Diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), GIMMICK yang Mengecoh dan Menjebak Masyarakat

LEGAL OPINION

Otoritas Jasa Keuangan Mengawasi Lembaga Keuangan dan Pembiayaan? Itu kata Undang-Undang, Iming-Iming yang Meninabobokan, Tidak Mendidik, dan Menjebak Masyarakat

Otoritas Mengawasi, namun Sejauh apa dan Seberapa Efektif? Itu Masalahnya

Question: Apa yang perlu dan paling harus kami waspadai sebagai calon pengguna jasa, saat akan menghadap marketing pihak bank ataupun asuransi di kantor cabang mereka?

Brief Answer: Ketika pihak lembaga keuangan perbankan, lembaga keuangan non perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan, tidak terkecuali para manajer investasi, mengobral dan mengumbar bahwa mereka “diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, semata agar calon konsumen / nasabah tergerak hatinya untuk percaya, tertarik, dan lemah kewaspadaannya, maka kian banyak masyarakat kita yang jatuh sebagai korban modus-modus usaha tidak etis kalangan pelaku usaha penyedia jasa keuangan maupun pembiayaan di Indonesia.

Apa jadinya, bila Anda berpraduga positif tanpa menaruh kecurigaan apapun, lantas termakan dan memakan begitu saja umpan yang dilemparkan pihak pemasaran produk perbankan, semisal “Yang penting punya rumah dulu dengan KPR bank kami, harga rumah selalu naik melampaui inflasi tahunan!”, tanpa mengetahui bahwasannya bank bebas sesukanya membuat aturan main dimana lembaga pemerintah yang semestinya mengawasi ternyata hanya sekadar “evaluator yang menunggu laporan” dan pasif saja sifatnya—dimana juga tiada lembaga keuangan yang begitu naif-nya hendak memberikan laporan yang membuka aib dan praktik “gelap” mereka sendiri, dan disaat bersamaan otoritas yang justru bersikap naif dengan berasumsi bahwasannya setiap lembaga keuangan ataupun pembiayaan memberikan laporan yang akuntabel dan transparan atas kegiatan mereka beroperasi di republik ini.

Kalimat semacam “Kami, bank / asuransi, diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, lebih sering menjadi gimmick serta “kalimat hipnotis penuh manipulasi” yang disalah-gunakan oleh kalangan penyedia jasa keuangan maupun pembiayaan dalam rangka “memangsa” calon korban yang hendak menjadi nasabah / konsumen pengguna jasa, ataupun dalam rangka “membungkam” calon pengguna jasa yang cukup kritis menuntut hak-haknya secara akuntabel dan transparan, ruang berkelit bagi pelaku usaha jasa keuangan perbankan maupun non-perbankan tidak terkecuali lembaga pembiayaan yang tidak jujur.

Cobalah perhatikan kasus Jiwasraya selaku lembaga keuangan nonperbankan yang telah merugikan dan memakan korban ribuan nasabah konsumennya dengan nilai kerugian masyarakat yang mencapai triliunan rupiah, berpraktik selama bertahun-tahun menjaring “calon korban” lewat iming-iming bunga tinggi, menjual produk jasanya di berbagai kantor perbankan nasional “plat merah”, dimanakah lembaga pengawas semacam Otoritas Jasa Keuangan yang secara “de jure” sebagai lembaga yang paling otoritatif dan paling berwenang mengawasi lembaga keuangan nonperbankan yang mengorupsi dana-dana para nasabahnya secara masif dan berjemaah?

Terlebih, yang melapor telah dirugikan ialah hanya Anda seorang diri, sementara itu lembaga keuangan telah menjelma raksasa “Goliat”, tentulah Anda akan dipandang remeh serta sebelah mata (disepelekan) oleh pihak otoritas yang “sok sibuk”. Toh, sejatinya masyarakat yang menjadi korban modus kejahatan perbankan, sebagai contoh, semestinya tidak perlu melapor kepada otoritas agar perbankan yang “nakal” ditindak sebagaimana mestinya, bila memang otoritas betul-betul mengawasi praktik berbagai lembaga keuangan perbankan di Tanah Air. Faktanya, otoritas lebih kerap abai dan lalai menjalankan fungsi pengawasan disamping kewenangannya.

Secara “de jure” peraturan perundang-undangan, betul bahwa Otoritas Jasa Keuangan “mengawasi” lembaga-lembaga tersebut, namun tidak secara efektif bila konteksnya ialah secara “de facto”. Terbukti dari pengakuan salah seorang pejabat pada lembaga “pengawas” dimaksud, yang dalam diskusi “empat mata” menyatakan pada penulis bahwasannya “mereka” tidak mengawasi sampai sejauh itu, lebih kepada formalitas semata dan di-“kulit”-nya saja. Disamping fakta bahwa sumber daya manusia “mereka” yang terbatas, tidak berbanding lurus dengan luas dan melebar serta multifasetnya berbagai hal yang harus mereka awasi, disamping kalah cerdasnya mereka dibanding “licinnya” modus operandi lembaga-lembaga yang mereka awasi—mulai dari ribuan kantor cabang perbankan, ribuan kantor cabang perusahaan asuransi, ribuan kantor cabang lembaga pembiayaan, transaksi yang rumit dan dinamis di pasar modal, aktivitas manajer investasi, belum lagi puluhan hingga ratusan ribu karyawan mereka, jutaan transaksi yang terjadi setiap harinya, dan segala urusan lainnya terkait jasa keuangan di republik berpenduduk ratusan juta jiwa ini maupun kompleksitas lainnya.

Berbagai kasus penarikan secara paksa dan tidak patut oleh “debt collector” terhadap objek pembiayaan maupun objek kredit kendaraan bermotor, bermuara pada uji materiil oleh nasabah debitor ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI, merupakan imbas tumpulnya kinerja Otoritas Jasa Keuangan kita selama ini, sehingga konsumen atau pengguna jasa ataupun nasabah penabung tidak terkecuali nasabah debitor tidak benar-benar terlindungi oleh pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, yang memang tidak pernah dan tidak sanggup mengawasi secara efektif dalam praktik di lapangan “de facto”.

PEMBAHASAN:

Istilah atau penyebutan “diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, lebih banyak menghadirkan “moral hazard”, mengingat lebih kerap disalah-gunakan oleh pihak pengusaha / korporasi penyedia jasa, dan menjadi daya tekan secara mental-sosiologis maupun secara politis terhadap pihak calon pengguna jasa ataupun konsumen yang mengedurkan kewaspadaan juga daya kritisnya seolah-olah telah benar-benar dilindungi dan terlindungi oleh negara yang hadir lewat pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (secara tidak kasat mata?). Mengapa disebut sebagai “gimmick” belaka? Semata karena alasan logis sebagai berikut:

- semua lembaga keuangan dan pembiayaan mengaku dan melaporkan telah berusaha dan berkegiatan sebagai “anak baik” kepada otoritas, namun tidak pernah menyampaikan secara transparan maupun akuntabel (menyembunyikan) segala kegiatan “gelap” mereka pada “ruang temaram” di kantor mereka;

- mengorbankan satu atau segelintir konsumen / pengguna jasa, ibarat nila setitik atau sebutir debu kecil bila dibandingkan dengan korporasi lembaga keuangan ataupun pembiayaan yang telah menjelma raksasa, sehingga menyerupai psikologi “too big to fall” dan “just focus on the BIG PICTURE”. Tanyakanlah kepada diri Anda sendiri selaku konsumen / pengguna jasa, bila hanya Anda seorang diri yang melapor telah dirugikan praktik perbankan, maka apakah secara politis pihak otoritas berani dan memiliki “nyali” untuk mencabut izin usaha raksasa korporasi lengkap dengan ribuan karyawannya yang akan terkena pemutusan hubungan kerja?;

- tidak ada pelaku usaha yang dengan sukarela membuka rahasia usaha dan “dapur”-nya termasuk praktik gelap dan terselubung milik mereka;

- otoritas tidak benar-benar secara efektif mengawasi sejauh, seluas, maupun sedalam asumsi orang kebanyakan;

- otoritas tidak dapat menjangkau modus, mengingat sifat pengawasannya ialah dari jarak jauh, terbatas, dan formalitas saja, terlebih saat kini layanan perbankan maupun lembaga keuangan lainnya telah memasuki era digital yang sangat kompleks dan tertutup sistem komputerisasinya dari pihak eksternal termasuk bagi pihak otoritas;

- otoritas mengandalkan itikad baik para pelaku usaha yang diawasi oleh otoritas (aneh bin ajaib) seperti pasokan data dan laporan kegiatan usaha secara jujur dan “apa adanya” (harapan yang naif sekaligus berlebihan);

- frasa “mengawasi” berdiri diatas asumsi rapuh berupa pengandaian, pengandaian bahwa otoritas benar-benar mengawasi, tidak lalai, tidak abai, dan secara “real time” mengawasi 24 dalam sehari dan 365 hari dalam setahun, baik di dalam maupun di luar “ruang temaram” kantor milik yang diawasi. Cobalah Anda tanya balik pihak tenaga pemasaran perbankan dimaksud, apakah saat itu juga disamping Anda, terdapat orang dari pihak otoritas yang berdiri memantau dan mengawasi secara langsung menyimak setiap ucapan dan mengamati perbuatan kedua belah pihak antara pengguna dan penyedia jasa keuangan?

- mengawasi namun bila minim kewenangan untuk menindak?

- yang diawasi lebih menakutkan daripada yang mengawasi, mengingat berbagai lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan merupakan korporasi raksasa dengan kapitalisasi besar milik para “orang besar” yang kerap tidak tersentuh oleh hukum, memiliki kekuasaan politis, serta daya tawar yang tinggi semisal mempekerjakan ribuan karyawan yang mana bila usaha dibekukan izin usaha atau bahkan dibubarkan hanya karena laporan satu orang konsumen yang dikecewakan akan berakibat pada terjadinya pemutusan hubungan kerja massal, dimana pemerintah selama ini cenderung gagal mengatur dan mengawasi komoditas kebutuhan pokok seperti pangan, maka terlebih mengawasi dan mengatur korporasi besar bermodal raksasa?

- apakah pada saat itu juga ada dan hadir otoritas secara nyata dan konkret di setiap dan masing-masing kantor cabang pelaku usaha dan turut mendampingi serta mengawasi segala bentuk komunikasi maupun perbuatan hukum maupun non-hukum pihak penyedia jasa terhadap setiap masyarakat calon pengguna jasa yang menghadap atau mengunjungi ribuan kantor cabang pelaku usaha, dalam maupun diluar jam dan hari kerja?

- sebanyak apa dan apakah jumlah karyawan otoritas memadai untuk mengawasi sebegitu luas dan masifnya objek dan subjek yang harus mereka awasi?

- praktik yang selama ini terjadi, otoritas selaku pengawas bukan “mengawasi”, namun sifatnya ialah evaluasi laporan pihak yang “diawasi” dimana sikap pasif pihak otoritas hanya lebih banyak mengandalkan suplai dan laporan maupun data-data dari pihak yang “diawasi”. Tentu, tiada lembaga keuangan maupun pembiayaan yang secara senang hati membuka “borok”-nya sendiri untuk diberi sanksi oleh pihak otoritas.

Yang menjadi kendala utama di republik yang pengaturan norma hukumnya telah menjelma “hutan rimba belantara hukum” ini, bukan soal tiadanya pengaturan, namun absen serta nihilnya ketegasan menegakkan aturan hukum yang telah ada, serta tidak “pandang bulu”. Komitmen, profesionalisme, tanggung-jawab sebagai aparatur negara, kesadaran memegang kekuasaan monopolistik dimana masyarakat pelapor mengandalkan peran sentral dan kesigapan maupun sikap proaktif aparatur dan lembaganya, keberanian untuk menindak, dan akuntabilitas disamping trasnparansi laporan kinerja lembaga pengawas kepada publik, menjadi barometer utamanya. Ketika masih banyak diantara masyarakat kita yang menjadi korban dari praktik “gelap” beragam lembaga keuangan maupun pembiayaan, menandakan ada yang keliru dan betapa “impoten”-nya lembaga pengawas kita yang menjadi otoritas pengawas.

Sebuah pemberitaan menurunkan tajuk dengan judul “Lemahnya Pengawasan OJK Jadi Biang Kasus Jiwasraya”, sebagaimana dikutip dari https:// keuangan. Kontan .co.id /news/indef-lemahnya-pengawasan-ojk-jadi-biang-kasus-jiwasraya, reporter: Yudho Winarto, Editor: Yudho Winarto, diakses pada tanggal 02 April 2022, dimana telah ternyata pihak otoritas yang diberi kewenangan mengawasi oleh undang-undang telah ternyata lebih banyak lalai dan abai, dengan kutipan sebagai berikut:

Persoalan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang kian membengkak dari Rp 802 miliar pada Oktober 2018 menjadi Rp 12,4 triliun pada akhir 2019, dinilai disebabkan oleh salah satu faktor, yakni ‘kecolongan’ pengawasan.

Itu artinya, sistem pengawasan yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perusahaan asuransi Jiwasraya bisa dikatakan bobrok. Pasalnya Jiwasraya, gagal bayar Rp 12,4 triliun polis asuransi JS Saving Plan periode Oktober-Desember 2019, milik nasabah dalam dan luar negeri.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebutkan, pengawasan berlapis oleh berbagai lembaga pengawas seperti OJK, harusnya bisa mencegah kasus gagal bayar ini terjadi.

“Namun faktanya tetap saja lolos dari pengawasan,” kata Eko dalam keterangannya, akhir pekan lalu.

Beberapa faktor mendukung kelengahan OJK, antara lain kelalaian dalam melihat indikasi persoalan di Jiwasraya, padahal OJK memiliki kewenangan super untuk mengawasi lembaga keuangan.

Juga, boleh jadi karena jangkauan aturan atau Undang-undang, yang tidak mampu mendeteksi persoalan awal Jiwasraya.

“Bisa juga ada faktor tata kelola pengawasan yang berantakan, maupun kesengajaan / pembiaran,” kata Eko.

Menurut dia, tidak mungkin bila Jiwasraya tidak ada persolan sampai-sampai ada persoalan gagal bayar. Terutama, dalam hal pengawasan yang tidak dijalankan dengan optimal.

Meski tidak bisa ditumpukan semua ke OJK, namun setiap rantai pengawasan harus bertanggung jawab, mulai dari pengawasan internalnya, hingga lembaga auditnya.

“Termasuk kelemahan-kelemahan pengawasan yang selama ini dilakukan oleh berbagai entitas / lembaga pengawas tersebut, termasuk OJK," katanya.

Pemberitaan serupa dapat dijumpai dalam berita yang mempertanyakan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap kasus yang merugikan banyak masyarakat selaku nasabah, sebagaimana dilansir CNN Indonesia dalam https:// www. cnnindonesia .com /ekonomi/20191223150654-78-459397/pengamat-pertanyakan-pengawasan-ojk-terhadap-jiwasraya, Adhi Wicaksono, 23 Dec 2019, diakses pada tanggal 02 April 2022, dengan kutipan sebagai berikut:

Pengamat asuransi mempertanyakan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap PT Asuransi Jiwasraya. Apalagi, persoalan keuangan yang mendera perusahaan asuransi pelat merah itu telah terjadi bertahun-tahun.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya. Hal itu diduga menjadi biang kerok defisit anggaran perusahaan.

Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan beberapa waktu lalu, perusahaan menempatkan 22,4 persen saham sebesar Rp5,7 triliun dari aset finansial. Sebanyak 95 persen dari Rp5,7 triliun itu ditempatkan pada perusahaan dengan kinerja buruk. Sisanya pada perusahaan dengan kinerja baik.

Kemudian juga ditemukan penempatan 59,1 persen reksa dana senilai Rp14,9 triliun dari aset finansial. Sebanyak 98 persen dari Rp14,9 T itu dikelola manager investasi berkinerja buruk dan sisanya berkinerja baik.

Pada Oktober 2018 lalu, perseroan meminta penundaan pembayaran klaim polis jatuh tempo produk asuransi tabungan berencana (saving plan) sebesar Rp802 miliar akibat tekanan likuiditas. Tak hanya gagal membayar klaim sejumlah nasabah yang jatuh tempo, Kejagung juga menyebut perseroan berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun per Agustus 2019.

Pengamat Asuransi Herris Simanjuntak menilai apabila pengawasan berjalan dengan benar, persoalan Jiwasraya seharusnya tidak bercokol selama bertahun-tahun.

Selain pihak internal, pengawasan juga dilakukan oleh pihak eksternal. Dalam hal ini, auditor eksternal dan unit pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Regulator ada di unit pengawasan, mestinya lapisan kelima, ini yang kami pertanyakan oleh publik. Harusnya dengan struktur yang sudah sedemikian rupa pengawasannya, kenapa bisa sampai terus bermasalah,” ujar Herris kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/12) lalu.

Mengutip pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir, keuangan Jiwasraya bermasalah sejak 2006. Seharusnya, sambung Herris, begitu kerugian terdeteksi seluruh lapis pengawasan, termasuk OJK, langsung membantu mencari jalan keluar.

“(Persoalan) itu harusnya tidak bertahun-tahun. Setelah beberapa waktu, tahunan, itu harusnya ada identifikasi, analisis, ada mitigasi,” jelasnya.

Setelah borok kinerja Jiwasraya terkuak [NOTE Penyunting : Itu pun sudah terlambat, akibat minim atau abainya pengawasan oleh pihak otoritas sehingga masalah telah menjelma akut], Herris berharap pemerintah dan seluruh pihak terkait mencari solusinya.

Senada, pengamat asuransi Hotbonar Sinaga juga menilai persoalan Jiwasraya seharusnya tidak akan separah sekarang apabila OJK mengawasi dengan lebih ketat.

“Istilahnya, OJK harus lebih cerewet, banyak tanya ini itu sehingga tercipta controlling condition,” ujarnya.

Hotbonar menduga pengawasan OJK berhenti di level penyerahan laporan. Padahal, otoritas harus benar-benar mendalami laporan yang diserahkan oleh pelaku industri, tidak hanya di permukaan.

Hotbonar juga mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan imbal hasil tinggi yang ditawarkan produk saving plan.

“Investasi ya beli reksa dana atau beli unit link. Ngapain beli kayak produk JS yang janjiin imbal hasil tinggi tapi abal-abal,” jelasnya. [NOTE Penyunting : Pihak lembaga keuangan semudah ber-gimmick ria, “Kami diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan!”, dan masyarakat pun menjadi lengah kewaspadaannya seketika itu juga.]

Sementara itu, dalam keterangan tertulis, OJK mengklaim telah menjalankan fungsi pengawasan terhadap Jiwasraya.

"OJK melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Jiwasraya sejak peralihan fungsi pengawasan dari BAPEPAM-LK pada Januari 2013," ucap Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot dalam keterangannya.

“OJK juga mengingatkan kepada direksi Jiwasraya dengan pemanfaatan teknologi, Jiwasraya juga harus berkoordinasi dan melaporkan ke OJK, serta pemegang saham,” jelas Sekar.

Terlihat jelas sebagaimana uraian di atas, selama ini “pengawasan” Otoritas Jasa Keuangan bersifat “pasif”, alias “pengawasan pasif”, mengingat sifatnya pasif menunggu laporan untuk dievaluasi, bukan secara aktif menghimpun data dan “mengawasi” dalam pengertian harfiah secara efektif “real time” dan secara “de facto” (senyatanya) terhadap seluruh operasional—tidak terkecuali “dapur” dan sistem komputerisasi—pihak lembaga-lembaga yang diawasi. Faktanya, otoritas tidak pernah mengawasi sampai sejauh itu, namun perihal “otoritas mengawasi kami” selalu menjadi gimmick lembaga keuangan maupun pembiayaan untuk mengecoh dan memanipulasi calon pengguna jasa.

Salah satu contohnya ialah produk perbankan semacam “KPR” (Kredit Pemilikan Rumah” yang mana jumlah masyarakat yang menjadi pengguna jasa mencapai puluhan ribu nasabah tiap tahunnya, namun selama puluhan tahun praktik KPR oleh berbagai perbankan di Tanah Air, tiada satupun sentuhan perhatian oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana salah  satu “jeritan” rakyat dapat kita jumpai kutipannya dalam https:// id. quora .com /Apakah-Anda-menyesal-telah-mengambil-KPR, diakses pada tanggal 29 Maret 2022:

Ya… jujur saya sangat menyesalinya. Karena kurang ilmu, jadi terkena jebakan KPR. Ya KPR saya bilang jebakan, karena itu pedang bermata dua.

Kalo dari sudut pandang marketing itu memang indah, tapi realita di lapangan sangatlah berbeda. Sangat dinamis. Realita hidup memang tak seindah apa yang kita rencanakan atau yang di rencanakan marketing KPR. Pendapatan itu tidak pasti, tapi angsuran KPR pasti.

Dilunasi di tengah-tengah jangka waktu ternyata pokok kreditnya masih banyak, ternyata yang terbayar duluan bunganya, bukan pokok kreditnya. Karena malas sama collector nya akhirnya berencana di bayar lunas, eh di bayar lunas pun masih kena pinalty. Ga di bayar, jaminan dilelang dengan harga sangat rendah dari harga beli. Wkwkwk… ibarat timbangan sangat jomplang sekali.

===========

Yang pertama sesudah menikah, saya mengambil rumah KPR 15th, harga 140jt di tahun 2003, angsuran per bulan sekitar 900rb. Di bank swasta terbesar.. saat ada rejeki pelan pelan di kurangi nilai angsuran dan jangka waktu, dan syukurlah lunas sebelum waktunya. Bank tersebut sangat kooperatif dan membantu nasabah ketika ingin pelunasan sebagian (top up) sehingga lebih cepat kami jalani

Karena kebutuhan ruang dan anak anak tidak mungkin sekamar berdua terus maka kami membeli rumah baru, seharga 1,4M dan oleh bank "dibeli" lalu dijual kembali ke kami seharga 2.9M dan di cicil 15 th. Itu adalah konsep KPR bank syariah.

belakangan ternyata niat kami untuk melakukan hal yang sama, pelunasan sebagian misalnya tidak semudah di bank swasta biasa.. prosesnya ribet dan diskon atau pengurangan angsuran sangat kecil, alasannya margin sudah dipatok oleh bank sejak awal, tidak bs berkurang banyak.. bayangkan katanya syariah konsepnya tp kalo kita mau bayar lebih awal malah ribet dan susah turun nilainya.

Keluhan senada pun dapat kita jumpai salah satunya suara konsumen yang dituangkan dalam https:// id. quora .com/Adakah-yang-pernah-mengambil-KPR-selama-20-25-tahun-dan-sudah-lunas-Bagaimana-pengalamanmu-mencicil-selama-itu, diakses pada tangga 29 Maret 2022, dengan kutipan sebagai berikut:

Saya mengambil KPR Griya BNI dengan tenor 20 tahun. Plafond pinjaman saya 190 juta dan sudah berjalan kurang lebih 5 tahun.

Saat ini saya akan melunasi pinjaman tersebut, tetapi sungguh sangat menyakitkan karena total cicilan saya sebesar 127 jt hanya diakui sebagai angsuran pokok sebesar 17 juta saja.

Artinya saya terkena bunga sebesar 110 juta belum lagi ditambah biaya adm diawal sebesar 12 jt dan denda pelunasan yang juga lumayan 0.5% dari sisa pinjaman (sekitar 5 juta). Artinya secara total 5 tahun saya hanya membayar bunganya saja.

Saya sungguh menyesal telah mengambil pinjaman dari KPR BNI tersebut dan memastikan seluruh keluarga dan saudara saya tidak mengambil KPR BNI Griya. Saya dalam situasi tidak begitu paham ketika tanda tangan akad kredit, dimana waktu itu sales KPR tidak memberi keterangan yang jelas tentang pinjaman saya.

Tidak ada uraian berupa tabel angsuran perbulan. Karena pinjaman harus cair segera saya hanya menanda-tangani perjanjian kredit yang berhalaman-halaman tanpa sempat saya baca dan pahami dengan baik. Hal ini adalah kesalahan saya yang fatal. Seharusnya saya menunda penanda-tanganan dan meminta waktu untuk mempelajari akad tersebut. Tapi nasi sudah jadi bubur semoga lain kali saya lebih hati-hati.

Seharusnya pemerintah selaku regulator, menerbitkan peraturan bagi seluruh perbankan yang beroperasi di Indonesia, terutama jika nasabah debitor peminjam kredit dipaksa (tanpa ada pilihan lain) memakai skema KPR dengan “sistem bunga anuitas” (separuh dari total jangka / masa waktu kredit, cicilan bulanan nasabah debitor HANYA dialokasikan untuk melunasi total bunga kredit dari awal hingga akhir masa kredit. Semisal masa waktu kredit ialah 10 tahun, antara tahun 2020 hingga 2030, maka dari sejak tahun 2020 hingga tahun 2025 (lima tahun pertama) cicilan bulanan nasabah debitor dialokasikan untuk membayar bunga 10 tahun masa kredit, sekalipun tempo waktu kredit yang dinikmati debitor belum genap 10 tahun, semisal pada tahun ke-5 telah terjadi pelunasan ataupun kredit macet dan agunan dilelang eksekusi, sehingga tindakan seperti pelunasan lebih cepat ataupun kredit macet sejatinya hanya menguntungkan pihak perbankan karena sekalipun belum genap 10 tahun pihak bank tetap memakan bunga 10 tahun dari agunan yang dilelang maupun dari cicilan bulanan debitornya).

Abainya pihak otoritas, ditandai oleh tiadanya regulasi yang mewajibkan pihak lembaga keuangan perbankan untuk patuh pada aturan bilamana kredit disalurkan ke masyarakat dengan menggunakan skema “sistem bunga anuitas”, ternyata dipertengahan masa kredit mengalami “macet” ataupun dilunasi secara lebih cepat, maka “sistem bunga” dikoreksi dari semula “anuitas” menjadi sistem bunga “efektif menurun”—dimana cicilan bulanan oleh pihak debitor menjadi faktor pengurang beban total pokok hutang tersisa sebagai “outstanding hutang”. Begitupula dengan absennya pengaturan perihal alokasi dana cicilan bulanan debitor akan digunakan untuk melunasi sekian persen dari pokok hutang dan sekian persennya untuk beban bunga hutang, sehingga selama ini praktik perbankan di Tanah Air menyerupai “predator” yang memangsa masyarakat selaku pengguna jasa.

Tidak sedikit diantara kalangan lembaga keuangan maupun pembiayaan di Indonesia, membuat jebakan dan perangkap dengan membuat citra seolah tampak bersih, berbusana putih elegan, kerah putih, manis tutur katanya semanis madu, santun, humanis, ramah, bersahabat, penuh perhatian, komunikatif, namun ternyata niat utamanya ialah untuk memakan dan memangsa masyarakat yang masuk perangkap dan menjadi debitor ataupun konsumen pengguna jasa mereka.

Salah satunya yang seringkali penulis jumpai dalam praktik di lapangan ialah modus manipulasi verbal, yang menyalahgunakan gimmick bernada semacam : “Kami diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, sehingga Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir ataupun takut. Cukup berbaik sangka dan positive thinking saja kepada kami, tidak akan ada masalah.” Menyesal, selalu datang terlambat. Sebagai calon pengguna jasa, sadarilah bahwa kita selalu memiliki pilihan bebas, daya tawar, serta opsi lain untuk dipilih, salah satunya ialah untuk berkata “Tidak” ataupun ke-tidak-setuju-an lainnya. Cukup kita belajar dari pengalaman yang sudah ada, sebagaimana pengalaman-pengalaman masyarakat lain yang telah pernah menjadi “korban”, dan menaruh kewaspadaan agar tidak jatuh pada “lubang perangkap” maupun “umpan” yang sama.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.