SENI PIKIR & TULIS
Bila Fakta selalu Pahit, maka Kebenaran terlampau
Menakutkan. Itulah yang Kita Sebut sebagai REALITA, Bukan Utopia
Itulah sebabnya Buddhisme hanya Diperuntukkan bagi Umat yang Berani Melihat dan Mengakui Realita, bukan yang hanya Pandai Menipu Diri dalam Delusi
Seorang filsuf bernama Rene Descartes, pernah berspekulasi dengan melontarkan pernyataan yang termasyur, “AKU berpikir, maka AKU ada.” Seakan menunjuk kepada spekulasi sang filsuf tersebut, Sang Buddha bertanya, AKU? AKU yang mana? Yang mana yang bernama AKU? Karenanya, Rene Descartes merupakan seorang delusif yang mengutarakan pendapat semata berdasarkan spekulasi yang spekulatif (seorang penghayal), alias kekelirutahuan, tahu namun (sayangnya) keliru. Sebaliknya, Sang Buddha tidak sedang berspekulasi, namun menemukan, melihat, serta menembus langsung dengan usahanya sendiri, apa yang kini dikenal dengan istilah “the four noble truths” (empat kebenaran mulia)—yang terdiri dari dukkha, penyebab dukkha, akhir dari dukkha, dan jalan menuju akhir dari dukkha.
Ulasan ini tidak penulis susun
dengan memakai analogi yang sukar dicerna oleh umat awam atau bahkan yang bagi
mereka yang masih belum pernah mengenal ajaran Sang Buddha tentang “tiga
corak umum” segala sesuatunya yang masih berkondisi, yakni : anicca (senantiasa berubah, tiada yang
pasti selain ketikdapastian itu sendiri, dan juga tidak dapat dipegang
erat-erat), dukkha (kekecewaan, dirudung
permainan dahaga, dan penuh ketidakpuasan), serta anatta (tiada eksistensi entitas bernama diri atau tiada-AKU).
Ketika tubuh kita merasakan sakit, atau perasaan kita merasakan perasaan
kecewa, maka itulah yang sedang coba dikomunikasikan oleh tubuh dan perasaan
kita, dengan bahasa mereka sendiri, bahwa tubuh dan perasaan ini sekalipun,
bukanlah milik “AKU”, bahkan tiada yang bernama “AKU”.
Akibat delusi yang disebabkan
“kekotoran batin yang menutupi pandangan mata kita”, sehingga tidak mampu melihat
secara jenih “apa adanya”, kita berpikir bahwa kita tidak akan menjelma tua,
bisa dipertahankan untuk selamanya, rigid, ajeg, mengikuti kehendak kita, dan
kekal, baik itu tubuh fisik maupun roh. Berbicara perihal dukkha, lebih banyak diantara kita yang memilih menipu diri sendiri
bahwasannya “hidup adalah nikmat”, yang karenanya bila kemudian menemukan
dirinya merasakan derita dan pahit-getir kehidupan, maka ia akan merasa ada
yang tidak beres terhadap hidupnya, dimana untuk itu dijadikan sebagai alasan pembenar
bagi dirinya untuk merampas kebahagiaan milik orang lain—sekalipun orang lain
pun dijerat oleh “tilakkhana” atau
Tiga Corak Umum (the three marks of
existence are three characteristics of all existence and beings, namely
impermanence, non-self, and unsatisfactoriness or suffering).
Untuk memahami anicca dan dukkha, tampaknya dapat kita jadikan pemahaman kebenaran mengenai anatta sebagai pintu masuknya. Bermula
pada suatu hari, penulis merasa senang karena mendapat kesempatan memakan
makanan yang selama ini sangat penulis tunggu-tunggu dan sukai, dimana ketika
tiba saat untuk menyantapnya, telah ternyata makanan tersebut telah basi,
mengakibatkan citarasanya berubah menjadi asam, bahkan tidak lama kemudian
penulis mengalami sakit perut akibat memaksakan diri mengonsumsinya. Selama
ini, makanan tersebut penulis lekati label sebagai “makanan ENAK”. Namun,
mengapa kini makanan “ENAK” (konotasinya “menyenangkan”) tersebut kini menjelma
“TIDAK ENAK” (basi, yang konotasinya “menyakitkan”)? Lantas, apa sebenarnya
nilai instrinsik yang layak kita lekatkan terhadap makanan tersebut, bila masih
bersifat “penuh syarat” demikian? Kebahagiaan sejati, tidak mengenal syarat
serta membebaskan, bukan sebaliknya, “penuh syarat”.
Sehingga, patut untuk penulis
pertanyakan, sebenarnya apa itu “ENAK”? Apa yang dimaksud dengan “ENAK”? Ada
juga jenis makanan yang semula tampak begitu “LEZAT NIKMAT” pada mulanya ketika
kali-pertama mencicipi. Namun seiring dengan waktu secara rutin mengonsumsinya,
pada akhirnya menjelma “bosan” dan “menjemukan”. Jika memang “LEZAT NIKMAT”,
maka mengapa bisa berubah menjelma sebaliknya, “MEMBOSANKAN” dan “MENJEMUKAN”?
Tidak terkecuali buah-buahan yang selama ini kita kenal sebagai buah-buahan
yang enak dan manis citarasanya, bahkan memiliki nilai jual yang tinggi di
pasaran dimana harus kita tebus dengan harga yang tinggi untuk membeli dan
membawanya pulang, konsumsi butir pertama akan terasa “NIKMAT”, namun cobalah
untuk terus mengonsumsinya hingga butir kesepuluh, bagaimana rasanya?
Teori dasar ekonomi mengenal
istilah teori “marginalisasi nilai”, yang bermakna ketika konsumen mengonsumsi
sebutir jeruk maka akan memperoleh kenikmatan, berpuncak pada butir ketiga,
namun merosot dan menukik turun secara drastis ketika seseorang dipaksa
memakannya hingga butir kesepuluh. Karenanya, nilai intrinsik dan ekstrinsik
dari buah bernama jeruk ini, apakah sejatinya atau hakekatnya ialah “NIKMAT”
ataukah apa? Jika memang sejatinya ialah “NIKMAT”, maka mengapa ia begitu
bergantung pada kondisi dan terkondisikan (penuh syarat)? Pencetus teori
ekonomi perihal “marginalisasi nilai”, lebih patut diberi gelar sebagai seorang
filsuf ketimbang Rene Descartes, karena perspektifnya lebih “membumi” dan
rasional sebagai landasan telaahnya.
Terdapat seorang tetangga di lingkungan
kediaman penulis, belum lama ini menderita tekanan darah tinggi akibat
mengonsumsi buah durian terlampau banyak. Menurut yang bersangkutan, akibat
“keenakan” memakan satu butir durian, lantas menyantap sekaligus tiga butir
hingga tuntas. Akibatnya, alih-alih merasakan “NIKMAT”, sang durian telah
memperbudak sang konsumen hingga tidak mampu mengendalikan diri, bermuara pada
derita penyakit yang timbul sebagai penyertanya, dimana itu serupa
“berenang-renang ke tepian, berakit-rakit ke hulu”. Nikmat hanya sekian menit
saat mengonsumsinya, sakit berhari-hari sebagai derita yang harus ditanggung
sebagai konsekuensinya.
Terdapat pula seseorang yang
penulis kenal, memiliki berbagai bidang usaha yang cukup sukses. Dirinya bisa
disebut sebagai seorang wirausahawan yang makmur dan berhasil. Pada mulanya,
kita mungkin merasakan perasaan iri atau cemburu, bila membandingkan tingkat
ekonomi antara diri kita dan diri sang pengusaha. Namun, tidak lama berselang,
penulis menemukan dirinya terserang penyakit struk, sehingga lumpuh separuh
tubuhnya dan juga kehilangan sebagian ingatan miliknya. Apakah yang dimaksud
dengan “beruntung”, jika demikian?
Pada mulanya kita berpikir
mereka yang disebut sebagai “beruntung”, adalah yang makmur dari segi ekonomi.
Pada akhirnya, kita menemukan bahwa kesehatan adalah harta terbesar kita. Itu
pun, tidak dapat kita pegang secara erat untuk selamanya. Potensi terserang
penyakit degeneratif serupa, peluangnya besar sekali untuk kita sendiri alami,
saat usia muda kita telah berlalu dan memasuki usia senja. Bila tidak penyakit
fisik-lahiriah, maka penyakit mental-psikis seperti stres menghadapi anak-cucu
yang nakal, dan sebagainya.
Begitu lazimnya hal itu kita
temukan di keseharian, pada teman kita, kerabat kita, kenalan kita, bahkan anggota
keluarga kita, sehingga kita menganggapnya sebagai hal yang “normal” saja
sehingga jarang dan hampir tidak pernah kita pertanyakan secara kritis
sebagaimana Pangeran Siddhatta Gotama saat melihat realita adanya usia tua,
sakit, dan kematian. Yang “normal”, jarang dikritisi dan dievaluasi. Hanya
seorang revolusioner, yang berani mempertanyakan hal-hal “normal” yang menjadi
kelaziman selama ini. Karena itulah, Pangeran Siddhatta Gotama berjuang
“melawan arus”, demi menemukan kebenaran dibalik semua fenomena ini, sebelum
akhirnya merealisasi ke-Buddha-an.
Dapat pula kita saksikan sendiri
dalam keseharian, betapa kita menaruh rasa suka terhadap seseorang yang
memiliki wajah atau postur tubuh yang menurut perspektif kita (saat itu) ialah
“cantik” atau “rupawan-tampan”. Saat kita telah lama tidak berjumpa dengannya
dan kini kembali bertemu, kecantikan ataupun ketampanan tersebut besar
kemungkinan telah “luntur”. Sehingga, apakah hakiki dari “cantik” ataupun
“tampan”? Bahkan, tidak jarang pula kita alami, dari semula kita menaruh rasa
suka pada seseorang, berakhir pada rasa jijik, muak, serta alergi, kontras yang
sangat bertolak-belakang dari kesan pertama kita terhadap mereka. Dulu mungkin
“iya”, kini “tidak lagi” menaruh rasa suka terhadap paras diri mereka. Artinya,
kesemua itu tunduk pada kondisi dan terkondisikan, bergantung pada kondisi.
Ketika kondisinya berubah, maka berubah pula pandangan dan penilaian diri kita.
Itulah, permainan kehidupan.
Ada cinta, maka ada benci.
Tiada kata “cinta”, maka tiada akan kita mengenal kata “benci”. Semakin kita
mencintai diri seseorang, semakin besar potensi diri kita menaruh rasa benci
terhadap diri mereka. Bisa juga terjadi, Anda hidup rukun dan sangat mencintai
pasangan hidup Anda hingga tua. Ketika salah satu dari Anda meninggal dunia
terlebih dahulu, betapa hancur hati Anda dan dihantui kesepian untuk sisa hidup
Anda, itulah “dukkha”, derita
pasangan yang saling mencintai, tidak terhindarkan. Karenanya, apa hakikat dari
“cinta”?
Seseorang akibat cinta, membuat
pengorbanan diri yang besar bagi sang terkasih. Namun akibat dikecewakan oleh
sang terkasih, lahirlah kebencian dalam diri yang pada mulanya menaruh rasa
cinta. Perkawinan bisa jadi bermula dari rasa cinta, namun tidak tertutup
kemungkinan akan berakhir dengan kebencian dalam wujud perceraian, bahkan
gugat-menggugat harta gono-gini. Akibat dicintai secara “posesif”, seorang
suami menganiaya istrinya akibat rasa “cemburu”. Jika saja sang suami tidak
mencintai istrinya, maka mungkin tidak akan itu sampai terjadi, dan merelakan
sang istri dengan melepaskannya untuk bercerai dan kembali menikahi pria lain.
Bermula dari seorang anak yang
diberi nama sebagai “bocah”, kemudian tumbuh besar menjadi orang “dewasa”,
kemudian melahirkan dan berubah status menjadi “orangtua”, menjadi
“kakek-nenek”, menjadi “buyut”, dan seterusnya. Dari semula lemah tidak
berdaya, kemudian menjelma menjadi diktator yang aroganis, sebelum kemudian
menjadi seorang lanjut-usia yang lemah dan tua renta, sebelum kemudian takluk
di bawah supremasi dewa pencabut nyawa.
Ada yang pada mulanya dinilai
“bodoh”, namun kemudian menjelma “jenius”, sebagaimana kisah dongeng fabel
klasik “si angsa buruk rupa” dari semula dianggap sebagai bebek yang buruk rupa
namun menjelma angsa putih yang mampu terbang tinggi di angkasa. Akhirnya,
mereka semua masuk ke muara yang sama, yakni samudera samsara siklus kelahiran
kembali tidak berkesudahan, dari puncak gunung tertinggi atau dataran rendah
manapun mereka semula berasal. Yang kaya, yang miskin, yang pintar, yang bodoh,
yang rupawan, yang buruk rupa, tidak terkecuali, tunduk pada siklus lingkaran
samsara, dukkha itu sendiri.
Kesemua itu terjadi akibat
sifat ketidak-kekalan segala sesuatunya yang masih berkondisi (anicca). Akibat selalu berubah, maka
tiada yang dapat kita genggam secara erat. Akibat tiada yang dapat kita pegang
dan genggam secara erat, maka ia cenderung mengecewakan, diluar kendali kita.
Tiada yang menyukai ketidakpastian. Orang-orang membayar mahal polis asuransi,
semata untuk “alih resiko” ketidakpastian yang tidak terduga. Akibat harus
membayar polis asuransi, seseorang harus bekerja keras mencari nafkah dan
penghasilan. Tersandera oleh profesi dan pekerjaan, artinya menjadi budak dari
pekerjaan, jika perlu dan terpaksa bekerja untuk seumur hidup, hidup untuk
bekerja. Menjadi budak, artinya tidak bebas. Tidak bebas, artinya tidak
merdeka. Tidak merdeka, artinya terjajah. Dan terjajah artinya derita hidup itu
sendiri (dukkha).
Ketika “kenyang”, kita merasa
lega dan gembira. Namun, rasa “kenyang” itu sendiri akan bertahan berapa lama? Sungguh
kita diperbudak dan disandera dahaga kelaparan dan kehausan, tidak terkecuali
keharusan untuk rutin buang air besar dan air kecil. Dimana kita diharuskan secara
rutin mengasup makanan ke tubuh kita, dua sampai tiga kali untuk setiap
harinya, semata agar tidak “kelaparan”. Habis “kenyang”, terbitlah “lapar”,
derita itu sendiri. Bagaikan pepatah, habis “gelap”, terbitlah “terang”,
sebelum kemudian kembali menjadi “gelap”. Sehingga, apakah itu “kenyang”
ataupun “terang”? Bila “kenyang” dan “terang” adalah kebahagiaan dan merupakan
suatu entitas diri, mengapa bisa berubah menjadi “lapar” dan “gelap”? Jika
kesemua itu adalah “AKU”, tentu bukanlah sifatnya “AKU” untuk bergerak melawan
kehendak dan kepentingan diri “AKU” itu sendiri dengan berubahnya dari
“kenyang” menjadi “lapar”.
Ketika kita letih dan mengantuk
setelah seharian bekerja, maka kita menginginkan “tidur”, terlelap secara
nyenyak, bebas dari gangguan, hening, berpendingin udara, ranjang yang empuk, bila
perlu mimpi yang indah. Tidak sedikit orang-orang yang mengonsumsi pil obat
tidur, semata karena tidak dapat kunjung tidur. Bagi mereka, “tidur” adalah
“nikmat” dan “kebahagiaan” yang bahkan menurut pengakuan sejumlah orang
bahwasannya tidur adalah hal yang paling membahagiakan dan paling melegakan.
Jika itu benar, bahwa “tidur”
adalah “kenikmatan”, mengapa Anda tidak tidur untuk selamanya, “rest in peace”, jika perlu tidak lagi
bangun untuk selamanya dan merepotkan diri dengan segala pekerjaan dan
sebagainya? Tidur, dapat menjelma siksaan itu sendiri, ketika kita mendapati
bahwa aktivitas kita dikeseharian lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan
“tidur” yang tidak produktif dimana segala tagihan menumpuk, terlebih “tidak
bisa tertidur pulas” meski sudah berjam-jam berbaring di atas ranjang
kesayangan Anda. Coba saja tidur untuk sepanjang hari, Anda akan disiksa oleh
perut Anda yang berbunyi karena kelaparan atau kandung-kemih Anda yang bengkak.
Itulah sebabnya, kebahagiaan
surgawi di alam surga tidaklah mungkin berupa kesenangan duniawi semacam
bersetubuh dengan puluhan bidadari berdada “montok”. Kebahagiaan surgawi, lebih
mungkin bila berupa kegembiraan meditatif dari praktik melepas dan
ketidak-melekatan, keheningan, dan ketenteraman tidak terbakar oleh perbudakan
nafsu. Kenikmatan duniawi, selalu akan terbentur oleh dirudungnya dahaga
(kepuasan temporer sesaat, selebihnya terbakar oleh nafsu dan terbudaki),
kebosanan, kejemuan, keserakahan (sehingga tidak mengherankan bila kemudian
“over dosis”, satu tidak cukup maka dua pun tidak akan cukup), dan
jungkir-balik untuk setiap harinya mencari pemuasan akibat ketidakpuasan dan
belum terpuaskan. Hanya ketika seseorang memilih keheningan meditatif, artinya
hidupnya telah cukup berpuas hati dan berpuas diri. Bagaimana mungkin juga,
kebahagiaan di alam surgawi digambarkan tidak ubahnya kesenangan duniawi,
sedangkal kegembiraan inderawi yang rendahan?
Kehidupan bangsa dan negara
yang “damai”, adalah “nikmat”. Namun, tidak sedikit anak muda kita yang
tergila-gila pada sinema bertema perang militer dan peperangan penuh
pertumpahan darah yang berdarah-darah, ataupun menghabiskan waktu mereka untuk
bermain “video game” bertema perang bunuh-membunuh yang penuh teror dan
ketakutan. Ketika ketenangan lingkungan pemukiman yang selama ini tercipta oleh
kondisi “damai”, sebagian warga merasa jemu dan bosan, lantas mengusiknya
dengan membuat onar ataupun kegiatan usaha yang merampas ketenangan warga
pemukim ataupun kegaduhan lainnya.
Dari semula bodoh, kita
bersusah-payah belajar dan menimba ilmu agar menjadi “cerdas”. “Cerdas” atau
“pandai”, pangkal “kaya”. “Kaya”, pangkal dari “kemakmuran”. “Kemakmuran”,
dinilai sebagai pangkal dari “kebahagiaan”. Namun, bagaimanapun kita berupaya
menolak bertambahnya umur memasuki usia paruh baya, kita menjelma manusia yang
“pikun”, pangkal dari “derita”, tanpa dapat kita tolak ataupun hindari. Hanya
persoalan waktu, cepat atau lambat. Kepikunan, dapat juga menyerang pada usia
yang lebih muda, bernama Alzheimer, dimana bahkan penderitanya tidak mampu
mengingat nama sendiri, tidak mengenali anggota keluarga sendiri, tidak
mengingat jalan pulang, serta kembali menjadi kekanak-kanakan. Jangankan
mengingat “past life”, kita bahkan
kerap lupa dimana kita menaruh anak kunci. Jika ingatan dan memori adalah
“AKU”, mengapa bisa lupa atau bahkan tidak jarang keliru mengingatnya?
“Kekayaan”, diyakini sebagai
sumber “surga duniawi”. Namun siapapun akan mengalami, hidup yang bagai roda
yang terus berputar, ada waktunya berada di bawah, dan ada kalanya berada di
atas. Kepemilikan duniawi, adalah sumber kemelekatan, dimana kemelekatan adalah
sumber “derita duniawi”. Ketika ajal menjelang, timbul kemelekatan terhadap
harta-harta yang dikumpulkan olehnya semasa hidup dengan jirih-payah dan
susah-payah disamping pengorbanan waktu masa mudanya untuk bekerja mengumpulkan
harta, tidak rela melepaskannya, maka meninggal dalam kondisi jiwa dan pikiran
yang “tidak tenang”. Tersandera dan dikuasai oleh harta, bukan sebaliknya.
Karenanya, tidak selamanya “kekayaan” materi duniawi menjadi sumber “surga
duniawi”. Almarhum yang meninggalkan harta warisan, mungkin akan bersedih
mendapati anak-cucu sebagai ahli warisnya saling bersengketa memperebutkan
harta warisan peninggalan almarhum. Harta, dapat menjadi sumber “neraka
kehidupan duniawi”.
Bersatu kita teguh, bercerai
kita runtuh. Bersatu, dinilai sebagai “bahagia”. Jika memang demikian halnya,
mengapa beberapa provinsi di republik ini kerap berunjuk-raya meminta dilakukan
pemekaran atau bahkan menuntut kemerdekaan alias pemisahan diri dari negara
kesatuan bernama Republik Indonesia? Memiliki yang kita sukai dan sayangi,
artinya menggembirakan, yang mereka sebut sebagai “kebahagiaan”. Namun, disaat
bersamaan mereka selalu dirudung oleh potensi akan kehilangan orang-orang
ataupun hal-hal yang mereka miliki dan sukai / sayangi, sampai akhirnya putaran
waktu berbicara dan memisahkan mereka, itulah ketika “dukkha” menampilkan supremasinya, merenggut apa yang Anda cintai
dan kasihi.
Pada salah satu pitaka dari
Tipitaka, yakni Sutta Pitaka, cluster Saṁyutta Nikāya (SN) 22.59, terdapat khotbah Sang Buddha bernama Anatta-lakkhana Sutta: The Discourse on the
Not-self Characteristic, diterjemahkan dari Bahasa Pali oleh Ñanamoli Thera,
yang menjadi rujukan utama telaah mengenai “tiada diri”, dengan kutipan sebagai
berikut:
Thus I heard. On one occasion
the Blessed One was living at Benares, in the Deer Park at Isipatana (the
Resort of Seers). There he addressed the bhikkhus of the group of five: “Bhikkhus.”
— “Venerable sir,” they replied. The Blessed One said this.
“Bhikkhus, form is not-self.
Were form self, then this form would not lead to affliction, and one could have
it of form: ‘Let my form be thus, let my form be not thus.’ And since form is
not-self, so it leads to affliction, and none can have it of form: ‘Let my form
be thus, let my form be not thus.’
“Bhikkhus, feeling is
not-self...
“Bhikkhus, perception is
not-self...
“Bhikkhus, determinations are
not-self...
“Bhikkhus, consciousness is not
self. Were consciousness self, then this consciousness would not lead to
affliction, and one could have it of consciousness: ‘Let my consciousness be
thus, let my consciousness be not thus.’ And since consciousness is not-self,
so it leads to affliction, and none can have it of consciousness: ‘Let my
consciousness be thus, let my consciousness be not thus.’
“Bhikkhus, how do you conceive
it: is form permanent or impermanent?” — “Impermanent, venerable Sir.” — “Now
is what is impermanent painful or pleasant?” — “Painful, venerable
Sir.” — “Now is what is impermanent, what is painful since subject to change,
fit to be regarded thus: ‘This is mine, this is I, this is my self’”? — “No,
venerable sir.”
“Is feeling permanent or
impermanent?...
“Is perception permanent or
impermanent?...
“Are determinations permanent
or impermanent?...
“Is consciousness permanent or
impermanent?” — “Impermanent, venerable sir.” — “Now is what is impermanent pleasant
or painful?” — “Painful, venerable sir.” — “Now is what is impermanent, what is
painful since subject to change, fit to be regarded thus: ‘This is mine, this
is I, this is my self’”? — “No, venerable sir.”
“So, bhikkhus any kind of form
whatever, whether past, future or presently arisen, whether gross or subtle,
whether in oneself or external, whether inferior or superior, whether far or
near, must with right understanding how it is, be regarded thus: ‘This is
not mine, this is not I, this is not myself.’
“Any kind of feeling
whatever...
“Any kind of perception
whatever...
“Any kind of determination
whatever...
“Any kind of consciousness
whatever, whether past, future or presently arisen, whether gross or subtle,
whether in oneself or external, whether inferior or superior, whether far or
near must, with right understanding how it is, be regarded thus: ‘This is not
mine, this is not I, this is not my self.’
“Bhikkhus, when a noble
follower who has heard (the truth) sees thus, he finds estrangement in form, he
finds estrangement in feeling, he finds estrangement in perception, he finds
estrangement in determinations, he finds estrangement in consciousness.
“When he finds estrangement,
passion fades out. With the fading of passion, he is liberated. When
liberated, there is knowledge that he is liberated. He understands: ‘Birth
is exhausted, the holy life has been lived out, what can be done is done, of
this there is no more beyond.’”
That is what the Blessed One
said. The bhikkhus were glad, and they approved his words.
Now during this utterance, the
hearts of the bhikkhus of the group of five were liberated from taints through clinging
no more.
[Anatta-lakkhana Sutta: The
Discourse on the Not-self Characteristic (SN 22.59), translated from the Pali
by Ñanamoli Thera. Access to Insight (BCBS Edition), 13 June 2010, Buddhist
Publication Society.]
Adapun terjemahan Anatta-lakkhana Sutta dari Bahasa Pali
oleh N.K.G. Mendis, 2007, dengan kutipan sebagai berikut:
Thus it was heard by me. At one
time the Blessed One was living in the deer park of Isipatana near Benares.
There, indeed, the Blessed One addressed the group of five monks.
“Form, O monks, is not-self; if
form were self, then form would not lead to affliction and it should obtain
regarding form: ‘May my form be thus, may my form not be thus’; and indeed, O
monks, since form is not-self, therefore form leads to affliction and it does
not obtain regarding form: ‘May my form be thus, may my form not be thus.’
“Feeling, O monks, is not-self;
if feeling were self, then feeling would not lead to affliction and it should
obtain regarding feeling: ‘May my feeling be thus, may my feeling not be thus’;
and indeed, O monks, since feeling is not-self, therefore feeling leads to
affliction and it does not obtain regarding feeling: ‘May my feeling be thus, may
my feeling not be thus.’
“Perception, O monks, is
not-self; if perception were self, then perception would not lead to affliction
and it should obtain regarding perception: ‘May my perception be thus, may my
perception not be thus’; and indeed, O monks, since perception is not-self,
therefore, perception leads to affliction and it does not obtain regarding
perception: ‘May my perception be thus, may my perception not be thus.’
“Mental formations, O monks,
are not-self; if mental formations were self, then mental formations would not
lead to affliction and it should obtain regarding mental formations: ‘May my
perception be thus, may my mental formations not be thus’; and indeed, O monks,
since mental formations are not-self, therefore, mental formations lead to
affliction and it does not obtain regarding mental formations: ‘May my mental
formations be thus, may my mental formations not be thus.’
“Consciousness, O monks, is
not-self; if consciousness were self, then consciousness would not lead to
affliction and it should obtain regarding consciousness: ‘May my consciousness
be thus, may my consciousness not be thus’; and indeed, O monks, since
consciousness is not-self, therefore, consciousness leads to affliction and it
does not obtain regarding consciousness: ‘May my consciousness be thus, may my
consciousness not be thus.’
“What do you think of this, O
monks? Is form permanent or impermanent?”
“Impermanent, O Lord.”
“Now, that which is
impermanent, is it unsatisfactory or satisfactory?”
“Unsatisfactory, O Lord.”
“Now, that which is
impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard that as:
‘This is mine, this I am, this is my self’?”
“Indeed, not that, O Lord.”
“What do you think of this, O
monks? Is feeling permanent or impermanent?”
“Impermanent, O Lord.”
“Now, that which is
impermanent, is it unsatisfactory or satisfactory?”
“Unsatisfactory, O Lord.”
“Now, that which is
impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard that as:
'This is mine, this I am, this is my self'?”
“Indeed, not that, O Lord.”
“What do you think of this, O
monks? Is perception permanent or impermanent?”
“Impermanent, O Lord.”
“Now, what is impermanent, is
it unsatisfactory or satisfactory?”
“Unsatisfactory, O Lord.”
“Now, that which is impermanent,
unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard that as: ‘This is mine,
this I am, this is my self’?”
“Indeed, not that, O Lord.”
“What do you think of this, O
monks? Are mental formations permanent or impermanent?”
“Impermanent, O Lord.”
“Now, those that are
impermanent, are they unsatisfactory or satisfactory?”
“Unsatisfactory, O Lord.”
“Now, those that are
impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard them as:
‘They are mine, this I am, this is my self’?”
“Indeed, not that, O Lord.”
“Now what do you think of this,
O monks? Is consciousness permanent or impermanent?”
“Impermanent, O Lord.”
“Now, what is impermanent,
is that unsatisfactory or satisfactory?”
“Unsatisfactory, O
Lord.”
“Now, what is impermanent, unsatisfactory,
subject to change, is it proper to regard it as: ‘This is mine, this I am,
this is my self’?”
“Indeed, not that, O
Lord.”
“Therefore, surely, O monks,
whatever form, past, future or present, internal or external, coarse or fine,
low or lofty, far or near, all that form must be regarded with proper wisdom,
according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my
self.’
“Therefore, surely, O monks,
whatever feeling, past, future or present, internal or external, coarse or
fine, low or lofty, far or near, all that feeling must be regarded with proper
wisdom, according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am not, this is
not my self.’
“Therefore, surely, O monks,
whatever perception, past, future or present, internal or external, coarse or
fine, low or lofty, far or near, all that perception must be regarded with
proper wisdom, according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am not,
this is not my self.’
“Therefore, surely, O monks,
whatever mental formations, past, future or present, internal or external,
coarse or fine, low or lofty, far or near, all those mental formations must be
regarded with proper wisdom, according to reality, thus: ‘These are not mine,
this I am not, this is not my self.’
“Therefore, surely, O monks,
whatever consciousness, past, future or present, internal or external, coarse
or fine, low or lofty, far or near, all that consciousness must be regarded
with proper wisdom, according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am
not, this is not my self.’
“O monks, the well-instructed
noble disciple, seeing thus, gets wearied of form, gets wearied of feeling,
gets wearied of perception, gets wearied of mental formations, gets wearied of
consciousness. Being wearied he becomes passion-free. In his freedom from
passion, he is emancipated. Being emancipated, there is the knowledge that he
is emancipated. He knows: ‘birth is exhausted, lived is the holy life, what had
to be done is done, there is nothing more of this becoming.’”
This the Blessed One said.
Pleased, the group of five monks were delighted with the exposition of the
Blessed One; moreover, as this exposition was being spoken, the minds of the
group of five monks were freed of defilements, without attachment.
Indeed, at that time there were
six arahants in the world.
[Anatta-lakkhana Sutta: The
Discourse on the Not-self Characteristic (SN 22.59), translated from the Pali
by N.K.G. Mendis. Access to Insight (BCBS Edition), 13 June 2010, Buddhist
Publication Society.]
Adapun Anattalakkhaṇasutta dalam Saṁyutta Nikāya yang diterjemahkan dari Bahasa Pali oleh Bhikkhu Bodhi,
dengan kutipan sebagai berikut:
Connected Discourses on the
Aggregates
22.59. The Characteristic of
Nonself
Thus have I heard. On one
occasion the Blessed One was dwelling at Baraṇasi in the Deer Park at Isipatana. There the Blessed One addressed the
bhikkhus of the group of five thus: “Bhikkhus!”
“Venerable sir!” those bhikkhus
replied. The Blessed One said this:
“Bhikkhus, form is nonself. For
if, bhikkhus, form were self, this form would not lead to affliction, and it
would be possible to have it of form: ‘Let my form be thus; let my form not be
thus.’ But because form is nonself, form leads to affliction, and it is not
possible to have it of form: ‘Let my form be thus; let my form not be thus.’
“Feeling is nonself…. …
Perception is nonself…. Volitional formations are nonself…. Consciousness is
nonself. For if, bhikkhus, consciousness were self, this consciousness would
not lead to affliction, and it would be possible to have it of consciousness:
‘Let my consciousness be thus; let my consciousness not be thus.’ But because
consciousness is nonself, consciousness leads to affliction, and it is not
possible to have it of consciousness: ‘Let my consciousness be thus; let my
consciousness not be thus.’
“What do you think, bhikkhus,
is form permanent or impermanent?”—“Impermanent, venerable sir.”—“Is what is
impermanent suffering or happiness?”—“Suffering, venerable sir.”—“Is
what is impermanent, suffering, and subject to change fit to be regarded thus:
‘This is mine, this I am, this is my self’?”—“No, venerable sir.”
“Is feeling permanent or
impermanent?… Is perception permanent or impermanent?… Are volitional
formations permanent or impermanent?… Is consciousness permanent or
impermanent?”—“Impermanent, venerable sir.”—“Is what is impermanent suffering
or happiness?”— “Suffering, venerable sir.”—“Is what is impermanent, suffering,
and subject to change fit to be regarded thus: ‘This is mine, this I am, this
is my self’?”—“No, venerable sir.”
“Therefore, bhikkhus, any kind of
form whatsoever, whether past, future, or present, internal or external, gross
or subtle, inferior or superior, far or near, all form should be seen as it
really is with correct wisdom thus: ‘This is not mine, this I am not, this is
not my self.’
“Any kind of feeling whatsoever
… Any kind of perception whatsoever … Any kind of volitional formations
whatsoever … Any kind of consciousness whatsoever, whether past, future, or
present, internal or external, gross or subtle, inferior or superior, far or
near, all consciousness should be seen as it really is with correct wisdom
thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my self.’
“Seeing thus, bhikkhus, the
instructed noble disciple experiences revulsion towards form, revulsion towards
feeling, revulsion towards perception, revulsion towards volitional formations,
revulsion towards consciousness. Experiencing revulsion, he becomes
dispassionate. Through dispassion his mind is liberated. When it is liberated
there comes the knowledge: ‘It’s liberated.’ He understands: ‘Destroyed is
birth, the holy life has been lived, what had to be done has been done, there
is no more for this state of being.’”
That is what the Blessed One
said. Elated, those bhikkhus delighted in the Blessed One’s statement. And
while this discourse was being spoken, the minds of the bhikkhus of the group
of five were liberated from the taints by nonclinging.
Kita memiliki mis-persepsi,
bahwasannya “si pengatur” dan “si pengendali” (kehendak) serta “si pengetahu”
(kesadaran) ialah “AKU”. Namun secara berkesinambungan pikiran dan tubuh kita
selalu berkata lain, akan tetapi masih juga kita bersikukuh bahwa kesemua ini
adalah “AKU”, “milik AKU”, “diri AKU”. Secara membuta, atau mungkin karena
ketakutan atau juga karena arogansi, kita memilih untuk menipu diri sendiri,
bahwa harus ada “AKU”, segoyianya ada “AKU”, dan inginnya ada “AKU”. Begitu menakutkannya
bagi kebanyakan dari kita, ketika Sang Buddha menyatakan sebaliknya, bahwa
kita tidak benar-benar eksis secara hakiki, tidak ada si pengemudi, juga tidak
ada si penumpang. Dunia ini hanyalah sekumpulan proses sebab dan akibat, namun
nir-esensi juga tiada entitas bernama “diri” ataupun “AKU”.
Anattalakkhaṇa Sutta adalah sutta kedua yang dibabarkan oleh Sang
Buddha kepada lima pertapa yang menjadi murid pertama Sang Buddha,
sekaligus sebagai para mantan guru Pangeran Sidharta. Banyak manusia yang
berpandangan bahwa ada satu entitas tunggal manunggal yang disebut “roh” yang berdiam
di dalam tubuh jasmani—yang sering terjadi mispersepsi sebagai “ini adalah
milikku, ini adalah aku, ini adalah diri aku”. Ketiga pernyataan ini sebenarnya
merupakan wujud dari kehausan (taṇhā), kesombongan (māna) dan pandangan salah (diṭṭhi) yang juga disebut sebagai
papañca dhamma, yaitu dhamma yang memperpanjang rangkaian lima agregat (pañcakkhandha) melalui kelahiran dan
kematian yang berulang. Wujud pandangan keliru lainnya ialah memandang bahwa
“si pelaku” dan “si pengetahu” ialah “AKU”, atau memandang bahwa kesadaran kita
itulah si “AKU”.
Adanya pandangan mengenai “AKU”,
itu merupakan pandangan konvensional dalam bahasa sehari-hari, sebagaimana masing-masing
dari kita diberikan nama panggilan. Namun dalam bahasa Dhamma, bahasa tentang
kebenaran, tiada “AKU”. Di awal pembabaran tentang anatta tersebut, Sang Buddha menyampaikan bahwa
pañcakkhandha yang terdiri dari lima gugus agregat berupa materi (rūpakkhandha), perasaan (vedanākkhandha), persepsi (saññakkhandha), formasi-formasi batin (saṅkhārakkhandha), dan agregat kesadaran (viññānakkhandha)
adalah bukan “AKU” atau bukanlah “AKU”. Sang Buddha menjelaskan lewat
dialog, apabila pañcakkhandha adalah “AKU”,
maka lima agregat ini tidak semestinya dan bukan sifatnya menuntun (justru) ke
penderitaan, kita bahkan dapat memerintah lima agregat dalam diri kita sesuai
dengan kehendak kita untuk menjadi demikian dan jangan menjadi seperti itu. Bahkan,
kita acapkali bergerak menyakiti diri kita sendiri, yang menjadi ambigu bahwa
bagaimana mungkin “AKU” menyakiti “AKU”?
Akan tetapi, hal-hal itu tidak selalu
akan berjalan sebagaimana kita benar-benar kehendaki ataupun harapkan, kita
tidak bisa mengendalikan perasaan bahagia untuk terus muncul dan perasaan duka
jangan pernah muncul. Berdasarkan pemahaman demikian, kita dapat merenungkan
bahwa tidak ada “AKU” atau entitas bernama diri, terlebih kepemilikan. Ada yang
berpandangan, untuk memahami anattā,
dimulai dari pintu masuk pemahaman mengenai ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan (dukkha) dengan alasan karena kedua
fenomena tersebut lebih jelas terlihat dibandingkan anattā.
Akan tetapi, yang menjadi
problema, kita telah begitu terbiasanya dengan semua fenomena fisik dan mental
/ batin yang bergerak diluar kehendak ataupun kendali dan harapan kita, dimana
kita memandangnya sebagai hal yang lumrah atau lazim saja adanya sebagai bagian
dari kehidupan manusia pada umumnya, karenanya tidak memicu daya selidik ataupun
analitik mereka kepada apa yang menjadi akar penyebabnya. Sebaliknya, dengan
bergerak lebih maju, pemahaman tentang anatta,
kita mulai lebih mampu memandang dengan jernih, tentang apa itu anicca dan dukkha, ibarat seekor ikan yang selama hidupnya hidup di dalam “air”,
barulah mengetahui apa itu “air” ketika dirinya dikeluarkan dari dalam “air”.
Setelah pembabaran Sutta tentang
“tiada entitas bernama AKU” tersebut, kelima pertapa mencapai tingkat kesucian
Arahat. Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya, ketidakkekalan
mengarahkan kita kepada kekecewaan, dan kekecewaan membawa kita kepada dua
pilihan : menyadari dan mengakui atau memungkirinya, bahwa tiada “AKU”. Apabila
dengan kebijaksanaan orang dapat melihat kebenaran yang melampaui pandangan
konvensional mengenai eksistensi diri, maka ia akan merasa jemu dengan
penderitaan bernama siklus lingkaran samsara (tumimbal lahir). Inilah jalan yang
akan membawa pada motivasi untuk mengakhiri segala proses sebab dan akibat,
yakni terputusnya belenggu rantai karma (break
the shackle of karma).
Sebelum akhirnya merealisasi
ke-Buddha-an, Pangeran Siddhattha memulai penyelidikan dari fenomena yang ia
amati saat melihat dunia luar, eksistensi tidak terhindarkan bernama menjadi
“tua, sakit, kemudian meninggal dunia; dari semula muda, sehat, dan hidup”,
sebelum akhirnya mencapai pencerahan sempurna dan memperoleh pengetahuan atas
usahanya sendiri, dimana Sang Buddha menemukan bahwa segala fenomena
batin maupun jasmani yang selalu berubah (timbul dan tenggelam secara
berkesinambungan) adalah sumber penderitaan, diakibatkan oleh tiadanya suatu
entitas bernama diri yang dalam bahsa konvensional kita namakan sebagai “AKU”. Dalam
khotbah tentang lima agregat, Sang Buddha berkata kepada kelima murid-Nya
:
“Para
Bhikku, sesungguhnya, rupa bukanlah diri, karena bukan-diri, maka cenderung
mengalami penderitaan dan kesusahan. Dan adalah tidak mungkin untuk mengatakan
tentang rupa : biarlah rupa seperti ini (dalam kondisi terbaik); biarlah rupa
tidak seperti ini (dalam kondisi terburuk). Tidaklah mungkin mempengaruhi dan
mengatur rupa dengan cara ini.”
Hal ini kemudian dilanjutkan ke
khotbah selanjutnya, khotbah yang sama terhadap keempat agregat kehidupan lain
selain tubuh jasmani / materi, yakni perasaan, persepsi, kesadaran, dan kehendak.
Dari semua agregat penyusun kehidupan, dapat dikatakan selalu menimbulkan
penderitaan karena senantiasa berubah sepanjang waktu, tidak terkendalikan sekalipun
oleh kehendak kita. Kelima agregat tak dapat dikendalikan arah perubahannya
serta tidak dapat dikendalikan sesuai keinginan.
Kemelekatan terhadap lima
agregat ini adalah kemelekatan terhadap konsepsi “atta” (pandangan keliru mengenai adanya “AKU”). Apa yang kita
konsepsikan selama ini secara konvensional sebagai “diri” sesungguhnya hanyalah
sekumpulan dan serangkaian fenomena batin-jasmani yang bergerak secara simultan,
muncul-tenggelam, dan selalu berubah. Fenomena ini bersifat universal dan tidak
memiliki batas-batas individual atau pribadi. Sehingga, apa yang selama kita
pahami sebagai “diri”, sesungguhnya “bukan-diri”. Lantas, apa yang terlahir
kembali dalam lingkaran samsara? Jawabannya ialah “bukan AKU”, jiwa, roh, atau
apapun itu sebutannya, namun hanyalah proses “sebab” dan “akibat”,
dimana karma yang berbuah menjadi bahan bakar terjadinya kelahiran kembali. Sepanjang
masih ada “sebab” sebagai bahan bakarnya, maka “akibat” akan lahir sebagai
konsekuensinya, dalam wujud kelahiran kembali.
Sepasang suami-istri (pasutri),
telah memiliki lusinan anak hasil perkawinan mereka. Ketika sang pasutri
kembali melakukan hubungan intim suami-istri, lahirlah anak ketiga-belas,
keempat-belas, dan seterusnya, meski tidak mereka kehendaki. Sang suami dan
sang istri berpikir, bahwa itu adalah tubuh mereka sendiri, namun mengapa
mereka tidak bisa mengatur dan mengendalikan atau memerinath sesuai kehendak
mereka akan melahirkan atau tidaknya seorang bayi dalam janin sang istri?
Mengapa kita butuh seseorang lain di luar sana bernama dokter, untuk
menyembuhkan tubuh milik “AKU”? Sebaliknya, sepasang suami-istri telah menikah
selama belasan tahun, namun belum juga kunjung melahirkan seorang anak pun.
Sang pasutri menghendaki untuk memiliki anak, namun realita berkata lain, dan
melawan kehendak mereka, meski itu “tubuh milik mereka” sendiri.
Tiada pasien yang menghendaki
tumbuhnya sel tumor hingga kanker ganas pada tubuh mereka. Namun, sekalipun
kita dan mereka berpikir bahwa ini adalah “tubuh milik kita”, kita masih juga
tunduk pada hukum alam, yakni menjadi tua, sakit, dan meninggal dunia. Jika ini
adalah “tubuh milik AKU”, maka mengapa tubuh ini justru seakan menentang
kehendak dan keinginan “AKU” yang dipersepsikan sebagai “tubuh milik AKU”?
Mengapa “AKU” dapat bergerak menyakiti diri “AKU” sendiri? Tentu, bukanlah
sifat dasariahnya bagi “AKU” untuk bergerak menyakiti diri “AKU” sendiri.
Kita menolak menjadi sakit,
menua, dan meninggal. Namun apa daya, kita bahkan tidak mampu mengendalikan
“tubuh milik AKU” sendiri. karenanya, persepsi mengenai “AKU”, hanyalah delusi.
Tiada inti, tiada diri, tiada AKU, tiada entitas, tiada intrinsik, tiada
kepemilikan, tiada yang kekal, serta tiada yang dapat digenggam secara
erat-erat. Kesemua yang berkondisi, akan lahir sesuai proses “sebab” yang ada
sebagai bahan bakarnya, terlahirlah “akibat”, lantas mengeropos, bergerak
sesuai sifat dan hukum alamiahnya sendiri, diluar kehendak kita.
Tanpa si pengemudi, dan tanpa
si penumpang. Hidup adalah permainan tidak berkesudahan dari serangkaian proses
sebab dan akibat. Hanya dengan upaya dan perjuangan serius untuk memutus “rantai
belenggu karma”, siklus tumimbal lahir barulah akan terhenti untuk selamanya,
terbebaskan sepenuhnya. Itulah jalan yang telah dilalui dan kini ditunjukkan
oleh Sang Buddha. Selebihnya, terserah pada masing-masing dari kita, hendak
terus terbakar api dukkha di samudera
derita ini, ataukah mulai menyeberang ke “pantai seberang”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.