SENI PIKIR & TULIS
Tubuh sudah Pasti akan Menua, Rambut akan Memutih,
Badan akan Membesar, namun bila Kebijaksanaan dan Kedewasaan Berpikir masih Dibiarkan
Tetap Kerdil, itukah KEKANAK-KANAKAN
Tubuh Rutin Diberi Makanan Bergizi, Jiwa Diberi Asupan Nutrisi Ketenangan Batin, maka Pikiran juga Perlu Diberi Informasi serta Pemikiran yang Bermanfaat dan Positif, Itulah Cara Mengasuh Diri, Diri Kita Sendiri sebagai Guru Terbaik
Bila anak-anak si “manusia bermain” kerap tergoda mengikuti delusi karena memang dunia mereka adalah dunia fantasi yang tidak rasional, maka orang dewasa bisa tumbuh menjadi budak delusi sekalipun rasio mereka (semestinya) telah cukup berkembang. Ketika delusi seorang manusia dewasa justru kalah ketika berhadapan dengan delusi yang selama ini dipelihara dan bersarang di dalam kepalanya, itulah ketika para orang dewasa disebut sebagai bersifat “kekanak-kanakan” atau “menyerupai seorang kanak-kanak”. Seorang manusia, belajar dan mengeksplorasi dalam rangka untuk menjadi rasional, bukan sebaliknya menyuburkan dan melestarikan delusi diri yang tidak “membumi”.
Sewaktu penulis masih seorang
bocah “dungu” di bangku Sekolah Dasar yang isi pikirannya lebih banyak tersita
dan terobsesi terhadap kepingan-kepingan bergambar kartun yang bisa didapatkan
dan dikoleksi puluhan variasi gambarnya dengan membeli snack dalam kemasan,
ibarat “membeli kucing dalam karung” selayaknya anak-anak bodoh lain yang
terjebak membelinya tidak pernah tahu akan mendapat keping bergambar apakah
untuk bisa mereka koleksi hingga lengkap, sehingga hampir setiap harinya
membeli snack tersebut, mendapati kekecewaan karena tidak mendapatkan keping
bergambar yang belum dimiliki, menghabiskan seluruh uang jajan bahkan bila
perlu merengek diberi uang jajan tambahan (bahkan mencuri) sekadar demi membeli
snack yang minim gizi agar dapat mengoleksi keping bergambar, dan berdelusi
bahwa dengan bisa mengoleksi seluruh keping bergambar hingga lengkap maka kita
telah tuntas menjalani kehidupan ini dan “game
over”, usai sudah, mission complete.
Nyatanya, tidak demikian, itulah delusi.
Telah ternyata tidak, tidak
benar-benar ada “moksa” setelah menderita dan melakukan pengorbanan besar
“dimakan” (alih-alih “memakan”) ratusan kemasan snack yang berhasil membodohi
kanak-kanak bodoh, yang hanya menguntungkan pedagang dan produsen snack
tersebut yang pandai mengeksploitasi dan memperdaya anak-anak bocoh. Dimana si
bocah terus saja terjebak dalam perangkap serupa, snack merek lainnya dengan
mainan bodoh lainnya, membeli paket makanan pada gerai fastfood demi mendapatkan mainan yang tidak sampai satu minggu
tampak membosankan yang tidak lama setelahnya tercampakkan ke alam sampah,
dimana beranjak remaja tergila-gila pada konsol “video game” dan rela tidak
tidur demi menuntaskan setiap permainan di dalamnya—sungguh “dikerjai” dan
buang-buang waktu. Begitupula mereka para penggila film, musik, mengoleksinya
hingga menjadi barang rongsokan yang memenuhi kamar di rumah.
Kini, setelah penulis beranjak
dewasa, penulis mendapati fenomena “mental kekanakan” pada banyak kalangan
sesama orang dewasa. Betapa tidak, para manusia dewasa berbondong-bondong dan
berlomba-lomba membeli “snack” agar bisa mengoleksi banyak “keping bergambar”
semacam harta tanah, aset, perusahaan, gerai waralaba, dan segala macam
“mainan” lainnya seperti istri-istri, istri “simpanan”, “teman tapi mesra”, hingga
mengoleksi banyak korban penipuan semacam “skema ponzi / piramida”. Mereka
berpikir—lebih tepatnya “berasumsi”—dengan memiliki banyak aset tanah, maka
mereka akan menuntaskan misi hidup mereka, dan meraih puncak tertinggi
kebahagiaan yang bebas dari segala kecemasan ataupun derita kehidupan. Ini
ibarat para penjud! yang terbakar oleh nafsu dan espektasi yang irasional,
sehingga semakin mereka kalah dalam bertaruh, semakin mereka mencandu permainan
untung-untungan.
Tidak sedikit kita saksikan
atau jumpai, para “juragan tanah” dipusingkan hingga usianya menjelang lanjut
usia (dikerjai alih-alih mengerjai), berbagai sengketa tanah yang dihadapi
olehnya terkait tanah-tanah miliknya yang entah diserobot pihak ketiga,
sengketa ahli waris, bahkan menjadi objek perebutan seperti anak menggugat
orangtua, dirampas oleh tentara, muncul sertifikat berganda di atas bidang
tanah yang sama, pembeli yang tidak membayar, dikuasai dan diduduki oleh preman
/ mafia tanah, dan segala kerumitan lainnya. Bukanlah sang “juragan tanah” yang
menguasai tanah-tanah tersebut, namun bidang-bidang tanah tersebut yang telah
menyandera dan menguasai hidup sang “juragan tanah” hingga hanya diisi oleh
kepusingan, kecemasan, ketakutan, dan berbagai kondisi pikiran negatif lainnya.
Ada juga para pengusaha yang
sudah menjadi milioner, masih demikian serakah, tidak mengenal puas diri,
justru kian serakah (terbakar oleh ambisi yang bahkan dirinya sendiri tidak
mengetahui apa keinginannya yang sebenarnya), masih juga dengan tamak tanpa
rasa bersalah merampas hak-hak orang lain lewat tipu-muslihat dan tipu-daya,
ingkar janji, menjebak, mengecoh, memperdaya konsumen, mengeksploitasi buruh
dan tenaga kerjanya, mendirikan perusahaan yang beroperasi dengan banyak modus
kejahatan dan tidak transparan disamping tidak akuntabel, menggelapkan
kewajiban pembayaran pajak, hingga mencoba praktik monopoli usaha dengan
mendirikan berbagai perusahaan baru sekadar sebagai boneka untuk mematikan
kompetitor, namun masih pula terobsesi untuk mendirikan puluhan perusahaan baru
lainnya dengan segala macam bidang usaha namun dengan karyawan yang harus
mengerjakan kesemua itu ialah pegawai yang itu-itu saja yang kian berat beban
yang harus mereka tanggung.
Seolah-olah kesemua perolehan
semasa hidup sang pengusaha, entah secara legal ataupun secara ilegal, dapat
mereka bawa mati setelah usia tua, penyakit, maupun kematian menjemputnya. Kita
pasti mati, kita tidak luput dari kematian, demikian pesan dari Sang Buddha.
Ketika usia tua tiba, memangnya sebanyak apa bungkus gado-gado yang dapat
dilahap dan ditampung oleh perutnya, sehingga harus mengkapitalisasi kekayaan
senilai triliunan dollar demikian, yang tentunya dapat dikonversi menjadi
jutaan bungkus gado-gado yang tidak akan habis untuk dikonsumsi oleh anak dan
cucu. Bahkan, tidak jarang terjadi, mereka masih juga merampas hak-hak orang
yang lebih miskin daripada mereka.
Ketika jatuh dalam kondisi
sakit-sakitan dan gigi yang tanggal tinggal dua, makanan apa yang dapat
dikonsumsi olehnya terlebih bila disertai penyulit seperti darah tinggi,
diabetes, masalah ginjal, jantung, dan sebagainya. Kita pasti menjadi tua, kita
tidak dapat menghindari usia tua. Kita pasti meninggal dunia, kita tidak dapat
menghindari kematian. Demikian kerap kali kita renungkan, sebagaimana sabda Sang
Buddha. Ketika giliran kematian tiba, segala aset kekayaan tersebut menjadi
sebentuk “kutukan”, dimana kutukan itu berupa godaan tersulutnya sengketa antar
ahli waris dari yang sebelumnya hidup rukun harmonis—suatu sengketa yang hampir
dapat dipastikan terjadi bilamana almarhum pemberi warisan meninggalkan harta
warisan bagi anak dan cucunya, terlebih bila nilainya cukup besar dan mampu
“menggelapkan mata” anak dan cucu yang ditinggalkan olehnya. Tinggalkan warisan
berupa budi pekerti yang luhur bagi anak dan cucu, modal keterampilan dasar hidup,
teladan hidup yang unggul, serta jiwa yang teguh, alih-alih meninggalkan
warisan berupa objek harta yang cepat atau lambat dapat dipastikan menjadi
objek perebutan dan sengketa antar ahli waris.
Anak-anak atau kita sebut saja
para bocah “lugu” yang polos sekaligus konyol, kerap adu bicara cepat, bertanya
cepat, dan menjawab secara cepat, agar dikira dan dianggap serta dipandang
sebagai “anak cerdas”. Sebaliknya, bila menjawab pertanyaan secara lama,
berpikir dahulu, maka kita akan di-fitnah sebagai “pembohong” karena harus mengambil
waktu dan berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab, fitnah mana yang pernah
penulis alami ketika remaja. Fenomena konyol “kekanakan” demikian ternyata
dapat juga kita jumpai pada gaya komunikasi banyak manusia dewasa sebagai
pembicara maupun pendengar.
Dalam perspektif ilmu
“kelirumologi”, adalah delusi, ketika kita berasumsi bahwa dengan langsung (secara
seketika) menjawab pertanyaan, maka kita dapat memberi kesan dan membuktikan
betapa cerdas diri kita. Sama konyolnya, ketika berdebat kita harus menyerupai
“machine gun”, banyak menembakkan ratusan proyektil peluru per menit, namun
tiada satupun yang akurat mengenai objek targetnya alias meleset semua—berkebalikan
dari seorang “sniper”, yang hanya mengandalkan satu butir peluru untuk
menumbangkan targetnya, efektif serta efisien, tepat guna tepat sasaran.
Saat beranjak lebih dewasa,
terdapat satu pengalaman menarik, dimana ketika seseorang yang baru berjumpa
dengan penulis, setelah ia selesai berbincang-bincang dengan beberapa orang
lainnya, bertanya satu hal kepada penulis, namun saat itu penulis tidak
langsung menjawab, namun terlebih dahulu mencerna pertanyaan, pertanyaan
sesederhana apapun itu, baru kemudian menjawabnya setelah jawaban matang di
pikiran penulis. Inilah komentar dari sang penanya, “Memang berbeda rasanya, ketika berbicara dengan orang yang
berpendidikan. Beda rasanya, dengan berbincang dengan orang-orang yang kurang
berpendidikan.”
Dalam hati, penulis
bertanya-tanya, apa maksudnya “berpendidikan” dab “tidak berpendidikan”?
Penulis hanya diajukan pertanyaan yang bersifat umum pertanyaannya, dan jawaban
dari penulis pun adalah jawaban yang umum saja sifatnya, sama sekali tidak ada
yang istimewa. Lama setelah itu, barulah penulis menyadarinya, bahwa yang
dimaksud olehnya kala itu ialah ketika penulis berani untuk “take my time” untuk memilih kata-kata
sebagai jawabannya (keberanian mengambil waktu), bahkan juga (memiliki
keberanian untuk memilih) untuk tidak menjawab—sebagai bagian dari “hak untuk
diam” dan “hak untuk tidak menjawab”.
Anak-anak paling gemar meledek kawan-kawan
sebayanya, mengejek, menghina, mengusili, dan segala bentuk “oral bullying” lainnya. Telah ternyata,
bentuk “kekanakan” mereka berlanjut ketika mereka dewasa, dengan marak
menjamurnya “verbal bullying” maupun “cyber bullying”, dimana pada sisi lain
masih ada juga orang dewasa yang bersikap “kekanakan” seperti seketika tersulut
emosinya ketika disinggung, ataupun meski sekadar ditegur (anti kritik),
diejek, dihina, dan menjadikan kekerasan fisik sebagai cara untuk mengatasi setiap
masalah (membungkam sang pengejek). Anak-anak bermain “otot” (kekerasan fisik)
seperti berkelahi untuk menyelesaikan sengketa, dimana orang dewasa semestinya
adu “otak”, bukan lagi “kekanakan” dengan adu “otot” seperti kanak-kanak.
Jika para bocah, suka berbohong
dan bermain (secara) curang; maka para manusia dewasa yang “kekanakan” kerap
memercayai kebohongan mereka sendiri dan masih pula bermain curang dengan
memeluk keyakinan yang “lebih kekanakan daripada kanak-kanak” bernama ideologi
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Jika para bocah
“nakal” ditegur atas perbuatan buruk yang dilakukan olehnya, maka kanak-kanak
tersebut akan menjawab dengan wajah lucu “innocent”
mereka, “Tidak, saya tidak melakukannya!”;
maka, para manusia dewasa “kekanakan” akan semudah dan seringan menanggapi : “Adalah MERUGI, bila tidak menjadi seorang
pendosa yang mengoleksi segudang dosa, menimbun diri dengan gunungan dosa,
berkubang dalam dosa, berlinang dosa, dan memproduksi dosa secara produktif!”
Para bocah “nakal” kerap
curi-curi kesempatan : bila tidak ada yang melihat, mereka akan menyelinap
untuk bermain di luar rumah ataupun untuk “mencontek” saat ujian. Sementara
itu, para manusia dewasa “kekanakan” merasa dan meyakini bahwa dirinya tidak
telah berbuat dosa ataupun kejahatan apapun bilamana tidak ada orang lain yang
melihat perbuatan buruknya—sekalipun dirinya sendiri melihat dan mengetahui
perbuatan-perbuatan buruknya sendiri, sehingga sejatinya paling tidak ada satu
orang yang mengetahuinya. Dimana bahkan, begitu kukuhnya sang manusia dewasa,
berkelit dengan seribu satu alasan ataupun alibi untuk berkilah dan menutupi
perbuatannya. Seorang manusia dewasa, semestinya bersikap “otentik”, mengakui
apa adanya secara berani dan jentelmen, alih-alih bersikap “kekanakan”. Seorang
anak-anak takut jika diberi hukuman atau sanksi karena bersikap nakal, namun
orang dewasa memilih untuk lebih sibuk memungkiri maupun berkelit dari tanggung
jawab ataupun hukuman atas perbuatan buruknya. Anak-anak bahkan dapat lebih
jujur secara terbuka mengakui perbuatannya ketika tertangkap tangan, ketimbang
orang dewasa.
Bila kanak-kanak yang nakal
sekalipun kerap memandang dirinya sebagai anak yang baik dan manis, maka tidak
sedikit kita jumpai para manusia dewasa yang sekalipun perbuatannya sangat
buruk dan patut dicela telah ternyata meyakini bahwa dirinya adalah yang “suci
murni dan bersih”—bahkan bila perlu mengenakan jubah suci bak suciwan lengkap
dengan ceramah perihal cara hidup yang baik (seorang pendosa hendak ceramah
tentang cara hidup yang baik, itulah anomali sosial yang masif kita jumpai di
tengah komunitas serta masyarakat tempat kita hidup dan berkegiatan
dikeseharian).
Itulah sebabnya, orang yang
suka menjadikan kebohongan sebagai cara instan untuk menyelesaikan (baca :
membungkam ataupun menutupi) orang yang mengajukan protes ataupun mempermasalahkan,
adalah orang dewasa yang tergolong masih “kekanakan” daya maupun gaya berpikirnya,
semata karena minimnya kebijaksanaan maupun kreativitas “problem solving” selain melakukan kebohongan yang mereka klaim
sebagai “white lie” (kebohongan
putih), yang menjadi pintu masuk ke arah “gray
lie” (kebohongan abu-abu), sebelum kemudian secara perlahan dan gradual
menjelma “black lie” (kebohongan
gelap). Semua “black lie”, bermula
dari “white lie”. Dusta, sekali
melakukan, maka pelakunya akan “mencandu” kebohongan, karena mereka menikmati “manis”-nya
kebohongan, terutama ketika orang lain berhasil ia bohongi. Bagi mereka yang “kekanakan”,
itulah “solusi cerdas”!
Anak-anak tidak jarang bersikap
posesif terhadap kepemilikan mereka, sekalipun semisal mainan yang mereka
miliki sebenarnya tidak berharga-berharga sekali objeknya, akan murka ketika
dirusak oleh anak lainnya. Anak-anak pun kerap meremehkan anak-anak lain
seperti merusak kacamata yang dikenakan anak lain, dan menyepelekan kerugian
yang diderita sang anak yang berkacamata. Telah ternyata, banyak diantara kanak-kanak
tersebut yang ketika beranjak dewasa, bahkan lebih “kekanakan” daripada masa kanak-kanak
mereka, seperti begitu posesifnya mereka terhadap pacar, pasangan hidup (suami
/ istri) yang bahkan sekadar berbincang dengan orang lain pun merasa terbakar
api cemburu, bahkan menganiaya sang istri yang dituduh (baru sebatas dugaan)
berselingkuh atau bahkan sekadar bermain mata dengan pria lain. Para manusia
dewasa dapat dengan ringannya merampas hak-hak warga lain, semisal pengendara
kendaraan bermotor roda dua maupun “pedagang kaki lima” yang merampas hak
pejalan kaki atas trotoar, dan lain sebagainya.
Bila anak-anak suka bermain
boneka atau “video game”, dalam rangka mereka dapat mempermainkan dan mengatur-ngatur
boneka atau tokoh dalam “video game”, maka tidak sedikit diantara manusia
dewasa yang kadar “kekanakan” dalam diri dan watak mereka, alih-alih mereda
justru kian menjadi-jadi. Mereka hendak memanipulasi setiap orang yang mereka
jumpai dalam rangka mengeksploitasi, mengatur-ngatur pasangan hidup dan
pegawai, mendikte, menyetir, maupun mengendalikan perasaan dan aspirasi orang
lain, dimana orang lain diposisikan sebagai boneka mainan yang dapat
dipermainkan dan dicampakkan begitu saja ketika merasa bosan atau tidak lagi
merasa perlu. Bila perlu, menyuap aparatur penegak hukum maupun pejabat agar
segala keinginannya dilancarkan.
Bila seorang anak dapat
demikian “ignorant”, sok tahu, dan
berasumsi bahwa seiring mereka tumbuh dewasa nanti maka mereka dapat penuh
pengetahuan dan keterampilan secara sendirinya tanpa perlu bersusah-payah belajar,
maka orang dewasa sekalipun tidak kalah “ignonant”,
sok tahu, dan berasumsi bahwa dengan menjadi orangtua dengan melahirkan anak atau
menjadi seorang guru di sekolah, maka mereka secara sendirinya dapat mendadak “insight” menjadi penuh pengetahuan
perihal ilmu “parenting” maupun ilmu
pedagogi, tanpa perlu bersusah-payah mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Tentu kita masih ingat kawan-kawan
masa kecil kita yang kerap suka “pamer”, entah pamer busana, pamer mainan mobil-mobilan,
pamer foto-foto tempat ia berwisata, pamer makanan lezat yang liburan kemarin
mereka nikmati di restoran mewah, pamer mobil mahal yang mengantar dan
menjemput mereka, pamer peralatan tulis yang bermerek, dan segala hal lain yang
tidak perlu dipamerkan karena memang tidak penting-penting sekali bagi orang
lain selain sekadar membuat rasa cemburu dan iri hati teman-teman sebayanya,
dengan delusi agar dirinya dikagumi. Orang dewasa pun serupa, kerap pamer
betapa arloji yang baru dibelinya di Eropa setara dengan harga sebuah mobil, betapa
rumah yang baru dibeli olehnya senilai miliaran rupiah di kawasan elit, betapa
pekerjaannya sangat bergengsi dan prestise atau naik pangkat, betapa cantik /
tampan suami / istrinya, jas baru bermerek, mobil yang selalu berganti-ganti setiap
bulan sekali, betapa dirinya pernah diliput oleh televisi, dan segala pamer
gaya “kekanakan” lainnya, yang sebetulnya orang lain sama sekali “tidak perduli”.
Jika anak-anak kerap “lebai”
dalam rangka mengundang perhatian dan mengumbar sensasi kepada teman-teman
sebayanya, semisal melihat alien berkunjung dan makan malam di kediamannya,
atau berteman dengan peri yang bisa berbicara, memiliki harta karun yang
tersembunyi; maka orang dewasa kerap ingkar janji, menipu, manipulatif,
eksploitatif, tidak dapat dipercaya, ucapan yang tidak dapat “dipegang”,
sesumbar, tebar pesona, sesumbar (semisal koruptor bernama Anas Urbaningrum
ketika ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, berujar kepada media : “Jika saya terbukti korupsi, saya akan
gantung diri di Monumen Nasional!”), maupun segala iming-iming yang tidak
akan mereka realisasi pada muaranya selain sekadar mengobral janji, sehingga
sejatinya para manusia “kekanakan” tersebut pun tergolong “lebai” dalam taraf
yang lebih ekstrem, karena menimbulkan kerugian bagi pihak lain sementara itu
“lebai”-nya kanak-kanak tidaklah menimbulkan kerugian bagi siapapun selain
sekadar pamer “sensasi” sebagai “penguat rasa”.
Bila anak-anak menyukai boneka
“barbie” yang mereka hiasai dan berikan gaun yang cantik dan manis, maka para
manusia dewasa wanita kerap menghiasai wajah, rambut, serta penampilan dan
busananya bak “barbie”, penuh polesan bedak yang tebal, dimana para manusia
dewasa prianya masih juga gemar mengoleksi mobil (dahulu mobil-mobilan) dimana
juga kini turut “mengoleksi” istri-istri yang serupa dengan boneka “barbie”,
membentuk gaya rambutnya yang serupa dengan tokoh-tokoh di kartun, bahkan para
pria dewasa masa kini kerap menghiasai dirinya dan berpenampilan “feminim” agar
tampak “manis-menggemaskan” di mata para penggemarnya. Lihatlah juga orang-orang
dewasa yang sibuk dengan mainan barunya berupa otak-atik kendaraan bermotor,
yang tidak ada habis-habisnya mereka bongkar-pasang.
Kanak-kanak, seserakah apapun
mereka, tidak pernah seserakah orang dewasa. Karenanya, orang dewasa yang
sampai demikian serakahnya merampas hak-hak orang lain, tergolong sebagai
“kekanakan”. Semakin seseorang manusia dewasa bersikap “kekanakan”, semakin
naif sifat dan karakter mereka, semakin mereka sukar untuk dihadapi—bukan karena
mereka akan suka “merengek / merajuk”, namun karena mereka minim kebijaksaan
berpikir maupun dalam bersikap. Bijaksana, bukan bijaksini, itulah pertanda
kedewasaan berpikir. Se-naif apapun seorang kanak-kanak, tidak akan pernah seberbahaya
sifat naif orang dewasa. Naif, adalah pertanda jiwa “kekanakan”, mental yang
belum matang.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.