LEGAL OPINION
Kapan disebut Wanprestasi, dan Kapankah disebut sebagai Perbuatan Melawan Hukum
Question: Sebenarnya, jika pada mulanya ialah hubungan hukum kontraktual (perjanjian), maka kapan dapat disebut sebagai sebatas wanprestasi dan kapan beralih menjadi perbuatan melawan hukum. Bukankah hal itu harus ditentukan lebih dahulu, sebelum mengajukan gugatan (perdata) terhadap pihak lain dalam kontrak ini yang sudah merugikan pihak saya? Semisal, gugatan yang meminta ganti-kerugian moril, idiil, ataupun immaterial, hanya dikenal dalam model surat gugatan perbuatan melawan hukum.
Brief Answer: Terdapat satu parameter yang memudahkan kita
untuk menentukan kriteria apakah semata atau sebatas “wanprestasi” bila salah
satu pihak cidera janji terhadap isi kesepakatan di dalam perjanjian, ataukah
telah menjelma sebagai “perbuatan melawan hukum”, yakni apabila salah satu
pihak menampilkan itikad tidak baik seperti menyalah-gunakan kepercayaan pihak
lain dalam perjanjian dengan melakukan pelanggaran hukum secara disengaja
seperti melakukan tindak pidana—antara lain memasukkan keterangan palsu ke
dalam akta, menggelapkan dana pinjaman, melakukan penipuan (menipu),
menggunakan dana pinjaman untuk hal lain dari yang disebutkan dalam perjanjian
modal kerja, dan lain sebagainya.
PEMBAHASAN:
Mahkamah Agung RI bahkan telah
membuat panduan secara lebih mudah dipahami parameternya, yakni : Pemutusan
perjanjian secara sepihak, sudah termasuk dalam kategori “perbuatan melawan
hukum”—sehingga gugatan perdata bukan lagi berupa “gugatan wanprestasi”, namun “gugatan
perbuatan melawan hukum”. Maka, logika berpikir sebagai konsekuensi yuridisnya
ialah, jika perbuatan yang menyimpang oleh salah satu pihak dalam perjanjian
lebih buruk derajatnya dari sekadar memutus perjanjian secara sepihak, seperti
melakukan tindak pidana, maka sudah lebih jelas serta terang-benderang
perbuatan demikian digolongkan sebagai “perbuatan melawan hukum”.
Dalam praktik, sering dijumpai
perkara pembatalan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak yang ada
dalam perjanjian, dengan berbagai alasan. Para pihak telah membuat dan terikat
dalam perjanjian yang sah sesuai syarat sah perjanjian (vide Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti adanya
kesepakatan, kecakapan hukum untuk bersepakat, perikatan yang spesifik, serta
causa yang sahih). Namun, sebelum jangka waktu perjanjian berakhir, salah satu
pihak dalam perjanjian melakukan pembatalan perjanjian secara sepihak, yang
tentunya merugikan pihak yang lain dalam perjanjian. Ketika kejadian pembatalan
kontrak secara sepihak demikian diajukan ke pengadilan, sering diperdebatkan dan
dibantah oleh pihak Tergugat dengan isu hukum : apakah rumusan surat gugatan harus
disusun sebagai “gugatan perbuatan melawan hukum” ataukah “gugatan wanprestasi”?
Terhadap isu hukum yang timbul seputar
“pembatalan perjanjian secara sepihak” demikian, Mahkamah Agung RI (MA RI) saat
kini telah memiliki pendirian yang konsisten. MA RI menilai bahwa jika salah
satu pihak yang telah menyepakati sebuah perjanjian dengan pihak lainnya, lalu
dikemudian hari membatalkannya secara sepihak terhadap perjanjian yang
sebelumnya telah saling sepakati, maka pihak yang telah membatalkan perjanjian
secara sepihak dinilai telah melakukan “perbuatan melawan hukum”, bukan lagi
sekadar “wanprestasi”. Pendirian MA RI demikian dapat SHIETRA & PARTNERS
rujuk dalam putusan Nomor 1051 K/Pdt/2014 (PT. Chuhatsu Indonesia Vs. PT.
Tenang Jaya Sejahtera) tanggal 12 November 2014, dimana MA RI berpendapat:
“Bahwa
perbuatan Tergugat / Pemohon Kasasi yang telah membatalkan
perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat / Termohon Kasasi secara sepihak
tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena
bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak.”
Putusan di atas kemudian dikukuhkan
dalam tingkat upaya hukum Peninjauan Kembali nomor 580 PK/Pdt/2015, dimana dalam
pertimbangannya MA RI menegaskan bahwa penghentian perjanjian secara sepihak
merupakan “perbuatan melawan hukum”:
“Bahwa
penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut merupakan perbuatan
melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus membayar kerugian yang
dialami Penggugat.”
Pendirian hukum MA RI kembali dipertegaskan
dalam praktiknya sebagaimana tertuang dalam putusan nomor 28 K/Pdt/2016 (Dicky
Rahmat Widodo Vs. Rista Saragih dan Hotman Sinaga) tanggal 17 November 2016, dimana
Mahkamah Agung memiliki pandangan senada:
“Bahwa sesuai fakta
persidangan terbukti Penggugat adalah pelaksana proyek sesuai dengan Surat
Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat
I, proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat, sehingga benar
para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.”
Pendirian hukum sebagaimana praktik-praktik
peradilan di atas, dimana MA RI berpandangan bahwa pemutusan perjanjian secara
sepihak adalah termasuk dalam “perbuatan melawan hukum”, telah menjadi
yurisprudensi tetap di Mahkamah Agung RI, mengingat Mahkamah Agung RI telah
secara konsisten menerapkan pendirian yuridisnya tersebut pada seluruh putusannya
dalam tingkat kasasi dengan permasalahan serupa sejak tahun 2014—sekalipun
acapkali dijumpai putusan Pengadilan Negeri yang menyimpang dari kaedah hukum
bentukan preseden di Mahkamah Agung RI demikian, namun setidaknya dapat
dikoreksi oleh Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.