ARTIKEL
HUKUM
Klaimnya tidak Berlaku Surut, namun Diberlakukan secara Retroaktif, itulah Norma Hukum yang “Malu-Malu”, Ambigu, Rancu, serta Tidak Konsisten
Disebutkan bahwa, demi menghormati hak asasi manusia serta hak asasi warga dan rakyat, pemerintah selaku otoritas negara dilarang membentuk norma hukum yang diberlakukan secara surut kebelakang (asas larangan berlaku surut, asas non-retroaktif peraturan perundang-undangan). Faktanya, hampir seluruh regulasi di Indonesia, diberlakukan secara surut, dan itulah pokok sentral bahasan kita dalam kesempatan kali ini yang mengungkap realita dalam praktik hukum di Tanah Air. Begitupula terhadap wacana, bilamana diberlakukan secara surut, apakah semua norma “hukum positif” terbaru tersebut diberlakukan surut secara non-diskriminatif, ataukah hanya norma-norma yang menguntungkan warga saja yang diberlakukan secara surut oleh pemerintah?
Sekadar sebagai contoh,
seseorang atau suatu korporasi memegang hak paten atas suatu produk paten yang
dimiliki olehnya, dimana Undang-Undang tentang Paten, sekadar sebagai contoh,
memberi hak eksklusif dan hak ekonomi bagi pemegang paten selama dua puluh lima
tahun. Berselang beberapa tahun kemudian, Undang-Undang tentang Paten tersebut
diubah oleh pemerintah, dimana perlindungan hukum bagi pemegang paten diberikan
selama sebatas lima tahun saja. Apakah Undang-Undang Paten terbaru yang berlaku
saat kini (hukum positif), berlaku dan diberlakukan secara surut, terhadap
seluruh paten-paten yang telah ada sebelum dibentuknya Undang-Undang Paten
terbaru, ataukah hanya diberlakukan bagi paten-paten dan bagi para pemegang
paten yang baru mendaftarkan patennya sejak saat Undang-Undang Paten terbaru
diterbitkan dan diberlakukan secara efektif?
Sebagai contoh lainnya, seorang
warga telah memiliki hak atas tanah sejak lima puluh tahun yang lampau. Saat
kini, anggaplah, terbit “hukum positif” Undang-Undang terbaru terkait hak atas
tanah, yang mengubah berbagai ketentuan hukum terkait hak atas tanah. Maka,
terhadap sertifikat hak atas tanah milik sang warga yang telah diterbitkan
sejak lima puluh tahun yang lampau, turut tunduk dan wajib patuh terhadap
Undang-Undang terbaru terkait hak atas tanah tersebut, ataukah tetap cukup
patuh terhadap Undang-Undang yang berlaku saat sertifikat hak atas tanah sang
warga diterbitkan?
Sekadar sebagai contoh,
Undang-Undang tentang Perkawinan mengatur bahwa seorang Warga Negara Indonesia bergender
wanita yang hendak melangsungkan pernikahan, paling minimum bila sang warga
telah berusia minimum enam belas tahun. Seorang warga, perempuan yang telah
genap berusia enam belas tahun, sudah bersiap melangsungkan resepsi pernikahan
dengan seorang pria yang menjadi tunangannya. Namun secara mendadak terbit
Undang-Undang Perkawinan terbaru, yang mengubah ketentuan lama, perihal usia
minimum bagi seorang wanita untuk dibolehkan melangsungkan pernikahan, ialah
bila telah mencapai usia paling sedikit sembilan belas tahun. Pertanyaannya,
apakah sang gadis menjadi gagal melangsungkan resepsi pernikahan yang telah
dipersiapkan sebelumnya, dan telah pula membayar segala pengeluaran untuk
melangsungkan resepsi pernikahan tidak terkecuali mengirim kartu undangan bagi
para tamu undangan?
Namun disaat bersamaan, telah
ternyata terdapat inkonsistensi dalam penerapan norma-norma “hukum positif”.
Sebagai contoh, sering terjadi, suatu bahan kimia yang menjadi salah satu
komponen tambahan maupun komponen utama obat dalam kemasan bermerek maupun
generik, pada mulanya dinyatakan aman untuk diedarkan dan dikonsumsi para
pasien juga untuk diresepkan oleh dokter serta diproduksi oleh produsen
obat-obatan. Secara mendadak, ditemukan bahwa ada efek samping yang tidak dapat
ditolerir akibat pemakaian zat kimia tersebut untuk jangka panjang dan
berdampak buruk bagi kesehatan pasien yang mengkonsumsinya.
Seketika itu pula, pemerintah
merevisi regulasi dengan menjadikan zat kimia tersebut menjadi terlarang untuk
diedarkan dan dipasarkan, dari sebelum dibolehkan. Uniknya, semua produk yang
telah terlanjur beredar di pasar, wajib ditarik oleh pihak produsen maupun
distributor. Namun, terhadap para dokter yang selama ini telah banyak meresepkan
selama bertahun-tahun hingga berpuluh-puluh tahun, terhadap pihak pabrikan yang
memanufaktur berton-ton obat tersebut, maupun berbagai apotek yang menjual dan
memasarkan kepada publik, mengapa tidak dijerat oleh hukum dan dipidanakan?
Polemik demikian, dapat kita
telusuri sejarah falsafahnya ketika dirumuskan asas perihal larangan berlaku
surut, yakni dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia terutama
terkait erat dengan pemberlakuan “asas legalitas” norma-norma hukum pemidanaan.
Ketika suatu perbuatan hukum, semula tidak dilarang oleh negara, yang artinya
dibolehkan, maka menjelma menjadi suatu kesewenangan-wenangan bilamana
pemerintah membentuk regulasi terbaru yang menjungkir-balikkan dari kebolehan
menjadi larangan, dan diberlakukan secara surut, maka hukum dapat menjadi alat
politik untuk mengkriminalisasi lawan-lawan politik maupun dalam rangka
membungkam rakyat sipil yang dikenal kritis dan vokal terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Karenanya, asas non-retroaktif
menjadi semacam “safety nett” bagi
kepentingan rakyat sipil dari potensi kesewenangan-wenangan pihak penguasa yang
bisa jadi menempatkan posisi dirinya berseberangan terhadap kepentingan maupun
aspirasi rakyatnya. Bisa dengan mudah kita tarik kesimpulan, sebagai “win win solution”, untuk pragmatis jalan
keluarnya ialah bahwa norma-norma “hukum positif” boleh diberlakukan secara
surut, sepanjang menguntungkan bagi kepentingan rakyat luas.
Namun yang menjadi kendala
utama ialah, tidak mudah dalam merumuskan manakah norma-norma “hukum positif”
yang menguntungkan rakyat maupun yang kurang menguntungkan bagi kepentingan
publik, kita tidak akan pernah satu kata, yang akan mengemuka ialah
tarik-menarik kepentingan satu sama lainnya, tidak terkecuali mengemukanya “ego
sektoral” dan polarisasi. Terdapat pula berbagai pengaturan dalam norma hukum,
yang bersifat “abu-abu”—dalam artian tidak dapat disebut sebagai menguntungkan
rakyat namun juga tidak dapat disebut sebagai bersifat merugikan kepentingan
rakyat sipil, semisal rezim hukum terkait prosedur dan perizinan.
Sebagai contoh, kebijakan
perihal usia pensiun. Bila regulasi semula mengatur usia pensiun bagi seorang
pegawai bila telah memasuki usia lima puluh lima tahun. Namun kemudian terbit
norma “hukum positif” terbaru, yang mengubah ketentuan sebelumnya, dengan
menjadikan usia pensiun seorang pegawai apabila telah mencapai genap usia enam
puluh tahun. Dalam satu sudut pandang, bila kita menggunakan “point of view” seorang pegawai,
kebijakan pemerintah tersebut bersifat menguntungkan publik karenanya perlu
diberlakukan. Meski demikian, tanpa dapat kita pungkiri, meminjam sudut pandang
pihak pemberi kerja, perubahan kebijakan terbaru demikian membebani keuangan
perusahaan sementara itu sang pegawai telah tidak lagi produktif kinerjanya
seperti dahulu ketika masih belia.
Karenanya, dapat penulis
simpulkan, terdapat cacat atau ketidak-sempurnaan produk legislasi nasional
kita, dengan tidak mencantumkan secara eksplisit, manakah pasal-pasal yang diberlakukan
ke depan (prospektif) dan manakah pasal-pasal yang berlaku secara surut ke
belakang (retroaktif). Pemerintah maupun legislatif kita, masih bersifat
“malu-malu” dengan tidak bersedia membuat penegasan dan pemisahan demikian,
dengan tidak bersedia secara terang-benderang dan secara terbuka mengakui bahwa
mereka menerbitkan regulasi terbaru berupa “hukum positif” yang diberlakukan
secara surut—namun diberlakukan “secara surut” secara diam-diam dan secara
senyap, sehingga kurang transparan dan minim kejujuran terhadap publik,
sebentuk “perangkap”, meninggalkan berbagai ambiguitas serta berbagai kerancuan
yang melahirkan berbagai blunder yang menguras energi dalam berbagai perdebatan
yang tidak jelas ujung pangkal maupun muaranya.
Idealnya, pemerintah dan
pembentuk peraturan perundang-undangan tidak lagi perlu “jaga image” dengan
malu-malu membuat penegasan, manakah pasal-pasal dalam norma “hukum positif”
yang baru mereka rancang, bentuk, serta sahkan dan terbitkan yang diberlakukan
“secara surut” (retroaktif), dan manakah yang diberlakukan secara prospektif.
Memang sungguh ajaib, republik ini mampu berjalan hingga satu abad lamanya
dengan berbagai produk legislasi yang penuh ambigu dan tidak transparan
demikian terhadap rakyatnya, ibarat membiarkan rakyatnya meraba-raba dan
menerka-nerka sendiri dalam “kegelapan”, diberlakukan secara surut atau
tidaknya berbagai norma “hukum positif” yang baru saja diterbikan oleh
pemerintah.
Salah satu dan mungkin satu-satunya
ketentutan hukum yang membolehkan diberlakukannya secara surut suatu norma peraturan
perundang-undangan dibidang pidana, ialah aturan hukum yang tertuang dalam Pasal
1 Ayat ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan secara
eksplisit bahwa bilamana terjadi perubahan peraturan perundang-undangan sesudah
perbuatan pidana dilakukan oleh seorang terdakwa, maka terhadap sang terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya atau setidaknya yang
lebih meringankan ancaman hukumannya (lex
favor reo).
Bila dari sebelumnya, suatu
perbuatan dilarang dan diancam sanksi pidana, namun saat proses penuntutan
terjadi perubahan regulasi yang mengubah “larangan” menjadi “kebolehan”(tidak
lagi dilarang), maka sang terdakwa dibebaskan karena peraturan terbaru
diberlakukan surut, semata karena lebih menguntungkan posisi hukum sang
terdakwa. Patut menjadi pertanyaan, mengapa bukan “peraturan mana yang lebih
menguntungkan pihak korban” yang diberlakukan secara surut? Itulah sebabnya,
KUHP lebih mengedepankan perspektif “pelaku” kejahatan, dimana korban hanya
bisa menjadi penonton yang didudukkan pasif dan pasrah menerima kenyataan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.