KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ketika RENTENIR KERAH PUTIH Keberatan disebut sebagai RENTENIR, Fenny Imelda sang RENTENIR

MANUSIA SAMPAH (SPAMMER)

Siapa yang akan Mendukung RENTENIR, bila Bukan Sesama RENTENIR?

Bunga TERSELUBUNG, Ciri Khas RENTENIR, tepatnya RENTENIR TERSELUBUNG Bernama BANK

Terdapat dua jenis rentenir, yakni “rentenir pasar” yang berkeliaran di pasar tradisional dan memangsa para pedagang pasar, serta “rentenir kerah putih” yang memiliki banyak kantor cabang, berdasi, serta berpendingin ruangan. Apapun itu bentuk dan namanya, rentenir tetap saja rentenir. Terdapat seorang “manusia sampah” (spammer) yang notabene “datang tidak diundang dan pergi tidak diantar bak kunt!lanak”, bernama Fenny Imelda, membuat komentar negatif melecehkan terhadap profil bisnis penulis di dunia maya, dengan komentar yang dipublikasikan ke publik, berupa : “Pemikirannya aneh dan tampangnya juga aneh. Berdasarkan apa bank disebut rentenir???

Setelah penulis lacak pemilik nama “Fenny Imelda”, ternyata yang bersangkutan BUKANLAH SEORANG SARJANA HUKUM, bahkan hanya seorang sarjana PERTANIAN yang lebih kompeten untuk berbicara mengenai terong dan pohon toge! Lantas, atas dasar kompetensi hukum apa bagi dirinya menghakimi profesi hukum sesuai kompetensi orang lain yang dirinya lecehkan? Bagaikan “bebek buruk rupa” hendak mengajari seekor “angsa putih” cara untuk terbang, tidak sadar diri dan gagal bercermin diri. Berikut tanggapan penulis sebagai balasannya:

Fenny Imelda sedang membicarakan diri Fenny Imelda sendiri ya? Oh, ternyata Fenny Imelda buka-bukaan tentang dirinya secara vulgar sebagai “Pemikirannya aneh dan tampangnya juga aneh”.

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar. [Note : Bahkan, Sang Buddha yang sudah sempurna, suci, dan agung, guru para dewa dan para manusia, masih juga dicacai, dicerca, dan dilecehkan. Yang melecehkan, ia pikir siapa dirinya?]

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?”

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

“Demikian pula, Brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!”

“Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!

Itu TETAP MILIKMU, Fenny Imelda!

‘Blak-blakan Jusuf Hamka: Bank Syariah Lebih Kejam’ https:// finance. detik. com

Jul 23, 2021 — Jusuf Hamka menilai perilaku bisnis manajemen Bank Syariah ternyata lebih kejam dari bank konvensional. “Saya sudah lapor ke polisi,”

Fenny Imelda SALAH ALAMAT jika mau komplain.

Sudah bukan rahasia lagi, namun merupakan “rahasia umum”, bank bukan hanya mengambil keuntungan dan menghisap debitornya dari bunga, namun juga “bunga berbunga” (bunga majemuk), denda, denda terhadap denda tertunggak, denda terhadap bunga, denda terhadap pokok hutang tertunggak, bunga terhadap denda, pinalti, provisi, biaya administrasi, biaya pengacara, biaya balai lelang, biaya ini itu, yang membuat bank menjadi gemuk, raksasa, dinasti, dan beranak-pinak. Darimana semua biaya operasional tersebut, dari sebatas bunga?

Jangan lupa, bank juga harus bayar bunga bagi nasabah penabungnya, sehingga bunga yang dibayarkan oleh nasabah debitornya tidak pernah akan mencukupi bagi bank untuk menjadi raksasa. Tidak sedikit diantara klien dari penulis, berlatar-belakang nasabah debitor, pokok hutangnya membengkak berkali-kali lipat hanya dalam tempo beberapa bulan serta beberapa tahun, berujung dilelang eksekusi agunan miliknya bahkan hingga dipailitkan—kebenaran di atas merupakan “pernyataan kebenaran” yang penulis sampaikan, dimana bila penulis berkata dusta dalam uraian dalam publikasi ini maka penulis akan masuk neraka; namun bila penulis telah berkata jujur apa adanya, maka semoga Fenny Imelda kelak akan mencicipi terjerat atau menjadi korban praktik RENTENIR kalangan perbankan di Indonesia.

Itulah sebabnya banyak bank asing tertarik masuk ke Indonesia, karena memang regulasi di Indonesia memungkinkan bank untuk berpraktik ala RENTENIR. Menurut penuturan seorang mantan pegawai bank yang pernah berjumpa dengan penulis, di luar negeri tidak seperti di Indonesia praktik perbankan, dibiarkan secara leluasa demikian menghisap dan mencekik leher debitornya, liberalisasi perbankan di Indonesia demikian menyerupai “lintah darat”.

Bukti bahwa praktik perbankan di Indonesia, yang dikenal memungut pula serta denda, bunga, denda terhadap tunggakan, bunga berbunga, dan lain sebagainya, telah diakui oleh pengadilan sebagai praktik RENTENIR, sebagaimana dapat kita jumpai dalam preseden berupa putusan Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986: [Sumber : Majalah Hukum Varia Peradilan No.18.Tahun. II. Maret.1987. Hlm. 5.]

Berdasar Akta Puchase Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani bunga, denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi keterlambatan pada hari jatuh tempo.

Pengadilan Negeri di dalam putusannya tidak dapat menerima gugatan Penggugat.

Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang menghukum Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note US dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun.

Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut:

Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda tersebut harus ditolak.

PESAN PENUTUP PENULIS KEPADA Fenny Imelda, SANG RENTENIR:

Kebodohan dan sifat dungu bukan untuk dipamerkan kepada publik, agar tidak semakin terlihat bodohnya Anda. Seseorang yang bukan pakar dibidang tertentu, sebaiknya cukup menjadi “penonton”, alih-alih mencoba mengatur para “pemain”. Bagaimana mungkin seorang “sarjana terong dan pohon toge” bernama Fenny Imelda tersebut hendak mengajari seorang Sarjana Hukum perihal apa itu hukum dan hukum perbankan di Indonesia? Aturlah profesi Anda sendiri, seperti menumbuhkan “pohon toge” setinggi pohon bayam, atau menumbuhkan pohon kangkung agar setinggi pohon cabai. Fenny Imelda hanya berhak mengkritik “pohon toge” miliknya sendiri.

Kami tidak pernah mencampuri domain kompetensi profesi lain seperti mengkritik mengapa terong dan “pohon toge” yang ditumbuhkan para “Sarjana Terong dan Toge” di Indonesia. Kami pun tidak pernah perduli komentar Anda terlebih meminta izin dari Anda untuk “berpikir serta beraspirasi” menyatakan pendapat serta keberanian beropini. Kami hanya butuh pengakuan dari jutaan pembaca karya tulis pribadi penulis untuk bekerja dan berprofesi dibidang hukum.

Biarlah jutaan para pembaca karya tulis penulis, yang akan menilai dan menjadi hakim serta jurinya, apakah jutaan pembaca tersebut akan berterimakasih pada jirih-payah serta kontribusi penulis dan memberikan penghargaan, atau sebaliknya, waktu yang akan menjawabnya. Apapun itu, penulis tidak pernah dapat membenarkan praktik-praktik rentenir, sekalipun beberapa kalangan klien dari penulis ialah dari industri lembaga keuangan perbankan. Itulah yang disebut sebagai, idealisme profesi yang etis, dapat dipertanggung-jawabkan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.