KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Manusia adalah Makhluk KEKANAKAN, Childish & Childlike (Emotionally Immature)

SENI PIKIR & TULIS

Tubuh sudah Pasti akan Menua, Rambut akan Memutih, Badan akan Membesar, namun bila Kebijaksanaan dan Kedewasaan Berpikir masih Dibiarkan Tetap Kerdil, itukah KEKANAK-KANAKAN

Tubuh Rutin Diberi Makanan Bergizi, Jiwa Diberi Asupan Nutrisi Ketenangan Batin, maka Pikiran juga Perlu Diberi Informasi serta Pemikiran yang Bermanfaat dan Positif, Itulah Cara Mengasuh Diri, Diri Kita Sendiri sebagai Guru Terbaik

Bila anak-anak si “manusia bermain” kerap tergoda mengikuti delusi karena memang dunia mereka adalah dunia fantasi yang tidak rasional, maka orang dewasa bisa tumbuh menjadi budak delusi sekalipun rasio mereka (semestinya) telah cukup berkembang. Ketika delusi seorang manusia dewasa justru kalah ketika berhadapan dengan delusi yang selama ini dipelihara dan bersarang di dalam kepalanya, itulah ketika para orang dewasa disebut sebagai bersifat “kekanak-kanakan” atau “menyerupai seorang kanak-kanak”. Seorang manusia, belajar dan mengeksplorasi dalam rangka untuk menjadi rasional, bukan sebaliknya menyuburkan dan melestarikan delusi diri yang tidak “membumi”.

Sewaktu penulis masih seorang bocah “dungu” di bangku Sekolah Dasar yang isi pikirannya lebih banyak tersita dan terobsesi terhadap kepingan-kepingan bergambar kartun yang bisa didapatkan dan dikoleksi puluhan variasi gambarnya dengan membeli snack dalam kemasan, ibarat “membeli kucing dalam karung” selayaknya anak-anak bodoh lain yang terjebak membelinya tidak pernah tahu akan mendapat keping bergambar apakah untuk bisa mereka koleksi hingga lengkap, sehingga hampir setiap harinya membeli snack tersebut, mendapati kekecewaan karena tidak mendapatkan keping bergambar yang belum dimiliki, menghabiskan seluruh uang jajan bahkan bila perlu merengek diberi uang jajan tambahan (bahkan mencuri) sekadar demi membeli snack yang minim gizi agar dapat mengoleksi keping bergambar, dan berdelusi bahwa dengan bisa mengoleksi seluruh keping bergambar hingga lengkap maka kita telah tuntas menjalani kehidupan ini dan “game over”, usai sudah, mission complete. Nyatanya, tidak demikian, itulah delusi.

Telah ternyata tidak, tidak benar-benar ada “moksa” setelah menderita dan melakukan pengorbanan besar “dimakan” (alih-alih “memakan”) ratusan kemasan snack yang berhasil membodohi kanak-kanak bodoh, yang hanya menguntungkan pedagang dan produsen snack tersebut yang pandai mengeksploitasi dan memperdaya anak-anak bocoh. Dimana si bocah terus saja terjebak dalam perangkap serupa, snack merek lainnya dengan mainan bodoh lainnya, membeli paket makanan pada gerai fastfood demi mendapatkan mainan yang tidak sampai satu minggu tampak membosankan yang tidak lama setelahnya tercampakkan ke alam sampah, dimana beranjak remaja tergila-gila pada konsol “video game” dan rela tidak tidur demi menuntaskan setiap permainan di dalamnya—sungguh “dikerjai” dan buang-buang waktu. Begitupula mereka para penggila film, musik, mengoleksinya hingga menjadi barang rongsokan yang memenuhi kamar di rumah.

Kini, setelah penulis beranjak dewasa, penulis mendapati fenomena “mental kekanakan” pada banyak kalangan sesama orang dewasa. Betapa tidak, para manusia dewasa berbondong-bondong dan berlomba-lomba membeli “snack” agar bisa mengoleksi banyak “keping bergambar” semacam harta tanah, aset, perusahaan, gerai waralaba, dan segala macam “mainan” lainnya seperti istri-istri, istri “simpanan”, “teman tapi mesra”, hingga mengoleksi banyak korban penipuan semacam “skema ponzi / piramida”. Mereka berpikir—lebih tepatnya “berasumsi”—dengan memiliki banyak aset tanah, maka mereka akan menuntaskan misi hidup mereka, dan meraih puncak tertinggi kebahagiaan yang bebas dari segala kecemasan ataupun derita kehidupan. Ini ibarat para penjud! yang terbakar oleh nafsu dan espektasi yang irasional, sehingga semakin mereka kalah dalam bertaruh, semakin mereka mencandu permainan untung-untungan.

Tidak sedikit kita saksikan atau jumpai, para “juragan tanah” dipusingkan hingga usianya menjelang lanjut usia (dikerjai alih-alih mengerjai), berbagai sengketa tanah yang dihadapi olehnya terkait tanah-tanah miliknya yang entah diserobot pihak ketiga, sengketa ahli waris, bahkan menjadi objek perebutan seperti anak menggugat orangtua, dirampas oleh tentara, muncul sertifikat berganda di atas bidang tanah yang sama, pembeli yang tidak membayar, dikuasai dan diduduki oleh preman / mafia tanah, dan segala kerumitan lainnya. Bukanlah sang “juragan tanah” yang menguasai tanah-tanah tersebut, namun bidang-bidang tanah tersebut yang telah menyandera dan menguasai hidup sang “juragan tanah” hingga hanya diisi oleh kepusingan, kecemasan, ketakutan, dan berbagai kondisi pikiran negatif lainnya.

Ada juga para pengusaha yang sudah menjadi milioner, masih demikian serakah, tidak mengenal puas diri, justru kian serakah (terbakar oleh ambisi yang bahkan dirinya sendiri tidak mengetahui apa keinginannya yang sebenarnya), masih juga dengan tamak tanpa rasa bersalah merampas hak-hak orang lain lewat tipu-muslihat dan tipu-daya, ingkar janji, menjebak, mengecoh, memperdaya konsumen, mengeksploitasi buruh dan tenaga kerjanya, mendirikan perusahaan yang beroperasi dengan banyak modus kejahatan dan tidak transparan disamping tidak akuntabel, menggelapkan kewajiban pembayaran pajak, hingga mencoba praktik monopoli usaha dengan mendirikan berbagai perusahaan baru sekadar sebagai boneka untuk mematikan kompetitor, namun masih pula terobsesi untuk mendirikan puluhan perusahaan baru lainnya dengan segala macam bidang usaha namun dengan karyawan yang harus mengerjakan kesemua itu ialah pegawai yang itu-itu saja yang kian berat beban yang harus mereka tanggung.

Seolah-olah kesemua perolehan semasa hidup sang pengusaha, entah secara legal ataupun secara ilegal, dapat mereka bawa mati setelah usia tua, penyakit, maupun kematian menjemputnya. Kita pasti mati, kita tidak luput dari kematian, demikian pesan dari Sang Buddha. Ketika usia tua tiba, memangnya sebanyak apa bungkus gado-gado yang dapat dilahap dan ditampung oleh perutnya, sehingga harus mengkapitalisasi kekayaan senilai triliunan dollar demikian, yang tentunya dapat dikonversi menjadi jutaan bungkus gado-gado yang tidak akan habis untuk dikonsumsi oleh anak dan cucu. Bahkan, tidak jarang terjadi, mereka masih juga merampas hak-hak orang yang lebih miskin daripada mereka.

Ketika jatuh dalam kondisi sakit-sakitan dan gigi yang tanggal tinggal dua, makanan apa yang dapat dikonsumsi olehnya terlebih bila disertai penyulit seperti darah tinggi, diabetes, masalah ginjal, jantung, dan sebagainya. Kita pasti menjadi tua, kita tidak dapat menghindari usia tua. Kita pasti meninggal dunia, kita tidak dapat menghindari kematian. Demikian kerap kali kita renungkan, sebagaimana sabda Sang Buddha. Ketika giliran kematian tiba, segala aset kekayaan tersebut menjadi sebentuk “kutukan”, dimana kutukan itu berupa godaan tersulutnya sengketa antar ahli waris dari yang sebelumnya hidup rukun harmonis—suatu sengketa yang hampir dapat dipastikan terjadi bilamana almarhum pemberi warisan meninggalkan harta warisan bagi anak dan cucunya, terlebih bila nilainya cukup besar dan mampu “menggelapkan mata” anak dan cucu yang ditinggalkan olehnya. Tinggalkan warisan berupa budi pekerti yang luhur bagi anak dan cucu, modal keterampilan dasar hidup, teladan hidup yang unggul, serta jiwa yang teguh, alih-alih meninggalkan warisan berupa objek harta yang cepat atau lambat dapat dipastikan menjadi objek perebutan dan sengketa antar ahli waris.

Anak-anak atau kita sebut saja para bocah “lugu” yang polos sekaligus konyol, kerap adu bicara cepat, bertanya cepat, dan menjawab secara cepat, agar dikira dan dianggap serta dipandang sebagai “anak cerdas”. Sebaliknya, bila menjawab pertanyaan secara lama, berpikir dahulu, maka kita akan di-fitnah sebagai “pembohong” karena harus mengambil waktu dan berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab, fitnah mana yang pernah penulis alami ketika remaja. Fenomena konyol “kekanakan” demikian ternyata dapat juga kita jumpai pada gaya komunikasi banyak manusia dewasa sebagai pembicara maupun pendengar.

Dalam perspektif ilmu “kelirumologi”, adalah delusi, ketika kita berasumsi bahwa dengan langsung (secara seketika) menjawab pertanyaan, maka kita dapat memberi kesan dan membuktikan betapa cerdas diri kita. Sama konyolnya, ketika berdebat kita harus menyerupai “machine gun”, banyak menembakkan ratusan proyektil peluru per menit, namun tiada satupun yang akurat mengenai objek targetnya alias meleset semua—berkebalikan dari seorang “sniper”, yang hanya mengandalkan satu butir peluru untuk menumbangkan targetnya, efektif serta efisien, tepat guna tepat sasaran.

Saat beranjak lebih dewasa, terdapat satu pengalaman menarik, dimana ketika seseorang yang baru berjumpa dengan penulis, setelah ia selesai berbincang-bincang dengan beberapa orang lainnya, bertanya satu hal kepada penulis, namun saat itu penulis tidak langsung menjawab, namun terlebih dahulu mencerna pertanyaan, pertanyaan sesederhana apapun itu, baru kemudian menjawabnya setelah jawaban matang di pikiran penulis. Inilah komentar dari sang penanya, “Memang berbeda rasanya, ketika berbicara dengan orang yang berpendidikan. Beda rasanya, dengan berbincang dengan orang-orang yang kurang berpendidikan.”

Dalam hati, penulis bertanya-tanya, apa maksudnya “berpendidikan” dab “tidak berpendidikan”? Penulis hanya diajukan pertanyaan yang bersifat umum pertanyaannya, dan jawaban dari penulis pun adalah jawaban yang umum saja sifatnya, sama sekali tidak ada yang istimewa. Lama setelah itu, barulah penulis menyadarinya, bahwa yang dimaksud olehnya kala itu ialah ketika penulis berani untuk “take my time” untuk memilih kata-kata sebagai jawabannya (keberanian mengambil waktu), bahkan juga (memiliki keberanian untuk memilih) untuk tidak menjawab—sebagai bagian dari “hak untuk diam” dan “hak untuk tidak menjawab”.

Anak-anak paling gemar meledek kawan-kawan sebayanya, mengejek, menghina, mengusili, dan segala bentuk “oral bullying” lainnya. Telah ternyata, bentuk “kekanakan” mereka berlanjut ketika mereka dewasa, dengan marak menjamurnya “verbal bullying” maupun “cyber bullying”, dimana pada sisi lain masih ada juga orang dewasa yang bersikap “kekanakan” seperti seketika tersulut emosinya ketika disinggung, ataupun meski sekadar ditegur (anti kritik), diejek, dihina, dan menjadikan kekerasan fisik sebagai cara untuk mengatasi setiap masalah (membungkam sang pengejek). Anak-anak bermain “otot” (kekerasan fisik) seperti berkelahi untuk menyelesaikan sengketa, dimana orang dewasa semestinya adu “otak”, bukan lagi “kekanakan” dengan adu “otot” seperti kanak-kanak.

Jika para bocah, suka berbohong dan bermain (secara) curang; maka para manusia dewasa yang “kekanakan” kerap memercayai kebohongan mereka sendiri dan masih pula bermain curang dengan memeluk keyakinan yang “lebih kekanakan daripada kanak-kanak” bernama ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Jika para bocah “nakal” ditegur atas perbuatan buruk yang dilakukan olehnya, maka kanak-kanak tersebut akan menjawab dengan wajah lucu “innocent” mereka, “Tidak, saya tidak melakukannya!”; maka, para manusia dewasa “kekanakan” akan semudah dan seringan menanggapi : “Adalah MERUGI, bila tidak menjadi seorang pendosa yang mengoleksi segudang dosa, menimbun diri dengan gunungan dosa, berkubang dalam dosa, berlinang dosa, dan memproduksi dosa secara produktif!

Para bocah “nakal” kerap curi-curi kesempatan : bila tidak ada yang melihat, mereka akan menyelinap untuk bermain di luar rumah ataupun untuk “mencontek” saat ujian. Sementara itu, para manusia dewasa “kekanakan” merasa dan meyakini bahwa dirinya tidak telah berbuat dosa ataupun kejahatan apapun bilamana tidak ada orang lain yang melihat perbuatan buruknya—sekalipun dirinya sendiri melihat dan mengetahui perbuatan-perbuatan buruknya sendiri, sehingga sejatinya paling tidak ada satu orang yang mengetahuinya. Dimana bahkan, begitu kukuhnya sang manusia dewasa, berkelit dengan seribu satu alasan ataupun alibi untuk berkilah dan menutupi perbuatannya. Seorang manusia dewasa, semestinya bersikap “otentik”, mengakui apa adanya secara berani dan jentelmen, alih-alih bersikap “kekanakan”. Seorang anak-anak takut jika diberi hukuman atau sanksi karena bersikap nakal, namun orang dewasa memilih untuk lebih sibuk memungkiri maupun berkelit dari tanggung jawab ataupun hukuman atas perbuatan buruknya. Anak-anak bahkan dapat lebih jujur secara terbuka mengakui perbuatannya ketika tertangkap tangan, ketimbang orang dewasa.

Bila kanak-kanak yang nakal sekalipun kerap memandang dirinya sebagai anak yang baik dan manis, maka tidak sedikit kita jumpai para manusia dewasa yang sekalipun perbuatannya sangat buruk dan patut dicela telah ternyata meyakini bahwa dirinya adalah yang “suci murni dan bersih”—bahkan bila perlu mengenakan jubah suci bak suciwan lengkap dengan ceramah perihal cara hidup yang baik (seorang pendosa hendak ceramah tentang cara hidup yang baik, itulah anomali sosial yang masif kita jumpai di tengah komunitas serta masyarakat tempat kita hidup dan berkegiatan dikeseharian).

Itulah sebabnya, orang yang suka menjadikan kebohongan sebagai cara instan untuk menyelesaikan (baca : membungkam ataupun menutupi) orang yang mengajukan protes ataupun mempermasalahkan, adalah orang dewasa yang tergolong masih “kekanakan” daya maupun gaya berpikirnya, semata karena minimnya kebijaksanaan maupun kreativitas “problem solving” selain melakukan kebohongan yang mereka klaim sebagai “white lie” (kebohongan putih), yang menjadi pintu masuk ke arah “gray lie” (kebohongan abu-abu), sebelum kemudian secara perlahan dan gradual menjelma “black lie” (kebohongan gelap). Semua “black lie”, bermula dari “white lie”. Dusta, sekali melakukan, maka pelakunya akan “mencandu” kebohongan, karena mereka menikmati “manis”-nya kebohongan, terutama ketika orang lain berhasil ia bohongi. Bagi mereka yang “kekanakan”, itulah “solusi cerdas”!

Anak-anak tidak jarang bersikap posesif terhadap kepemilikan mereka, sekalipun semisal mainan yang mereka miliki sebenarnya tidak berharga-berharga sekali objeknya, akan murka ketika dirusak oleh anak lainnya. Anak-anak pun kerap meremehkan anak-anak lain seperti merusak kacamata yang dikenakan anak lain, dan menyepelekan kerugian yang diderita sang anak yang berkacamata. Telah ternyata, banyak diantara kanak-kanak tersebut yang ketika beranjak dewasa, bahkan lebih “kekanakan” daripada masa kanak-kanak mereka, seperti begitu posesifnya mereka terhadap pacar, pasangan hidup (suami / istri) yang bahkan sekadar berbincang dengan orang lain pun merasa terbakar api cemburu, bahkan menganiaya sang istri yang dituduh (baru sebatas dugaan) berselingkuh atau bahkan sekadar bermain mata dengan pria lain. Para manusia dewasa dapat dengan ringannya merampas hak-hak warga lain, semisal pengendara kendaraan bermotor roda dua maupun “pedagang kaki lima” yang merampas hak pejalan kaki atas trotoar, dan lain sebagainya.

Bila anak-anak suka bermain boneka atau “video game”, dalam rangka mereka dapat mempermainkan dan mengatur-ngatur boneka atau tokoh dalam “video game”, maka tidak sedikit diantara manusia dewasa yang kadar “kekanakan” dalam diri dan watak mereka, alih-alih mereda justru kian menjadi-jadi. Mereka hendak memanipulasi setiap orang yang mereka jumpai dalam rangka mengeksploitasi, mengatur-ngatur pasangan hidup dan pegawai, mendikte, menyetir, maupun mengendalikan perasaan dan aspirasi orang lain, dimana orang lain diposisikan sebagai boneka mainan yang dapat dipermainkan dan dicampakkan begitu saja ketika merasa bosan atau tidak lagi merasa perlu. Bila perlu, menyuap aparatur penegak hukum maupun pejabat agar segala keinginannya dilancarkan.

Bila seorang anak dapat demikian “ignorant”, sok tahu, dan berasumsi bahwa seiring mereka tumbuh dewasa nanti maka mereka dapat penuh pengetahuan dan keterampilan secara sendirinya tanpa perlu bersusah-payah belajar, maka orang dewasa sekalipun tidak kalah “ignonant”, sok tahu, dan berasumsi bahwa dengan menjadi orangtua dengan melahirkan anak atau menjadi seorang guru di sekolah, maka mereka secara sendirinya dapat mendadak “insight” menjadi penuh pengetahuan perihal ilmu “parenting” maupun ilmu pedagogi, tanpa perlu bersusah-payah mempelajari ilmu-ilmu tersebut.

Tentu kita masih ingat kawan-kawan masa kecil kita yang kerap suka “pamer”, entah pamer busana, pamer mainan mobil-mobilan, pamer foto-foto tempat ia berwisata, pamer makanan lezat yang liburan kemarin mereka nikmati di restoran mewah, pamer mobil mahal yang mengantar dan menjemput mereka, pamer peralatan tulis yang bermerek, dan segala hal lain yang tidak perlu dipamerkan karena memang tidak penting-penting sekali bagi orang lain selain sekadar membuat rasa cemburu dan iri hati teman-teman sebayanya, dengan delusi agar dirinya dikagumi. Orang dewasa pun serupa, kerap pamer betapa arloji yang baru dibelinya di Eropa setara dengan harga sebuah mobil, betapa rumah yang baru dibeli olehnya senilai miliaran rupiah di kawasan elit, betapa pekerjaannya sangat bergengsi dan prestise atau naik pangkat, betapa cantik / tampan suami / istrinya, jas baru bermerek, mobil yang selalu berganti-ganti setiap bulan sekali, betapa dirinya pernah diliput oleh televisi, dan segala pamer gaya “kekanakan” lainnya, yang sebetulnya orang lain sama sekali “tidak perduli”.

Jika anak-anak kerap “lebai” dalam rangka mengundang perhatian dan mengumbar sensasi kepada teman-teman sebayanya, semisal melihat alien berkunjung dan makan malam di kediamannya, atau berteman dengan peri yang bisa berbicara, memiliki harta karun yang tersembunyi; maka orang dewasa kerap ingkar janji, menipu, manipulatif, eksploitatif, tidak dapat dipercaya, ucapan yang tidak dapat “dipegang”, sesumbar, tebar pesona, sesumbar (semisal koruptor bernama Anas Urbaningrum ketika ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, berujar kepada media : “Jika saya terbukti korupsi, saya akan gantung diri di Monumen Nasional!”), maupun segala iming-iming yang tidak akan mereka realisasi pada muaranya selain sekadar mengobral janji, sehingga sejatinya para manusia “kekanakan” tersebut pun tergolong “lebai” dalam taraf yang lebih ekstrem, karena menimbulkan kerugian bagi pihak lain sementara itu “lebai”-nya kanak-kanak tidaklah menimbulkan kerugian bagi siapapun selain sekadar pamer “sensasi” sebagai “penguat rasa”.

Bila anak-anak menyukai boneka “barbie” yang mereka hiasai dan berikan gaun yang cantik dan manis, maka para manusia dewasa wanita kerap menghiasai wajah, rambut, serta penampilan dan busananya bak “barbie”, penuh polesan bedak yang tebal, dimana para manusia dewasa prianya masih juga gemar mengoleksi mobil (dahulu mobil-mobilan) dimana juga kini turut “mengoleksi” istri-istri yang serupa dengan boneka “barbie”, membentuk gaya rambutnya yang serupa dengan tokoh-tokoh di kartun, bahkan para pria dewasa masa kini kerap menghiasai dirinya dan berpenampilan “feminim” agar tampak “manis-menggemaskan” di mata para penggemarnya. Lihatlah juga orang-orang dewasa yang sibuk dengan mainan barunya berupa otak-atik kendaraan bermotor, yang tidak ada habis-habisnya mereka bongkar-pasang.

Kanak-kanak, seserakah apapun mereka, tidak pernah seserakah orang dewasa. Karenanya, orang dewasa yang sampai demikian serakahnya merampas hak-hak orang lain, tergolong sebagai “kekanakan”. Semakin seseorang manusia dewasa bersikap “kekanakan”, semakin naif sifat dan karakter mereka, semakin mereka sukar untuk dihadapi—bukan karena mereka akan suka “merengek / merajuk”, namun karena mereka minim kebijaksaan berpikir maupun dalam bersikap. Bijaksana, bukan bijaksini, itulah pertanda kedewasaan berpikir. Se-naif apapun seorang kanak-kanak, tidak akan pernah seberbahaya sifat naif orang dewasa. Naif, adalah pertanda jiwa “kekanakan”, mental yang belum matang.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.