Percuma Belajar Ilmu Hukum walau Seribu Tahun, bila Tidak Memahami HUKUM KARMA

ARTIKEL HUKUM

Hukum yang Tertinggi, Lebih Tinggi daripada Hukum yang Paling Tinggi, itulah HUKUM KARMA

Sungguh disayangkan bila terdapat orang-orang yang memandang dirinya para pakar hukum, profesor dibidang hukum, ataupun mereka dengan bangga menyandang gelar sarjana hukum, menghabiskan seluruh hidupnya untuk memelajari dan mendalami ilmu hukum, membaca tidak terhitung jumlahnya pasal peraturan perundang-undangan yang setiap tahunnya terus diterbitkan, diubah, atau diganti secara demikian masifnya menjelma “rimba belantara hukum” yang tiada habis-habisnya, memenangkan ribuan gugatan, namun telah ternyata sangat buta alias tidak melek perihal apa yang disebut sebagai Hukum Karma, alias hukum perihal sebab-akibat, hukum yang paling egaliter dan paling mengedepankan prinsip meritokrasi, dimana kita sendiri masing-masing yang paling bertanggung-jawab atas hidup, nasib, sebagai buah dari perbuatan kita sendiri.

Dengan memahami Hukum Karma, kita dapat menjadi seorang arsitek yang merancang masa depan hidup kita sendiri—itulah sebabnya Hukum Karma menjadi penting untuk kita pahami cara bekerja, fungsi, serta peranannya. Alih-alih menjadi pengemis yang hanya pasif bermalas-malasan meminta, mengemis, dan memohon-mohon, sekalipun kita secara proaktif dapat merancang dan membangun masa depan kita sendiri dengan menanam sebelum kemudian menuai benih-benih yang telah kita tanam. Ibarat seorang petani, yang merepotkan dirinya menanam, menabur bibit padi maka ia akan menuai padi saat waktunya matang untuk berbuah.

Karena itulah, kita menjadi mampu serta mau untuk bertanggung-jawab terhadap diri kita sendiri, semata dengan memusatkan perhatian kepada postulat berikut : Menanam benih kebaikan (sebab), maka akan memetik buah kebaikan (akibat). Menabur benih kejahatan (sebab), maka akan menuai buah kejahatan (akibat). Karenanya, tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini, tidak juga bisa menyalahkan orang lain atas “nasib” baik ataupun “nasib” buruk kita yang berbuah pada kehidupan sekarang ini, dimana orang-orang yang “bernasib” mujur adalah berkat kerja-keras mereka pada masa sebelumnya rajin menanam benih perbuatan bajik, sehingga mereka layak menikmatinya pada kehidupan sekarang ini ketika buahnya telah matang untuk mereka petik sendiri.

Sebaliknya, mereka yang malas menanam benih-benih kebajikan selama hidupnya, hanya akan menjadi seorang “penonton” pada kehidupan mendatang, atau setidaknya “gigit jari” hanya dapat memetik buah Karma buruk secara bertubi-tubi. Itulah sebabnya, Hukum Karma disebut juga sebagai hukum meritokrasi dan egaliter, memberikan buah atau hasil secara sepadan dengan kontribusi mereka masing-masing. Yang malas, mendapatkan kesia-siaan. Yang curang, mendapati dirinya akan dicurangi. Yang adil, mendapatkan keadilan. Yang rajin, mendapatkan buah hasil jirih-payahnya. Yang bersabar, mendapatkan kesabaran. Yang merampas, akan dirampas. Yang berdusta, akan ditipu. Menjadi mengherankan, bila ada pihak-pihak yang menolak meyakini asas egaliter demikian dengan mati-matian secara membuta menolak meyakini Hukum Karma.

Karma berasal dari kata “kamma”, bermakna “perbuatan”, alias verba atau kata kerja. Ada aksi, maka ada reaksi, sangat ilmiah sifatnya. Mereka yang menyebut diri mereka sebagai seorang ilmuan, yang meyakini hukum sebab-akibat seperti kimia A dicampur kimia B menjadi kimia C, namun disaat bersamaan meremehkan dan menyepelekan Hukum Karma, bukanlah ilmuan tulen, namun ilmuan “gadungan”. Karenanya pula, menjadi dapat kita mulai pahami, ideologi penuh kecurangan semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” adalah dogma yang saling bertolak-belakang dengan Hukum Karma, bahkan merusak “standar moralitas” umat manusia karenanya sangat berbahaya dan patut diwaspadai.

Bila preposisi mengenai iming-iming “too good to be true” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” (hanya seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan dosa) hanya berpihak pada kepentingan pendosa, seolah-olah Tuhan lebih PRO kepada pendosa, maka Hukum Karma lebih berpihak kepada para korban dengan memberikan mereka keadilan dengan menghukum pelaku yang telah merugikan, melukai, maupun menyakiti para korban tersebut. Karenanya, bila Hukum Karma adalah eksis adanya, dan valid tidak terbantahkan, maka secara sendirinya ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” telah dinegasikan alias invalid adanya.

Tanya mengapa, jika ada pihak-pihak yang berkeberatan terhadap Hukum Karma? Orang-orang baik, tidak akan pernah bekeratan terhadap Hukum Karma. Hanya orang-orang pemalas maupun para pendosa yang penuh dosa, bergelimang dosa, yang selama ini berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan dosa, yang “too big to fall” sehingga tiada pilihan lain selain secara membuta menolak dan menentang Hukum Karma—mereka lebih suka menipu diri sendiri, semata karena mereka telah terperosok demikian jauh di dalam lembah dosa, yang jika kita prediksi memakai prinsip-prinsip Hukum Karma, sudah jelas kemana mereka akan terlahir kembali, alam-alam rendah tanpa kebahagiaan.

Bila kalangan korban yang hanya semata mengandalkan hukum negara, sementara itu hukum negara penuh dengan “borok”, mulai dari aturan norma hukumnya yang jauh dari kata sempurna (bahkan patut diragukan proses pembentukannya), aparatur penegak hukumnya yang korup karena mudah disuap pihak pelaku kejahatan, sehingga amat bergantung pada penegakan hukum negara yang mana bila pelakunya tidak divonis hukuman penjara sama artinya korban benar-benar merugi karena disamping disakiti, dilukai, ataupun telah dirugikan, bilamana pelaku kejahatannya tidak dijatuhi hukuman oleh negara, maka akibatnya sang korban kembali harus menelan ketidak-adilan karena dosa-dosa para pelakunya dihapus ataupun diampuni Tuhan semata kerena pelakunya rajin “lip service” kepada Tuhan.

Sebaliknya, kalangan korban yang memahami perihal Hukum Karma, tidak bergantung pada pihak kepolisian ataupun jaksa dan hakim pengadilan negara. Silahkan saja bila para aparatur penegak hukum tersebut sama korup dengan sang pendosa / penjahat (sesama pendosa saling melindungi dan saling memaklumi), korban tetap memiliki hak keadilan lewat Hukum Karma. Bila polisi tidak mau memproses laporan atau aduan pihak korban pelapor, maka tidak ada yang benar-benar merugi dan tidak ada pula yang dapat benar-benar dapat dicurangi ataupun yang mencurangi kehidupan, itulah kabar baiknya (bagi korban, tentunya). Pelakunya tetap akan memetik hasil atau buah dari perbuatan buruk mereka sendiri yang sebelumnya telah mereka tanam. Selebihnya, hanya urusan waktu matang untuk berbuah. Itulah sebabnya, Sang Buddha telah pernah berkata, “Pandangan yang keliru artinya, tidak meyakini adanya kelahiran kembali ataupun perihal Hukum Karma.”

Meski demikian, Buddhisme tidak mengajak para pembelajarnya untuk bersikap pesimistik ketika mendapati kehidupannya saat kini banyak memetik buah “pahit”, karena kita perlu bertekad dan berjuang untuk mulai menyisingkan lengan baju untuk mengumpulkan dan memupuk modal untuk kehidupan selanjutnya berupa perbuatan-perbuatan baik untuk kita tanam dengan tidak melewatkan kesempatan berbuat baik, seperti bersikap sabar kepada setiap warga yang kita jumpai, mau mengalah, bersikap ramah, berdana kepada yang benar-benar membutuhkan, suka menolong, bersikap jujur dan rendah hati, tidak melukai fisik ataupun perasaan orang lain, tidak meyakiti diri sendiri maupun orang alin, tidak juga merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

Sebaliknya, mereka yang pada kehidupan saat kini begitu melimpah buah Karma baik yang mereka petik dan nikmati manisnya, tidak perlu bersombong hati, sebab semua itu, hanyalah “nasi basi” sebagaimana kata Sang Buddha ketika menyadarkan seseorang warga perumah tangga yang kikir dan angkuh atau memiliki kesombongan terhadap harta kepemilikannya, dimana cepat atau lambat semua tabungan Karma baiknya akan habis juga jika dikuras untuk dinikmati tanpa menanam benih-benih Karma baik baru pada kehidupan saat kini. Semua yang kini nikmati saat kini, adalah hasil upaya menanam di kehidupan sebelumnya, karenanya disebut sebagai “nasi basi” oleh Sang Buddha. Seperti seorang petani, menyisihkan sebagian hasil panennya untuk menjadi benih yang akan kembali ditabur pada ladang pada masa tanam berikutnya, agar berkesinambungan dapat berladang dan bertani.

Terdapat kisah yang menggugah sekaligus menginspirasi perihal Hukum Karma, sebagaimana dituturkan oleh seorang bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3!”, Penerjemah oleh Tasfan Santacitta, Awareness Publication, Jakarta, Maret 2012, dengan kutipan sebagai berikut:

Cenayang Tulen

Saya akan bercerita mengenai salah satu cenayang, medium yang paling banyak diselidiki di dunia, cenayang tulen bernama Edgar Cayce (1877-1945). Ia hidup di Virginia Beach, Amerika Serikat, pada masa di antara Perang Dunia Pertama dan Kedua.

Alasan mengapa ia merupakan cenayang sejati adalah karena ia begitu rendah hati. Selama hidupnya, ia melakukan penerawangan berkali-kali. Karena ia hidup di Amerika, banyak dokter dari New York, Washington, dan banyak lagi, datang dan merisetnya berulang-ulang kali. Hasilnya selalu menunjukkan bahwa ia adalah cenayang tulen.

Bahkan selama ia masuk dalam keadaan “trans”, para peneliti ini menyelipkan potongan kayu di antara kuku dan daging kukunya. Ini seperti metode penyiksaan, untuk menguji apakah ia mungkin hanya sekadar pura-pura, karena selama ini tak ada seorang pun yang mampu menahan sakit dari siksaan semacam itu hanya dengan kekuatan tekad.

Edgar membiarkan mereka melakukannya begitu seringnya, sampai ia berkata, “Tidak. Saya tidak bisa merasakan apa yang kalian lakukan ketika saya sedang ‘trans’, namun saya jelas merasakannya ketika saya keluar dari ‘trans’.”

Ia mampu melakukan hal-hal luar biasa ini. Ketika ia masuk dalam keadaan hipnosis, dan kapan pun mereka menyebutkan nama seseorang kepadanya, ia bisa menyebutkan cara merawat dan jenis obat untuk menyembuhkan orang itu, entah itu obat yang tak diketahui atau dalam dosis yang benar-benar tidak lazim, namun cara pengobatannya selalu manjur.

Saya ingat suatu kasus yang sangat mengesankan. Dalam keadaan “trans”, mereka bertanya mengenai seorang pasien yang penyakitnya sangat parah. Edgar Cayce mengatakan bahwa inilah obat yang mereka butuhkan dan obat itu bisa menyembuhkan pasien. Jadi ketika ia keluar dari keadaan “trans”, mereka pergi ke apotek, dan ahli farmasi di sana megnatakan, “Saya tidak pernah dengar mengenai obat itu.”

Mereka kembali membuatnya masuk ke dalam keadaan “trans” dan sekali lagi bertanya, “Apakah betul itu obatnya?” Ia mengatakan, “Betul. Itu obatnya, namun memang benar Anda tak bisa mendapatkannya di Virginia Beach. Mereka memiliki obat itu di apotek di St. Louis.”

St. Louis itu sangat jauh. Pada zaman itu, mereka tak ada e-mail, jadi mereka harus mengirim telegram ke apotek di St. Louis. Lalu ahli farmasi di sana mengirimkan pesan kembali, “Tidak pernah dengar tentang obat itu.”

Maka mereka kembali membuat Edgar masuk dalam keadaan “trans” untuk ketiga kalinya. Kali ini ia berkata, “Dengar, obat itu ada dalam apotek di St. Louis itu. Di rak ketiga dari sebelah kiri, tepat di barisan paling belakang.”

Itulah bunyi telegram yang mereka kirim, dan tak lama kemudian ada jawaban dari apotek di St. Louis : “KETEMU!”

Inilah contoh yang menunjukkan bahwa kemampuan cenayang satu ini adalah memang tulen.

Suatu hari, ketika ia dalam keadaan “trans”, mereka menanyakan kepadanya perptanyaan berikut ini, “Apakah hukum yang paling penting di dunia?” Ia menjawab, “Hukum karma.” Ini terjadi sekitar tahun 1930-an, ketika belum banyak orang mengetahui ataupun mengenal istilah itu.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.