LEGAL OPINION
Selamat Datang pada Era RIMBA BELANTARA HUKUM
Sarjana Hukum GENERALIS Vs. SPESIALIS, Pilih Mana?
Question: Apa betul, untuk menjadi sarjana hukum (serta praktisi hukum), maka kemampuan mengingat (daya ingat) dan menghafal harus kuat, semisal menghafal isi pasal-pasal dan isi undang-undang?
Brief Answer: Sebetulnya bukan menghafal isi suatu norma
hukum, namun mampu membuat jejaring pertalian antara satu dan lebih peraturan
perundang-undangan yang saling membentuk jaringan bak “jaring laba-laba”. Para praktisi
hukum yang telah senior berkecimpung dibidang hukum sekalipun, selalu “mencontek”
isi peraturan perundang-undangan dan mengutip, alih-alih membuang waktu untuk
menghafal isinya, yang mana cepat atau lambat akan berubah peraturan. Sebetulnya
juga bukan daya ingat semata, namun juga dituntut memiliki keterampilan berupa
daya nalar, daya analisa, disamping daya mempertautkan berbagai peraturan
perundang-undangan terhadap suatu peristiwa hukum konkret.
Norma hukum pada berbagai peraturan
perundang-undangan yang tersebar luas pada berbagai sektor dan bidang terkait, merupakan
“bahan mentah”, sementara itu adalah tugas seorang praktisi hukum untuk
menyajikannya secara “matang” kepada pengguna jasa (pihak “klien”), tidak lain
tidak bukan pertautan dan “benang merah” dengan “interface” yang ramah (“user
friendly”) terhadap pengguna jasa yang bisa jadi berlatar-belakang
non-hukum. Pengguna jasa tidak perlu membayar jasa seorang praktisi hukum, bila
seorang penyedia jasa hukum sekadar menyodorkan bahan mentah norma-norma hukum
berupa “rimba belantara norma hukum” yang tersebar luas di luar sana.
Terkait pertanyaan apakah seorang profesi hukum,
harus berusah-payah mengingat sekaligus menghafal berbagai peraturan perundang-undangan
secara efektif, maka jawaban “Tidak!”
tampaknya hanya relevan bila ditanyakan satu dekade lampau atau bila konteksnya
bukanlah kondisi sebagaimana dewasa ini dimana sudah tidak memungkinkan lagi
untuk menghafal dan mengingat seluruh isi pasal-pasalnya, peraturan-peraturan baru
dibentuk tanpa terbendung dan membanjiri, karenanya norma hukum di Indonesia kini
telah menyerupai “rimba belantara hukum”—sehingga mau tidak mau untuk saat kini
harus kita akui, bahwa syarat utama menjadi seorang sarjana hukum maupun
profesi hukum, ialah daya ingat yang kuat disamping daya bernalar dan membangun
jejaring antar norma hukum.
Sebagai contoh, para klien SHIETRA &
PARTNERS sejatinya dapat saja mencari dan menghimpun serta menyeleksi
sendiri norma-norma hukum yang relevan dengan isu hukum yang mereka hadapi. Namun,
para klien SHIETRA & PARTNERS memilih untuk menyewa jasa serta
membayar tarif jasa konsultasi seputar hukum dengan SHIETRA & PARTNERS,
ialah terutama kemampuan atau keterampilan dalam mempertautkan, mencari
benang-merah dibaliknya, serta memasangkan berbagai norma hukum relevan terkait
terhadap fakta-fakta hukum serta peristiwa hukum yang terjadi, sementara itu peraturan
perundang-undangan telah demikian masif sehingga masyarakat awam hukum (bahkan juga
sebagian diantara sarjana hukum) mendapati kesukaran berarti mencari, menghimpun,
dan menyeleksinya secara efektif dan relevan.
PEMBAHASAN:
Bila kondisi praktik dan substansi
peraturan perundang-undangan satu atau dua dekade lampau, masih tergolong
sederhana (masih sangat minim pengaturannya), dan tidak sekompleks sebagaimana
dewasa ini di Indonesia, maka adalah masih memungkinkan seorang Sarjana Hukum
untuk menjadi sarjana hukum sekaligus praktisi hukum yang menguasai seluruh
bidang disiplin ilmu hukum, maka saat kini hanya dimungkinkan seorang sarjana
hukum dan praktisi hukum yang terspesialisasi pada satu atau beberapa bidang
disiplin ilmu hukum tertentu, alias tidak memungkinkan lagi menjadi seorang sarjana
hukum yang menggeneralisir untuk menguasai secara mendalam serta senantiasa “update” berbagai regulasi terbaru yang
mana dapat sewaktu-waktu dapat berubah atau diganti maupun dicabut.
Sumber daya waktu seorang
sarjana hukum amatlah terbatas, tidak akan pernah mampu mengejar dan
mengimbangi perkembangan dan perubahan norma hukum berbagai peraturan
perundang-undangan. Sehingga, mau tidak mau, demi rasionalisasi, seorang
sarjana dan praktisi hukum akan menjurus ke arah terspesialisasi dan
me-spesialis-kan kompetensi hukum dirinya ke beberapa atau bahkan satu disiplin
ilmu tertentu. Adalah amat berbahaya, ketika masyarakat menyewa jasa seorang
sarjana dan praktisi hukum yang generalis namun hanya menguasai “kulit”-nya
saja. Selalu rujuk sarjana hukum yang spesialis, alih-alih yang generalis.
Bidang-bidang diluar ilmu
hukum, yang menjadi subjek pengaturan hukum, sekadar kilas balik beberapa
dekade lampau, juga masih tergolong relatif sederhana. Namun zaman telah
berubah tanpa dapat kita tolak dan hanya dapat mengikuti perubahan zaman,
dimana bidang-bidang diluar disiplin ilmu hukum telah berkembang secara
demikian pesatnya dan terdiferensiasi satu sama lainnya, begitupula modus-modus
kejahatan kian canggih kian hari, model-model bisnis yang sebelumnya tidak
dikenal kini menjamur dan mewarnai praktik berniaga di tengah-tengah masyarakat
menggantikan serta menggusur model bisnis konvensional, semisal model bisnis “marketplace” dan “toko online” yang tidak
pernah kita kenal satu dekade lampau dan kini tumbuh secara masif serta lazim
mewarnai keseharian masyarakat namun masih minim pengaturan oleh otoritas
terkait, maka norma hukum perlu dibentuk untuk mengaturnya, yang secara tidak
langsung mengkondisikan peraturan perundang-undangan suatu negeri untuk turut
berubah serta berkembang serta dalam rangka mengikuti pergeseran serta
perubahan zaman.
Zaman terus berubah dan
berkembang sebagai hal lumrah serta dasariahnya memang demikian adanya, maka
norma hukum yang mengiringinya turut berubah serta berkembang serta, mengiringi
praktik bisnis maupun dinamika sosial-kemasyarakatan pada umumnya. Belum lagi masing-masing
daerah merasa memiliki domain untuk menerapkan apa yang disebut sebagai “norma
otonom” (autonomic legislation),
dengan terbitnya berbagai peraturan daerah yang kian membuat masif dan
mengguritanya peraturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini,
sekalipun sebagian diataranya hanyalah pasal-pasal yang tidak efektif dalam
keberlakuannya sementara itu pasal-pasal lainnya dapat demikian efektif
diberlakukan seolah terjadi diskriminasi dalam praktik penegakan dan penerapan norma
hukum, membentuk suatu pola konvensi atau kebiasaan berhukum itu sendiri, suatu
penyimpangan secara tidak tertulis terhadap norma hukum tertulis yang eksis
menjadi seolah tidak eksis—begitupula sebaliknya, kebutuhan pembentukan preseden
(atau yurisprudensi) oleh praktik peradilan demi mengisi “kekosongan hukum”
akibat belum diaturnya suatu peristiwa hukum konkret yang kasuistik. Akibatnya,
antar sarjana hukum dan antar praktisi hukum kian terdiferensiasi satu sama
lainnya.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.