ARTIKEL
HUKUM
Bukankah Hari Tua artinya Usia Pensiun Itu Sendiri?
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Tidak Benar-Benar
Mampu Menjamin Masa Tua Pekerja yang Dipensiunkan
Jika regulator dibidang ketenagakerjaan kita di Indonesia (Kementerian Tenagakerja) itu sendiri “keblinger”, maka akan terlebih “keblinger” kalangan pelaku usaha maupun para buruh / pekerja kita yang diatur olehnya—bagai orang buta yang dituntun oleh orang buta lainnya. Sedari sejak semula, penulis secara pribadi menemukan kerancuan paradigma berpikir para penyusun regulasi kita dibidang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dimana dibedakan antara “jaminan hari tua” dan “jaminan pensiun” disamping “jaminan pemutusan hubungan kerja” (terkait hak atas pesangon).
Fokus bahasan kita pada
kesempatan ini ialah antara “jaminan hari tua” dan “jaminan pensiun”, yang
masing-masing dibayarkan sekian persentase dari gaji / upah pekerja baik oleh
pemberi kerja maupun oleh pihak pekerja itu sendiri secara rutin setiap
bulannya selama masa kerja berlangsung. Dengan harapan, dapat menjamin kelangsungan
hidup masa tua sang pekerja ketika telah memasuki masa purna tugas. Sifatnya,
ialah imperatif, dalam artian dipaksakan keberlakuannya oleh pemerintah
terhadap pemberi kerja maupun terhadap pekerja yang bersangkutan itu sendiri.
Meski, bisa saja kita secara
swadaya menyisihkan sekian persen dari pendapatan bulanan kita untuk ditabung
atau dikelola secara bebas, tanpa terikat oleh kepersertaan, dan inilah yang sebetulnya
paling ideal—sebagaimana pepatah klasik yang masih relevan hingga saat kini :
Menabung sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi gunung juga. Itulah yang
perlu kita mulai budayakan dan edukasikan ulang kepada masyarakat, ditengah gempuran
budaya hedonis yang kian konsumtif yang melahirkan “gegar budaya” dari masyarakat
kita yang semula tradisional menjelma serba “gadget”.
Sehingga, sifat kesemua embel-embel
“jaminan” yang menjadi program pemerintah demikian, bukanlah dalam rangka
edukatif terhadap kalangan buruh / pekerja, namun imperatif semata. Senada
dengan program pemerintah lain yang bernama “Tabungan Perumahan Rakyat” yang juga
mewajibkan menyisihkan sekian persen dari penghasilan bulanan pihak pekerja
untuk dikelola pengelola, dengan harapan dapat menjadi program “gotong royong” bagi
dan antar pekerja untuk dapat membeli rumah sendiri.
Kelak, mungkin juga akan terbit
program pemerintah semacam “Jaminan Uang Susu” bagi para pekerja wanita maupun
istri dari para kalangan pekerja, dimana biaya bersalin dan uang susu ataupun
asupan gizinya dibiayai dengan iuran bulanan sekian persen dari penghasilan
bulanan, ataupun semacam “Tabungan Kendaraan Rakyat”, dan sebagainya. Sangat tidak
mendidik, tidak mendewasakan, tidak memberdayakan, dan tidak membebaskan—justru
kian tersandera oleh berbagai program pemerintah, kian diwajibkan oleh segala
macam kewajiban, dan kian ambigu. Jika memang kesemua itu adalah “program
pemerintah”, mengapa pada muaranya ialah rakyat yang kian terjerat dan
tersandera?
Kebingungan serta ambiguitas
yang timbul dalam benak penulis ketika untuk kali-pertamanya mencermati
ketentuan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, terutama terkait kedua jenis jaminan
yang dibedakan antara “hari tua” dan “pensiun”. Baiklah, kita anggap saja
seseorang yang memasuki usia pensiun, bisa saja masih diterima bekerja pada
perusahaan tempatnya dari semula bekerja atau bekerja pada bisnis pribadi yang
dibangun olehnya sendiri. Namun, titik-singgung antara kedua jenis jaminan
tersebut, ialah terkait erat dengan “usia pensiun”. Bicara mengenai “hari tua”
dan “pensiun”, mau tidak mau kita menyinggung perihal “usia pensiun” sebagai
komplomenternya.
Bila memang antara kedua jenis
jaminan tersebut, ialah seputar atau perihal jaminan bagi seorang pekerja yang
ketika tiba atau memasuki “usia pensiun” yang saat kini sekitar pada usia 50-an
hingga 60-an tahun, bergantung pada peraturan pemerintah ataupun peraturan
perusahaan masing-masing tempat sang pekerja bekerja, maka untuk alasan logis
apakah dibuat derivatif antara keduanya, yang hanya membuat blunder yang tidak
efisien, ketika kedua jenis jaminan tersebut hanya dapat dicairkan oleh sang
peserta / anggota ketika telah memasuki “usia pensiun”?
Jika memang kedua jenis jaminan
di atas, hanya dapat dicairkan oleh seorang pekerja ketika minimal telah
memasuki “usia pensiun”, maka sejatinya tidak perlu dibuat garis embarkasi yang
terkesan dipaksakan untuk dibedakan antara “jaminan hari tua” dan “jaminan
pensiun”. Keduanya, bahkan dapat dicairkan secara lumpsum oleh sang mantan
pekerja. Bahkan, dengan logika awam sekalipun, tanpa perlu diperumit oleh cara
berpikir yang kompleks, “pensiun” itu sendiri artinya ialah “hari tua”,
terkecuali bila konteksnya ialah “pensiun dini” yang hampir tidak pernah
terjadi di republik ini. Sungguh perhatian warga dan rakyat di republik ini
habis terkuras oleh berbagai blunder tidak berkesudahan dan tiada habisnya,
yang sama sekali tidak berfaedah dan hanya menyita energi mental dan waktu
untuk berkutat, dimana mereka memaksakan logika berpikir sekalipun tidak akan
pernah menemukan relevansinya.
Saat ulasan ini disusun, sedang
hangat-hangatnya kehebohan publik, yang kehidupannya diperumit dan dibuat gaduh
oleh Peraturan Menteri Tenagakerja Republik Indonesia yang merevisi peraturan
sebelumnya, dimana dalam peraturan sebelumnya dinyatakan bahwa “jaminan hari
tua” dapat dicairkan oleh setiap pekerja yang mengalami “pemutusan hubungan
kerja” sekalipun belum memasuki “usia pensiun”. Selama peraturan tersebut
diberlakukan dan berjalan selama bertahun-tahun, tiada kegaduhan di tengah
publik—sekalipun sebenarnya ketentuan tersebut nyata-nyata menyimpang dari
amanat dalam Undang-Undang yang menjadi payung-hukumnya.
Kini, Menteri Tenagakerja telah
menghapus ketentuan demikian, dan merevisinya menjadi hanya boleh dicairkan
bilamana sang pekerja telah memasuki “usia pensiun” sebagaimana amanat
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyatakan “jaminan
hari tua” hanya dimungkinkan untuk dicairkan bilamana anggota / peserta telah memasuki
“usia pensiun”—sekalipun bisa jadi sang pekerja mengalami “pemutusan hubungan
kerja” dan membutuhkan dana segar secara segera untuk menyambung hidup, sekecil
apapun itu. Revisi peraturan yang terbaru ini telah membuat norma hukum terkait
“jaminan hari tua” kembali “on the track”,
akan tetapi ternyata menimbulkan gejolak sosial yang hebat di tengah kalangan
buruh / pekerja.
Terjadilah, blunder dan perang
wacana yang meletihkan dan memboroskan energi mental dan waktu. Mengapa juga,
di republik ini, segala hal yang tidak perlu menjadi “biang gaduh”, seolah
kehidupan di era penuh persaingan ini belum cukup kompleks penuh ketegangan,
seakan-akan dipelihara dan bahkan diciptakan baik secara abai maupun “by design”? Itu baru urusan perihal
“jaminan hari tua” dan “jaminan pensiun”, kita belum berbicara berbagai norma
hukum yang telah lama diberlakukan maupun yang saat kini masih hangat-hangatnya
dibentuk dan diberlakukan oleh pemerintah, dimana tentunya jauh lebih penuh
“jebakan”, potensi blunder, “biang gaduh”, tidak logis, irasional, “law as a tool of crime”, dan penuh
kontroversi.
Terlepas dari kesemua itu,
sungguh tepat bilamana terdapat warga yang berpandangan bahwa yang disebut
sebagai jaminan sesungguhnya, ialah digalakkannya kembali budaya atau promosi dan
kampanye gemar menabung dari sejak masa / usia muda, sehat, dan produktif.
Sebagaimana pepatah klasik telah lama memberikan kita wejangan yang sangat arif
berikut, “Berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”
Kita perlu pula menanam investasi berupa skill
atau keterampilan, dimana kita bisa tetap produktif dan menghasilkan
penghasilan dikala telah memasuki usia senja.
Bayangkan, bila seorang calon
pelamar kerja ialah seorang lanjut usia, apa yang menjadi pandangan para
pelamar lainnya di ruang tunggu ataupun di mata calon pemberi kerja? Idealnya,
seseorang yang paruh baya memiliki usaha pribadi, sekalipun berskala kecil-kecilan.
Usaha sekecil apapun, butuh modal, tiada usaha tanpa modal. Darimana modal itu
berasal? Mustahil, puluhan tahun bekerja dan menikmati upah bulanan, namun
tidak memiliki modal membuka warung kecil-kecilan. Yang ada ialah mis-manajemen
keuangan. Tidak sedikit atlet yang pernah memenangkan juara kompetisi bergengsi
berkelas dunia, jatuh bangkrut tidak lama kemudian, akibat kegagalan mengelola
keuangan pribadinya. Padahal, bank untuk tempat menabung ada dimana-mana, tidak
perlu lagi menyimpan di bawah bantal seperti zaman tempo dulu.
Sebanyak apapun pesangon,
jaminan hari tua, maupun jaminan pensiun yang kita terima sebagai seseorang
yang hanya dapat bernasib sebagai seorang pekerja untuk seumur hidupnya,
tetaplah tidak akan mencukupi biaya hidup selama puluhan tahun sisa hidup
seseorang yang tidak lagi produktif. Logika sederhana sudah cukup menjawab,
dengan rincian sebagai berikut. Katakanlah seseorang bekerja selama tiga puluh
lima tahun, sebagai bagian dari masa usia produktifnya sedari muda, hingga
mencapai usia pensiun, yang kita sebut saja pada usia lima puluh enam tahun.
Sebesar apapun pesangon,
jaminan hari tua, maupun jaminan pensiun yang diperoleh olehnya ketika memasuki
“usia pensiun”, tetap saja kita harus berhadapan dengan pertanyaan klise
pragmatis : Apakah itu akan mencukupi, untuk membiayai hidup sang mantan
pekerja untuk sisa umur hidupnya atau keluarganya? Apakah logis, menabung
sekian persen (recehan) penghasilan bulanan selama tiga puluh lima tahun, dapat
mencukupi kelangsungan hidup seorang lansia hingga ia berusia sembilan puluh
satu tahun (56 tahun + 35 tahun)? Dari logika sederhana tersebut saja, sudah membuat
terang betapa program pemerintah dibidang jaminan ketenagakerjaan terkait “usia
pensiun”, tidak benar-benar mampu menjamin. Menjamin dalam takaran tertentu,
benar, namun tidak sepenuhnya.
Investasi dan deposito terbaik,
tetap saja ialah menumbuh-kembangkan jiwa wirausahawan, agar bisa mandiri dan
berdaya secara “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), baik secara ekonomi,
finansial, maupun karir. Ada yang menyebutkan, lebih baik menjadi pengusaha
warung kecil-kecilan, ketimbang seumur hidup menjadi pekerja kantoran ber-AC
sekalipun. Pandangan demikian bisa jadi ada benarnya. Kita perlu visi dan misi
yang jelas. Memulai karir, sebagai seorang karyawan, hanya sekadar sebagai
“batu loncatan” bagi kita mempersiapkan diri untuk mandiri dari segi pekerjaan
dan karir, semisal menimba ilmu dan keterampilan, mengumpulkan modal usaha, dan
lain sebagainya.
Bila kita membuat vonis atas
kehidupan dan karir kita sendiri, dari awal sebagai seorang pegawai berakhir
dengan nasib sebagai seorang pegawai pula, maka itu sama artinya menyerahkan
nasib kita dan keluarga kita ke tangan orang lain, yang mana ujung muaranya
sudah sangat jelas : memasuki “usia pensiun” dan dipensiunkan. Belum lagi kita
bicara potensi resiko dipecat dan dieksploitasi pemberi kerja yang tidak
manusiawi. Derita profesi sebagai pekerja, semestinya sudah cukup menjadi
motivasi bagi kita untuk setidaknya menjadi “bos bagi pekerjaan kita sendiri”—sekalipun
karyawannya ialah diri kita sendiri pula.
Mereka dengan berbekal modal
keterampilan dan ilmu pengetahuan praktis, bukan sekadar teoretis, tidak akan
mengenal istilah “pensiun”. Sejatinya, secara sosiologis, memasrahkan diri
hanya sebagai seorang pekerja untuk seumur hidupnya, itu sama artinya membawa
diri ke ranah “pensiun dini”—semata karena ketika memasuki “lanjut usia”
(lansia) dirinya telah benar-benar tidak lagi produktif (pensiun) dan sekadar
konsumtif alias menggunakan dana-dana yang selama ini dikumpulkan olehnya. Ingat,
“usia pensiun” ialah konvensi semata dan belaka, kita tidak perlu ikut ataupun
setuju pada kriteria demikian. Seorang entrepreneur, mungkin baru akan
menetapkan “usia pensiun” untuk dirinya sendiri dikala mencapai usia tujuh
puluh tahun.
Karenanya, kita perlu membuat
definisi ulang (redefinisi) terhadap makna “pensiun”. Ketika seseorang
sekalipun telah mencapai usia enam puluh tahun, namun masih juga mampu
produktif dengan bekal keterampilan dan pengetahuan praktisnya yang digali dan
dipertajam kala muda, maka dirinya belum benar-benar “pensiun”, juga belum
mencapai “usia pensiun”. Mereka menciptakan kondisi dan keadaan, tidak menjadi
korban dari kondisi maupun keadaan. Mereka, tidak akan pensiun dan tidak akan
pernah mau mempensiunkan dirinya sendiri sebelum dewa pencabut nyawa
menghampiri dirinya. Sebaliknya, mereka yang pasrah dan menerima nasib sebagai
“pekerja dari awal sampai mencapai usia pensiun”, sama artinya menciptakan
takdir serta vonis bagi karirnya sendiri, dimana jelas-jelas mereka akan
benar-benar dipensiunkan dan “pensiun” saat memasuki usia paruh baya.
Gemar menabung dikala muda dan
produktif, berhemat-hemat di masa muda, rajin menimba ilmu dan keterampilan
dikala masih sehat dan bugar, hidup tenang di masa tua, itulah yang disebut
sebagai kiat untuk “bebas secara finansial”. Kerja secara cerdas, bukan secara
keras. Fisik bisa turun kinerjanya dikala lanjut usia, namun kecerdasan dapat
lebih lekang bertahan. Terdengar klise, namun tiada manajer keuangan yang akan
dapat membuat rumusan lebih benar daripada pernyataan klise di atas. Terkadang,
bahkan acapkali, kita perlu kembali kepada paradigma klise sebagai solusinya.
Karenanya, menjadi patut kita merasa prihatin, ketika seseorang menggantungkan
diri dan nasibnya dikala senja, dengan semata mengandalkan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan.
Sebagai pertanyaan terakhir,
meski bukan yang paling akhir, apakah benar ada mantan pekerja yang betul-betul
makmur hidupnya dari dana yang ia cairkan secara penuh dari Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan? Untuk sekadar menyambung hidup secara secukupnya, mungkin
memang benar adanya. Akan tetapi untuk hidup makmur, berkecukupan, dan
sejahtera, sederhana namun tanpa perlu sengsara, kita tidak pernah boleh
mengandalkan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Manajer investasi terbaik Anda,
adalah diri Anda sendiri.
Andalkan diri dan kemampuan
Anda sendiri, sekalipun secara normatif kita beberapa tahun yang akan datang
telah mencapai “usia pensiun”. Anda benar-benar akan “pensiun”, ketika Anda
mengizinkannya. Ketika Anda tidak mengizinkan diri Anda untuk “pensiun dini”
atau dipensiunkan, maka jangan andalkan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Investasikan waktu dan segenap sumber daya Anda, kepada diri Anda sendiri,
sebagai jaminan sesungguhnya untuk hari tua kita. Andalkan diri Anda sendiri, selebihnya
hanya sekadar “tambahan”. Diri Anda sendirilah modal utama Anda, beserta
kesehatan dan “otak” Anda. Modal memang bukan segalanya, namun segalanya butuh
modal.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.