LEGAL OPINION
Jangan Bersikap Seolah-Olah Warga Sipil yang Butuh Polisi
Bila Tuhan lebih PRO terhadap Pendosa (“Pengampunan /
Penghapusan Dosa” maupun “Penebusan Dosa”), maka Apa yang Anda Harapkan dari
Seorang Polisi?
Question: Percuma dan rugi sendiri, (bagi warga) yang lapor
ke polisi. Sudah merugi sebagai korban kejahatan, masih pula harus menanggung
beban dan luka batin ketika dilecehkan dan bahkan mengemis-ngemis (merendahkan
martabat sendiri) agar polisi memberikan keadilan (pidana) bagi korban
(pelapor). Padahal kami selaku warga yang menjadi korban hanya meminta apa yang
menjadi hak kami, yakni agar pelakunya diproses hukum (pidana) sebagaimana
mestinya, dan itu sudah merupakan kewajiban dan tugas mereka selaku polisi.
Jika laporan korban diabaikan
dan ditelantarkan tanpa respons juga tanpa ditindak-lanjuti bahkan tidak jarang
dianggap remeh (disepelekan), artinya si polisi lalai dalam menjalankan tugas
profesi dan kewajibannya melayani dan melindungi masyarakat. Sebagai warga
biasa, kami merasa demikian lemah, tidak berdaya, tidak punya daya tawar di
hadapan polisi yang suka sewenang-wenang menyalah-gunakan kekuasaannya.
Padahal, mereka, itu polisi-polisi, monopoli (akses pidana)! Kami, sebagai korban, mau mencari keadilan ke mana lagi, ketika
polisi ternyata justru tidak ubahnya penjahat yang telah menjahati kami?
Terus terang, sikap polisi membuat kami lebih merasakan trauma hebat, seolah-olah harus berjuang melindungi diri seorang diri dari penjahat dan tanpa perlindungan hukum, bahkan juga harus menghadapi polisi yang tidak ubahnya penjahat itu sendiri (preman berseragam dan bersenjata api). Negara, tidak benar-benar hadir di tengah masyarakat, karena itu benar bila ada yang menyebutkan bahwa preman-preman dipelihara oleh negara. Karena polisinya sendiri mirip preman!
Brief Answer: Melaporlah kepada Hukum Karma, bahkan tanpa
perlu melapor sekalipun, Hukum Karma akan bekerja sebagai hakim serta
eksekutornya, dimana sang pelaku itu sendiri mengetahui perbuatan-perbuatan
buruk diri mereka (karenanya selalu ada yang mengetahui dan mengawasi perbuatan
buruk seseorang, yakni setidaknya diri sang pelaku itu sendiri). Karena itulah,
ditindak-lanjuti atau tidaknya laporan seorang warga yang menjadi “korban pelapor”,
oleh pihak “berwajib” (yang memiliki kewajiban menindak-lanjuti laporan warga),
bukanlah sebentuk kerugian bagi sang korban, juga tidak dapat dimaknai sebagai
keuntungan bagi sang “pelaku kejahatan”. [Dalam kesempatan terpisah, penulis
akan mengulas perihal berkas kejadian yang tersimpan di database alam semesta,
bernama “Akashic Record”, dimana catatan sejarah perilaku setiap manusia
serta dosa-dosanya ialah mustahil dihapus, permanen selamanya.]
Dalam kasus di atas, terdapat dua pihak yang
menjadi pelaku kejahatan, yakni sang penjahat yang tidak memiliki sumpah
jabatan seperti untuk melindungi dan melayani masyarakat, semisal “preman
pasar” yang memeras, merusak, ataupun menganiaya; serta jenis kedua ialah
penjahat yang justru bertentangan dengan sumpah jabatan profesinya, semisal
polisi dan Aparatur Sipil Negara disumpah untuk menjalankan kewajibannya
melayani masyarakat. Terlebih, ketika penjahat tipe kedua tersebut memonopoli
kewenangan, sehingga daya tawar warga sipil berada di titik nadir, sehingga
pengabaian dan penyalah-gunaan wewenang maupun kekuasaan mereka sifatnya dapat
lebih jahat dari penjahat tipe pertama.
Mengingat pertimbangan di atas itulah, tetap
ajukan laporan, perihal apakah akan ditanggapi atau tidaknya oleh pihak yang
“berwajib”, maka itu menjadi urusan mereka dan tanggung-jawab moril serta tidak
terkecuali tanggung-jawab Karma mereka pribadi per masing-masing individu.
Ketika seorang warga selaku korban, tidak melaporkan peristiwa kejahatan yang
dialami atau yang menimpa dirinya, maka hanya sang pelaku kejahatan yang akan
memetik buah Karma Buruknya. Namun, ketika sang korban telah pernah melapor
kepada polisi, dan polisi mengabaikan laporan, maka terdapat pula penjahat tipe
kedua yang akan memetik buah Karma Buruk berupa pengabaian atas kewajiban dan
sumpah jabatan serta penyalah-gunaan monopoli kewenangan.
PEMBAHASAN:
Penulis memiliki postulat yang
bahkan lebih mumpuni, untuk diterapkan oleh para warga sipil yang selama ini
merasa tidak berdaya menghadapi arogansi, hegemoni, keangkuhan, dan berbagai parade
penyalah-gunaan kekuasaan aparatur kepolisian, sehingga daya tawar masyarakat
sipil dapat dijaga martabat serta harga dirinya (tanpa perlu “mengemis-ngemis”
keadilan pidana) yakni semudah dan sesingkat anekdot berikut : Ketika kita
tidak merasa membutuhkan polisi (sekalipun mengalami pengalaman sebagai korban),
maka kita telah menang melawan polisi. Semudah bagi kita untuk berkata pada
mereka:
“Saya TIDAK
butuh Anda!”
“Jika Anda sebagai
warga sipil, tidak melapor dan mengemis-ngemis akses pidana kepada kami, para
polisi, Anda memangnya mau melaporkan kejadian pidana yang Anda alami, ke mana?
Anda mau melaporkan pelaku kejahatannya, ke mana”
“Ke Hukum
Karma! Bapak Polisi silahkan masuk gudang atau masuk tong sampah saja. Kami
tidak butuh! Makan gaji buta + monopoli + pengabaian = DOSA! Untuk apa kami
melaporkan ulah seorang pendosa kepada pendosa? Bagaimana mungkin, kami
mengadalkan pendosa untuk mempidanakan pendosa lainnya”
Mind set yang timbul di tengah masyarakat kita dewasa ini, bila suatu pelaku
kejahatan tidak ditindak secara hukum pidana dan diadili oleh hakim di
pengadilan hingga diputus dan dipidanakan berupa sanksi hukuman penjara, maka
seolah-olah korban telah kalah dan merugi. Akibatnya, daya tawar pihak aparatur
penegak hukum demikian menyerupai “raksasa”, dan rakyat sipil menjadi tampak
demikian kecil tanpa daya tawar menghadapi arogansi dan diktatoriat
monopolistik kewenangan penegakan hukum pidana yang dikantungi aparatur
kepolisian di Indonesia.
Mengapa, pola pikir demikian,
dapat muncul di tengah-tengah masyarakat? Semata akibat dogma-dogma berbagai
keyakinan keagamaan yang membuat para pemeluknya menjadi demikian kompromistis
terhadap dosa dan maksiat (merugikan, melukai, maupun menyakiti warga lain),
namun disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kaum dengan keyakinan yang
berbeda, lewat degradasi “standar moral” bernama ideologi penuh iming-iming “too good to be true” (bagi penjahat)
berupa janji-janji surgawi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun
“penebusan dosa”.
Itulah sebabnya, peradilan yang
diselenggarakan Tuhan (versi PRO terhadap penjahat yang mewahyukan dogma
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”) ataupun melapor
kepada Tuhan tersebut, bukanlah opsi yang cerdas, semata karena setiap kali
mereka beribadah, maupun pada hari raya keagamaan setiap tahunnya, hingga pula ketika
mengadakan upacara meninggal dunia seorang almarhum (sang pendosa yang
meninggal dunia), doa yang diumbar dan diobral tanpa rasa malu, bahkan
menggunakan pengeras suara dan dikumandangkan secara berulang-ulang dengan
penuh rasa bangga serta lantang oleh para penceramah dan pemuka agama, “semoga dosa-dosa kami diampuni”, “semoga dosa-dosa almarhum diampuni”, dan
lain sebagainya. Lantas, pertanyaan utamanya ialah, bagaimana dengan nasib
para korban mereka, para pendosa tersebut?
Ketika sosok versi Tuhan yang
ada di benak masyarakat kita, ialah Tuhan versi PRO terhadap pendosa atau
penjahat, maka itu sama artinya menjadi korban ialah merugi sendiri alias
kerugian itu sendiri. Berkat dogma ideologi penuh iming-iming berupa dogma
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, umat manusia tidak
lagi merasa malu juga tidak lagi perlu merasa takut berbuat dosa dan kejahatan
apapun, bahkan dipandang “merugi” bila tidak mengoleksi segudang dosa, menimbun
diri dengan dosa, berkubang dosa, mencetak dosa secara demikian produktif.
Mengingat Tuhan ternyata lebih
PRO terhadap pendosa / penjahat, maka tidak ada pilihan lain bagi umatnya yang
“kebetulan” menjadi korban kejahatan umat lainnya, dimana sang pelaku dan sang
korban merupakan sesama pemeluk ideologi “pengampunan / penghapusan dosa”
maupun “penebusan dosa”, selain bersikukuh dan berupaya sedemikian rupa agar
sang pelaku kejahatan dijebloskan ke penjara, sekalipun harus mengemis-ngemis
kepada polisi agar laporannya diproses sebagaimana mestinya, dan juga bila
perlu melayani sang polisi yang alih-alih melayani, justru meminta dilayani (minta
uang sogokan, “pungutan liar”).
Adalah menyerupai “kiamat” bagi
sang umat yang menjadi korban kejahatan, ketika umat lain yang menjadi
pelakunya tidak dipidana penjara, maka akan menyerupai skenario sebagai
berikut. Sang pelaku kejahatan, yang notabene juga merupakan umat pemeluk dogma
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, ketika dengan bangga
dan demikian gembiranya melakukan kejahatan dengan menjahati sang korban, tanpa
rasa malu, tanpa rasa takut, terlebih rasa menyesal, justru diberikan “reward” (alih-alih “punishment”) oleh Tuhan yang disembah olehnya berupa iming-iming
janji-janji surgawi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Alhasil, sang pelaku kejahatan
(kita sebut saja, inisial singkatnya sebagai “sang pendosa”), setiap hari
beribadah (semudah “lip services”,
seolah-olah Tuhan membutuhkan seorang “penjilat”, sebuah “pujian yang sejatinya
menista Tuhan”), sang pendosa memohon “pengampunan / penghapusan dosa” maupun
“penebusan dosa”, bahkan lewat pengeras suara dikumandangkan ke publik luas.
Tubuh, ditutupi dengan busana, dianggap aurat, mulai dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Namun, perihal mengumbar dan mengobral pengampunan dosa, dianggap
bukan hal tabu yang memalukan menyerupai aurat, sekalipun dosa dan menjadi
pendosa ialah “aurat tertinggi” yang paling memalukan serta paling
buruk-busuk-jahat-najis-jorok-tercela-hina-kotor. Hanya seorang pendosa,
yang membutuhkan “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Ketika hari raya keagamaan,
lagi-lagi diumbar promosi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa” kepada para umatnya, yang kian merasa “diatas angin” sekalipun setiap
harinya mencetak dosa. Alhasil, cukup satu hari dari 365 hari dalam setahun,
sang umat (pendosa) “mendadak alim” karena diberi janji-janji “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang demikian bombastis (sekalipun
mencuri dan berzinah, masuk surga asalkan menyembah Tuhan); sementara sisanya,
364 hari dalam setahun dibebaskan dan bebas untuk memproduksi dosa secara
demikian produktif. Alhasil, kalangan korban kian tersudutkan, kian
terpojokkan, kian lemah, kian tidak terlindungi, sewaktu-waktu dapat menjadi
korban para “manusia predator” yang berkeliaran di luar sana menjadikan “orang-orang
baik sebagai mangsa empuk”. Itulah, ketika era umat manusia menjelma
“serigala bagi sesamanya”, memakan atau dimakan.
Ketika sang pendosa meninggal
dunia, inilah yang dikumandangkan oleh tempat ibadahnya maupun oleh sanak
keluarga almarhum, “Semoga semua dan
segala dosa-dosa almarhum, diampuni oleh Tuhan”. Berbuat jahat kepada
korban, namun pengampunan diberikan bukan oleh Tuhan, seolah-olah korban tidak
punya hak untuk bersuara dan beraspirasi, hanya boleh diam bungkam bak seonggok
mayat yang hanya bisa berbujur kaku ataupun sebongkah batu, sekalipun
terus-menerus disakiti. Korban yang diam, akan cenderung menjadi objek “bully” yang kian menjadi-jadi—semata karena
adagium “diam artinya (dianggap) setuju atau setidaknya tidak keberatan”.
Lagi-lagi, masyarakat kita
secara tidak proporsional dan “salah alamat” justru menghardik hingga turut
melecehkan korban dengan diskredit berupa penghakiman stigma sebagai “tidak
sopan”, “sudah gila”, “tidak waras”, semata karena sang korban “menjerit”.
Menjerit, adalah hak asasi korban. Sekalipun juga, seolah-olah perilaku
pelakunya “sudah sopan”, dimana masyarakat justru melecehkan korban alih-alih
mengkritik dan mencela perbuatan pelakunya. Bagaimana mungkin, seekor anjing
pun berhak menjerit ketika ekornya terinjak manusia, maka manusia yang disakiti
hanya boleh diam membisu? Itu namanya praktik “pengbungkaman”. Dapat kita
maklumi, sesama pemeluk “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa” dilarang saling mengkritik, maka kalangan korban yang kemudian dijadikan
objek perundungan (“bullying”) yang
empuk, semata karena korban selalu lebih lemah, terluka, dan sudah tersudutkan
posisinya.
Itulah, budaya atau kultur
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana masyarakat
kita selaku penonton yang menyaksikan aksi kejahatan, maupun melihat dan
mengetahui perilaku sang pelaku itu sendiri, dianggap dapat dikompromikan,
sementara itu disaat bersamaan jeritan korban dianggap gangguan yang perlu
dibungkam, dimana masyarakat kita tidak kompromistis terhadap posisi dan derita
korban. Masyarakat kita, lebih menempatkan diri mereka para posisi “point of view” pelaku, alih-alih
menggunakan pendekatan “perspektif seorang korban”—semata karena masyarakat
kita itu sendiri adalah seorang pendosa, atau setidaknya agar merasa bebas
untuk berbuat dosa serupa. Suatu budaya, yang amat tidak sehat.
Bila Tuhan saja, diilustrasikan
lebih PRO terhadap pendosa (lewat pemberian iming-iming “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, alih-alih iming-iming peradilan yang
adil bagi korban di alam baka serta hukuman tegas tanpa kompromi bagi
pelakunya), maka mengapa juga kita mengharap agar masyarakat kita lebih menaruh
empati (EQ) terhadap kondisi korban? Sering penulis menyebutkan, mustahil
seseorang mengklaim memiliki EQ terlebih SQ, bilamana IQ yang bersangkutan
amatlah memprihatinkan—postulat mana selalu dapat kita jumpai afirmasinya di
keseharian para pembaca.
Sebagai pamuncaknya, sang
pendosa meninggal dunia dan berkat “pengampunan / penghapusan dosa” maupun
“penebusan dosa”, oleh Tuhan (versi PRO terhadap pendosa) dimasukkan ke alam
surgawi. Sebagai contoh, Anda adalah korban, dimana istri / suami Anda
selingkuh dan berzinah dengan seorang pria / wanita lain (para pelaku
perzinahan). Keduanya, para pendosa dan sang korban, adalah sesama umat pemeluk
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Alhasil, mereka berjumpa
kembali di alam surgawi, sang korban dan para pelakunya, sebagai penghuni
surga, bahkan juga bertetangga kembali, yang menjelma menyerupai “Bumi versi /
jilid ke-2”, menjadi pelaku untuk kedua kalinya, dan menjadi korban untuk kedua
kalinya. Terjadilah, reduplikasi peristiwa, sang istri / suami selingkuh dengan
pria / wanita lain. Hal demikian ibarat memindahkan kondisi duniawi alam
manusia ke alam surgawi. Tiada polisi ataupun penjara di alam surga, mengingat
mereka dapat memasuki alam surgawi, semata berkat “pengampunan / penghapusan
dosa” maupun “penebusan dosa”. Itukah, alam paling ideal yang Anda wujudkan, idamkan,
dan cita-citakan? Keuntungan bagi pelaku, artinya kerugian bagi korban.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.