Memahami Makna ANICCA, DUKKHA, dan ANATTA dalam Contoh yang Paling Sederhana

SENI PIKIR & TULIS

Bila Fakta selalu Pahit, maka Kebenaran terlampau Menakutkan. Itulah yang Kita Sebut sebagai REALITA, Bukan Utopia

Itulah sebabnya Buddhisme hanya Diperuntukkan bagi Umat yang Berani Melihat dan Mengakui Realita, bukan yang hanya Pandai Menipu Diri dalam Delusi

Seorang filsuf bernama Rene Descartes, pernah berspekulasi dengan melontarkan pernyataan yang termasyur, “AKU berpikir, maka AKU ada.” Seakan menunjuk kepada spekulasi sang filsuf tersebut, Sang Buddha bertanya, AKU? AKU yang mana? Yang mana yang bernama AKU? Karenanya, Rene Descartes merupakan seorang delusif yang mengutarakan pendapat semata berdasarkan spekulasi yang spekulatif (seorang penghayal), alias kekelirutahuan, tahu namun (sayangnya) keliru. Sebaliknya, Sang Buddha tidak sedang berspekulasi, namun menemukan, melihat, serta menembus langsung dengan usahanya sendiri, apa yang kini dikenal dengan istilah “the four noble truths” (empat kebenaran mulia)—yang terdiri dari dukkha, penyebab dukkha, akhir dari dukkha, dan jalan menuju akhir dari dukkha.

Ulasan ini tidak penulis susun dengan memakai analogi yang sukar dicerna oleh umat awam atau bahkan yang bagi mereka yang masih belum pernah mengenal ajaran Sang Buddha tentang “tiga corak umum” segala sesuatunya yang masih berkondisi, yakni : anicca (senantiasa berubah, tiada yang pasti selain ketikdapastian itu sendiri, dan juga tidak dapat dipegang erat-erat), dukkha (kekecewaan, dirudung permainan dahaga, dan penuh ketidakpuasan), serta anatta (tiada eksistensi entitas bernama diri atau tiada-AKU). Ketika tubuh kita merasakan sakit, atau perasaan kita merasakan perasaan kecewa, maka itulah yang sedang coba dikomunikasikan oleh tubuh dan perasaan kita, dengan bahasa mereka sendiri, bahwa tubuh dan perasaan ini sekalipun, bukanlah milik “AKU”, bahkan tiada yang bernama “AKU”.

Akibat delusi yang disebabkan “kekotoran batin yang menutupi pandangan mata kita”, sehingga tidak mampu melihat secara jenih “apa adanya”, kita berpikir bahwa kita tidak akan menjelma tua, bisa dipertahankan untuk selamanya, rigid, ajeg, mengikuti kehendak kita, dan kekal, baik itu tubuh fisik maupun roh. Berbicara perihal dukkha, lebih banyak diantara kita yang memilih menipu diri sendiri bahwasannya “hidup adalah nikmat”, yang karenanya bila kemudian menemukan dirinya merasakan derita dan pahit-getir kehidupan, maka ia akan merasa ada yang tidak beres terhadap hidupnya, dimana untuk itu dijadikan sebagai alasan pembenar bagi dirinya untuk merampas kebahagiaan milik orang lain—sekalipun orang lain pun dijerat oleh “tilakkhana” atau Tiga Corak Umum (the three marks of existence are three characteristics of all existence and beings, namely impermanence, non-self, and unsatisfactoriness or suffering).

Untuk memahami anicca dan dukkha, tampaknya dapat kita jadikan pemahaman kebenaran mengenai anatta sebagai pintu masuknya. Bermula pada suatu hari, penulis merasa senang karena mendapat kesempatan memakan makanan yang selama ini sangat penulis tunggu-tunggu dan sukai, dimana ketika tiba saat untuk menyantapnya, telah ternyata makanan tersebut telah basi, mengakibatkan citarasanya berubah menjadi asam, bahkan tidak lama kemudian penulis mengalami sakit perut akibat memaksakan diri mengonsumsinya. Selama ini, makanan tersebut penulis lekati label sebagai “makanan ENAK”. Namun, mengapa kini makanan “ENAK” (konotasinya “menyenangkan”) tersebut kini menjelma “TIDAK ENAK” (basi, yang konotasinya “menyakitkan”)? Lantas, apa sebenarnya nilai instrinsik yang layak kita lekatkan terhadap makanan tersebut, bila masih bersifat “penuh syarat” demikian? Kebahagiaan sejati, tidak mengenal syarat serta membebaskan, bukan sebaliknya, “penuh syarat”.

Sehingga, patut untuk penulis pertanyakan, sebenarnya apa itu “ENAK”? Apa yang dimaksud dengan “ENAK”? Ada juga jenis makanan yang semula tampak begitu “LEZAT NIKMAT” pada mulanya ketika kali-pertama mencicipi. Namun seiring dengan waktu secara rutin mengonsumsinya, pada akhirnya menjelma “bosan” dan “menjemukan”. Jika memang “LEZAT NIKMAT”, maka mengapa bisa berubah menjelma sebaliknya, “MEMBOSANKAN” dan “MENJEMUKAN”? Tidak terkecuali buah-buahan yang selama ini kita kenal sebagai buah-buahan yang enak dan manis citarasanya, bahkan memiliki nilai jual yang tinggi di pasaran dimana harus kita tebus dengan harga yang tinggi untuk membeli dan membawanya pulang, konsumsi butir pertama akan terasa “NIKMAT”, namun cobalah untuk terus mengonsumsinya hingga butir kesepuluh, bagaimana rasanya?

Teori dasar ekonomi mengenal istilah teori “marginalisasi nilai”, yang bermakna ketika konsumen mengonsumsi sebutir jeruk maka akan memperoleh kenikmatan, berpuncak pada butir ketiga, namun merosot dan menukik turun secara drastis ketika seseorang dipaksa memakannya hingga butir kesepuluh. Karenanya, nilai intrinsik dan ekstrinsik dari buah bernama jeruk ini, apakah sejatinya atau hakekatnya ialah “NIKMAT” ataukah apa? Jika memang sejatinya ialah “NIKMAT”, maka mengapa ia begitu bergantung pada kondisi dan terkondisikan (penuh syarat)? Pencetus teori ekonomi perihal “marginalisasi nilai”, lebih patut diberi gelar sebagai seorang filsuf ketimbang Rene Descartes, karena perspektifnya lebih “membumi” dan rasional sebagai landasan telaahnya.

Terdapat seorang tetangga di lingkungan kediaman penulis, belum lama ini menderita tekanan darah tinggi akibat mengonsumsi buah durian terlampau banyak. Menurut yang bersangkutan, akibat “keenakan” memakan satu butir durian, lantas menyantap sekaligus tiga butir hingga tuntas. Akibatnya, alih-alih merasakan “NIKMAT”, sang durian telah memperbudak sang konsumen hingga tidak mampu mengendalikan diri, bermuara pada derita penyakit yang timbul sebagai penyertanya, dimana itu serupa “berenang-renang ke tepian, berakit-rakit ke hulu”. Nikmat hanya sekian menit saat mengonsumsinya, sakit berhari-hari sebagai derita yang harus ditanggung sebagai konsekuensinya.

Terdapat pula seseorang yang penulis kenal, memiliki berbagai bidang usaha yang cukup sukses. Dirinya bisa disebut sebagai seorang wirausahawan yang makmur dan berhasil. Pada mulanya, kita mungkin merasakan perasaan iri atau cemburu, bila membandingkan tingkat ekonomi antara diri kita dan diri sang pengusaha. Namun, tidak lama berselang, penulis menemukan dirinya terserang penyakit struk, sehingga lumpuh separuh tubuhnya dan juga kehilangan sebagian ingatan miliknya. Apakah yang dimaksud dengan “beruntung”, jika demikian?

Pada mulanya kita berpikir mereka yang disebut sebagai “beruntung”, adalah yang makmur dari segi ekonomi. Pada akhirnya, kita menemukan bahwa kesehatan adalah harta terbesar kita. Itu pun, tidak dapat kita pegang secara erat untuk selamanya. Potensi terserang penyakit degeneratif serupa, peluangnya besar sekali untuk kita sendiri alami, saat usia muda kita telah berlalu dan memasuki usia senja. Bila tidak penyakit fisik-lahiriah, maka penyakit mental-psikis seperti stres menghadapi anak-cucu yang nakal, dan sebagainya.

Begitu lazimnya hal itu kita temukan di keseharian, pada teman kita, kerabat kita, kenalan kita, bahkan anggota keluarga kita, sehingga kita menganggapnya sebagai hal yang “normal” saja sehingga jarang dan hampir tidak pernah kita pertanyakan secara kritis sebagaimana Pangeran Siddhatta Gotama saat melihat realita adanya usia tua, sakit, dan kematian. Yang “normal”, jarang dikritisi dan dievaluasi. Hanya seorang revolusioner, yang berani mempertanyakan hal-hal “normal” yang menjadi kelaziman selama ini. Karena itulah, Pangeran Siddhatta Gotama berjuang “melawan arus”, demi menemukan kebenaran dibalik semua fenomena ini, sebelum akhirnya merealisasi ke-Buddha-an.

Dapat pula kita saksikan sendiri dalam keseharian, betapa kita menaruh rasa suka terhadap seseorang yang memiliki wajah atau postur tubuh yang menurut perspektif kita (saat itu) ialah “cantik” atau “rupawan-tampan”. Saat kita telah lama tidak berjumpa dengannya dan kini kembali bertemu, kecantikan ataupun ketampanan tersebut besar kemungkinan telah “luntur”. Sehingga, apakah hakiki dari “cantik” ataupun “tampan”? Bahkan, tidak jarang pula kita alami, dari semula kita menaruh rasa suka pada seseorang, berakhir pada rasa jijik, muak, serta alergi, kontras yang sangat bertolak-belakang dari kesan pertama kita terhadap mereka. Dulu mungkin “iya”, kini “tidak lagi” menaruh rasa suka terhadap paras diri mereka. Artinya, kesemua itu tunduk pada kondisi dan terkondisikan, bergantung pada kondisi. Ketika kondisinya berubah, maka berubah pula pandangan dan penilaian diri kita. Itulah, permainan kehidupan.

Ada cinta, maka ada benci. Tiada kata “cinta”, maka tiada akan kita mengenal kata “benci”. Semakin kita mencintai diri seseorang, semakin besar potensi diri kita menaruh rasa benci terhadap diri mereka. Bisa juga terjadi, Anda hidup rukun dan sangat mencintai pasangan hidup Anda hingga tua. Ketika salah satu dari Anda meninggal dunia terlebih dahulu, betapa hancur hati Anda dan dihantui kesepian untuk sisa hidup Anda, itulah “dukkha”, derita pasangan yang saling mencintai, tidak terhindarkan. Karenanya, apa hakikat dari “cinta”?

Seseorang akibat cinta, membuat pengorbanan diri yang besar bagi sang terkasih. Namun akibat dikecewakan oleh sang terkasih, lahirlah kebencian dalam diri yang pada mulanya menaruh rasa cinta. Perkawinan bisa jadi bermula dari rasa cinta, namun tidak tertutup kemungkinan akan berakhir dengan kebencian dalam wujud perceraian, bahkan gugat-menggugat harta gono-gini. Akibat dicintai secara “posesif”, seorang suami menganiaya istrinya akibat rasa “cemburu”. Jika saja sang suami tidak mencintai istrinya, maka mungkin tidak akan itu sampai terjadi, dan merelakan sang istri dengan melepaskannya untuk bercerai dan kembali menikahi pria lain.

Bermula dari seorang anak yang diberi nama sebagai “bocah”, kemudian tumbuh besar menjadi orang “dewasa”, kemudian melahirkan dan berubah status menjadi “orangtua”, menjadi “kakek-nenek”, menjadi “buyut”, dan seterusnya. Dari semula lemah tidak berdaya, kemudian menjelma menjadi diktator yang aroganis, sebelum kemudian menjadi seorang lanjut-usia yang lemah dan tua renta, sebelum kemudian takluk di bawah supremasi dewa pencabut nyawa.

Ada yang pada mulanya dinilai “bodoh”, namun kemudian menjelma “jenius”, sebagaimana kisah dongeng fabel klasik “si angsa buruk rupa” dari semula dianggap sebagai bebek yang buruk rupa namun menjelma angsa putih yang mampu terbang tinggi di angkasa. Akhirnya, mereka semua masuk ke muara yang sama, yakni samudera samsara siklus kelahiran kembali tidak berkesudahan, dari puncak gunung tertinggi atau dataran rendah manapun mereka semula berasal. Yang kaya, yang miskin, yang pintar, yang bodoh, yang rupawan, yang buruk rupa, tidak terkecuali, tunduk pada siklus lingkaran samsara, dukkha itu sendiri.

Kesemua itu terjadi akibat sifat ketidak-kekalan segala sesuatunya yang masih berkondisi (anicca). Akibat selalu berubah, maka tiada yang dapat kita genggam secara erat. Akibat tiada yang dapat kita pegang dan genggam secara erat, maka ia cenderung mengecewakan, diluar kendali kita. Tiada yang menyukai ketidakpastian. Orang-orang membayar mahal polis asuransi, semata untuk “alih resiko” ketidakpastian yang tidak terduga. Akibat harus membayar polis asuransi, seseorang harus bekerja keras mencari nafkah dan penghasilan. Tersandera oleh profesi dan pekerjaan, artinya menjadi budak dari pekerjaan, jika perlu dan terpaksa bekerja untuk seumur hidup, hidup untuk bekerja. Menjadi budak, artinya tidak bebas. Tidak bebas, artinya tidak merdeka. Tidak merdeka, artinya terjajah. Dan terjajah artinya derita hidup itu sendiri (dukkha).

Ketika “kenyang”, kita merasa lega dan gembira. Namun, rasa “kenyang” itu sendiri akan bertahan berapa lama? Sungguh kita diperbudak dan disandera dahaga kelaparan dan kehausan, tidak terkecuali keharusan untuk rutin buang air besar dan air kecil. Dimana kita diharuskan secara rutin mengasup makanan ke tubuh kita, dua sampai tiga kali untuk setiap harinya, semata agar tidak “kelaparan”. Habis “kenyang”, terbitlah “lapar”, derita itu sendiri. Bagaikan pepatah, habis “gelap”, terbitlah “terang”, sebelum kemudian kembali menjadi “gelap”. Sehingga, apakah itu “kenyang” ataupun “terang”? Bila “kenyang” dan “terang” adalah kebahagiaan dan merupakan suatu entitas diri, mengapa bisa berubah menjadi “lapar” dan “gelap”? Jika kesemua itu adalah “AKU”, tentu bukanlah sifatnya “AKU” untuk bergerak melawan kehendak dan kepentingan diri “AKU” itu sendiri dengan berubahnya dari “kenyang” menjadi “lapar”.

Ketika kita letih dan mengantuk setelah seharian bekerja, maka kita menginginkan “tidur”, terlelap secara nyenyak, bebas dari gangguan, hening, berpendingin udara, ranjang yang empuk, bila perlu mimpi yang indah. Tidak sedikit orang-orang yang mengonsumsi pil obat tidur, semata karena tidak dapat kunjung tidur. Bagi mereka, “tidur” adalah “nikmat” dan “kebahagiaan” yang bahkan menurut pengakuan sejumlah orang bahwasannya tidur adalah hal yang paling membahagiakan dan paling melegakan.

Jika itu benar, bahwa “tidur” adalah “kenikmatan”, mengapa Anda tidak tidur untuk selamanya, “rest in peace”, jika perlu tidak lagi bangun untuk selamanya dan merepotkan diri dengan segala pekerjaan dan sebagainya? Tidur, dapat menjelma siksaan itu sendiri, ketika kita mendapati bahwa aktivitas kita dikeseharian lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan “tidur” yang tidak produktif dimana segala tagihan menumpuk, terlebih “tidak bisa tertidur pulas” meski sudah berjam-jam berbaring di atas ranjang kesayangan Anda. Coba saja tidur untuk sepanjang hari, Anda akan disiksa oleh perut Anda yang berbunyi karena kelaparan atau kandung-kemih Anda yang bengkak.

Itulah sebabnya, kebahagiaan surgawi di alam surga tidaklah mungkin berupa kesenangan duniawi semacam bersetubuh dengan puluhan bidadari berdada “montok”. Kebahagiaan surgawi, lebih mungkin bila berupa kegembiraan meditatif dari praktik melepas dan ketidak-melekatan, keheningan, dan ketenteraman tidak terbakar oleh perbudakan nafsu. Kenikmatan duniawi, selalu akan terbentur oleh dirudungnya dahaga (kepuasan temporer sesaat, selebihnya terbakar oleh nafsu dan terbudaki), kebosanan, kejemuan, keserakahan (sehingga tidak mengherankan bila kemudian “over dosis”, satu tidak cukup maka dua pun tidak akan cukup), dan jungkir-balik untuk setiap harinya mencari pemuasan akibat ketidakpuasan dan belum terpuaskan. Hanya ketika seseorang memilih keheningan meditatif, artinya hidupnya telah cukup berpuas hati dan berpuas diri. Bagaimana mungkin juga, kebahagiaan di alam surgawi digambarkan tidak ubahnya kesenangan duniawi, sedangkal kegembiraan inderawi yang rendahan?

Kehidupan bangsa dan negara yang “damai”, adalah “nikmat”. Namun, tidak sedikit anak muda kita yang tergila-gila pada sinema bertema perang militer dan peperangan penuh pertumpahan darah yang berdarah-darah, ataupun menghabiskan waktu mereka untuk bermain “video game” bertema perang bunuh-membunuh yang penuh teror dan ketakutan. Ketika ketenangan lingkungan pemukiman yang selama ini tercipta oleh kondisi “damai”, sebagian warga merasa jemu dan bosan, lantas mengusiknya dengan membuat onar ataupun kegiatan usaha yang merampas ketenangan warga pemukim ataupun kegaduhan lainnya.

Dari semula bodoh, kita bersusah-payah belajar dan menimba ilmu agar menjadi “cerdas”. “Cerdas” atau “pandai”, pangkal “kaya”. “Kaya”, pangkal dari “kemakmuran”. “Kemakmuran”, dinilai sebagai pangkal dari “kebahagiaan”. Namun, bagaimanapun kita berupaya menolak bertambahnya umur memasuki usia paruh baya, kita menjelma manusia yang “pikun”, pangkal dari “derita”, tanpa dapat kita tolak ataupun hindari. Hanya persoalan waktu, cepat atau lambat. Kepikunan, dapat juga menyerang pada usia yang lebih muda, bernama Alzheimer, dimana bahkan penderitanya tidak mampu mengingat nama sendiri, tidak mengenali anggota keluarga sendiri, tidak mengingat jalan pulang, serta kembali menjadi kekanak-kanakan. Jangankan mengingat “past life”, kita bahkan kerap lupa dimana kita menaruh anak kunci. Jika ingatan dan memori adalah “AKU”, mengapa bisa lupa atau bahkan tidak jarang keliru mengingatnya?

“Kekayaan”, diyakini sebagai sumber “surga duniawi”. Namun siapapun akan mengalami, hidup yang bagai roda yang terus berputar, ada waktunya berada di bawah, dan ada kalanya berada di atas. Kepemilikan duniawi, adalah sumber kemelekatan, dimana kemelekatan adalah sumber “derita duniawi”. Ketika ajal menjelang, timbul kemelekatan terhadap harta-harta yang dikumpulkan olehnya semasa hidup dengan jirih-payah dan susah-payah disamping pengorbanan waktu masa mudanya untuk bekerja mengumpulkan harta, tidak rela melepaskannya, maka meninggal dalam kondisi jiwa dan pikiran yang “tidak tenang”. Tersandera dan dikuasai oleh harta, bukan sebaliknya. Karenanya, tidak selamanya “kekayaan” materi duniawi menjadi sumber “surga duniawi”. Almarhum yang meninggalkan harta warisan, mungkin akan bersedih mendapati anak-cucu sebagai ahli warisnya saling bersengketa memperebutkan harta warisan peninggalan almarhum. Harta, dapat menjadi sumber “neraka kehidupan duniawi”.

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Bersatu, dinilai sebagai “bahagia”. Jika memang demikian halnya, mengapa beberapa provinsi di republik ini kerap berunjuk-raya meminta dilakukan pemekaran atau bahkan menuntut kemerdekaan alias pemisahan diri dari negara kesatuan bernama Republik Indonesia? Memiliki yang kita sukai dan sayangi, artinya menggembirakan, yang mereka sebut sebagai “kebahagiaan”. Namun, disaat bersamaan mereka selalu dirudung oleh potensi akan kehilangan orang-orang ataupun hal-hal yang mereka miliki dan sukai / sayangi, sampai akhirnya putaran waktu berbicara dan memisahkan mereka, itulah ketika “dukkha” menampilkan supremasinya, merenggut apa yang Anda cintai dan kasihi.

Pada salah satu pitaka dari Tipitaka, yakni Sutta Pitaka, cluster Sayutta Nikāya (SN) 22.59, terdapat khotbah Sang Buddha bernama Anatta-lakkhana Sutta: The Discourse on the Not-self Characteristic, diterjemahkan dari Bahasa Pali oleh Ñanamoli Thera, yang menjadi rujukan utama telaah mengenai “tiada diri”, dengan kutipan sebagai berikut:

Thus I heard. On one occasion the Blessed One was living at Benares, in the Deer Park at Isipatana (the Resort of Seers). There he addressed the bhikkhus of the group of five: “Bhikkhus.” — “Venerable sir,” they replied. The Blessed One said this.

“Bhikkhus, form is not-self. Were form self, then this form would not lead to affliction, and one could have it of form: ‘Let my form be thus, let my form be not thus.’ And since form is not-self, so it leads to affliction, and none can have it of form: ‘Let my form be thus, let my form be not thus.’

“Bhikkhus, feeling is not-self...

“Bhikkhus, perception is not-self...

“Bhikkhus, determinations are not-self...

“Bhikkhus, consciousness is not self. Were consciousness self, then this consciousness would not lead to affliction, and one could have it of consciousness: ‘Let my consciousness be thus, let my consciousness be not thus.’ And since consciousness is not-self, so it leads to affliction, and none can have it of consciousness: ‘Let my consciousness be thus, let my consciousness be not thus.’

“Bhikkhus, how do you conceive it: is form permanent or impermanent?” — “Impermanent, venerable Sir.” — “Now is what is impermanent painful or pleasant?” — “Painful, venerable Sir.” — “Now is what is impermanent, what is painful since subject to change, fit to be regarded thus: ‘This is mine, this is I, this is my self’”? — “No, venerable sir.”

“Is feeling permanent or impermanent?...

“Is perception permanent or impermanent?...

“Are determinations permanent or impermanent?...

“Is consciousness permanent or impermanent?” — “Impermanent, venerable sir.” — “Now is what is impermanent pleasant or painful?” — “Painful, venerable sir.” — “Now is what is impermanent, what is painful since subject to change, fit to be regarded thus: ‘This is mine, this is I, this is my self’”? — “No, venerable sir.”

“So, bhikkhus any kind of form whatever, whether past, future or presently arisen, whether gross or subtle, whether in oneself or external, whether inferior or superior, whether far or near, must with right understanding how it is, be regarded thus: ‘This is not mine, this is not I, this is not myself.’

“Any kind of feeling whatever...

“Any kind of perception whatever...

“Any kind of determination whatever...

“Any kind of consciousness whatever, whether past, future or presently arisen, whether gross or subtle, whether in oneself or external, whether inferior or superior, whether far or near must, with right understanding how it is, be regarded thus: ‘This is not mine, this is not I, this is not my self.’

“Bhikkhus, when a noble follower who has heard (the truth) sees thus, he finds estrangement in form, he finds estrangement in feeling, he finds estrangement in perception, he finds estrangement in determinations, he finds estrangement in consciousness.

When he finds estrangement, passion fades out. With the fading of passion, he is liberated. When liberated, there is knowledge that he is liberated. He understands: ‘Birth is exhausted, the holy life has been lived out, what can be done is done, of this there is no more beyond.’”

That is what the Blessed One said. The bhikkhus were glad, and they approved his words.

Now during this utterance, the hearts of the bhikkhus of the group of five were liberated from taints through clinging no more.

[Anatta-lakkhana Sutta: The Discourse on the Not-self Characteristic (SN 22.59), translated from the Pali by Ñanamoli Thera. Access to Insight (BCBS Edition), 13 June 2010, Buddhist Publication Society.]

Adapun terjemahan Anatta-lakkhana Sutta dari Bahasa Pali oleh N.K.G. Mendis, 2007, dengan kutipan sebagai berikut:

Thus it was heard by me. At one time the Blessed One was living in the deer park of Isipatana near Benares. There, indeed, the Blessed One addressed the group of five monks.

“Form, O monks, is not-self; if form were self, then form would not lead to affliction and it should obtain regarding form: ‘May my form be thus, may my form not be thus’; and indeed, O monks, since form is not-self, therefore form leads to affliction and it does not obtain regarding form: ‘May my form be thus, may my form not be thus.’

“Feeling, O monks, is not-self; if feeling were self, then feeling would not lead to affliction and it should obtain regarding feeling: ‘May my feeling be thus, may my feeling not be thus’; and indeed, O monks, since feeling is not-self, therefore feeling leads to affliction and it does not obtain regarding feeling: ‘May my feeling be thus, may my feeling not be thus.’

“Perception, O monks, is not-self; if perception were self, then perception would not lead to affliction and it should obtain regarding perception: ‘May my perception be thus, may my perception not be thus’; and indeed, O monks, since perception is not-self, therefore, perception leads to affliction and it does not obtain regarding perception: ‘May my perception be thus, may my perception not be thus.’

“Mental formations, O monks, are not-self; if mental formations were self, then mental formations would not lead to affliction and it should obtain regarding mental formations: ‘May my perception be thus, may my mental formations not be thus’; and indeed, O monks, since mental formations are not-self, therefore, mental formations lead to affliction and it does not obtain regarding mental formations: ‘May my mental formations be thus, may my mental formations not be thus.’

“Consciousness, O monks, is not-self; if consciousness were self, then consciousness would not lead to affliction and it should obtain regarding consciousness: ‘May my consciousness be thus, may my consciousness not be thus’; and indeed, O monks, since consciousness is not-self, therefore, consciousness leads to affliction and it does not obtain regarding consciousness: ‘May my consciousness be thus, may my consciousness not be thus.’

“What do you think of this, O monks? Is form permanent or impermanent?”

“Impermanent, O Lord.”

“Now, that which is impermanent, is it unsatisfactory or satisfactory?”

“Unsatisfactory, O Lord.”

“Now, that which is impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard that as: ‘This is mine, this I am, this is my self’?”

“Indeed, not that, O Lord.”

“What do you think of this, O monks? Is feeling permanent or impermanent?”

“Impermanent, O Lord.”

“Now, that which is impermanent, is it unsatisfactory or satisfactory?”

“Unsatisfactory, O Lord.”

“Now, that which is impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard that as: 'This is mine, this I am, this is my self'?”

“Indeed, not that, O Lord.”

“What do you think of this, O monks? Is perception permanent or impermanent?”

“Impermanent, O Lord.”

“Now, what is impermanent, is it unsatisfactory or satisfactory?”

“Unsatisfactory, O Lord.”

“Now, that which is impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard that as: ‘This is mine, this I am, this is my self’?”

“Indeed, not that, O Lord.”

“What do you think of this, O monks? Are mental formations permanent or impermanent?”

“Impermanent, O Lord.”

“Now, those that are impermanent, are they unsatisfactory or satisfactory?”

“Unsatisfactory, O Lord.”

“Now, those that are impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard them as: ‘They are mine, this I am, this is my self’?”

“Indeed, not that, O Lord.”

“Now what do you think of this, O monks? Is consciousness permanent or impermanent?”

“Impermanent, O Lord.”

Now, what is impermanent, is that unsatisfactory or satisfactory?

Unsatisfactory, O Lord.”

“Now, what is impermanent, unsatisfactory, subject to change, is it proper to regard it as: ‘This is mine, this I am, this is my self’?

Indeed, not that, O Lord.”

“Therefore, surely, O monks, whatever form, past, future or present, internal or external, coarse or fine, low or lofty, far or near, all that form must be regarded with proper wisdom, according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my self.’

“Therefore, surely, O monks, whatever feeling, past, future or present, internal or external, coarse or fine, low or lofty, far or near, all that feeling must be regarded with proper wisdom, according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my self.’

“Therefore, surely, O monks, whatever perception, past, future or present, internal or external, coarse or fine, low or lofty, far or near, all that perception must be regarded with proper wisdom, according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my self.’

“Therefore, surely, O monks, whatever mental formations, past, future or present, internal or external, coarse or fine, low or lofty, far or near, all those mental formations must be regarded with proper wisdom, according to reality, thus: ‘These are not mine, this I am not, this is not my self.’

“Therefore, surely, O monks, whatever consciousness, past, future or present, internal or external, coarse or fine, low or lofty, far or near, all that consciousness must be regarded with proper wisdom, according to reality, thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my self.’

“O monks, the well-instructed noble disciple, seeing thus, gets wearied of form, gets wearied of feeling, gets wearied of perception, gets wearied of mental formations, gets wearied of consciousness. Being wearied he becomes passion-free. In his freedom from passion, he is emancipated. Being emancipated, there is the knowledge that he is emancipated. He knows: ‘birth is exhausted, lived is the holy life, what had to be done is done, there is nothing more of this becoming.’”

This the Blessed One said. Pleased, the group of five monks were delighted with the exposition of the Blessed One; moreover, as this exposition was being spoken, the minds of the group of five monks were freed of defilements, without attachment.

Indeed, at that time there were six arahants in the world.

[Anatta-lakkhana Sutta: The Discourse on the Not-self Characteristic (SN 22.59), translated from the Pali by N.K.G. Mendis. Access to Insight (BCBS Edition), 13 June 2010, Buddhist Publication Society.]

Adapun Anattalakkhaasutta dalam Sayutta Nikāya yang diterjemahkan dari Bahasa Pali oleh Bhikkhu Bodhi, dengan kutipan sebagai berikut:

Connected Discourses on the Aggregates

22.59. The Characteristic of Nonself

Thus have I heard. On one occasion the Blessed One was dwelling at Baraasi in the Deer Park at Isipatana. There the Blessed One addressed the bhikkhus of the group of five thus: “Bhikkhus!”

“Venerable sir!” those bhikkhus replied. The Blessed One said this:

“Bhikkhus, form is nonself. For if, bhikkhus, form were self, this form would not lead to affliction, and it would be possible to have it of form: ‘Let my form be thus; let my form not be thus.’ But because form is nonself, form leads to affliction, and it is not possible to have it of form: ‘Let my form be thus; let my form not be thus.’

“Feeling is nonself…. … Perception is nonself…. Volitional formations are nonself…. Consciousness is nonself. For if, bhikkhus, consciousness were self, this consciousness would not lead to affliction, and it would be possible to have it of consciousness: ‘Let my consciousness be thus; let my consciousness not be thus.’ But because consciousness is nonself, consciousness leads to affliction, and it is not possible to have it of consciousness: ‘Let my consciousness be thus; let my consciousness not be thus.’

“What do you think, bhikkhus, is form permanent or impermanent?”—“Impermanent, venerable sir.”—“Is what is impermanent suffering or happiness?”—“Suffering, venerable sir.”—“Is what is impermanent, suffering, and subject to change fit to be regarded thus: ‘This is mine, this I am, this is my self’?”—“No, venerable sir.”

“Is feeling permanent or impermanent?… Is perception permanent or impermanent?… Are volitional formations permanent or impermanent?… Is consciousness permanent or impermanent?”—“Impermanent, venerable sir.”—“Is what is impermanent suffering or happiness?”— “Suffering, venerable sir.”—“Is what is impermanent, suffering, and subject to change fit to be regarded thus: ‘This is mine, this I am, this is my self’?”—“No, venerable sir.”

“Therefore, bhikkhus, any kind of form whatsoever, whether past, future, or present, internal or external, gross or subtle, inferior or superior, far or near, all form should be seen as it really is with correct wisdom thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my self.’

“Any kind of feeling whatsoever … Any kind of perception whatsoever … Any kind of volitional formations whatsoever … Any kind of consciousness whatsoever, whether past, future, or present, internal or external, gross or subtle, inferior or superior, far or near, all consciousness should be seen as it really is with correct wisdom thus: ‘This is not mine, this I am not, this is not my self.’

“Seeing thus, bhikkhus, the instructed noble disciple experiences revulsion towards form, revulsion towards feeling, revulsion towards perception, revulsion towards volitional formations, revulsion towards consciousness. Experiencing revulsion, he becomes dispassionate. Through dispassion his mind is liberated. When it is liberated there comes the knowledge: ‘It’s liberated.’ He understands: ‘Destroyed is birth, the holy life has been lived, what had to be done has been done, there is no more for this state of being.’”

That is what the Blessed One said. Elated, those bhikkhus delighted in the Blessed One’s statement. And while this discourse was being spoken, the minds of the bhikkhus of the group of five were liberated from the taints by nonclinging.

Kita memiliki mis-persepsi, bahwasannya “si pengatur” dan “si pengendali” (kehendak) serta “si pengetahu” (kesadaran) ialah “AKU”. Namun secara berkesinambungan pikiran dan tubuh kita selalu berkata lain, akan tetapi masih juga kita bersikukuh bahwa kesemua ini adalah “AKU”, “milik AKU”, “diri AKU”. Secara membuta, atau mungkin karena ketakutan atau juga karena arogansi, kita memilih untuk menipu diri sendiri, bahwa harus ada “AKU”, segoyianya ada “AKU”, dan inginnya ada “AKU”. Begitu menakutkannya bagi kebanyakan dari kita, ketika Sang Buddha menyatakan sebaliknya, bahwa kita tidak benar-benar eksis secara hakiki, tidak ada si pengemudi, juga tidak ada si penumpang. Dunia ini hanyalah sekumpulan proses sebab dan akibat, namun nir-esensi juga tiada entitas bernama “diri” ataupun “AKU”.

Anattalakkhaa Sutta adalah sutta kedua yang dibabarkan oleh Sang Buddha kepada lima pertapa yang menjadi murid pertama Sang Buddha, sekaligus sebagai para mantan guru Pangeran Sidharta. Banyak manusia yang berpandangan bahwa ada satu entitas tunggal manunggal yang disebut “roh” yang berdiam di dalam tubuh jasmani—yang sering terjadi mispersepsi sebagai “ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diri aku”. Ketiga pernyataan ini sebenarnya merupakan wujud dari kehausan (ta), kesombongan (māna) dan pandangan salah (diṭṭhi) yang juga disebut sebagai papañca dhamma, yaitu dhamma yang memperpanjang rangkaian lima agregat (pañcakkhandha) melalui kelahiran dan kematian yang berulang. Wujud pandangan keliru lainnya ialah memandang bahwa “si pelaku” dan “si pengetahu” ialah “AKU”, atau memandang bahwa kesadaran kita itulah si “AKU”.

Adanya pandangan mengenai “AKU”, itu merupakan pandangan konvensional dalam bahasa sehari-hari, sebagaimana masing-masing dari kita diberikan nama panggilan. Namun dalam bahasa Dhamma, bahasa tentang kebenaran, tiada “AKU”. Di awal pembabaran tentang anatta tersebut, Sang Buddha menyampaikan bahwa pañcakkhandha yang terdiri dari lima gugus agregat berupa materi (rūpakkhandha), perasaan (vedanākkhandha), persepsi (saññakkhandha), formasi-formasi batin (sakhārakkhandha), dan agregat kesadaran (viññānakkhandha) adalah bukan “AKU” atau bukanlah “AKU”. Sang Buddha menjelaskan lewat dialog, apabila pañcakkhandha adalah “AKU”, maka lima agregat ini tidak semestinya dan bukan sifatnya menuntun (justru) ke penderitaan, kita bahkan dapat memerintah lima agregat dalam diri kita sesuai dengan kehendak kita untuk menjadi demikian dan jangan menjadi seperti itu. Bahkan, kita acapkali bergerak menyakiti diri kita sendiri, yang menjadi ambigu bahwa bagaimana mungkin “AKU” menyakiti “AKU”?

Akan tetapi, hal-hal itu tidak selalu akan berjalan sebagaimana kita benar-benar kehendaki ataupun harapkan, kita tidak bisa mengendalikan perasaan bahagia untuk terus muncul dan perasaan duka jangan pernah muncul. Berdasarkan pemahaman demikian, kita dapat merenungkan bahwa tidak ada “AKU” atau entitas bernama diri, terlebih kepemilikan. Ada yang berpandangan, untuk memahami anattā, dimulai dari pintu masuk pemahaman mengenai ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan (dukkha) dengan alasan karena kedua fenomena tersebut lebih jelas terlihat dibandingkan anattā.

Akan tetapi, yang menjadi problema, kita telah begitu terbiasanya dengan semua fenomena fisik dan mental / batin yang bergerak diluar kehendak ataupun kendali dan harapan kita, dimana kita memandangnya sebagai hal yang lumrah atau lazim saja adanya sebagai bagian dari kehidupan manusia pada umumnya, karenanya tidak memicu daya selidik ataupun analitik mereka kepada apa yang menjadi akar penyebabnya. Sebaliknya, dengan bergerak lebih maju, pemahaman tentang anatta, kita mulai lebih mampu memandang dengan jernih, tentang apa itu anicca dan dukkha, ibarat seekor ikan yang selama hidupnya hidup di dalam “air”, barulah mengetahui apa itu “air” ketika dirinya dikeluarkan dari dalam “air”.

Setelah pembabaran Sutta tentang “tiada entitas bernama AKU” tersebut, kelima pertapa mencapai tingkat kesucian Arahat. Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya, ketidakkekalan mengarahkan kita kepada kekecewaan, dan kekecewaan membawa kita kepada dua pilihan : menyadari dan mengakui atau memungkirinya, bahwa tiada “AKU”. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat kebenaran yang melampaui pandangan konvensional mengenai eksistensi diri, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan bernama siklus lingkaran samsara (tumimbal lahir). Inilah jalan yang akan membawa pada motivasi untuk mengakhiri segala proses sebab dan akibat, yakni terputusnya belenggu rantai karma (break the shackle of karma).

Sebelum akhirnya merealisasi ke-Buddha-an, Pangeran Siddhattha memulai penyelidikan dari fenomena yang ia amati saat melihat dunia luar, eksistensi tidak terhindarkan bernama menjadi “tua, sakit, kemudian meninggal dunia; dari semula muda, sehat, dan hidup”, sebelum akhirnya mencapai pencerahan sempurna dan memperoleh pengetahuan atas usahanya sendiri, dimana Sang Buddha menemukan bahwa segala fenomena batin maupun jasmani yang selalu berubah (timbul dan tenggelam secara berkesinambungan) adalah sumber penderitaan, diakibatkan oleh tiadanya suatu entitas bernama diri yang dalam bahsa konvensional kita namakan sebagai “AKU”. Dalam khotbah tentang lima agregat, Sang Buddha berkata kepada kelima murid-Nya :

Para Bhikku, sesungguhnya, rupa bukanlah diri, karena bukan-diri, maka cenderung mengalami penderitaan dan kesusahan. Dan adalah tidak mungkin untuk mengatakan tentang rupa : biarlah rupa seperti ini (dalam kondisi terbaik); biarlah rupa tidak seperti ini (dalam kondisi terburuk). Tidaklah mungkin mempengaruhi dan mengatur rupa dengan cara ini.”

Hal ini kemudian dilanjutkan ke khotbah selanjutnya, khotbah yang sama terhadap keempat agregat kehidupan lain selain tubuh jasmani / materi, yakni perasaan, persepsi, kesadaran, dan kehendak. Dari semua agregat penyusun kehidupan, dapat dikatakan selalu menimbulkan penderitaan karena senantiasa berubah sepanjang waktu, tidak terkendalikan sekalipun oleh kehendak kita. Kelima agregat tak dapat dikendalikan arah perubahannya serta tidak dapat dikendalikan sesuai keinginan.

Kemelekatan terhadap lima agregat ini adalah kemelekatan terhadap konsepsi “atta” (pandangan keliru mengenai adanya “AKU”). Apa yang kita konsepsikan selama ini secara konvensional sebagai “diri” sesungguhnya hanyalah sekumpulan dan serangkaian fenomena batin-jasmani yang bergerak secara simultan, muncul-tenggelam, dan selalu berubah. Fenomena ini bersifat universal dan tidak memiliki batas-batas individual atau pribadi. Sehingga, apa yang selama kita pahami sebagai “diri”, sesungguhnya “bukan-diri”. Lantas, apa yang terlahir kembali dalam lingkaran samsara? Jawabannya ialah “bukan AKU”, jiwa, roh, atau apapun itu sebutannya, namun hanyalah proses “sebab” dan “akibat”, dimana karma yang berbuah menjadi bahan bakar terjadinya kelahiran kembali. Sepanjang masih ada “sebab” sebagai bahan bakarnya, maka “akibat” akan lahir sebagai konsekuensinya, dalam wujud kelahiran kembali.

Sepasang suami-istri (pasutri), telah memiliki lusinan anak hasil perkawinan mereka. Ketika sang pasutri kembali melakukan hubungan intim suami-istri, lahirlah anak ketiga-belas, keempat-belas, dan seterusnya, meski tidak mereka kehendaki. Sang suami dan sang istri berpikir, bahwa itu adalah tubuh mereka sendiri, namun mengapa mereka tidak bisa mengatur dan mengendalikan atau memerinath sesuai kehendak mereka akan melahirkan atau tidaknya seorang bayi dalam janin sang istri? Mengapa kita butuh seseorang lain di luar sana bernama dokter, untuk menyembuhkan tubuh milik “AKU”? Sebaliknya, sepasang suami-istri telah menikah selama belasan tahun, namun belum juga kunjung melahirkan seorang anak pun. Sang pasutri menghendaki untuk memiliki anak, namun realita berkata lain, dan melawan kehendak mereka, meski itu “tubuh milik mereka” sendiri.

Tiada pasien yang menghendaki tumbuhnya sel tumor hingga kanker ganas pada tubuh mereka. Namun, sekalipun kita dan mereka berpikir bahwa ini adalah “tubuh milik kita”, kita masih juga tunduk pada hukum alam, yakni menjadi tua, sakit, dan meninggal dunia. Jika ini adalah “tubuh milik AKU”, maka mengapa tubuh ini justru seakan menentang kehendak dan keinginan “AKU” yang dipersepsikan sebagai “tubuh milik AKU”? Mengapa “AKU” dapat bergerak menyakiti diri “AKU” sendiri? Tentu, bukanlah sifat dasariahnya bagi “AKU” untuk bergerak menyakiti diri “AKU” sendiri.

Kita menolak menjadi sakit, menua, dan meninggal. Namun apa daya, kita bahkan tidak mampu mengendalikan “tubuh milik AKU” sendiri. karenanya, persepsi mengenai “AKU”, hanyalah delusi. Tiada inti, tiada diri, tiada AKU, tiada entitas, tiada intrinsik, tiada kepemilikan, tiada yang kekal, serta tiada yang dapat digenggam secara erat-erat. Kesemua yang berkondisi, akan lahir sesuai proses “sebab” yang ada sebagai bahan bakarnya, terlahirlah “akibat”, lantas mengeropos, bergerak sesuai sifat dan hukum alamiahnya sendiri, diluar kehendak kita.

Tanpa si pengemudi, dan tanpa si penumpang. Hidup adalah permainan tidak berkesudahan dari serangkaian proses sebab dan akibat. Hanya dengan upaya dan perjuangan serius untuk memutus “rantai belenggu karma”, siklus tumimbal lahir barulah akan terhenti untuk selamanya, terbebaskan sepenuhnya. Itulah jalan yang telah dilalui dan kini ditunjukkan oleh Sang Buddha. Selebihnya, terserah pada masing-masing dari kita, hendak terus terbakar api dukkha di samudera derita ini, ataukah mulai menyeberang ke “pantai seberang”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.