LEGAL OPINION
Hak untuk Membela Diri merupakan “AKIBAT”, bukan “SEBAB”
ASAS KESEIMBANGAN dalam Konteks BELA / JAGA DIRI,
Korban Tidak dapat Dikriminalisasi bila Pelaku Kejahatan justru Balik Terluka
atau bahkan Tewas oleh Perlawanan Korban
Question: Seorang diri, disantroni atau disergap para
“begal” (pelaku aksi perampokan, yang biasanya disertai ancaman kekerasan fisik
maupun ancaman senjata tajam sehingga tidak segan menganiaya ataupun melukai
korbannya), korban sekadar bela diri, dan pelaku “begal” yang justru tewas
seketika di tempat karena faktor refleks yang baik dari korban ketika menjaga
dirinya dan melakukan perlawanan balik, dimana tekanan jiwa begitu hebatnya
ketika dihadapkan dua pilihan sukar (mati dibunuh atau balik menyerang pelaku
aksi yang mengancam akan membunuh, semisal karena disertai ancaman berupa
senjata tajam) tanpa ada waktu untuk membaca situasi ataupun untuk melarikan
diri, sehingga pilihan satu-satunya ialah melawan sebagai opsi paling rasional
ketika dituntut untuk berpikir cepat tatkala dalam kondisi kritis dan genting,
mengapa korban yang kemudian justru dikriminalisasi oleh negara sebagai
tersangka kasus pembunuhan?
Itu sama artinya negara lewat
aparatur penegak hukumnya tidak mendidik masyarakat umum sekaligu memberi
“karpet merah” bagi kalangan penjahat manapun, dimana hanya memberikan
kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk “besar kepala”, karena korban selalu
dalam posisi sukar, lemah, tidak berdaya, tidak punya daya tawar, serba salah,
terpojok, terjepit, tertekan secara psikis, takut, serta masih pula menghadapi
ancaman dikriminalisasi oleh negara semata karena melakukan apa yang namanya
mempertahankan hidup.
Alih-alih korban diberi insentif oleh negara, justru dipojokkan dan terjebak dalam kondisi “serba salah” seorang diri menghadapi penjahat yang selalu lebih unggul dari segi jumlah maupun senjata ataupun fisik. Tiada ada penjahat yang sebodoh itu mencari calon sasaran korban yang setara atau “equal” dengan mereka, sehingga semua kasus kejahatan pasti terjadi ketimpangan posisi antara pelaku dan korban, sehingga korban yang memilih untuk memberanikan diri melakukan perlawanan, semestinya diapresiasi oleh negara semisal karena berani seorang diri melawan lebih dari satu pelaku kejahatan sekalipun timpang kondisinya. Bukankah hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi negara kita (Undang-Undang Dasar), sehingga bukankah juga itu bermakna bahwa membela diri dalam rangka mempertahankan hak untuk hidup adalah juga hak asasi manusia?
Brief Answer: Semua praktik hukum pidana di Indonesia yang
serba ambigu, bertentangan dengan nurani, kontraproduktif terhadap kepentingan
umum maupun korban, serta tidak logis (tidak masuk diakal sehat), bertentangan
dengan rasa keadilan, maupun yang sarat kontroversi, terjadi akibat didengung-dengungkannya,
direproduksinya, serta terus diulang-ulangnya teori hukum pidana lawas, usang,
“jadul” peninggalan Hindia Belanda yang sudah jauh tertinggal dari perkembangan
zaman serta terbelakang adanya—teori-teori mana sudah membusuk, kadaluarsa,
tidak tahan “uji moril”, bahkan “toxic”.
namun masih saja digunakan oleh mereka yang mengaku atau menyebut dirinya
sebagai kalangan profesor maupun akademisi di berbagai Fakultas Hukum di
Indonesia.
Itulah sebabnya, semula ketika kali pertama
penulis mulai mempelajari dan mendalami ilmu hukum, pada awalnya penulis memiliki
niat untuk mendalami ilmu hukum pidana, sebelum kemudian menemui kenyataan
banyaknya teori maupun norma-norma hukum pidana di Indonesia yang bertentangan
dengan logika “akal sehat milik orang sehat”, teori-teori atau pasal peraturan
perundang-undangan pidana mana tidak memiliki dasar argumentasi yang valid, “ignorant”, serta terkesan dipaksakan
untuk diberlakukan meski tidak lolos ‘uji moril” maupun logika yang mendasar.
Adanya “konflik batin”, membuat penulis tidak
bersedia untuk mem-beo pada teori-teori ilmu hukum pidana di Indonesia yang
sarat irasionalitas, tidak logis dan bertentangan dengan nurani pribadi
penulis. Kasus-kasus atau berbagai pemberitaan yang menyedot perhatian publik,
seperti korban “begal” melakukan perlawanan sengit dalam rangka bela dan jaga
diri, pihak pelaku “begal” justru tewas seketika di tempat, “senjata makan
tuan” (niat jahat yang menjadi bumerang bagi pelakunya itu sendiri), dimana
kemudian sang korban yang justru dikriminalisasi sebagai pelaku pembunuhan,
sehingga masyarakat umum menjadi takut untuk melakukan perlawanan ketika
dijadikan target atau sasaran korban tindak kejahatan.
Mengapa seolah, hukum negara kita menuntut warga
agar berdiam diri saja seolah sebongkah mayat yang hanya boleh terbujur kaku
atau dituntut untuk bersikap menyerupai karung sam-sak untuk ditinju sepuasnya
oleh pihak penganiaya ataupun oleh penjahat yang memiliki niat buruk?
Masyarakat menjadi serba-salah sekalipun terpojokkan (maju kena, mundur pun
kena), berdiam diri maka “babak-belur dengan konyol” serta merugi sendiri,
sementara itu bila memilih untuk melakukan perlawanan maka dihantui ketakutan
akan berbuntut ancaman pidana kriminalisasi terhadap korban.
Melawan atau lari, adalah psikologi mendasar
manusia bahkan dapat disebut warisan nenek-moyang kita dalam rangka survive melewati seleksi alam yang keras—dimana
eksesnya dapat berupa gerak refleks perlawanan balik yang spontan saja
sifatnya, akibat guncangan jiwa yang hebat dalam tekanan psikis yang mendadak.
Jika lari menghindari ataupun mengejar dalam rangka meraih kembali barang milik
yang dirampas, adalah sudah tidak memungkinkan, maka satu-satunya pilihan ialah
melawan, bukan diam pasrah menjadi sam-sak objek pemuas nafsu para penjahat di
luar sana, yang kian meresahkan masyarakat dimana korban-korban serupa akan
terus berjatuhan, semata karena seakan-akan korban tidak memiliki hak untuk
memberi “punishment” bagi pelaku, sementara disaat bersamaan aparatur penegak
hukum di Indonesia belum benar-benar ideal untuk dapat diandalkan selain
sekadar “pemberi harapan palsu”.
Bila wajah praktik penegakan hukum serta citra
aparatur penegak hukum di negeri kita adalah baik adanya, maka dengan
sendirinya aksi-aksi kriminalitas akan tertekan sedemikian rupa sehingga
ketertiban umum tercipta, masyarakat benar-benar terlindungi (bukan sekadar
merasa aman terlindungi), dimana para pelaku aksi kriminalitas akan berpikir
ulang ketika timbul niat buruknya, merasa takut pada sanksi hukum yang efektif
diberlakukan oleh pemerintah. Bila kejahatan terjadi di siang hari, di tempat
umum, bahkan di kawasan pusat bisnis, dimana para polisi lebih sibuk menilang
kendaraan bermotor, maka itulah cerminan budaya penegakan hukum yang tidak
tepat sasaran dan tidak tepat guna, sehingga masyarakat perlu diberi ruang
kebebasan untuk melakukan perlindungan diri sendiri (the right to self defence).
Kita merasa aman berjalan di luar ruang dan di
tempat-tempat umum pada negara yang dikenal baik dan efektif penegakan hukumnya,
sehingga semua itu berpulang pada “political will” para penyelengara negara dan
para penegak hukum. Bila urusan tilang-menilang kendaraan bermotor bahkan dapat
dilakukan dengan pemantauan secara elektronik lewat pantauan CCTV berdefinisi
tinggi, dimana satu pun pelanggar ataupun pelanggaran yang dapat lolos dari
jeratan hukum, maka mengapa terobosan serupa tidak diberlakukan terhadap
aksi-aksi kriminalitas jalanan lainnya, sekalipun jumlah intel yang disebar ke
tengah masyarakat kita konon relatif cukup memadai?
Akibatnya, para penjahat tidak berpikir ribuan
kali atas niat atau rencana jahatnya—dua kali berpikir pun tidak—seolah
mendapat “insentif” berupa takut dan dicekam ketakukannya pihak korban oleh
kalah dari segi jumlah maupun ukuran fisik, hukum negara pun masih pula
mengancam kriminalisasi korban yang melakukan perlawanan sekadar jaga dan bela
diri. Alih-alih pelaku kejahatan yang dicekam rasa takut oleh hukum maupun
aparatur penegak hukum (yang tidak pernah benar-benar hadir saat dibutuhkan, bahkan
pada siang hari di pusat kota dan di kawasan pusat bisnis, serta di tengah
keramaian umum), justru pihak korban yang dicekam ketakutan baik oleh
kriminalitas hukum negara maupun eksistensi pelaku kejahatan yang sewaktu-waktu
bisa melukai dan menyakiti korbannya yang melawan ataupun menolak dirampas
hak-haknya, sama artinya negara telah melanggar kewajiban hukumnya melindungi
masyarakat justru dengan memuluskan niat jahat para pelaku kejahatan yang tidak
dapat lagi terbendung.
Bukanlah sebentuk hukum yang memberdayakan
masyarakat, bilamana masyarakat sewaktu-waktu dapat dijadikan “sasaran empuk”
maupun “mangsa empuk” dengan tangan terpasung (dipasung oleh hukum lewat
ancaman kriminalisasi terhadap korban yang melakukan perlawanan), dimana juga korban
dilarang untuk melakukan pembelaan diri—tentu saja, pembelaan diri terhadap
aksi kriminalitas bersifat keras, sengit, agresif, dan represif sifatnya,
mengingat demikian dekatnya ancaman dan urgensi untuk itu yang dihadapi korban
yang harus berpikir dan membuat keputusan secara cepat sebelum “dompet atau
nyawa melayang”, perlawanan mana tentunya bukan sekadar tamparan lembut di pipi
ataupun semacam jurus “gelitikan” yang sopan dan pijatan halus (suatu tuntutan
yang berlebihan).
Terdapat sebuah falsafah di Negeri Tiongkok
mengenai betapa norma hukum dapat demikian dinamis, mengingat sifat
sosial-kemasyarakatan kita juga bersifat dinamis adanya, sehingga hukum tidak
semestinya diberlakukan secara kaku dan membuta, dengan anekdot berikut : Bukan
masalah apakah seseorang atau suatu negara boleh bersikap represif dan agresif
(bertangan besi) atau tidaknya, namun KAPAN seseorang atau negara harus
bersikap represif dan agresif “bertangan besi”. Momen demi momen, tidaklah
“beku” dalam kondisi tertib, aman, dan damai. Namun cair, dan kita perlu
mengakui dinamika perubahan situasi serta mengakomodirnya. Menurut ilmu
psikologi, dikenal apa yang disebut sebagai “teori jendela”, dimana butuh
sarana untuk menyalurkan tekanan psikis. Ibarat tekanan air, bila tidak diberi
ruang aliran untuk tersalurkan, maka ia bisa “meledak”.
Artinya, seseorang atau otoritas negara, dibuka
ruang peluang bagi mereka untuk bersikap agresif serta represif dalam rangka
melindungi diri bagi warga perorangan ataupun untuk menjadi negara yang
berwajah “otoriter” bila kondisi menuntut untuk itu. Teori demikian jauh
lebih memberdayakan manusia dan memanusiakan manusia, karena mengakui dinamika
sosial masyarakat yang bisa demikian dinamis, karenanya dibuka ruang untuk
setiap warganya dari seorang pribadi yang semula sopan-santun-kalem, secara
kontras menjelma agresif dan keras bila keadaan memang membutuhkan atau
dituntut oleh kondisi yang tidak selamanya damai dan aman.
Warga harus patuh hukum, itu bila konteksnya
“social order” atau ketertiban umum, kedamaian, dan keamanan terjaga dalam
kondisi “freeze” atau “beku” adanya
untuk setiap waktu dan setiap momen—hal mana adalah mustahil. Hukum, hanya
boleh menuntut warganya berperilaku apa yang memang niscaya, bukan menuntut
sesuatu yang bersifat mustahil. Ketika seorang warga lainnya justru menimbulkan
ancaman atau merusak tatanan sosial dengan melakukan tindak kriminil yang dapat
/ berpotensi melukai, menyakiti, ataupun merugikan warga lainnya, maka dasar
asumsi berupa “keadaan masih damai, aman, dan tertib” sudah tidak lagi relevan.
Maka berlaku ialah “hukum darurat bila negara dalam kondisi darurat”, atau kita
terjemahkan sebagai “hukum darurat bila kondisi dalam keadaan darurat”.
Kejadian yang kini marak dan fenomenal menjadi
sorotan publik demikian, sejatinya sudah penulis prediksi untuk pertama kalinya
sejak saat penulis masih memulai mempelajari ilmu hukum pidana di Indonesia.
Diperlakukan “shock therapy” bagi
kalangan penjahat untuk mengurungkan niat jahatnya, berupa dis-insentif bagi
pelaku kejahatan dan diberikannya insentif oleh negara kepada “korban kejahatan
jalanan”, dimana korban diberi hak untuk melawan, sebagaimana dimana
seorang polisi berhak menembak dan melumpuhkan pelaku pencurian yang melarikan diri
(lihat konteksnya, keadaan tidak selalu damai, aman, dan tertib, sehingga
polisi berwenang meletuskan senapan api bila kondisi berubah dan menuntut untuk
aksi darurat secara segera).
Bila seorang polisi, tidak dituntut untuk
selamanya tidak menembak warga sipil, maka mengapa warga sipil dituntut untuk
senantiasa pasif dan pasrah tanpa daya ketika dijadikan “mangsa empuk” pelaku
kejahatan? Teks (norma hukum), tidak lepas dari “konteks” yang melingkupi
dan meliputinya—ironisnya, teori hukum pidana di Indonesia belum
mengakomodir urgensi kesadaran fenomena sosial semacam itu, sehingga masih
sangat terbelakang serta kontraproduktif.
Tanpa itu, sama artinya hukum hanya dapat
dimaknai sebagai : korban yang telah dicuri / dirampas / dirampok barang
miliknya hanya boleh dan hanya bisa pasrah menerima nasib? Fakta realita kedua,
para kalangan penjahat di negeri ini tahu betul, korban yang melapor kepada
polisi pun adalah percuma adanya (atau setidaknya telah jauh terlambat), para
penjahat tersebut akan tetap dibiarkan berkeliaran seolah “dilestarikan”,
karena itulah para penjahat kian berani tanpa perlu lagi berpikir dua kali
untuk melancarkan niat jahatnya. Para penjahat, melihat fakta realita selama
ini, karenanya belajar dari kenyataan itu dengan kesimpulan bahwa korban memang
hanya dapat melindungi dirinya sendiri tanpa perlindungan yang konkret dari
aparatur penegak hukum.
“Penembak misterius” pada era Orde Baru, yang
menembak mati secara senyap kalangan preman yang diawasi kalangan intel sebagai
kerap melakukan aksi premanisme, adalah bentuk negara benar-benar hadir di
tengah-tengah masyarakat, memberikan perlindungan secara efektif. Bila disebut
sebagai pelanggaran hak asasi manusia, maka pembiaran bagi para penjahat untuk tidak
merasa perlu berpikir ribuan kali (karena tidak takut berbuat jahat akibat korban
hanya bisa pasrah menerima nasib dirugikan atau disakiti para kriminil jalanan
demikian), adalah kejahatan hak asasi manusia yang lebih masif sifatnya. Tiada
warga yang merasa keberatan atau bersedih, ketika seorang penjahat ataupun
kalangan preman yang diberantas tuntas di republik ini, kecuali pihak-pihak
yang selama ini mengambil kesempatan di tengah kesempitan dan kekeruhan,
daripada membiarkan korban yang tidak bersalah dan warga baik-baik menjadi
korban aksi kejahatan atau dipaksa harus membela diri secara mandiri tanpa
perlindungan yang efektif dan “tepat waktu” oleh negara.
Itulah sebabnya, penulis kemudian sedini mungkin “banting
setir” menjadi seorang sarjana dan praktisi hukum spesialis dibidang hukum
perdata, meski dibelakang hari penulis lebih banyak mendalami ilmu hukum pidana
lewat elaborasi pribadi alih-alih sekadar mem-beo dan mengadopsi ataupun
mengutip pasal-pasal ataupun teori-teori klasik ketinggalan zaman ilmu hukum
pidana di Indonesia. Salah satu teori hasil rekonstruksi pribadi penulis, ialah
apa yang penulis sebut sebagai “teori kontektual terkait asas keseimbangan”
yang bersifat kasuistik penerapannya karena perlu dilihat secara “big picture”, alias serangkaian
peristiwa yang saling berkelindang mata rantainya, ketimbang satu momen
peristiwa hukum yang terjadi secara parsial.
Teori “kontektual terkait asas keseimbangan”
dalam hukum pidana berikut, penulis ciptakan berdasarkan pengalaman pribadi
yang kerap bersentuhan langsung sebagai korban kriminalitas pada perkotaan di
Indonesia, sekalipun terjadinya di wilayah pusat bisnis ibukota yang banyak
dipantau aparatur kepolisian (yang lebih berfokus menilang kendaraan yang
berlalu-lintas) pada tengah hari, namun ternyata tidak menjamin keamanan
seluruh warga, juga tidak menyurutkan niat para pelaku kejahatan untuk memangsa
korban. Bayangkan dan perhatikan detail fakta hukum dalam peristiwa berikut,
yang besar kemungkinan pernah para pembaca alami sendiri selama hidup pada
republik dimana para pelaku aksi premanisme seolah “dipelihara” oleh negara
sehingga berkeliaran dimana-mana—akibat negara seolah tidak pernah benar-benar
hadir di tengah masyarakat, kecuali untuk urusan tilang-menilang kendaraan
bermotor.
Pada suatu jembatan penyerangan orang (JPO), di
kawasan pusat bisnis di Kota Jakarta pada pagi menjelan siang hari, penulis
yang seorang diri serta berbadan kecil, dihadang oleh dua orang pria “brewok”
(preman) berbadan besar, yang ternyata berniat buruk untuk merampas barang
milik penulis. Bila selama ini istilah pidana untuk aksi “perampokan” merujuk
pada suatu niat untuk mencuri namun disertai adanya unsur ancaman kekerasan dan
dapat diikuti pula dengan ancaman berupa penggunaan senjata.
Namun apakah terhadap fakta hukum adanya dua
orang preman berbadan besar dan lengkap, mencoba merampas barang milik satu
orang korban berbadan kecil (bahkan berkacamata), hanya dapat dipandang semata
sebagai tindak pidana “pencurian” sehingga korban tidak boleh mengeluarkan
senjata tajam, semisal berupa pisau lipat dari dalam saku, dalam rangka jaga
diri agar tidak dirampok atau dalam rangka bela diri agar pelaku menjadi takut
(menyurutkan niat buruknya, ketika mendapati korban yang melindungi diri dengan
senjata tajam) dan mengembalikan barang milik korban yang telah mereka secara
paksa? Atau apakah seorang wanita calon korban dalam konstruksi kejadian
semacam itu, dilarang menyemprotkan semprotan merica yang dapat menyakiti
sepasang mata para pelaku? Semprotan merica, karenanya, juga tergolong
“senjata” yang tajam (memedihkan) di mata bila sampai terkena.
Ironisnya teori hukum pidana di
Indonesia, secara membuta menyatakan : Barangsiapa membawa senjata ke muka
umum, diancam pidana. Teori hukum pidana kita di Indonesia bersifat demikian membuta,
karenanya aparatur penegak hukum kita pun relatif cenderung “buta”, dimana
konteks peristiwa dikesampingkan dan tidak diakui, semata teks (norma hukum
berupa pasal-pasal) yang dikemukakan. Bila kejadian demikian berlanjut ke tahap
ajudikasi di persidangan, semisal karena para pelaku “pemalakan”, “pemerasan”,
“perampokan”, atau “penodongan” demikian memanggil polisi dengan “play victim”, maka dapat dipastikan
korban yang akan dikriminalisasi oleh pelaku yang sebenarnya.
Kabar buruknya, itulah yang tepatnya selama ini
terjadi dan menjadi kontroversi di tengah publik meski sepanjang tahunnya jatuh
korban, pihak korban yang justru dipidana penjara sebagai pelaku penganiayaan
ataupun pembunuhan. Publik menjadi trauma serta penuh ambiguitas, apakah warga
hanya boleh pasrah ketika mendapati dirinya dirugikan ataupun disakiti oleh
kriminil, bak karung sam-sak alias “mangsa empuk” semata karena tidak
diperkenankan hukum untuk melawan dan menjadi “agresif” serta “represif”? Tidak
heran bila kemudian para pelaku kejahatan dengan mudahnya menargetkan setiap
warga sebagai “sasaran empuk”, semata karena tangannya “dipasung” oleh hukum,
meski tangan tersebut diciptakan untuk pula dapat melindungi dan menjaga diri
sendiri. Hukum yang tidak humanis, justru memberikan “insentif” bagi para
kalangan kriminil.
Berikut inilah teori baru yang penulis coba
perkenalkan secara lebih mengedepankan akal sehat serta nurani keadilan yang
penuh pertimbangan. Perhatikan kembali fakta hukum kejadian di atas, telah
ternyata sedari sejak semula terjadi adanya bentuk ketimpangan
relasi, dimana pelaku berupa dua orang berbadan besar yang tentunya siap
bermain kekerasan fisik—belum lagi potensi resiko mereka membawa senjata tajam
berbahaya—sementara itu pelakunya hanya seorang diri, berbadan kecil, dan
tampak tidak berdaya, juga tampak tidak menyandang senjata. Kekerasan fisik,
dapat berbuntut luka dalam maupun luka organ dalam tubuh, bahkan korban jiwa,
sehingga bukan hanya senjata tajam maupun senjata api yang bersifat melukai dan
mematikan. Coba saja organ vital Anda seperti kelamin maupun bola mata yang terkena
hantaman, dapat rusak secara permanen.
Berikut inilah argumentasi yang dapat dijadikan
pembelaan korban kriminalisasi akibat “jaga / bela diri” dalam “pledooi” oleh
Tersangka maupun Terdakwa ketika mereka menghadapi tuntutan sebagai pelaku aksi
penganiayaan / pembunuhan terhadap pelaku kejahatan pencurian maupun
penodongan, pemalakan, perampokan, pemerasan, atau apapun istilahnya, yakni mengelaborasi
tiadanya keseimbangan posisi antara korban dan pelaku, alias ketimpangan
yang karenanya membutuhkan keseimbangan, sebagai konteks utama peristiwanya.
Ketimpangan relasi terjadi, akibat fakta bahwa
pelaku terdiri dari dua preman berbadan besar, dimana kita ketahui ciri khas
preman pelaku aksi premanisme ialah tidak segan melakukan kekerasan fisik
bahkan hingga melukai korbannya dengan senjata tajam yang mereka pertunjukkan
terang-terangan ataupun mereka kantungi, menghadapi seorang korban yang berdiri
seorang diri, dimana ketimpangan relasi demikian membuat para pelaku tidak
takut menyakiti ataupun melakukan aksi kejahatan terhadap korban.
Pertanyaannya, apakah korban hanya boleh diam saja, berdiri mematung bak karung
sam-sak untuk dijadikan “sasaran empuk” dan berdiam diri menjadi “mangsa
empuk”?
Sama halnya, mengapa ketika seseorang
mengintimidasi kita dengan ancaman akan dilukai dengan kekerasan fisik, calon
korban bukanlah sam-sak karung tinju untuk dijadikan “sasaran empuk” warga
lainnya, karenanya bila intimidasi tersebut demikian dekat jaraknya semisal
berjalan mendekati dan membuat postur tubuh hendak memukul disamping adanya
ancaman akan dianiaya sehingga mengguncang jiwa sang warga, korban intimidasi
dapat dibenarkan untuk terlebih dahulu melancarkan serangan kepada pelaku
pengancam dalam rangka “menjaga diri” bila tidak dapat disebut sebagai “bela diri”—sayangnya,
kesemua kontruksi teori pribadi penulis tersebut, sama sekali masih berupa
wacana yang belum diakui dalam praktik hukum pidana di Indonesia yang masih
“kolot”.
Mengapa hukum pidana di
Indonesia seolah-olah turut membuat korban tidak berdaya, selain memilih untuk
pasif dan pasrah menerima kenyataan dijadikan korban tindak kejahatan? Itulah pertanyaan utamanya.
Ketimpangan relasi, justru melahirkan hak kondisional berupa “affirmative action” berupa pemberian hak
istimewa tertentu dalam rangka menyeimbangkan relasi, semisal mempersenjatai
diri dengan senjata tajam ketika mendapati para kriminil yang terdiri lebih
dari satu orang dan berbadan besar, sehingga mereka mengurungkan niat jahatnya
dan menjadi takut untuk menyakiti ataupun merugikan calon korbannya, yang kini
tidak lagi “empuk” di mata para kriminil tersebut. Itulah, wajah hukum yang
lebih humanis, disamping lebih memberdayakan manusia dan memanusiakan manusia.
Harus ada ruang gerak dan ruang bebas dalam kondisi darurat bagi warga yang mengalami
keadaan urgensi. Ibarat sekantung plastik yang penuh berisi air dan dalam
kondisi terikat, ketika Anda remas, maka ia akan pecah.
Semestinya, hukum yang humanis, lebih
memanusiakan manusia dengan menjadikan setiap warga selaku subjek hukum menjadi
lebih berdaya dan berani untuk menentukan nasibnya sendiri, tidak terkecuali
untuk mempertahankan martabat dan hak atas hidupnya maupun hak atas properti
dan kehormatannya, dari pihak manapun yang mengancam untuk merampas hak-hak
sang warga. Untuk atau dalam rangka menyeimbangkan ketimpangan relasi
itulah, dibutuhkan “affirmative action”
berupa kebolehan bagi sang korban yang kalah dari segi jumlah maupun kekuatan,
untuk melakukan aksi bela atau jaga diri seperti mengeluarkan senjata tajam
dalam rangka membuat pelakunya merasa takut serta mengurungkan niatnya untuk
melancarkan niat jahatnya, ataupun untuk meminta dikembalikan barang miliknya
yang telah dirampas oleh pelaku kejahatan tersebut.
Tiada “fair
play” bila pihak lawan menghadapi “sasaran empuk”-nya berupa relasi timpang
semacam “dua lawan satu” atau “kelas berat Vs. kelas bulu”, dimana negara harus
mengakui itu, serta mengkomodirnya lewat sebentuk kebolehan istimewa bagi warga
yang menjadi korbannya, sebagai langkah darurat maka berlaku pula hukum darurat,
bukan hukum sebagaimana kondisi normal “satu lawan satu” atau “kelas berat Vs.
kelas berat”. Asas keseimbangan relasi mampu menerangkan, bahwasannya
pelaku yang terdiri dari dua orang, berbadan besar siap untuk melakukan aksi
kekerasan fisik, adalah “senjata” itu sendiri, “ancaman kekerasan” itu
sendiri—semata mengingat “senjata” milik sang pelaku ialah lengan kekar
rekan dari sang pelaku maupun lengan kekar sang pelaku itu sendiri, sehingga
jelas mengancam, dimana pula telah menjadi pengetahuan umum, pelaku aksi
kejahatan tidak segan melukai korbannya, sehingga selalu dianggap “ancaman kekerasan”
melekat secara inheren bilamana pelaku telah berupa fakta hukum terdiri dari
dua orang dan berbadan besar sementara korban hanya terdiri dari satu orang dan
berbadan kecil.
Itulah juga sebabnya, menurut asas
keseimbangan yang penulis perkenalkan ini, setiap aksi yang pelakunya
terdiri dari dua orang atau lebih, beranggota tubuh lengkap (kondisional siap
untuk melakukan aksi kekerasan fisik), tidak dapat disebut sebagai aksi
“pencurian” semata, namun sebagai “perampokan” sehingga korban berhak untuk
menjaga dan melakukan aksi bela diri berupa balik mengancam dengan sebilah
senjata tajam tanpa dapat dikriminalisasi bila pelakunya yang berbalik terluka
atau bahkan tewas seketika dalam perkelahian antara pelaku dan korban yang
membela diri.
Asas keseimbangan pula, yang memberi hak bagi korban yang diancam
akan dibunuh oleh senjata tajam milik pelaku, untuk melakukan perlawanan sengit
dengan membunuh sang pelaku sebelum dirinya tewas terbunuh—membunuh pelaku atau
mati terbunuh oleh pelaku—dimana korban yang melakukan perlawanan dengan
senjata tajam serupa, adalah sudah seimbang serta sudah selayaknya sebagai
pertarungan yang memang harus jantan, sebagaimana asas ksatria, maupun
seimbang. Ingat, pelaku kriminalitas itu sendiri yang terlebih dahulu bermain
secara “fairness”, sehingga ibarat
kompetisi catur, bila lawan Anda bersikap curang dengan menyimpangi aturan main
diatas papan catur, maka apakah Anda pun (dengan bodohnya) harus patuh dengan
aturan main catur?
Jika Anda patuh dan selalu patuh apapun yang terjadi dan
apapun kondisinya, sementara lawan tanding Anda seenaknya melanggar aturan main
catur, maka sudah jelas Anda yang akan keluar dalam kondisi babak-belur—lagi-lagi, fakta faktual
kondisional demikian tidak diakui oleh hukum pidana di Indonesia, yang secara
membuta mengasumsikan setiap warga dan bahkan pelaku kriminal sekalipun, adalah
patuh terhadap aturan main “catur”.
Penjahat atau kriminal mana,
yang patuh terhadap aturan main? Mengapa juga, Anda yang diwajibkan oleh hukum
untuk tetap tunduk dan patuh pada aturan main? Itulah, falsafah tertinggi dari ilmu hukum
pidana, falsafah belum dipahami oleh masing-masing aparatur penegak hukum,
terlebih para akademisi yang sekadar mem-beo teori-teori yang sudah kadaluarsa
dan “membusuk” bersamanya.
PEMBAHASAN:
Sudah banyak sekali contoh
kejadian, dimana korban-korban berjatuhan, semata karena dikriminalisasi oleh
negara lewat aparatur penegak hukumnya yang justru meringkus dan menetapkan
status Tersangka kepada korban, hingga didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum,
bermuara pada vonis hukuman pidana bagi seorang korban yang semata melakukan
bela diri atau jaga diri, disaat guncangan psikis yang demikian hebat tidak
memungkinkan sang korban untuk membaca situasi, harus berpikir cepat disamping
membuat keputusan cepat (untuk melawan, karena melarikan diri tidak
memungkinkannya), ataupun melakukan aksi refleks “lawan” bilamana “lari” dinilai
tidak menyelesaikan masalah.
Dari semula (sejatinya) korban,
menjelma didudukkan sebagai pesakitan di meja hijau sebagai Tersangka dan
Terdakwa pelaku aksi “main hakim sendiri”, entah pembunuhan, penganiayaan, dan
kriminalisasi lainnya—sekalipun, telah banyak kritikan dialamatkan oleh masyarakat,
sejak bertahun-tahun lampau, mengingat marak dan masifnya korban kejadian
serupa yang dikriminalisasi oleh negara, telah ternyata hingga saat kini masih
saja para akademisi dan aparatur penegak hukum secara membuta menerapkan dan
mendengungkan teori hukum pidana yang sudah usang dan terbukti melawan sifat kemanusiaan
itu sendiri.
Sebagai penutup, meski bukan
yang paling akhir, terdapat sebuah teori hasil elaborasi pribadi penulis, bahwa
berbagai pendapat hukum para akademisi maupun para aparatur penegak hukum yang
terdengar klise berupa jargon “Jangan main hakim sendiri, jika bertemu penjahat
maka lapor polisi, maka polisi yang akan menindak pidana sang pelaku” atau
“polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat”, merupakan jargon-jargon
yang bersifat “TOO GOOD TO BE TRUE”.
Teori yang lebih humanis, ialah teori yang mengakomodir fakta realita yang
tidak selalu berjalan ideal, dan tidak mengajak masyarakat untuk berdelusi.
Penulis menyebutnya sebagai “teori
TOO GOOD TO BE TRUE” bilamana masyarakat
sipil harus senantiasa patuh terhadap hukum sekalipun lawan mereka bersikap
menyimpang dari hukum. Karena “too good
to be true” aparatur penegak hukum senantiasa eksis mengawasi dan
melindungi masyarakat, maka “main hakim sendiri” (eigenrichting, dalam Bahasa Belanda) bila keadaan / kondisi
menuntut untuk itu, menjadi niscaya, sebagai “hukum darurat dikala kondisi
darurat”. Adalah tidak sesuai konteksnya bilamana “hukum normal diberlakukan
dikala kondisi tidak normal”. Hukum yang logis dan berakal sehat serta
bernurani, adalah hukum yang bijaksana—dimana kita ketahui, kebijaksanaan
bersifat dinamis dan sarat kontektualitas, tidak kaku, “beku”, terlebih
membuta.
Demikianlah, korban yang
menjelma terdakwa akibat kriminalisasi, dapat membuat nota pembelaan dalam “pledooi”
secara logis menghadapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hakim yang masih masih
bernurani serta tidak “buta”, dapat memahami betul kondisi “tidak normal” yang
dihadapi korban ketika menghadapi kalangan kriminil maupun preman pelaku aksi
premanisme yang sarat kekerasan fisik dan tidak segan melukai korbannya ketika
korbannya berkeberatan dan menolak mengikuti kemauan sang pelaku.
Ketika seseorang warga
ditargekan sebagai calon korban, tidak pernah terjadi korbannya berpostur tubuh
lebih besar maupun lebih banyak dari segi jumlah daripada tubuh maupun jumlah para
pelaku kriminalitas maupun premanisme, itulah fakta lapangan yang hanya
diketahui oleh mereka yang pernah menjadi korban, sehingga memiliki kearifan dalam
membaca dan memahami situasi yang dihadapi setiap kalangan korban. Untuk itu,
negara menjadi memiliki kewajiban hukum untuk menyeimbangkan posisi kedua belah
pihak, setidaknya berikannya hak istimewa untuk memakai senjata tajam bagi sang
korban—atau setidaknya, senjata berupa semburan bubuk merica yang dapat melukai
mata para pelaku, dan bila pelakunya mengalami kebutaan, korban tidak dapat
dikriminalisasi.
Hak untuk membela diri merupakan “akibat”, bukan “sebab”. Hanya aparatur penegak hukum yang
“dungu” yang tidak mampu memahami falsafah dasar perihal pembeda atau distingsi
antara “sebab” dan “akibat” ataupun untuk menentukan mana “sebab” dan mana yang
merupakan “akibat”. Tanpa pelaku penyebab “sebab”, maka tiada yang akan membuat
“akibat”. “Akibat”, hanyalah sekadar konsekuensi logis dibalik “sebab” yang
mendahuluinya terjadinya. Sesederhana itu saja, namun tidak sedikit yang gagal
memahaminya.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.