ARTIKEL
HUKUM
Kejahatan yang Berkedok, Mengatasnamakan dan
Membonceng Nama Konstitusi, Kejahatan Konstitusional
Kejahatan terhadap Konstitusi Terbesar Terjadi di Mahkamah Konstitusi Itu Sendiri, menjadikan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai “Pseudo Undang-Undang” yang Tidak Tersentuh Hukum, Tidak Tampak (Hilang Objeknya) namun Berkuasa atas Rakyat dan Publik Umum
Apa yang akan penulis ungkap dalam bahasan ini, adalah “bukti argumentasi” (silahkan bantah, itu pun bila Anda sanggup), bukan sekadar prasangka, tuduhan, dugaan, maupun spekulasi, bahwasannya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) saat memutus uji materiil Undang-Undang tentang Cipta Kerja, telah secara tersistematik melakukan “kejahatan terhadap konstitusi Republik Indonesia”, sehingga adalah sebentuk penghalusan yang tidak etis (pengerdilan isu hukum yang sama sekali tidak sepele, penyepelean) ketika disebutkan bahwa putusan MK RI terkait Undang-Undang Cipta Kerja merupakan kompromi politis alih-alih pembangkangan yuridis terhadap Hukum, Undang-Undang, dan Konstitusi, sekalipun kesembilan hakim MK RI menyebut diri mereka sebagai “the guardian” konstitusi.
Pertama-tama, MK RI seolah-olah
(modus) membuat kesalahan redaksional
(“typo” atau kekeliruan ketik yang terlampau mustahil terjadi secara
tidak disengaja) dalam amar putusan, dengan membuat pernyataan “Menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional
bersyarat bila tidak dimaknai...”—yang bila diterjemahkan dalam bahasa harfiah
lebih umum ialah bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan
konstitusi, namun disertai embel-embel “ada syaratnya” sebagai ekor
kalimat. Pertanyaan sederhana mendasar yang perlu kita kemukakan ialah, mengapa
tidak memilih redaksional “konstitusional bersyarat” alih-alih “inkonstitusional
bersyarat”? Tidaklah mungkin MK RI melakukan “keseleo lidah” untuk perkara
permohonan uji materiil yang disorot dan menyedot perhatian publik luas, dimana
bukan kali pertamanya MK RI membuat amar putusan “konstitusional bersyarat”
dalam perkara uji materiil terhadap Undang-Undang lainnya.
Jika memang Undang-Undang Cipta
Kerja bersifat “inkonstitusional bersyarat” adanya, maka mengapa seolah-olah Undang-Undang
Cipta Kerja masih sah untuk diberlakukan sejak saat MK RI membuat amar putusan,
terbukti dari perintah MK RI kepada pemerintah dan lembaga pembentuk
Undang-Undang untuk memperbaiki tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja
dalam tempo sekian tahun sejak MK RI menjatuhkan putusan “inkonstitusional
bersyarat”—suatu yang tidak niscaya, mengingat Undang-Undang Cipta Kerja telah
terbit dan telah secara efektif diberlakukan kepada publik umum, sehingga
tuntutan demikian menyerupai seorang balita yang sekalipun benar adanya
dilahirkan secara prematur, telah terlahir apapun kondisinya, untuk dimasukkan
kembali ke dalam rahim sang ibu. Pula, tidak ada barometer ataupun parameter
yang jelas dan definitif, seperti apa “perbaikan” tata cara pembentukan yang
konstitusional terhadap Undang-Undang yang diuji-materiil bersangkutan.
Putusan MK RI diatas, adalah
putusan terhadap satu nomor register perkara permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang
Cipta Kerja. Sementara itu, terdapat beragam pemohon lain dengan nomor register
perkara uji materiil yang berbeda dengan objek uji materiil maupun uji formil berupa
Undang-Undang yang sama, namun diputus setelah / paska putusan uji materiil
pemohon yang pertama tersebut di atas. Uniknya, sekaligus menjadi bukti letak
keganjilan dan “bau busuk” MK RI dalam “ber-modus diri”, yakni dengan
mengatas-namakan Undang-Undang Cipta Kerja telah dijatuhi vonis amar putusan
sebagai “inkonstitusional bersyarat” maka permohonan para pemohon
lainnya seketika itu pula dinyatakan tidak dapat diterima karena telah “kehilangan
objek” yang dimohonkan untuk diuji materiil—seolah-olah yang tersisa ialah “kehampaan”
dan “kevakuman” dari sebuah Undang-Undang yang tinggal sejarah.
Jika saja dalam putusan yang
pertama, MK RI menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja adalah “konstitusional
bersyarat”, tentu MK RI tidak lagi dapat berkelit untuk membuat putusan
terhadap berbagai permohonan uji materiil yang diajukan oleh beragam
latar-belakang profesi pemohon uji mteriil terhadap beberapa atau sebagian
norma-norma substansi hukum yang terkandung dalam Undang-Undang Cipta Kerja,
atau mungkin juga terhadap keseluruhan Undang-Undang Cipta Kerja akibat cacat
proses pembentukannya (uji formil).
Penyimpangan (secara) disengaja
MK RI, dengan membuat status hukum “inkonstitusional bersyarat” terhadap
Undang-Undang Cipta Kerja, semata untuk “mementahkan” permohonan para pemohon
uji materiil lainnya atas Undang-Undang yang sama, yang mana bisa jadi
argumentasi yuridis para pemohon lainnya tersebut jauh lebih komprehensif yang
tidak memungkinkan MK RI untuk berkelit dan tidak membuka ruang berkilah sejengkal
pun bagi para hakim MK RI untuk memaksakan diri tetap mempertahankan validitas Undang-Undang
Cipta Kerja yang terang-terangan tidak transparan serta tidak akuntabel dalam
proses pembentukannya.
Kejahatan (terhadap) konstitusi
yang dilakukan oleh kesembilan hakim MK RI, ialah ketika putusan “inkonstitusional
bersyarat” terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ditambahkan embel-embel dalam
amar putusannya sebagaimana yang telah disinggung di muka, yakni “sepanjang
dalam beberapa tahun kedepan pemerintah dan pembentuk Undang-Undang tidak
segera memperbaiki tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja”.
Pemerintah, jelas akan mengklaim telah memperbaikinya, cukup sebuah klaim
sumir, maka dengan sendirinya Undang-Undang Cipta Kerja menjelma “konstitusional
tanpa syarat” sepenuhnya, tidak lagi “inkonstitusional bersyarat”.
Frasa demikian yang dipilih
oleh para hakim MK RI juga diartikan sebagai, sejak saat dijatuhkannya vonis
amar putusan sekalipun, Undang-Undang Cipta Kerja tetap sah dan berlaku untuk
tetap diberlakukan (business as usual),
menunggu hingga pemerintah membuat klaim sepihak telah memperbaiki tata cara
pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja beberapa tahun mendatang (memberi
pemerintah kesempatan untuk “buying time”,
sekaligus membungkam para kritikus dan masyarakat yang dikenal vokal yang
hendak mengajukan uji materiil maupun uji formil terhadap Undang-Undang dimaksud).
Dengan demikian, tidak mungkin
tidak, modus terselubung dibalik “mens
rea” (niat batin, “bau amis” pekat yang tercium) dari para hakim MK RI
ialah untuk membungkam beragam kalangan pengkritik dan para pemohon uji
materiil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja—ingat, dalam putusan-putusan
sesudahnya MK RI menyatakan permohonan tidak dapat diterima semata dengan alasan
objek uji materiil telah “kehilangan objek-nya” (dalam putusan sebelumnya telah
dijatuhi vonis dengan status sebagai “inkonstitusional bersyarat” yang
artinya telah tidak sah dan digugurkan eksistensi maupun keberlakuan Undang-Undang
tersebut, meski “bersyarat”).
Keganjilan paling utama, muncul
tepatnya ketika batas waktu perbaikan tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta
Kerja telah tiba tempo batas waktunya, dimana pemerintah (tentunya) mengklaim
bahwa tata cara pembentukannya telah diperbaiki—sebuah klaim yang cukup secara
sumir, alias formalitas saja dalam rangka menina-bobokan rakyat—lantas seketika
mengundang minat banyak anggota masyarakat luas, akademisi, para stakeholders, dan para praktisi di
lapangan untuk kembali berbondong-bondong dan berlomba-lomba secara berjemaah
kembali mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
Tahukah Anda, apa yang akan
terjadi? Celakanya, akan menjadi “nebis
in idem” (tumpang tindih amar putusan) ketika MK RI dibolehkan untuk
menerima dan mengabulkan uji materiil yang dimohonkan oleh para pemohon
tersebut, mengingat dalam amar putusan sebelumnya Undang-Undang Cipta Kerja
yang dimohonkan uji materiil, telah “kehilangan objek”-nya. Cukup
berkelit semudah itu, dimana bisa jadi Hakim Konstitusinya adalah hakim yang
baru saja menjabat saat itu, maka menjadi ambigus sekalipun absurd ketika objek
uji materiil yang “hilang” (musnah, sirna, nihil akibat dibatalkan sebagai akibat
dari dinyatakan “inkonstitusional (tanpa syarat ataupun dengan syarat)”
telah ternyata dapat “hidup kembali” secara sendirinya tanpa terlebih dahulu
dibentuk dan diterbitkan Undang-Undang yang baru.
Secara teoretis, bila kita dan
para hakim MK RI taat asas jenis-jenis amar putusan yang dalam praktik kekinian
sudah sangat amat menyimpang dari Undang-Undang tentang MK RI itu
sendiri—dengan membuat variasi yang terkesan dipaksakan seperti “konstitusional
bersyarat” dan “inkonstitusional bersyarat”—maka ketika sebuah
Undang-Undang yang dimohonkan uji materiil telah dinyatakan sebagai “inkonstitusional
bersyarat”, sebagai konsekuensi logisnya ialah uji materiil yang diajukan
berikutnya oleh para pemohon selanjutnya, adalah “tidak dapat diterima” permohonan
uji materiilnya, mengingat telah “kehilangan objek” Undang-Undang yang
hendak diuji materiil maupun dimohonkan uji formil.
Namun ketika pemerintah
beberapa tahun kemudian mengklaim telah memperbaiki tata cara pembentukan Undang-Undang
Cipta Kerja, maka apakah perlu penetapan MK RI yang menyatakan sah dan berharga
serta betul adanya telah diperbaiki tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta
Kerja, ataukah cukup secara sumir saja pemerintah diberi hak istimewa untuk
mengklaim sebagai “telah diperbaiki”, sama artinya Undang-Undang Cipta Kerja
telah kembali menjelma sebagai “konstitusional murni (tanpa syarat)”.
Karena Undang-Undang Cipta
Kerja telah kembali menjadi “konstitusional murni”, yang berarti ada atau
eksis objeknya untuk dimohonkan uji materiil oleh setiap Warga Negara
Indonesia, maka sama artinya publik telah dijatuhi “vonis mati” oleh MK RI
bahwasannya MK RI tidak boleh menyimpangi ataupun menganulir amar putusannya
sendiri, yang sebelumnya telah menyatakan “objek permohonan uji materiil yang
dimohonkan oleh para pemohon ialah telah kehilangan objek-nya”. Yang
hendak penulis garis-bawahi ialah pernyataan para Hakim Konstitusi bahwa objek
yang diuji-materiil, yakni Undang-Undang Cipta Kerja, telah hilang, sirna,
serta nihil eksistensi objeknya, sehingga tidak dapat lagi diuji materiil sejak
detik itu pula, karena tidak ada lagi yang dapat diuji materiil dari
Undang-Undang yang telah dinihilkan eksistensinya, kecuali dibentuk dan
diterbitkan Undang-Undang yang baru, maka dari itu untuk selamanya
Undang-Undang bersangkutan tidak dapat lagi diuji-materiil.
Ketika MK RI kelak betul-betul telah
mereformasi dirinya, merasa adanya kemendesakan untuk mengabulkan permohonan
uji materiil beberapa tahun kemudian, tepatnya ketika pemerintah mengklaim
secara sepihak telah memperbaiki tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta
Kerja, maka bagai “buah simalakama”, terutama bila Hakim-Hakim Konstitusinya
merupakan para hakim yang baru saja menjabat sebagai hakim MK RI, mereka semua
tersandera oleh fakta bahwa para hakim MK RI “incumbent” diwarisi sebuah warisan oleh para Hakim Konstitusi yang
menjabat sebelumnya yang telah menyatakan bahwa “Undang-Undang Cipta Kerja
adalah telah hilang, nihil, serta sirna objek ataupun eksistensinya”.
Alhasil, jadilah Undang-Undang
Cipta Kerja menjelma “untouchable”
untuk digugat uji-materiil warga, menjelma “pseudo Undang-Undang” atau
“Undang-Undang siluman”, mengingat eksistensinya dapat dirasakan
keberlakuannya, namun tidak dapat dimohonkan uji materiil mengingat telah
hilang, sirna, dan nihil objek ataupun eksistensinya. Pada saat itulah,
masyarakat luas yang berkepentingan dan akademisi tidak terkecuali para
praktisi kita menyadari, bahwa terkandung bahaya laten dibalik amar putusan MK
RI yang meng-“inkonstitusional bersyarat”-kan Undang-Undang Cipta Kerja,
modus mana dirancang secara sistematik oleh MK RI yang tampaknya satu kubu
dengan pemerintah dalam membuat Undang-Undang Cipta Kerja sebagai
“Undang-Undang siluman” yang tidak tampak secara kasat mata namun eksis adanya
karena dapat kita rasakan keberlakuannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.