LEGAL OPINION
Otoritas Jasa Keuangan Mengawasi Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan? Itu kata Undang-Undang, Iming-Iming yang Meninabobokan, Tidak
Mendidik, dan Menjebak Masyarakat
Otoritas Mengawasi, namun Sejauh apa dan Seberapa Efektif? Itu Masalahnya
Question: Apa yang perlu dan paling harus kami waspadai sebagai calon pengguna jasa, saat akan menghadap marketing pihak bank ataupun asuransi di kantor cabang mereka?
Brief Answer: Ketika pihak lembaga keuangan perbankan, lembaga
keuangan non perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan, tidak terkecuali para
manajer investasi, mengobral dan mengumbar bahwa mereka “diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, semata agar calon
konsumen / nasabah tergerak hatinya untuk percaya, tertarik, dan lemah
kewaspadaannya, maka kian banyak masyarakat kita yang jatuh sebagai korban
modus-modus usaha tidak etis kalangan pelaku usaha penyedia jasa keuangan
maupun pembiayaan di Indonesia.
Apa jadinya, bila Anda berpraduga positif tanpa
menaruh kecurigaan apapun, lantas termakan dan memakan begitu saja umpan yang
dilemparkan pihak pemasaran produk perbankan, semisal “Yang penting punya rumah dulu dengan KPR bank kami, harga rumah selalu
naik melampaui inflasi tahunan!”, tanpa mengetahui bahwasannya bank bebas
sesukanya membuat aturan main dimana lembaga pemerintah yang semestinya
mengawasi ternyata hanya sekadar “evaluator yang menunggu laporan” dan pasif
saja sifatnya—dimana juga tiada lembaga keuangan yang begitu naif-nya hendak
memberikan laporan yang membuka aib dan praktik “gelap” mereka sendiri, dan
disaat bersamaan otoritas yang justru bersikap naif dengan berasumsi
bahwasannya setiap lembaga keuangan ataupun pembiayaan memberikan laporan yang
akuntabel dan transparan atas kegiatan mereka beroperasi di republik ini.
Kalimat semacam “Kami, bank / asuransi, diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK)”, lebih sering menjadi gimmick serta “kalimat hipnotis penuh manipulasi” yang
disalah-gunakan oleh kalangan penyedia jasa keuangan maupun pembiayaan dalam
rangka “memangsa” calon korban yang hendak menjadi nasabah / konsumen pengguna
jasa, ataupun dalam rangka “membungkam” calon pengguna jasa yang cukup kritis
menuntut hak-haknya secara akuntabel dan transparan, ruang berkelit bagi pelaku
usaha jasa keuangan perbankan maupun non-perbankan tidak terkecuali lembaga pembiayaan
yang tidak jujur.
Cobalah perhatikan kasus Jiwasraya selaku lembaga
keuangan nonperbankan yang telah merugikan dan memakan korban ribuan nasabah
konsumennya dengan nilai kerugian masyarakat yang mencapai triliunan rupiah,
berpraktik selama bertahun-tahun menjaring “calon korban” lewat iming-iming
bunga tinggi, menjual produk jasanya di berbagai kantor perbankan nasional
“plat merah”, dimanakah lembaga pengawas semacam Otoritas Jasa Keuangan yang
secara “de jure” sebagai lembaga yang
paling otoritatif dan paling berwenang mengawasi lembaga keuangan nonperbankan
yang mengorupsi dana-dana para nasabahnya secara masif dan berjemaah?
Terlebih, yang melapor telah dirugikan ialah
hanya Anda seorang diri, sementara itu lembaga keuangan telah menjelma raksasa “Goliat”,
tentulah Anda akan dipandang remeh serta sebelah mata (disepelekan) oleh pihak
otoritas yang “sok sibuk”. Toh, sejatinya masyarakat yang menjadi korban modus
kejahatan perbankan, sebagai contoh, semestinya tidak perlu melapor kepada
otoritas agar perbankan yang “nakal” ditindak sebagaimana mestinya, bila memang
otoritas betul-betul mengawasi praktik berbagai lembaga keuangan perbankan di
Tanah Air. Faktanya, otoritas lebih kerap abai dan lalai menjalankan fungsi pengawasan
disamping kewenangannya.
Secara “de
jure” peraturan perundang-undangan, betul bahwa Otoritas Jasa Keuangan
“mengawasi” lembaga-lembaga tersebut, namun tidak secara efektif bila
konteksnya ialah secara “de facto”.
Terbukti dari pengakuan salah seorang pejabat pada lembaga “pengawas” dimaksud,
yang dalam diskusi “empat mata” menyatakan pada penulis bahwasannya “mereka”
tidak mengawasi sampai sejauh itu, lebih kepada formalitas semata dan
di-“kulit”-nya saja. Disamping fakta bahwa sumber daya manusia “mereka” yang
terbatas, tidak berbanding lurus dengan luas dan melebar serta multifasetnya
berbagai hal yang harus mereka awasi, disamping kalah cerdasnya mereka
dibanding “licinnya” modus operandi lembaga-lembaga yang mereka awasi—mulai
dari ribuan kantor cabang perbankan, ribuan kantor cabang perusahaan asuransi,
ribuan kantor cabang lembaga pembiayaan, transaksi yang rumit dan dinamis di
pasar modal, aktivitas manajer investasi, belum lagi puluhan hingga ratusan
ribu karyawan mereka, jutaan transaksi yang terjadi setiap harinya, dan segala
urusan lainnya terkait jasa keuangan di republik berpenduduk ratusan juta jiwa
ini maupun kompleksitas lainnya.
Berbagai kasus penarikan secara paksa dan tidak
patut oleh “debt collector” terhadap
objek pembiayaan maupun objek kredit kendaraan bermotor, bermuara pada uji
materiil oleh nasabah debitor ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI, merupakan
imbas tumpulnya kinerja Otoritas Jasa Keuangan kita selama ini, sehingga
konsumen atau pengguna jasa ataupun nasabah penabung tidak terkecuali nasabah
debitor tidak benar-benar terlindungi oleh pengawasan Otoritas Jasa Keuangan,
yang memang tidak pernah dan tidak sanggup mengawasi secara efektif dalam
praktik di lapangan “de facto”.
PEMBAHASAN:
Istilah atau penyebutan “diawasi
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, lebih banyak menghadirkan “moral hazard”, mengingat lebih kerap
disalah-gunakan oleh pihak pengusaha / korporasi penyedia jasa, dan menjadi
daya tekan secara mental-sosiologis maupun secara politis terhadap pihak calon
pengguna jasa ataupun konsumen yang mengedurkan kewaspadaan juga daya kritisnya
seolah-olah telah benar-benar dilindungi dan terlindungi oleh negara yang hadir
lewat pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (secara tidak kasat mata?). Mengapa disebut
sebagai “gimmick” belaka? Semata
karena alasan logis sebagai berikut:
- semua lembaga keuangan dan
pembiayaan mengaku dan melaporkan telah berusaha dan berkegiatan sebagai “anak
baik” kepada otoritas, namun tidak pernah menyampaikan secara transparan maupun
akuntabel (menyembunyikan) segala kegiatan “gelap” mereka pada “ruang temaram”
di kantor mereka;
- mengorbankan satu atau
segelintir konsumen / pengguna jasa, ibarat nila setitik atau sebutir debu
kecil bila dibandingkan dengan korporasi lembaga keuangan ataupun pembiayaan
yang telah menjelma raksasa, sehingga menyerupai psikologi “too big to fall” dan “just focus on the BIG PICTURE”. Tanyakanlah
kepada diri Anda sendiri selaku konsumen / pengguna jasa, bila hanya Anda seorang
diri yang melapor telah dirugikan praktik perbankan, maka apakah secara politis
pihak otoritas berani dan memiliki “nyali” untuk mencabut izin usaha raksasa
korporasi lengkap dengan ribuan karyawannya yang akan terkena pemutusan
hubungan kerja?;
- tidak ada pelaku usaha yang
dengan sukarela membuka rahasia usaha dan “dapur”-nya termasuk praktik gelap
dan terselubung milik mereka;
- otoritas tidak benar-benar
secara efektif mengawasi sejauh, seluas, maupun sedalam asumsi orang
kebanyakan;
- otoritas tidak dapat
menjangkau modus, mengingat sifat pengawasannya ialah dari jarak jauh,
terbatas, dan formalitas saja, terlebih saat kini layanan perbankan maupun
lembaga keuangan lainnya telah memasuki era digital yang sangat kompleks dan
tertutup sistem komputerisasinya dari pihak eksternal termasuk bagi pihak
otoritas;
- otoritas mengandalkan itikad
baik para pelaku usaha yang diawasi oleh otoritas (aneh bin ajaib) seperti
pasokan data dan laporan kegiatan usaha secara jujur dan “apa adanya” (harapan
yang naif sekaligus berlebihan);
- frasa “mengawasi” berdiri
diatas asumsi rapuh berupa pengandaian, pengandaian bahwa otoritas benar-benar
mengawasi, tidak lalai, tidak abai, dan secara “real time” mengawasi 24 dalam sehari dan 365 hari dalam setahun,
baik di dalam maupun di luar “ruang temaram” kantor milik yang diawasi. Cobalah
Anda tanya balik pihak tenaga pemasaran perbankan dimaksud, apakah saat itu
juga disamping Anda, terdapat orang dari pihak otoritas yang berdiri memantau
dan mengawasi secara langsung menyimak setiap ucapan dan mengamati perbuatan
kedua belah pihak antara pengguna dan penyedia jasa keuangan?
- mengawasi namun bila minim
kewenangan untuk menindak?
- yang diawasi lebih menakutkan
daripada yang mengawasi, mengingat berbagai lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan merupakan korporasi raksasa dengan kapitalisasi besar milik para
“orang besar” yang kerap tidak tersentuh oleh hukum, memiliki kekuasaan
politis, serta daya tawar yang tinggi semisal mempekerjakan ribuan karyawan
yang mana bila usaha dibekukan izin usaha atau bahkan dibubarkan hanya karena
laporan satu orang konsumen yang dikecewakan akan berakibat pada terjadinya
pemutusan hubungan kerja massal, dimana pemerintah selama ini cenderung gagal
mengatur dan mengawasi komoditas kebutuhan pokok seperti pangan, maka terlebih
mengawasi dan mengatur korporasi besar bermodal raksasa?
- apakah pada saat itu juga ada
dan hadir otoritas secara nyata dan konkret di setiap dan masing-masing kantor
cabang pelaku usaha dan turut mendampingi serta mengawasi segala bentuk
komunikasi maupun perbuatan hukum maupun non-hukum pihak penyedia jasa terhadap
setiap masyarakat calon pengguna jasa yang menghadap atau mengunjungi ribuan
kantor cabang pelaku usaha, dalam maupun diluar jam dan hari kerja?
- sebanyak apa dan apakah
jumlah karyawan otoritas memadai untuk mengawasi sebegitu luas dan masifnya
objek dan subjek yang harus mereka awasi?
- praktik yang selama ini
terjadi, otoritas selaku pengawas bukan “mengawasi”, namun sifatnya ialah
evaluasi laporan pihak yang “diawasi” dimana sikap pasif pihak otoritas hanya lebih
banyak mengandalkan suplai dan laporan maupun data-data dari pihak yang “diawasi”.
Tentu, tiada lembaga keuangan maupun pembiayaan yang secara senang hati membuka
“borok”-nya sendiri untuk diberi sanksi oleh pihak otoritas.
Yang menjadi kendala utama di
republik yang pengaturan norma hukumnya telah menjelma “hutan rimba belantara
hukum” ini, bukan soal tiadanya pengaturan, namun absen serta nihilnya
ketegasan menegakkan aturan hukum yang telah ada, serta tidak “pandang bulu”. Komitmen,
profesionalisme, tanggung-jawab sebagai aparatur negara, kesadaran memegang
kekuasaan monopolistik dimana masyarakat pelapor mengandalkan peran sentral dan
kesigapan maupun sikap proaktif aparatur dan lembaganya, keberanian untuk
menindak, dan akuntabilitas disamping trasnparansi laporan kinerja lembaga
pengawas kepada publik, menjadi barometer utamanya. Ketika masih banyak
diantara masyarakat kita yang menjadi korban dari praktik “gelap” beragam
lembaga keuangan maupun pembiayaan, menandakan ada yang keliru dan betapa “impoten”-nya
lembaga pengawas kita yang menjadi otoritas pengawas.
Sebuah pemberitaan menurunkan
tajuk dengan judul “Lemahnya Pengawasan OJK Jadi Biang Kasus Jiwasraya”,
sebagaimana dikutip dari https:// keuangan. Kontan .co.id /news/indef-lemahnya-pengawasan-ojk-jadi-biang-kasus-jiwasraya,
reporter: Yudho Winarto, Editor: Yudho Winarto, diakses pada tanggal 02 April 2022,
dimana telah ternyata pihak otoritas yang diberi kewenangan mengawasi oleh undang-undang
telah ternyata lebih banyak lalai dan abai, dengan kutipan sebagai berikut:
Persoalan gagal bayar PT
Asuransi Jiwasraya (Persero) yang kian membengkak dari Rp 802 miliar pada
Oktober 2018 menjadi Rp 12,4 triliun pada akhir 2019, dinilai disebabkan oleh
salah satu faktor, yakni ‘kecolongan’ pengawasan.
Itu artinya, sistem
pengawasan yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perusahaan
asuransi Jiwasraya bisa dikatakan bobrok. Pasalnya Jiwasraya, gagal bayar
Rp 12,4 triliun polis asuransi JS Saving Plan periode Oktober-Desember 2019,
milik nasabah dalam dan luar negeri.
Direktur Eksekutif Institute
for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebutkan,
pengawasan berlapis oleh berbagai lembaga pengawas seperti OJK, harusnya bisa
mencegah kasus gagal bayar ini terjadi.
“Namun faktanya tetap saja lolos
dari pengawasan,” kata Eko dalam keterangannya, akhir pekan lalu.
Beberapa faktor mendukung
kelengahan OJK, antara lain kelalaian dalam melihat indikasi persoalan
di Jiwasraya, padahal OJK memiliki kewenangan super untuk mengawasi lembaga
keuangan.
Juga, boleh jadi karena
jangkauan aturan atau Undang-undang, yang tidak mampu mendeteksi persoalan awal
Jiwasraya.
“Bisa juga ada faktor tata
kelola pengawasan yang berantakan, maupun kesengajaan / pembiaran,” kata
Eko.
Menurut dia, tidak mungkin bila
Jiwasraya tidak ada persolan sampai-sampai ada persoalan gagal bayar. Terutama,
dalam hal pengawasan yang tidak dijalankan dengan optimal.
Meski tidak bisa ditumpukan
semua ke OJK, namun setiap rantai pengawasan harus bertanggung jawab, mulai
dari pengawasan internalnya, hingga lembaga auditnya.
“Termasuk kelemahan-kelemahan
pengawasan yang selama ini dilakukan oleh berbagai entitas / lembaga pengawas
tersebut, termasuk OJK," katanya.
Pemberitaan serupa dapat
dijumpai dalam berita yang mempertanyakan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap
kasus yang merugikan banyak masyarakat selaku nasabah, sebagaimana dilansir CNN
Indonesia dalam https:// www. cnnindonesia .com /ekonomi/20191223150654-78-459397/pengamat-pertanyakan-pengawasan-ojk-terhadap-jiwasraya,
Adhi Wicaksono, 23 Dec 2019, diakses pada tanggal 02 April 2022, dengan kutipan
sebagai berikut:
Pengamat asuransi
mempertanyakan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap PT Asuransi
Jiwasraya. Apalagi, persoalan keuangan yang mendera perusahaan asuransi
pelat merah itu telah terjadi bertahun-tahun.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung
(Kejagung) menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan
dan dana investasi Jiwasraya. Hal itu diduga menjadi biang kerok defisit
anggaran perusahaan.
Berdasarkan hasil penyidikan
yang dilakukan beberapa waktu lalu, perusahaan menempatkan 22,4 persen saham
sebesar Rp5,7 triliun dari aset finansial. Sebanyak 95 persen dari Rp5,7
triliun itu ditempatkan pada perusahaan dengan kinerja buruk. Sisanya pada
perusahaan dengan kinerja baik.
Kemudian juga ditemukan
penempatan 59,1 persen reksa dana senilai Rp14,9 triliun dari aset finansial.
Sebanyak 98 persen dari Rp14,9 T itu dikelola manager investasi berkinerja
buruk dan sisanya berkinerja baik.
Pada Oktober 2018 lalu,
perseroan meminta penundaan pembayaran klaim polis jatuh tempo produk asuransi
tabungan berencana (saving plan) sebesar Rp802 miliar akibat tekanan
likuiditas. Tak hanya gagal membayar klaim sejumlah nasabah yang jatuh tempo,
Kejagung juga menyebut perseroan berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7
triliun per Agustus 2019.
Pengamat Asuransi Herris
Simanjuntak menilai apabila pengawasan berjalan dengan benar, persoalan
Jiwasraya seharusnya tidak bercokol selama bertahun-tahun.
Selain pihak internal,
pengawasan juga dilakukan oleh pihak eksternal. Dalam hal ini, auditor
eksternal dan unit pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Regulator ada di unit
pengawasan, mestinya lapisan kelima, ini yang kami pertanyakan oleh publik.
Harusnya dengan struktur yang sudah sedemikian rupa pengawasannya, kenapa bisa
sampai terus bermasalah,” ujar Herris kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/12)
lalu.
Mengutip pernyataan Menteri
BUMN Erick Thohir, keuangan Jiwasraya bermasalah sejak 2006. Seharusnya,
sambung Herris, begitu kerugian terdeteksi seluruh lapis pengawasan, termasuk
OJK, langsung membantu mencari jalan keluar.
“(Persoalan) itu harusnya
tidak bertahun-tahun. Setelah beberapa waktu, tahunan, itu harusnya ada
identifikasi, analisis, ada mitigasi,” jelasnya.
Setelah borok kinerja Jiwasraya
terkuak [NOTE
Penyunting : Itu pun sudah terlambat, akibat minim atau abainya pengawasan oleh
pihak otoritas sehingga masalah telah menjelma akut], Herris berharap pemerintah dan seluruh pihak terkait mencari
solusinya.
Senada, pengamat asuransi
Hotbonar Sinaga juga menilai persoalan Jiwasraya seharusnya tidak akan
separah sekarang apabila OJK mengawasi dengan lebih ketat.
“Istilahnya, OJK harus lebih
cerewet, banyak tanya ini itu sehingga tercipta controlling condition,”
ujarnya.
Hotbonar menduga pengawasan OJK
berhenti di level penyerahan laporan. Padahal, otoritas harus
benar-benar mendalami laporan yang diserahkan oleh pelaku industri, tidak hanya
di permukaan.
Hotbonar juga mengingatkan
kepada masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan imbal hasil tinggi yang
ditawarkan produk saving plan.
“Investasi ya beli reksa dana
atau beli unit link. Ngapain beli kayak produk JS yang janjiin imbal hasil
tinggi tapi abal-abal,” jelasnya. [NOTE Penyunting : Pihak lembaga keuangan
semudah ber-gimmick ria, “Kami
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan!”, dan masyarakat pun menjadi lengah
kewaspadaannya seketika itu juga.]
Sementara itu, dalam keterangan
tertulis, OJK mengklaim telah menjalankan fungsi pengawasan terhadap
Jiwasraya.
"OJK melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap Jiwasraya sejak peralihan fungsi pengawasan dari BAPEPAM-LK
pada Januari 2013," ucap Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot dalam
keterangannya.
“OJK juga mengingatkan kepada
direksi Jiwasraya dengan pemanfaatan teknologi, Jiwasraya juga harus
berkoordinasi dan melaporkan ke OJK, serta pemegang saham,” jelas Sekar.
Terlihat jelas sebagaimana
uraian di atas, selama ini “pengawasan” Otoritas Jasa Keuangan bersifat “pasif”,
alias “pengawasan pasif”, mengingat sifatnya pasif menunggu laporan untuk
dievaluasi, bukan secara aktif menghimpun data dan “mengawasi” dalam pengertian
harfiah secara efektif “real time”
dan secara “de facto” (senyatanya)
terhadap seluruh operasional—tidak terkecuali “dapur” dan sistem komputerisasi—pihak
lembaga-lembaga yang diawasi. Faktanya, otoritas tidak pernah mengawasi sampai
sejauh itu, namun perihal “otoritas mengawasi kami” selalu menjadi gimmick lembaga keuangan maupun
pembiayaan untuk mengecoh dan memanipulasi calon pengguna jasa.
Salah satu contohnya ialah
produk perbankan semacam “KPR” (Kredit Pemilikan Rumah” yang mana jumlah masyarakat
yang menjadi pengguna jasa mencapai puluhan ribu nasabah tiap tahunnya, namun
selama puluhan tahun praktik KPR oleh berbagai perbankan di Tanah Air, tiada
satupun sentuhan perhatian oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana
salah satu “jeritan” rakyat dapat kita
jumpai kutipannya dalam https:// id. quora .com /Apakah-Anda-menyesal-telah-mengambil-KPR,
diakses pada tanggal 29 Maret 2022:
Ya… jujur saya sangat
menyesalinya. Karena kurang ilmu, jadi terkena jebakan KPR. Ya KPR saya bilang
jebakan, karena itu pedang bermata dua.
Kalo dari sudut pandang
marketing itu memang indah, tapi realita di lapangan sangatlah berbeda. Sangat
dinamis. Realita hidup memang tak seindah apa yang kita rencanakan atau yang di
rencanakan marketing KPR. Pendapatan itu tidak pasti, tapi angsuran KPR pasti.
Dilunasi di tengah-tengah jangka waktu ternyata pokok
kreditnya masih banyak, ternyata yang terbayar duluan bunganya, bukan pokok
kreditnya. Karena malas sama collector
nya akhirnya berencana di bayar lunas, eh di bayar lunas pun masih kena pinalty.
Ga di bayar, jaminan dilelang dengan harga sangat rendah dari harga beli.
Wkwkwk… ibarat timbangan sangat jomplang sekali.
===========
Yang pertama sesudah menikah,
saya mengambil rumah KPR 15th, harga 140jt di tahun 2003, angsuran per bulan
sekitar 900rb. Di bank swasta terbesar.. saat ada rejeki pelan pelan di kurangi
nilai angsuran dan jangka waktu, dan syukurlah lunas sebelum waktunya. Bank
tersebut sangat kooperatif dan membantu nasabah ketika ingin pelunasan sebagian
(top up) sehingga lebih cepat kami jalani
Karena kebutuhan ruang dan anak
anak tidak mungkin sekamar berdua terus maka kami membeli rumah baru, seharga
1,4M dan oleh bank "dibeli" lalu dijual kembali ke kami seharga 2.9M
dan di cicil 15 th. Itu adalah konsep KPR bank syariah.
belakangan ternyata niat kami
untuk melakukan hal yang sama, pelunasan sebagian misalnya tidak semudah di
bank swasta biasa.. prosesnya ribet dan diskon atau pengurangan angsuran sangat
kecil, alasannya margin sudah dipatok oleh bank sejak awal, tidak bs berkurang
banyak.. bayangkan katanya syariah konsepnya tp kalo kita mau bayar lebih awal
malah ribet dan susah turun nilainya.
Keluhan senada pun dapat kita
jumpai salah satunya suara konsumen yang dituangkan dalam https:// id. quora .com/Adakah-yang-pernah-mengambil-KPR-selama-20-25-tahun-dan-sudah-lunas-Bagaimana-pengalamanmu-mencicil-selama-itu,
diakses pada tangga 29 Maret 2022, dengan kutipan sebagai berikut:
Saya mengambil KPR Griya BNI
dengan tenor 20 tahun. Plafond pinjaman saya 190 juta dan sudah berjalan kurang
lebih 5 tahun.
Saat ini saya akan melunasi pinjaman tersebut, tetapi
sungguh sangat menyakitkan karena total cicilan saya sebesar 127 jt hanya
diakui sebagai angsuran pokok sebesar 17 juta saja.
Artinya saya terkena bunga
sebesar 110 juta belum lagi ditambah biaya adm diawal sebesar 12 jt dan denda
pelunasan yang juga lumayan 0.5% dari sisa pinjaman (sekitar 5 juta). Artinya
secara total 5 tahun saya hanya membayar bunganya saja.
Saya sungguh menyesal telah
mengambil pinjaman dari KPR BNI tersebut dan memastikan seluruh keluarga dan
saudara saya tidak mengambil KPR BNI Griya. Saya dalam situasi tidak begitu
paham ketika tanda tangan akad kredit, dimana waktu itu sales KPR tidak
memberi keterangan yang jelas tentang pinjaman saya.
Tidak ada uraian berupa tabel
angsuran perbulan. Karena pinjaman harus cair segera saya hanya menanda-tangani
perjanjian kredit yang berhalaman-halaman tanpa sempat saya baca dan pahami
dengan baik. Hal ini adalah kesalahan saya yang fatal. Seharusnya saya
menunda penanda-tanganan dan meminta waktu untuk mempelajari akad tersebut.
Tapi nasi sudah jadi bubur semoga lain kali saya lebih hati-hati.
Seharusnya pemerintah selaku
regulator, menerbitkan peraturan bagi seluruh perbankan yang beroperasi di
Indonesia, terutama jika nasabah debitor peminjam kredit dipaksa (tanpa ada
pilihan lain) memakai skema KPR dengan “sistem bunga anuitas” (separuh dari
total jangka / masa waktu kredit, cicilan bulanan nasabah debitor HANYA dialokasikan
untuk melunasi total bunga kredit dari awal hingga akhir masa kredit. Semisal
masa waktu kredit ialah 10 tahun, antara tahun 2020 hingga 2030, maka dari sejak
tahun 2020 hingga tahun 2025 (lima tahun pertama) cicilan bulanan nasabah
debitor dialokasikan untuk membayar bunga 10 tahun masa kredit, sekalipun tempo
waktu kredit yang dinikmati debitor belum genap 10 tahun, semisal pada tahun
ke-5 telah terjadi pelunasan ataupun kredit macet dan agunan dilelang eksekusi,
sehingga tindakan seperti pelunasan lebih cepat ataupun kredit macet sejatinya
hanya menguntungkan pihak perbankan karena sekalipun belum genap 10 tahun pihak
bank tetap memakan bunga 10 tahun dari agunan yang dilelang maupun dari cicilan
bulanan debitornya).
Abainya pihak otoritas,
ditandai oleh tiadanya regulasi yang mewajibkan pihak lembaga keuangan
perbankan untuk patuh pada aturan bilamana kredit disalurkan ke masyarakat dengan
menggunakan skema “sistem bunga anuitas”, ternyata dipertengahan masa kredit
mengalami “macet” ataupun dilunasi secara lebih cepat, maka “sistem bunga” dikoreksi
dari semula “anuitas” menjadi sistem bunga “efektif menurun”—dimana cicilan
bulanan oleh pihak debitor menjadi faktor pengurang beban total pokok hutang
tersisa sebagai “outstanding hutang”.
Begitupula dengan absennya pengaturan perihal alokasi dana cicilan bulanan
debitor akan digunakan untuk melunasi sekian persen dari pokok hutang dan
sekian persennya untuk beban bunga hutang, sehingga selama ini praktik
perbankan di Tanah Air menyerupai “predator” yang memangsa masyarakat selaku
pengguna jasa.
Tidak sedikit diantara kalangan
lembaga keuangan maupun pembiayaan di Indonesia, membuat jebakan dan perangkap
dengan membuat citra seolah tampak bersih, berbusana putih elegan, kerah putih,
manis tutur katanya semanis madu, santun, humanis, ramah, bersahabat, penuh
perhatian, komunikatif, namun ternyata niat utamanya ialah untuk memakan dan
memangsa masyarakat yang masuk perangkap dan menjadi debitor ataupun konsumen
pengguna jasa mereka.
Salah satunya yang seringkali penulis
jumpai dalam praktik di lapangan ialah modus manipulasi verbal, yang
menyalahgunakan gimmick bernada
semacam : “Kami diawasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan, sehingga Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir ataupun takut. Cukup
berbaik sangka dan positive thinking saja kepada kami, tidak akan ada masalah.”
Menyesal, selalu datang terlambat. Sebagai calon pengguna jasa, sadarilah bahwa
kita selalu memiliki pilihan bebas, daya tawar, serta opsi lain untuk dipilih,
salah satunya ialah untuk berkata “Tidak” ataupun ke-tidak-setuju-an lainnya. Cukup
kita belajar dari pengalaman yang sudah ada, sebagaimana pengalaman-pengalaman masyarakat
lain yang telah pernah menjadi “korban”, dan menaruh kewaspadaan agar tidak jatuh
pada “lubang perangkap” maupun “umpan” yang sama.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.