SENI PIKIR & TULIS
Jangan Gunakan Pendekatan Cara Berpikir dan
Komunikasi RASIONAL ketika Berhadapan dengan Manusia IRASIONAL, Tidak akan Nyambung
Pahami Sifat Irasional Lawan Bicara Anda, dan Ciptakan Komunikasi yang Efektif Tepat Guna
Alangkah sangat ideal dan melegakannya bila seluruh anggota masyarakat ataupun lawan bicara kita, mampu berbicara dan berpikir semata secara rasional. Rasional, berasal dari akar kata “rasio”, alias “akal” (berpikir dan menimbang terlebih dahulu sebelum berbicara dan bersikap)—atau lebih tepatnya ialah “akal budi” seorang manusia, bukan akal seekor “manusia hewan” yang sekadar menuruti dan mengikuti dorongan dan kemauan hati berupa nafsu, ego, hegemoni otak reptil, deterministik genetik, dorongan b!rahi, dan sebagainya. Fondasi penopang dari cara berpikir rasional, ialah pikiran yang jernih, yang dalam Buddhisme dapat diumpamakan sebagai kolam yang ketika airnya tidak keruh maka kita dapat melihat isi kolam tersebut hingga ke dasarnya, namun ketika kita usik kolam tersebut maka lumpur menyeruak ke permukaan sehingga menutupi pandangan kita dari segalanya.
Lawan kata dari cara berpikir rasional,
ialah gaya berpikir irasional, dimana yang berlaku semata ialah “akal sakit
milik orang sakit”, semisal aksi-aksi yang dipamerkan secara vulgar-seronok di
muka umum serta penuh kebanggaan, alih-alih merasa malu, seperti budaya yang
sangat khas di tengah masyarakat Indonesia, yakni “menyelesaikan setiap masalah
dengan cara kekerasan fisik”, “balas kekerasan verbal dengan kekerasan fisik”, mencari-cari
alibi serta “alasan pembenar”, korban dilarang untuk menjerit karena dinilai
sebagai “tidak sopan” (seolah-olah pelakunya sudah sopan ketika menyakiti, seolah-olah
korban adalah tabu untuk berteriak kesakitan, dan seolah-olah korban adalah
sebongkah mayat yang hanya berhak terbujur kaku ketika disakiti), merampas hak-hak
orang lain, hingga tidak malu dan tidak takut berbuat jahat (dosa, seperti
merugikan, melukai, maupun menyakiti individu lainnya) semata karena termakan
oleh ideologi “korup” berupa iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa”
maupun “penebusan dosa” yang menjadikan seolah Tuhan lebih PRO terhadap seorang
pendosa—agama yang sejatinya paling menista keagunan Tuhan, dimana seolah-olah korban
tidak berhak bersuara dan didengarkan suaranya—Hanya seorang pendosa, yang
membutuhkan iming-iming “penghapusan dosa”!
Silahkan bantah, itu pun bila Anda sanggup.
Selalu menjadi masalah, ketika
kita menghadapi seorang “irasional”. Betapa tidak, telah sejujur apapun fakta
yang kita ungkap dan sampaikan, sebenar apapun perbuatan dan perilaku kita
selama ini, tetap saja kita akan mereka aniaya, kritik, cela, hujat, sakiti,
rugikan, bahkan hingga praktik tidak terperi semacam “putar-balik fakta”,
ingkar janji, menyalah-gunakan kepercayaan, maupun “menjadikan orang-orang baik
sebagai mangsa empuk” untuk di-mangsa serta dieksploitasi lewat aksi-aksi manipulasi
dibaling modus “iming-iming”.
Contoh, sekalipun modus
penggandaan uang telah kerap diberitakan media massa sebagai modus penipuan,
tetap saja masyarakat kita terjebak dan terjerumus menjadi korbannya,
sebagaimana modus-modus “skema ponzi” yang termasyur itu, kejahatan klasik yang
tetap relevan hingga era modern ini. Mereka, menjadi korban akibat termakan oleh
keserakahan mereka sendiri, tanpa bermaksud mengerdilkan niat jahat dan
perbuatan buruk pelaku penipuannya. Bagaimana mungkin, mengharapkan “high gain” namun menutup mata dari “high risk”. “High gain, high risk” sebagai dua mata rantai yang saling
berkaitan tanpa dapat dipisahkan satu sama lainnya—namun jangan pernah diputar-balik
menjadi “high risk, high gain” karena
efek psikologisnya berlainan.
Secara ilmu psikologis, kita
tidak dapat menggunakan pendekatan rasional ketika menghadapi orang-orang bertipe
atau berjenis irasional. Dalam pendekatan psikologis, kita perlu mencermati
tingkat intelektual serta daya berpikir rasional seseorang lawan bicara atau orang-orang
yang akan kita hadapi, mengukurnya, serta menerapkan strategi yang tepat agar
dapat mereka terima, sehingga menjadi efektif alih-alih menjadi
kontraproduktif. Secara analogi, seorang pakar komunikasi pernah menyebutkan,
ketika berkomunikasi dengan seorang lawan bicara yang berbicara secara
perlahan, maka kita pun sebaiknya berbicara secara perlahan. Ketika lawan
bicara adalah seorang pembicara yang cepat, maka kita pun perlu berbicara
secara cepat ketika berbincang dengannya.
Namun, bukan berarti kita harus
menjadi sama irasional dengan mereka, bukanlah itu maksud pendekatan psikologis
yang penulis maksudkan, namun semata agar kita dapat memilih dan menyusun
strategi pendekatan komunikasi yang efektif agar dapat diterima oleh kapasitas
berpikir mereka yang terbatas, yakni dibatasi oleh daya berpikir irasional
mereka—itulah sebabnya, mereka pun menjadi korban akibat daya berpikir
irasional milik mereka sendiri.
Karenanya, pendekatan
psikologis dalam komunikasi yang efektif, selalu bersifat personal, tidak
pernah secara global. Itulah juga sebabnya, pedagogi yang tepat guna
terjadi pada para murid perserta kursus secara privat. Ini ibarat mengajarkan
seorang anak dengan “Down Syndrome”
dengan gaya mengajar seorang guru pada sekolah khusus anak-anak dengan “IQ” yang
tinggi, tidak akan pernah “nyambung”. Untuk bisa “connect” dan saling ter-“connect”,
agar saluran atau sinyal siaran dari stasiun radio dapat terdengar para
perangkat penerima sinyal radio di kediaman kita selaku “listeners”, maka frekuesnsinya perlu disesuaikan agar “sesuai” dan “tune in”.
Pendekatan terhadap anak-anak bertipe
“koleris” dan “melankolis”, tidak dapat “dipukul rata” dengan cara asuh serta
gaya didik terhadap anak bertipe “sanguinis” dan “phlegmatis”, sekalipun anak-anak
tersebut dilahirkan dan hidup dalam satu atap dengan orangtua yang sama. Cobalah,
terapkan gaya didik militeristik terhadap anak Anda yang bertipe koleris,
dijamin jiwa pemberontakan dalam dirinya tumbuh benihnya, menunggu waktu untuk “meledak”.
Ini bukan perihal sikap yang mendiskriminasi, namun pendekatan yang lebih bersifat
personal.
Mendisiplinkan dan menjadikan
mereka disiplin, adalah tujuan. Namun, jalan atau caranya pendekatannya untuk masing-masing,
itulah yang saling berlainan dan tidak dapat digeneralisir sedemikian rupa. Orangtua
atau mentor yang efektif, karenanya, ialah orangtua yang kreatif setidaknya
yang memahami tipe watak dan psikologis anak-anak yang mereka asuh dan didik.
Mencoba melawan hukum alam demikian, hanya membuat kalangan orangtua maupun
para mentor menjelma frustasi, meradang, serta depresif, pada muaranya
memandang anak-anak mereka sebagai “beban”.
Itulah juga sebabnya, orang-orang
jenius tidak pernah cocok dan tidak akan pernah cocok menjadi seorang pengajar
pada sekolah umum, sebab mereka tidak pernah mengenyam ataupun mengetahui
kesulitan yang selama ini dihadapi dan dialami oleh anak-anak yang memiliki
tingkat kecerdasan rata-rata terlebih dibawah rata-rata. Guru yang paling ideal
dan paling tepat untuk menjadi seorang pengajar, ialah seorang guru bertipe
pekerja keras, dimana mereka menjadi pandai berkat kerja keras. Cobalah baca buku-buku
karya seorang jenius, kita tidak pernah paham selain kalimat berikut di kepala
kita : “Apa sih, yang sedang dibicarakan
penulis buku ini?”
Air bersatu dengan air. Minyak bersatu
dengan minyak. Api tidak pernah bersenyawa dengan air. Jangan paksakan logika Anda,
seperti menyiramkan air ke arah tabung gas yang menyala akibat terbakar api. Gunakan
lap basah untuk menutupi tabung yang terbakar agar jilatan api terhentikan. Sebagaimana
ada hal-hal, yang tidak dapat kita paksakan untuk berlangsung. Tidak perlu kita
paksakan bilamana memang tidak dapat dipaksakan. Pemaksaan yang berbuah manis,
adalah delusi, tidak pernah ada, setidaknya secara jangka panjang. Untuk memudahkan
pemahaman para pembaca, dua buah pengalaman sederhana berikut penulis harapkan
dapat memiliki kedekatan terhadap keseharian pembaca, sehingga akan lebih
mengena dan tepat sasaran.
Belum lama ini, penulis
mendatangi sebuah rumah makan, dimana pemilik atau pemasaknya ialah seorang
pria paruh baya beretnik Tionghua bergelar sarjana elektro yang pernah bekerja
pada berbagai korporasi terkenal, yang dapat benak kita pada mulanya ialah,
yang bersangkutan semestinya cukup intelek ketika bersikap maupun ketika bercakap-cakap
bersama kita. Namun, yang terjadi ialah sebaliknya, dimana asumsi permulaan kita
acapkali keliru serta meleset. Dirinya, sekalipun membuka dan berkecimpung
dalam bisnis rumah makan, namun tidak memahami prinsip paling utama dari bisnis
atau industri kuliner, yakni HIGIENIS!
Ketika memasak mie yang dipesan
pengunjung, dirinya tidak pernah sekalipun mencuci tangan, sekalipun itu dikala
wabah akibat virus menular mematikan antar manusia. Penulis dapat melihat
bagaimana sang pemilik rumah makan memainkan handphone, memegang kemasan ini dan
itu dari pasar, bahkan mengelap tangannya ke celana, sebelum kemudian memegang
bahan masakan dan masakan itu sendiri—makanan mana akan masuk ke dalam perut
penulis selaku konsumen. Sejak peristiwa itulah, penulis menjadi trauma untuk
kembali berkunjung terlebih membeli dari rumah makan yang bersangkutan.
Bukan hanya sampai disitu, sang
pemilik rumah makan menggunakan kemasan styrofoam yang dikenal tidak ramah
lingkungan sebagai kemasan makanan yang dibeli dan dibawa pulang oleh konsumen.
Ketika penulis menyatakan penyesalan betapa disayangkannya karena kemasan yang
digunakan sang pemilik rumah makan, berupa styrofoam, yang semestinya tidak
lagi perlu penulis jelaskan secara panjang-lebar bahwa bahan tersebut tidak mudah
terurai oleh alam, disamping merusak lingkungan hingga merusak pemandangan
karena merupakan sampah anorganik yang kerap tercecer di alam maupun memenuhi
bantaran sungai, disamping memenuhi bak sampah yang bermuara pada penumpukan
gunung sampah styrofoam di tempat pembuangan akhir sampah.
Sang pemilik rumah makan masih
pula berkata bahwa ada konsumen yang meminta agar kemasan mie ialah berupa
styrofoam (masih pula hendak mendebat untuk apa yang tidak perlu didebatkan?),
meski lazimnya kemasan mie ialah bungkus mie pada umumnya yang terbuat dari lembaran
kertas daur ulang serta selapis plastik tipis. Pada saat itu, penulis merasa
bahwa adalah percuma membuang-buang waktu menjelaskan betapa merusaknya bahan-bahan
anorganik yang tidak ramah lingkungan demikian, betapa para pegiat lingkungan
yang selama ini membersihkan sungai bekerja keras membersihkan bantaran sungai
dari bahan-bahan tersebut serta menggaungkan kepada masyarakat pesan agar tidak
memesan makanan yang kemasannya berbahan styrofoam atau setidaknya membawa
wadah kemasan sendiri dari rumah bila tidak makan langsung di tempat rumah
makan.
Sebagai strategi pendekatannya,
penulis menceritakan mengenai limbah plastik domestik rumah tangga kita yang
bermuara sebagai mikro-plastik yang mencemari perairan di laut, sebelum
kemudian termakan oleh ikan, dan puncak piramidanya ialah kita sendiri, para
manusia, sebagai konsumen ikan-ikan tercemar mikro-plastik demikian yang sangat
tidak baik bagi kesehatan. Terdapat sebuah peribahasa Belanda yang sangat penulis
gemari dan terus penulis dengungkan pada setiap kesempatan : “Een goed verstaander heeft maar een half
woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan
separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang
diharapkan dari dia.
Ilustrasi kedua berikut, dapat
lebih memudahkan para pembaca untuk memahami betapa irasional masyarakat kita
di Indonesia, dimana kita perlu berstrategi dalam menjalankan hidup terutama
hidup di tengah-tengah masyarakat yang dikenal irasional—hidup di tengah
Bangsa Indonesia, suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus bersikap strategis
disamping diplomatis, semata karena masyarakat Indonesia lebih mengedepankan “kekerasan
fisik untuk menyelesaikan setiap masalah”, sementara itu kita ketahui bahwa kabar
buruknya ialah “otot tidak punya otak dan tidak punya mata” (siapapun akan
dianiaya dan dirusak oleh sang pemilik “otot”).
Pada suatu siang, penulis tiba
di sebuah stasiun kereta di pusat kota Jakarta yang dikenal padat oleh penumpang,
bahkan kerap tergolong overload pada
jam-jam pergi dan pulang kerja, dimana kondisinya sangat tidak manusiawi disamping
tidak bersahabat terhadap penumpang (dimana tulang rusuk penulis pernah hampir
retak akibat berdesakan di dalam gerbong). Gerbong kereta yang hendak penulis
naiki, tiba di peron stasiun. Namun, para penumpang di dalam gerbong tidak
kunjung turun meski telah lebih dari beberapa menit lamanya penulis menunggu mereka
untuk turun satu per satu hingga gerbong kosong.
Mereka, para penumpang di dalam
gerbong, hanya berdiri berjejeran di pintu gerbong kereta, sementara itu
kondisi di dalam gerbong telah kosong sehingga secara logika, penumpang di
bawah gerbong yang hendak naik diberi ruang untuk masuk agar kondisi di bawah
gerbong ada ruang kosong sehingga memberi ruang gerak bagi penumpang tersisa di
dalam gerbong yang hendak turun untuk bisa turun dari dalam kereta. Sehingga,
berdasarkan fakta kondisional demikian (dibutuhkan kecerdasan untuk membaca
situasi), tidak selamanya penumpang di dalam gerbong yang harus terlebih dahulu
turun, terutama ketika kondisi menyerupai kondisi “bottleneck” demikian, penumpang tersisa di dalam gerbong harus
memberi sedikit ruang bagi penumpang di bawah untuk naik sehingga kondisi di
bawah ada ruang kosong bagi yang di atas untuk turun dan “benang kusut” pun
teruraikan. Sesederhana itu saja, namun menjadi rumit di Indonesia.
Ketika penulis proaktif untuk
naik (disamping tekanan psikologis desakan penumpang lain di belakang penulis
yang mendorong-dorong punggung penulis), penulis dihalangi oleh seorang “bule” yang
mendadak muncul sembari berteriak dari dalam gerbong, “WAIT, WAIT, WAIT!” Wait? I
had waiting so long time ago, stupid bule! Bahkan, penulis yang dibiarkan
menggantung di tengah gerbong, tidak bisa naik, juga tidak bisa kembali turun,
turut dimaki dan dihakimi pula oleh penumpang di bawah, “Yang mau turun duluan, baru kamu naik!” Dari tadi mereka yang di
atas tidak mau turun, penulis harus menunggu sampai kapan “benang kusut” ini
bila masyarakat Indonesia tidak mampu membaca kondisi situasional dan proaktif
mengambil langkah pengurai?
Sejak saat itulah, penulis
menemukan kalimat berikut ketika menghadapi kondisi serupa dikemudian hari,
yang dapat para pembaca tiru serta gunakan ketika menghadapi masyarakat kita di
Indonesia yang dalam banyak kesempatan senantiasa mengedepankan gaya pikir
irasional. “Jika kalian (yang di atas)
tidak mau turun juga dari tadi kami yang di bawah ini menunggu, KAMI YANG AKAN
NAIK!” Coba perhatikan, efek psikologisnya menjadi sangat kontras
dengan peristiwa sebagaimana pengalaman penulis sebelumnya, dimana penulis
dipersalahkan, dihakimi, dan “dikriminilkan” secara tidak selayaknya.
Dengan strategi atau pendekatan
yang lebih memahami daya pikir irasional masyarakat kita di Indonesia, maka
kita bisa lebih baik dalam menjaga diri dan “survive” di tengah lautan “manusia predator karnivoris” yang alih-alih
menampilkan sikap “humanis”, justru lebih tepat bila disebut sebagai “hewanis”,
“predatoris”, “premanis”, serta “aroganis”. Bagaimana mungkin, mereka mengaku-ngaku
sebagai “Tuhanis”, bila “humanis” pun tidak. Entah sebagai korban kekerasan fisik
dalam berbagai pengalaman maupun dari pengamatan pribadi penulis terhadap warga
yang dianiaya oleh sesama warga, dimana pun penulis berkunjung dan berada, fakta-fakta
demikian mengerucut pada kesimpulan penulis perihal kultur Bangsa Indonesia di
atas—meski tidak semua, masyarakat asal pedesaan masih tergolong lebih santun
dan tidak mengedepankan kekerasan fisik dan lebih mau terbuka untuk tukar
pikiran.
Namun, strategi “pendekatan
personal” bukanlah tanpa kelemahan. Yang kurang cukup menyenangkan bagi penulis
secara pribadi ialah, kita harus terus-menerus memeras otak dan memutar
strategi dan pendekatan baru tersendiri terhadap setiap warga yang kita hadapi
atau jumpai (personal touch), karena masing-masing
warga kerap memiliki irasionalnya masing-masing. Meletihkan, sungguh penulis
mengharap alam surgawi hanya dihuni oleh para penghuninya yang rasional,
sehingga penulis cukup mengedepankan rasio ketika menghadapi ataupun bercakap-cakap
dengan mereka, tidak perlu peras dan putar otak dalam setiap kesempatan
berhadapan dengan seseorang, terutama bila kita cukup berbicara “separuh kata”
tanpa perlu berpanjang-lebar menjelaskan. Terutama, bagi Anda yang satu rumpun
dengan penulis, tipe kepribadian “introvert tulen” dimana bersosialisasi secara
panjang-lebar dapat cukup “menyiksa” karena menguras energi psikis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.