SENI PIKIR & TULIS
TANGGUNG-JAWAB dan BERTANGGUNG-JAWAB, adalah dalam
Rangka untuk Kepentingan Utama Siapakah, Pihak Korban ataukah Pelaku Itu Sendiri?
Anda Pikir dapat Mencurangi Kehidupan dan Orang Lain?
Mau Mencurangi HUKUM KARMA?!
Kita mulai bahasan ini dengan salah satu pertanyaan SQ (Spiritual Quotient, Kecerdasan Spiritual) favorit penulis, dimana selengkapnya dapat para pembaca cari dengan menggunakan “kata kunci” di internet “self test SQ”, yakni pertanyaan berikut : Apabila korban yang menderita luka, kerugian, ataupun sakit akibat perbuatan buruk kita, tidak berhasil meminta pertanggung-jawaban dari kita, karena kita berkelit atau “hit and run” (tabrak lari), sang korban takut terhadap keganasan pelakunya, atau karena sang korban bahkan tidak menuntut tanggung-jawab sehingga kita menjadikan itu sebagai “alasan pembenar” untuk berkelit dari kewajiban berupa tanggung-jawab, apakah itu artinya sebentuk keuntungan bagi pelakunya dan kerugian bagi korban, ataukah sebaliknya?
Tanggung-jawab, entah karena
dituntut oleh pihak korban maupun atas inisiatif kesadaran pribadi sang pelaku,
adalah pahit di muka, namun manis di kemudian hari bagi mereka yang masih
memiliki jiwa ksatria (kecuali bagi mereka yang berjiwa “pengecut” ala hit and run). Tanggung-jawab, sangat
serupa dengan pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang ke tepian”. Mengapa, dan atas dasar apa
alasannya? Jawabannya ialah semudah pertanyaan berikut : Mana yang akan Anda
pilih, bila Anda diberi kesempatan untuk memilih, berjumpa dan berjodoh dengan
orang yang penuh tanggung-jawab, ataukah seseorang yang akan “tabrak lari” begitu
mereka melakukan kejahatan (merugikan, menyakiti, ataupun melukai) terhadap
Anda?
Prinsip emas (golden principle) bangsa beradab sudah
sejak lama menyebutkan, perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin
diperlakukan. Bila Anda ingin diperlakukan secara patut dan adil, secara penuh
tanggung-jawab, maka bertanggung-jawablah terhadap orang lain atas perbuatan
diri kita, dan bersikaplah mawas diri sehingga tidak merugikan ataupun melukai
orang lain. Sekalipun selama ini Anda adalah orang jahat yang menu sehari-harinya
ialah berbuat jahat, tidak dapat selamanya Anda berposisi sebagai pelaku
kejahatan. Ada saatnya, cepat atau lambat, Anda yang akan berbalik posisinya
menjadi korban dan dikorbankan oleh pejahat lainnya.
Moralitas serta mentalitas
suatu bangsa, dapat diukur dari sikap mereka dalam menjiwai makna sikap penuh
tanggung-jawab, semisal apakah ucapan dan janji mereka dapat dipegang serta
dapat dipercaya, apakah mereka akan bertanggung-jawab atas perbuatannya yang
telah melukai, merugikan, ataupun menyakiti kita sekalipun tidak kita tuntut
untuk itu, serta apakah mereka menghargai dan menghormati hak-hak maupun
martabat orang lain? Ketika sang korban bahkan tidak sadar dan tidak mengetahui
dirinya telah menjadi korban modus kejahatan, atau tidak mengetahui siapa
pelakunya, akankah Anda tampil untuk menyerahkan diri dan bertanggung-jawab?
Menjadi jelas, hanya mereka yang berjiwa ksatria, yang akan berani menanggung
serta bertanggung-jawab atas konsekuensi perbuatan mereka sendiri, yakni
sebentuk keberanian mental. Tanggung-jawab, butuh keberanian, bukan bagi
seorang pengecut, sebesar dan seseram apapun postur tubuh dan wajah mereka.
Dari semenjak kecil, indera penglihatan
penulis memiliki ketergantungan terhadap alat bantu kacamata. Tidak terhitung
berapa kali jumlah kacamata harus diganti baru dan mengeluarkan biaya tidak
sedikit, akibat dirusak oleh siswa lain, sejak bangku Sekolah Dasar, bahkan kejadian
pengrusakan demikian juga berlanjut saat penulis duduk di bangku Sekolah Menengah,
bahkan juga hingga dewasa oleh sesama orang dewasa, dimana pelakunya dengan
alasan bermain (kecil-kecil sudah bermain “kekerasan fisik” yang melukai dan
merusak, sudah besar tidak akan mengherankan bila mereka akan menjelma mafia
atau semacam gengster), menghantamkan tangan mereka wajah penulis sehingga
mengakibatkan sedikit atau banyaknya frame kacamata tidak lagi dapat dikenakan
atau tidak nyaman untuk dipaksa mengenakan.
Namun, dari sedemikian banyak
kejadian naas yang penulis alami, tiada satupun dari para palakunya yang dengan
sigap bertanggung-jawab, sekalipun para pelakunya mengaku ber-Tuhan, beragama,
serta rajin beribadah tentunya—“agamais”, namun berdosa dan pendosa. Mereka
lebih sibuk berkelit, memikirkan modus “putar balik fakta”, aksi obral sesumbar
akan bertanggung-jawab namun sekadar dan sebatas iming-iming, “maling teriak
maling”, memasang wajah “innocent” seolah-olah
tidak ada sesuatu pun yang telah terjadi oleh perbuatan yang bersangkutan,
bersikap “masak bodoh”, bahkan masih pula dalam keseharian bersikap “sok suci”
bak suciwan yang berbicara perihal agama (makhluk munafik), tidak malu juga
tidak takut akan Karma Buruk yang telah mereka tanam dan akan petik dikemudian
hari. Bahkan, orangtua dari sang pelaku anak, lebih galak ketimbang penulis,
dimana bahkan penulis dilaporkan kepada guru di sekolah sekalipun mereka adalah
pelaku pengrusakan dan penulis adalah korbannya.
Mereka pikir, mereka “menang” dengan
membuat korbannya bungkam tidak berdaya, beku karena ketakutan (pelakunya lebih
galak daripada sang korban), seolah-olah korban tidak berhak menjerit dan harus
diam membisu seribu-bahasa bak seonggok mayat atau sebongkah batu yang terbujur
kaku diperlakukan tidak patut dan tidak adil seperti apapun. Sejak kecil,
bahkan sebelum tumbuh menjadi remaja, penulis telah banyak mencicipi serta mendapati
fakta realita pahit dan getir kehidupan sosial masyarakat kita, betapa tidak
adil dunia orang dewasa maupun dunia sesama kanak-kanak. Dunia dongeng begitu
tampak ideal (yang baik dan benar akan selalu menang dan selamat), namun “selamat
datang pada dunia nyata” (truht always
bitter).
Ketika beranjak lebih dewasa,
barulah penulis sadari, untuk apa juga penulis sampai harus mengemis-ngemis tanggung-jawab
dari pelaku yang telah merugikan dan melukai penulis? Toh, tiada jaminan
pelakunya akan bertanggung-jawab, sekalipun kita mengemis-ngemis dan
merendahkan harkat kita dengan meminta-minta tanggung-jawab dari pelakunya. Sekalipun
pelakunya tidak bertanggung-jawab, atau tidak berhasil dimintakan
pertanggung-jawaban, apakah artinya penulis selaku korban tengah merugi dan
pelakunya yang merasa bebas berkelit dari tanggung-jawab adalah sebentuk
keuntungan dan keberuntungan bagi mereka?
Sebagai korban, marilah kita
ber-“positive thinking”, dengan memiliki
“perspektif berdaya” bahwa tidak bertanggung-jawabnya sang pelaku yang telah
merugikan, melukai, atau menyakiti diri kita, bukanlah “kiamat” bagi kita dan bukanlah
“surga” bagi pelakunya. Itu bukan akhir dari segalanya, justru awal dari
segalanya—dengan cara itulah, kita terbebas dari jebakan “mentalitas korban”. Jika
kejadian “sekali mereka memukul dan sekali kita terkena pukulan maka rusak
kacamata yang kita kenakan senilai jutaan rupiah”, kembali terulang, atau bila
penulis dapat kembali memutar waktu, maka cukup kalimat berikut yang penulis
ajukan tanpa perlu mendesak-desak (terlebih mengemis-ngemis) mereka untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya:
“Kamu sudah merusak kacamata
saya, yang saya / keluarga saya beli dengan harga tidak murah, dimana
penglihatan saya bergantung pada kacamata untuk belajar, berkegiatan, dan
bekerja. Kini terpaksa saya harus pula repot beli kacamata dan keluar biaya
tidak sedikit untuk beli kacamata baru, akibat perbuatan kamu. Sekarang saya
tanya kamu, kamu mau tanggung jawab ganti-rugi, atau tidak?!”
Sang pelaku pengrusakan, bisa
jadi hanya sesumbar akan bertanggung-jawab, namun minim realisasi, atau sibuk
berkelit sedemikian rupa, seperti meminta bukti bon pembelian kacamata milik
penulis yang ia rusak yang mana tidak mungkin lagi dapat penulis penuhi dengan cari
dan temukan bon pembelian tempo hari demikian, bercerita yang tidak relevan
seperti betapa keluarganya miskin (namun disaat bersamaan tidak mau perduli
apakah keluarga penulis lebih miskin atau tidaknya. Ia pikir, memakai kacamata
ialah untuk gaya-gayaan? Berani berbuat, tidak berani bertanggung-jawab),
bahkan lebih sibuk membuat modus perangkap seperti pertanyaan yang
mencoba-cobai penulis (ia pikir dirinya adalah Tuhan, merasa berhak mencobai
manusia lain) dimana masih pula ia kemudian memfitnah penulis dengan alasan
tidak segera menjawab pertanyaannya dan berpikir lama terlebih dahulu sebelum
menjawab pertanyaannya (mengapa juga seolah-olah dirinya yang berhak
menginterogasi dan mengatur-ngatur penulis, seolah-olah pelaku kejahatannya
ialah penulis?).
“Kamu sudah membuat saya merugi
waktu dan biaya akibat kacamata saya kamu rusak. Masih untung kacamata saya
yang rusak, bila saya tidak pakai kacamata saat kejadian, pastilah bola mata
saya yang rusak akibat perbuatanmu. Mau tanggung-jawab seperti apa kamu, bila bola
mata saya yang rusak? Sekarang saya tanya sekali lagi, dan sebagai pertanyaan
terakhir, kamu mau tanggung-jawab atau tidak, dengan bayar ganti-rugi biaya
saya membuat kacamata baru plus ongkos transportasi?”
Jangan biarkan pelaku yang
justru menetapkan syarat bagi kita, dan jangan pernah bersikap seolah-olah
kita tidak memiliki syarat. Meminta pertanggung-jawaban dari pelaku, bukan
berarti sebagai korban kita memberikan semua syarat untuk ditentukan sendiri
oleh pelakunya. Jangan pula bersikap seolah-olah kita tidak punya hak selaku
korban, dan jangan pula bersikap seolah-olah para pelakunya tidak memiliki
kewajiban. Jangan takut meminta tanggung-jawab dan apa yang memang sudah
menjadi hak kita. Bersikap takut-takut akan dihargai orang, itu namanya DELUSI! Justru kita akan kian diremehkan dan
disepelekan oleh pelakunya akibat sikap takut-takut—jikalau pun memang takut /
gentar, maka setidaknya “jangan tunjukkan, agar tidak ‘dimakan’”.
“Itu bukan urusan saya, kamu
miskin atau tidak. Urusan saya ialah, kamu mau tanggung-jawab atas kerugian
saya, atau tidak? Jika kamu mau ikut saya beli kacamata di toko optik penjual
kacamata, maka silahkan. Harus dalam waktu dekat, jika tidak maka saya rugi
waktu tidak bisa berkegiatan tanpa penglihatan yang jelas. Namun, saya tidak
mau beli kacamata murahan yang tidak nyaman dikenakan. Saya akan beli harga
yang setara dengan kacamata yang telah kamu rusak. Mau cicil, silahkan, tapi
tidak kacamata murahan.”
Lantas bagaimana, bila dari
sejak awal ataupun setelah berkelit mencari-cari alasan dan mencari-cari
kesalahan sedemikian rupa, pada muaranya yang bersangkutan (sang pelaku) tidak
kunjung bertanggung-jawab, sekadar “besar mulut” alias sesumbar akan bertanggung-jawab,
atau bahkan terang-terangan menolak untuk bertanggung-jawab dari sejak semula,
bahkan masih pula “lebih galak daripada korban”?
“Kamu pikir keuntungan buat
kamu ya, jika korban tidak bisa paksa kamu untuk tanggung-jawab? Dengan ini,
saya biarkan HUKUM KARMA yang akan membalas perbuatan kamu! Semoga kelak kamu
tahu rasanya dirugikan dan disakiti!”
Sudah, sampai di situ saja,
selebihnya kita serahkan pada Hukum Karma, dan tidak perlu lagi merendahkan dan
melecehkan diri dengan mengemis-ngemis tanggung-jawab terhadap orang-orang yang
jelas-jelas tidak memiliki itikad / niat untuk bertanggung-jawab. Bertanggung-jawab,
ialah kepentingan yang terutama bagi sang pelaku, agar dirinya tidak memetik
buah karma buruk dikemudian hari. Sehingga, untuk apa juga kita yang harus mengemis-ngemis,
bilamana tanggung-jawab merupakan bukan hanya kepentingan korban, namun juga
kepentingan pihak pelakunya itu sendiri. Bila hutang dibungakan, cobalah kita
hitung hutang yang harus mereka bayarkan kepada kita dikehidupan mendatang
berikut “bunga berbunga” yang terus menggulung dan menggunung. Korban yang
diuntungkan, bukan pelakunya, ketika aksi pamer “arogansi” dipertontonkan
dengan aksi “pasang badan” ketika dimintai pertanggung-jawaban.
Bila sang pelaku memilih untuk
lebih sibuk berkelit dan mengelak sedemikian rupa, yang pada pokoknya memiliki
niat batin untuk tidak bertanggung-jawab dengan mengemasnya lewat seribu-satu
alasan ataupun permainan kata, agar sang korban sukar menagih dan memperoleh
hak-haknya atas tanggung-jawab, atau membuat sang korban bingung sendiri, namun
Hukum Karma dilatar-belakang kehidupan umat manusia bekerja dengan hukumnya
sendiri dan tetap akan berbuah saat benihnya berbuah dan matang untuk dipetik
oleh sang pelakunya, maka untuk apa semua kesibukan kelit-berkelit dan
kilah-berkilah demikian? Mendapati korban yang bahkan tidak mengetahui hak-haknya,
semisal relasi antara penyedia barang / jasa yang kerap membuat konsumennya
tidak berdaya dan tidak mengetahui hak-haknya berdasarkan Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen, bukan berarti menjadi “keuntungan” bagi sang pelaku ketika
merugikan konsumennya sendiri.
Sang Buddha telah lama
berpesan, sekalipun sang pelaku (penanam benih Karma) bersembunyi pada pulau
terpencil di dalam gua kecil gelap sekalipun, benih Karma tetap akan berbuah
pada pelakunya. Selebihnya ialah hanya persoalan waktu, cepat atau lambat. Jadikanlah
diri kita sebagai pulau pelindung bagi diri kita sendiri, dengan
menghindari perbuatan buruk (setidaknya bertanggung-jawab ketika merugikan atau
melukai pihak lain), melakukan perbuatan bajik (menanam benih Karma Baik), dan
memurnikan batin (latihan kontrol dan mawas diri, eling, keheningan meditatif,
pikiran yang jernih). Di dalam Culakammavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya, Sutta
Pitaka, Sang Buddha mengungkapkan bahwa adalah delusi, bila seseorang berasumsi
dan berpikir bahkan berkeyakinan bahwasannya dosa dapat dihapus:
“Semua makhluk adalah
pemilik perbuatannya sendiri, pewaris dari perbuatannya sendiri, lahir dari
perbuatannya sendiri, berkerabat dengan perbuatannya sendiri dan tergantung
pada perbuatannya sendiri. Perbuatanlah yang menentukan apakah seseorang
menjadi hina atau mulia.”
Apakah nyaman, menjadi manusia
hina yang tidak bertanggung-jawab, untuk sepanjang hidup dan untuk sisa umur
hidupnya, serta meninggal sebagai seorang pendosa yang menyisakan hutang dosa
terhadap orang lain? Tentu, lebih nyaman menjadi korban, daripada menjadi
pelaku yang tidak bertanggung-jawab. Seorang manusia, sudah seyogianya
menjadikan prinsip meritokrasi serta egaliter sebagai pilar berbangsa dan
bernegara, menjadi bagian dari bangsa beradab, dimana perbuatan buruk patut
diganjar “punishment”, dan perbuatan
bajik pantas mendapatkan “reward”,
bukan sebaliknya, dimana seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap seorang pendosa
alih-alih mendengarkan aspirasi dan memberikan keadilan bagi korban para pendosa
tersebut.
Dengan prinsip meritokrasi
itulah, orang-orang yang memiliki niat buruk, akan menyurutkan niat buruknya.
Sebaliknya, ketika seseorang memeluk ideologi “korup” atau curang bernama
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” sebagai insentif bagi
pelaku dan disaat bersamaan menjadi dis-insentif bagi korban, seolah-olah tiada
konsekuensi penjeraan apapun dibalik perbuatan buruk, maka itu seolah-olah
menjadi motivasi, promosi, serta kampanye bagi kalangan pelaku kejahatan (pendosa)
untuk berpikir, “RUGI bila tidak menjadi
seorang pendosa”, “Dosa dapat
DITOLERIR”, “Buat dosa, SIAPA TAKUT?”
Itulah, ketika dosa dan maksiat diberi kompromi, namun terhadap korban dan kaum
yang berbeda keyakinan tidak diberi toleransi sekecil apapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.