan lembek maka kita akan dihormati dan
dihargai oleh orang lain—justru sebaliknya.
- Saya memang berbeda dan tetap
akan berbeda dengan mereka, karenanya punya hak untuk “tampil beda”.
- Jangan bersikap seolah-olah
hanya orang lain yang punya hak dan kita tidak punya hak serupa.
- Jangan bersikap seolah-olah
kita punya kewajiban sementara itu orang lain tidak punya kewajiban sama sekali
ataupun kewajiban serupa terhadap diri kita.
- Jangan bersikap seolah-olah
hanya orang lain yang patut diperlakukan secara baik, sabar, lembut, dan patut.
- Be a good person, but don't waste time to prove it. (Pepatah
tersebut merupakan pepatah Inggris yang bukan hasil ciptaan penulis, namun
pepatah yang penulis kutip dari pencipta yang tidak dikenal namanya, anonim.)
- Itu urusan kalian, urusan
saya ialah urus urusan saya sendiri pribadi. (Itulah yang disebut
profesionalisme, profesional terhadap orang lain, juga profesional terhadap
diri kita sendiri.)
- Saya tetap bisa melanjutkan
hidup sekalipun tanpa “itu”.
- Saya punya hak untuk “tidak
ikut-ikutan” serta untuk “keluar” (option
out) sewaktu-waktu jika memang tidak lagi berfaedah bagi kebaikan saya.
- Itu kata kamu, bukan kata
maupun pendapat saya pribadi.
- Bersikap seolah tidak perlu
dihargai, (maka) akan dihargai orang, itu adalah DELUSI. (Justru kita akan kian
diremehkan dan disepelekan oleh orang lain, semata karena kita sendiri bersikap
seolah tidak perlu dihargai.)
- Janganlah bersikap tidak adil
terhadap diri kita sendiri dengan bersikap seolah-olah tidak perlu diberikan
keadilan.
- Kita bersikap maklum terhadap
orang lain. Namun mengapa kita tidak memaklumi diri sendiri dan menuntut pula
dimaklumi secara bertimbal-balik oleh mereka? (Resiprositas, tidak sepihak dan
“tidak bertepuk sebelah tangan”. Saling memaklumi, saling memberi, saling
menolong, saling mengerti, itulah baru yang sehat sifatnya dan patut
dipertahankan kelanggengan relasinya.)
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.