Cara Kalahkan Polisi, TIDAK ANDALKAN POLISI!

LEGAL OPINION

Jangan Bersikap Seolah-Olah Warga Sipil yang Butuh Polisi

Bila Tuhan lebih PRO terhadap Pendosa (“Pengampunan / Penghapusan Dosa” maupun “Penebusan Dosa”), maka Apa yang Anda Harapkan dari Seorang Polisi?

Question: Percuma dan rugi sendiri, (bagi warga) yang lapor ke polisi. Sudah merugi sebagai korban kejahatan, masih pula harus menanggung beban dan luka batin ketika dilecehkan dan bahkan mengemis-ngemis (merendahkan martabat sendiri) agar polisi memberikan keadilan (pidana) bagi korban (pelapor). Padahal kami selaku warga yang menjadi korban hanya meminta apa yang menjadi hak kami, yakni agar pelakunya diproses hukum (pidana) sebagaimana mestinya, dan itu sudah merupakan kewajiban dan tugas mereka selaku polisi.

Jika laporan korban diabaikan dan ditelantarkan tanpa respons juga tanpa ditindak-lanjuti bahkan tidak jarang dianggap remeh (disepelekan), artinya si polisi lalai dalam menjalankan tugas profesi dan kewajibannya melayani dan melindungi masyarakat. Sebagai warga biasa, kami merasa demikian lemah, tidak berdaya, tidak punya daya tawar di hadapan polisi yang suka sewenang-wenang menyalah-gunakan kekuasaannya. Padahal, mereka, itu polisi-polisi, monopoli (akses pidana)! Kami, sebagai korban, mau mencari keadilan ke mana lagi, ketika polisi ternyata justru tidak ubahnya penjahat yang telah menjahati kami?

Terus terang, sikap polisi membuat kami lebih merasakan trauma hebat, seolah-olah harus berjuang melindungi diri seorang diri dari penjahat dan tanpa perlindungan hukum, bahkan juga harus menghadapi polisi yang tidak ubahnya penjahat itu sendiri (preman berseragam dan bersenjata api). Negara, tidak benar-benar hadir di tengah masyarakat, karena itu benar bila ada yang menyebutkan bahwa preman-preman dipelihara oleh negara. Karena polisinya sendiri mirip preman!

Brief Answer: Melaporlah kepada Hukum Karma, bahkan tanpa perlu melapor sekalipun, Hukum Karma akan bekerja sebagai hakim serta eksekutornya, dimana sang pelaku itu sendiri mengetahui perbuatan-perbuatan buruk diri mereka (karenanya selalu ada yang mengetahui dan mengawasi perbuatan buruk seseorang, yakni setidaknya diri sang pelaku itu sendiri). Karena itulah, ditindak-lanjuti atau tidaknya laporan seorang warga yang menjadi “korban pelapor”, oleh pihak “berwajib” (yang memiliki kewajiban menindak-lanjuti laporan warga), bukanlah sebentuk kerugian bagi sang korban, juga tidak dapat dimaknai sebagai keuntungan bagi sang “pelaku kejahatan”. [Dalam kesempatan terpisah, penulis akan mengulas perihal berkas kejadian yang tersimpan di database alam semesta, bernama “Akashic Record”, dimana catatan sejarah perilaku setiap manusia serta dosa-dosanya ialah mustahil dihapus, permanen selamanya.]

Dalam kasus di atas, terdapat dua pihak yang menjadi pelaku kejahatan, yakni sang penjahat yang tidak memiliki sumpah jabatan seperti untuk melindungi dan melayani masyarakat, semisal “preman pasar” yang memeras, merusak, ataupun menganiaya; serta jenis kedua ialah penjahat yang justru bertentangan dengan sumpah jabatan profesinya, semisal polisi dan Aparatur Sipil Negara disumpah untuk menjalankan kewajibannya melayani masyarakat. Terlebih, ketika penjahat tipe kedua tersebut memonopoli kewenangan, sehingga daya tawar warga sipil berada di titik nadir, sehingga pengabaian dan penyalah-gunaan wewenang maupun kekuasaan mereka sifatnya dapat lebih jahat dari penjahat tipe pertama.

Mengingat pertimbangan di atas itulah, tetap ajukan laporan, perihal apakah akan ditanggapi atau tidaknya oleh pihak yang “berwajib”, maka itu menjadi urusan mereka dan tanggung-jawab moril serta tidak terkecuali tanggung-jawab Karma mereka pribadi per masing-masing individu. Ketika seorang warga selaku korban, tidak melaporkan peristiwa kejahatan yang dialami atau yang menimpa dirinya, maka hanya sang pelaku kejahatan yang akan memetik buah Karma Buruknya. Namun, ketika sang korban telah pernah melapor kepada polisi, dan polisi mengabaikan laporan, maka terdapat pula penjahat tipe kedua yang akan memetik buah Karma Buruk berupa pengabaian atas kewajiban dan sumpah jabatan serta penyalah-gunaan monopoli kewenangan.

PEMBAHASAN:

Penulis memiliki postulat yang bahkan lebih mumpuni, untuk diterapkan oleh para warga sipil yang selama ini merasa tidak berdaya menghadapi arogansi, hegemoni, keangkuhan, dan berbagai parade penyalah-gunaan kekuasaan aparatur kepolisian, sehingga daya tawar masyarakat sipil dapat dijaga martabat serta harga dirinya (tanpa perlu “mengemis-ngemis” keadilan pidana) yakni semudah dan sesingkat anekdot berikut : Ketika kita tidak merasa membutuhkan polisi (sekalipun mengalami pengalaman sebagai korban), maka kita telah menang melawan polisi. Semudah bagi kita untuk berkata pada mereka:

Saya TIDAK butuh Anda!

Jika Anda sebagai warga sipil, tidak melapor dan mengemis-ngemis akses pidana kepada kami, para polisi, Anda memangnya mau melaporkan kejadian pidana yang Anda alami, ke mana? Anda mau melaporkan pelaku kejahatannya, ke mana

Ke Hukum Karma! Bapak Polisi silahkan masuk gudang atau masuk tong sampah saja. Kami tidak butuh! Makan gaji buta + monopoli + pengabaian = DOSA! Untuk apa kami melaporkan ulah seorang pendosa kepada pendosa? Bagaimana mungkin, kami mengadalkan pendosa untuk mempidanakan pendosa lainnya

Mind set yang timbul di tengah masyarakat kita dewasa ini, bila suatu pelaku kejahatan tidak ditindak secara hukum pidana dan diadili oleh hakim di pengadilan hingga diputus dan dipidanakan berupa sanksi hukuman penjara, maka seolah-olah korban telah kalah dan merugi. Akibatnya, daya tawar pihak aparatur penegak hukum demikian menyerupai “raksasa”, dan rakyat sipil menjadi tampak demikian kecil tanpa daya tawar menghadapi arogansi dan diktatoriat monopolistik kewenangan penegakan hukum pidana yang dikantungi aparatur kepolisian di Indonesia.

Mengapa, pola pikir demikian, dapat muncul di tengah-tengah masyarakat? Semata akibat dogma-dogma berbagai keyakinan keagamaan yang membuat para pemeluknya menjadi demikian kompromistis terhadap dosa dan maksiat (merugikan, melukai, maupun menyakiti warga lain), namun disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kaum dengan keyakinan yang berbeda, lewat degradasi “standar moral” bernama ideologi penuh iming-iming “too good to be true” (bagi penjahat) berupa janji-janji surgawi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Itulah sebabnya, peradilan yang diselenggarakan Tuhan (versi PRO terhadap penjahat yang mewahyukan dogma “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”) ataupun melapor kepada Tuhan tersebut, bukanlah opsi yang cerdas, semata karena setiap kali mereka beribadah, maupun pada hari raya keagamaan setiap tahunnya, hingga pula ketika mengadakan upacara meninggal dunia seorang almarhum (sang pendosa yang meninggal dunia), doa yang diumbar dan diobral tanpa rasa malu, bahkan menggunakan pengeras suara dan dikumandangkan secara berulang-ulang dengan penuh rasa bangga serta lantang oleh para penceramah dan pemuka agama, “semoga dosa-dosa kami diampuni”, “semoga dosa-dosa almarhum diampuni”, dan lain sebagainya. Lantas, pertanyaan utamanya ialah, bagaimana dengan nasib para korban mereka, para pendosa tersebut?

Ketika sosok versi Tuhan yang ada di benak masyarakat kita, ialah Tuhan versi PRO terhadap pendosa atau penjahat, maka itu sama artinya menjadi korban ialah merugi sendiri alias kerugian itu sendiri. Berkat dogma ideologi penuh iming-iming berupa dogma “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, umat manusia tidak lagi merasa malu juga tidak lagi perlu merasa takut berbuat dosa dan kejahatan apapun, bahkan dipandang “merugi” bila tidak mengoleksi segudang dosa, menimbun diri dengan dosa, berkubang dosa, mencetak dosa secara demikian produktif.

Mengingat Tuhan ternyata lebih PRO terhadap pendosa / penjahat, maka tidak ada pilihan lain bagi umatnya yang “kebetulan” menjadi korban kejahatan umat lainnya, dimana sang pelaku dan sang korban merupakan sesama pemeluk ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, selain bersikukuh dan berupaya sedemikian rupa agar sang pelaku kejahatan dijebloskan ke penjara, sekalipun harus mengemis-ngemis kepada polisi agar laporannya diproses sebagaimana mestinya, dan juga bila perlu melayani sang polisi yang alih-alih melayani, justru meminta dilayani (minta uang sogokan, “pungutan liar”).

Adalah menyerupai “kiamat” bagi sang umat yang menjadi korban kejahatan, ketika umat lain yang menjadi pelakunya tidak dipidana penjara, maka akan menyerupai skenario sebagai berikut. Sang pelaku kejahatan, yang notabene juga merupakan umat pemeluk dogma “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, ketika dengan bangga dan demikian gembiranya melakukan kejahatan dengan menjahati sang korban, tanpa rasa malu, tanpa rasa takut, terlebih rasa menyesal, justru diberikan “reward” (alih-alih “punishment”) oleh Tuhan yang disembah olehnya berupa iming-iming janji-janji surgawi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Alhasil, sang pelaku kejahatan (kita sebut saja, inisial singkatnya sebagai “sang pendosa”), setiap hari beribadah (semudah “lip services”, seolah-olah Tuhan membutuhkan seorang “penjilat”, sebuah “pujian yang sejatinya menista Tuhan”), sang pendosa memohon “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, bahkan lewat pengeras suara dikumandangkan ke publik luas. Tubuh, ditutupi dengan busana, dianggap aurat, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun, perihal mengumbar dan mengobral pengampunan dosa, dianggap bukan hal tabu yang memalukan menyerupai aurat, sekalipun dosa dan menjadi pendosa ialah “aurat tertinggi” yang paling memalukan serta paling buruk-busuk-jahat-najis-jorok-tercela-hina-kotor. Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Ketika hari raya keagamaan, lagi-lagi diumbar promosi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” kepada para umatnya, yang kian merasa “diatas angin” sekalipun setiap harinya mencetak dosa. Alhasil, cukup satu hari dari 365 hari dalam setahun, sang umat (pendosa) “mendadak alim” karena diberi janji-janji “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang demikian bombastis (sekalipun mencuri dan berzinah, masuk surga asalkan menyembah Tuhan); sementara sisanya, 364 hari dalam setahun dibebaskan dan bebas untuk memproduksi dosa secara demikian produktif. Alhasil, kalangan korban kian tersudutkan, kian terpojokkan, kian lemah, kian tidak terlindungi, sewaktu-waktu dapat menjadi korban para “manusia predator” yang berkeliaran di luar sana menjadikan “orang-orang baik sebagai mangsa empuk”. Itulah, ketika era umat manusia menjelma “serigala bagi sesamanya”, memakan atau dimakan.

Ketika sang pendosa meninggal dunia, inilah yang dikumandangkan oleh tempat ibadahnya maupun oleh sanak keluarga almarhum, “Semoga semua dan segala dosa-dosa almarhum, diampuni oleh Tuhan”. Berbuat jahat kepada korban, namun pengampunan diberikan bukan oleh Tuhan, seolah-olah korban tidak punya hak untuk bersuara dan beraspirasi, hanya boleh diam bungkam bak seonggok mayat yang hanya bisa berbujur kaku ataupun sebongkah batu, sekalipun terus-menerus disakiti. Korban yang diam, akan cenderung menjadi objek “bully” yang kian menjadi-jadi—semata karena adagium “diam artinya (dianggap) setuju atau setidaknya tidak keberatan”.

Lagi-lagi, masyarakat kita secara tidak proporsional dan “salah alamat” justru menghardik hingga turut melecehkan korban dengan diskredit berupa penghakiman stigma sebagai “tidak sopan”, “sudah gila”, “tidak waras”, semata karena sang korban “menjerit”. Menjerit, adalah hak asasi korban. Sekalipun juga, seolah-olah perilaku pelakunya “sudah sopan”, dimana masyarakat justru melecehkan korban alih-alih mengkritik dan mencela perbuatan pelakunya. Bagaimana mungkin, seekor anjing pun berhak menjerit ketika ekornya terinjak manusia, maka manusia yang disakiti hanya boleh diam membisu? Itu namanya praktik “pengbungkaman”. Dapat kita maklumi, sesama pemeluk “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” dilarang saling mengkritik, maka kalangan korban yang kemudian dijadikan objek perundungan (“bullying”) yang empuk, semata karena korban selalu lebih lemah, terluka, dan sudah tersudutkan posisinya.

Itulah, budaya atau kultur “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana masyarakat kita selaku penonton yang menyaksikan aksi kejahatan, maupun melihat dan mengetahui perilaku sang pelaku itu sendiri, dianggap dapat dikompromikan, sementara itu disaat bersamaan jeritan korban dianggap gangguan yang perlu dibungkam, dimana masyarakat kita tidak kompromistis terhadap posisi dan derita korban. Masyarakat kita, lebih menempatkan diri mereka para posisi “point of view” pelaku, alih-alih menggunakan pendekatan “perspektif seorang korban”—semata karena masyarakat kita itu sendiri adalah seorang pendosa, atau setidaknya agar merasa bebas untuk berbuat dosa serupa. Suatu budaya, yang amat tidak sehat.

Bila Tuhan saja, diilustrasikan lebih PRO terhadap pendosa (lewat pemberian iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, alih-alih iming-iming peradilan yang adil bagi korban di alam baka serta hukuman tegas tanpa kompromi bagi pelakunya), maka mengapa juga kita mengharap agar masyarakat kita lebih menaruh empati (EQ) terhadap kondisi korban? Sering penulis menyebutkan, mustahil seseorang mengklaim memiliki EQ terlebih SQ, bilamana IQ yang bersangkutan amatlah memprihatinkan—postulat mana selalu dapat kita jumpai afirmasinya di keseharian para pembaca.

Sebagai pamuncaknya, sang pendosa meninggal dunia dan berkat “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, oleh Tuhan (versi PRO terhadap pendosa) dimasukkan ke alam surgawi. Sebagai contoh, Anda adalah korban, dimana istri / suami Anda selingkuh dan berzinah dengan seorang pria / wanita lain (para pelaku perzinahan). Keduanya, para pendosa dan sang korban, adalah sesama umat pemeluk “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Alhasil, mereka berjumpa kembali di alam surgawi, sang korban dan para pelakunya, sebagai penghuni surga, bahkan juga bertetangga kembali, yang menjelma menyerupai “Bumi versi / jilid ke-2”, menjadi pelaku untuk kedua kalinya, dan menjadi korban untuk kedua kalinya. Terjadilah, reduplikasi peristiwa, sang istri / suami selingkuh dengan pria / wanita lain. Hal demikian ibarat memindahkan kondisi duniawi alam manusia ke alam surgawi. Tiada polisi ataupun penjara di alam surga, mengingat mereka dapat memasuki alam surgawi, semata berkat “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Itukah, alam paling ideal yang Anda wujudkan, idamkan, dan cita-citakan? Keuntungan bagi pelaku, artinya kerugian bagi korban.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.