LEGAL OPINION
Kategorisasi Efektivitas Pasal-Pasal dalam Kontrak /
Perjanjian
Question: Bila kita analogikan pasal-pasal dalam sebuah peraturan perundang-undangan, ada pasal yang bisa diberlakukan secara efektif, ada pula pasal-pasal yang tidak dapat diterapkan oleh pemerintah terhadap rakyat yang diatur oleh undang-undang tersebut. Lantas, bagaimana pula dengan nasib pasal-pasal di dalam perjanjian atau kontrak (perdata privat)?
Brief Answer: Secara teori, praktik, maupun norma hukum
keperdataan, berbagai pasal dalam sebuah kontrak memang serupa dengan keberlakuan
sebuah Undang-Undang, terdapat pasal-pasal yang dapat diberlakukan secara
efektif namun tidak jarang terdapat pula pasal-pasal yang tidak dapat
diberlakukan oleh suatu pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian
tersebut (non-executeable), atau pula
tidak dapat dipaksakan keberlakukannya oleh salah satu aatau lebih pihak dalam
perjanjian demikian.
Dari banyak dokumen hukum berupa kontrak maupun draf
perjanjian yang telah SHIETRA & PARTNERS review / telaah, tidak
sedikit diantaranya yang memuat pasal-pasal yang sekalipun telah disepakati
oleh para pihak yang saling mengikatkan diri di dalamnya, tidak dapat
diberlakukan secara real dan kontret. Karenanya, dalam sebuah surat
perjanjian, acapkali tidak semua pasal-pasal di dalamnya dapat diterapkan, atau
dengan kata lain seringkali hanya separuh pasal di dalamnya yang dapat
diterapkan secara efektif. Pasal-pasal “macan ompong” demikian, menyerupai
pasal larangan atau perintah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun tanpa
disertai pasal penyerta perihal ancaman sanksi bagi pelanggarnya, alias tidak memiliki
daya efektivitas untuk diberlakukan.
Tidak penting apakah suatu draf kontrak bersifat “tebal”
berisi ratusan pasal-pasal ataukah “tipis” (minim jumlah pasal-pasal yang
diatur), yang terpenting ialah seluruh pasal yang diatur di dalamnya dapat
diberlakukan secara efektif. Terkadang, secara psikologis, kontrak yang tipis
dan minim pasal, lebih “sakral” dan “berbobot” sifatnya. Sebagai contoh, sebuah
Akta Kredit bisa jadi tebal dari segi substansi materi pasal-pasal yang diatur
di dalamnya, namun tidak jarang wanprestasi tetap saja terjadi dan pelanggaran akibat
minimnya komitmen tidak dapat terbendung oleh salah satu pihak sekalipun
pengaturan pasal-pasal di dalamnya demikian “rapat” tidak menyisakan celah
sedikit pun.
PEMBAHASAN:
Syarat sah perjanjian, diatur ketentuannya
atau rambu-rambu dan koridor hukumnya (kebolehan, keleluasaan, ruang gerak,
serta restriksi atau batasan) dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) yang terdiri dari “unsur subjektif” berupa adanya “kesepakatan”
serta “kecakapan hukum untuk melangsungkan hubungan hukum”, dengan ancaman akan
dapat “dapat dibatalkan” (voidable) bilamana
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi dalam menyusun suatu perjanjian. Semisal,
akibat terjadinya kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan, sehingga unsur “kesepakatan”
menjadi tidak terpenuhi, yang konsekuensinya ialah berlaku ketentuan:
- Pasal 1321 KUHPerdata : “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
- Pasal 1322 KUHPerdata : “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya
suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang
yang menjadi pokok perjanjian.”
- Pasal 1328 KUHPerdata : “1.) Penipuan merupakan suatu alasan untuk
pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah satu
pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain
tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut.
2.) Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”
Adapun “unsur subjektif” dari
syarat sah perjanjian, ialah adanya kecakapan hukum untuk melangsungkan
hubungan hukum. Semisal, organ Perseroan Terbatas yang berwenang mewakili
perseroan dalam melakukan perbuatan hukum, ialah Direksi. Ketika seorang anggota
Dewan Komisaris yang justru tampil dan hadir untuk menandatangani suatu surat
perjanjian dengan mengatas-namaan perseraon, maka surat perjanjian tersebut
tidak sah serta tidak mengikat perseroan, karena hanya seorang anggota Direksi
yang berwenang untuk mengikatkan perseroan ke dalam hubungan hukum kontraktual
terhadap pihak eksternal dan mewakili perseroan baik diluar maupun didalam
pengadilan.
Semisal pula seorang karyawan
dari badan hukum Koperasi, diberi surat kuasa sekadar untuk “menghadiri”
pertemuan, tidak dicantumkan pemberian wewenang ataupun delegasi secara
eksplisit dalam surat kuasa tersebut seperti untuk menyepakai ataupun
menanda-tangani suatu dokumen yang memiliki konsekuensi hukum bagi pihak Koperasi.
Maka, ketika sang pegawai Koperasi justru membubuhkan tanda-tangan pada suatu
akta kesepakatan ataupun pengakuan atau apapun sebutannya, maka sang karyawan
dari Koperasi telah melampaui kewenangannya dan tidak mengikat pihak badan
hukum Koperasi.
Ataupun semisal surat kuasa dari
pihak Koperasi hanya ditanda-tangani oleh pihak Pengurus, tanpa disertakan
tanda-tangan pihak Sekretaris dan Bendahara, maka surat kuasa menjadi “cacat
formil” yang akibat penyertanya ialah “cacat hukum”—mengingat dalam sebuah badan
hukum Koperasi yang berwenang melakukan perbuatan hukum ialah ketiga pihak
tersebut secara kolektif dan kolegial, yakni Pengurus, Sekretaris, dan
Bendahara.
Kini, kita beralih pada “unsur
objektif” syarat sah perjanjian, yang terdiri dari unsur “hal yang tertentu”
(alias “perikatan yang SPESIFIK” sebagai bahasa yang lebih mudah untuk kita
pahami makna ketentuan ini) serta “causa yang sahih”, dengan ancaman “batal
demi hukum” (null and void) jika
salah satu “unsur objektif” tersebut di atas tidak terpenuhi sepenuhnya. Sebagai
contoh “unsur objektif” berupa “hal yang tertentu” (alias “perikatan yang
SPESIFIK”), ialah ketika spesifikasi objek barang yang kita pesan ternyata
berbeda antara spesifikasi barang yang ditawarkan dalam proposal penawaran
pihak penjual terhadap spesifikasi barang yang kita setujui untuk kita pesan
dan beli, telah ternyata tiba produk yang berbeda spesifikasi, maka jual-beli
demikian bersifat “batal demi hukum”.
Contoh lainnya ialah ketika
kita menyewa seorang artis yang bisa jadi memiliki nama yang sama dengan warga jelata
lainnya. Pada saat tiba, yang datang bukanlah artis yang kita maksudkan untuk
kita sewa, namun warga lain yang memiliki nama yang sama dengan nama sang
artis, maka kerja-sama tersebut menjadi “batal demi hukum”. Untuk lebih
mudahnya, sebagai panduan ialah : jangan membuat pengaturan secara sumir
dalam suatu pasal di dalam suatu kontrak / perjanjian. Susun dan buat
secara spesifik, baik objek perjanjian maupun syarat dan ketentuan dalam
perjanjian, termasuk hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling
mengikatkan diri.
Semisal pula dalam sebuah Akta
Kredit disebutkan bahwa debitor menanggung segala biaya terkait upaya hukum
yang dilakukan oleh kreditornya, semisal biaya untuk menyewa pengacara, balai
lelang, maupun lainnya. Namun tidak diatur dan tidak sepakati secara
spesifik, semisal pengacara manakah yang boleh disewa oleh sang kreditor,
berapa batas maksimal tarif sang pengacara, balai lelang swasta manakah yang
boleh disewa jasanya oleh sang kreditor maupun tarif jasanya, yang karenanya pasal-pasal
demikian tergolong sebagai “pasal-pasal MoU” karena bersifat sumir,
tidak mendetail, dan tidak spesifik, yang karenanya tidak dapat diterapkan
akibat tidak memenuhi “unsur objektif” syarat sah perjanjian berupa “perikatan
yang SPESIFIK”, karenanya “batal demi hukum” sebagai konsekuensinya.
Itulah sebabnya, di dalam
sebuah kontrak sekalipun, dapat kita jumpai satu atau lebih “pasal-pasal MoU”,
dimana kita ketahui bahwa sebuah MoU (Memorandum of Understanding) tidaklah
bersifat mengikat (tidak memiliki kekuatan hukum) terhadap para pihak yang
menanda-tanganinya sekalipun, semata karena sifat pengaturan di dalamnya sangat
sumir, tidak spesifik, dan secara “kesepahaman” saja. Sebaliknya juga dapat
terjadi, bilamana dalam sebuah Surat MoU, terkandung satu atau lebih pasal yang
bersifat SPESIFIK pengaturannya, maka pasal-pasal yang SPESIFIK pengaturannya
tersebut dapat diberlakukan dan dipaksakan penerapannya oleh satu atau lebih
pihak yang saling mengikatkan diri dalam MoU demikian.
Kini, kita beralih pada “causa
yang sahih”, yang secara sederhana dimaknai sebagai tidak melanggar ketentuan
hukum yang berlaku. Sebagai contoh, pasal terkait “milik beding” (pasal berisi kesepakatan
atau janji bilamana debitor gagal melunasi hutangnya, maka agunan milik debitor
menjadi milik kreditornya), maka bukan dimaknai seluruh Akta Kredit atau
Perjanjian Hutang-Piutang demikian akan menjadi batal demi hukum, namun
bersifat “partial annulment”
alias batal separuh substansi pengaturan di dalamnya, dimana khusus
terhadap pasal-pasal yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku,
maka “batal demi hukum”, sementara itu pasal-pasal lainnya tetap berlaku dan
dapat diterapkan secara paksa oleh para pihak.
Lantas, yang tidak jarang
dipertanyakan, ialah bagaimana dengan sebuah kontrak baku yang “timpang sebelah”
(berat sebelah) karena salah satu pihak menggunakan dominasinya dimana pihak
lain lemah dalam daya tawarnya, termasuk dalam kategori manakah? Sebenarnya,
secara yuridis, sebuah perjanjian (perikatan perdata) memiliki “daya lenting”
berupa penyempitan serta perluasan, yang dapat kita baca dalam satu
rangkaian sebagai berikut:
- Pasal 1337 KUHPerdata: “Suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
[Note SHIETRA & PARTNERS : Ketentuan inilah, yang menjadi pembatas
asas kebebasan berkontrak, bilamana tidak tergolong sebagai “causa yang sahih”.]
- Asas kebebasan berkontrak tertuangkan
dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata:
1) Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2) Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
- Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau undang-undang.” [Note SHIETRA & PARTNERS :
Ketentuan tersebutlah yang menjadi perluasan dari sebuah kontrak, yang bilamana
suatu kontrak hanya mengatur secara minim pasal-pasal di dalamnya sekalipun,
namun segala hal lain yang telah diatur oleh Undang-Undang, kebiasaan, maupun
kepatutan, dianggap turut tertuang di dalamnya.]
Dengan memahami secara
komprehensif serta holistik ketentuan-ketentuan perihal “asas kebebasan berkontrak”
(pacta sunt servanda) demikian, kita
menjadi paham bahwa suatu “kontrak baku”, bilamana terdapat satu atau dua pasal
di dalamnya yang bertentangan terhadap Undang-Undang maupun berlawanan dengan
kesusilaan ataupun ketertiban umum, tergolong sebagai “causa yang tidak sahih”,
alias “batal demi hukum”.
Dengan demikian, ketentuan
mengenai “causa yang sahih” merestriksi para pihak untuk saling membuat dan
mengikatkan diri dalam suatu hubungan hukum kontraktual yang sangat tidak patut
dan memberatkan salah satu pihak, sementara itu pihak lain sangat mendominasi
dan mengambil keuntungan diatas daya tawar yang lemah pihak lainnya secara
diluar kewajaran maupun kepatutan—sebagai contoh, praktik rentenir dengan bunga
yang tinggi menjerat maupun praktik “bunga terselubung” berkedok “denda”.
Suatu perjanjian, dilandasi
oleh itikad baik, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata,
yang berarti bahwa suatu kontrak haruslah bersifat “simbiosis mutualisme” yang bermakna saling menguntungkan para pihak
yang saling mengikatkan diri di dalamnya. Secara lebih singkat, dapat kita
katakan bahwa, sepanjang tidak melanggar ataupun bertentangan terhadap Undang-Undang,
kesusilaan, kepatutan, maupun ketertiban umum, maka setiap pasal-pasal di dalam
sebuah perjanjian dapat diberlakukan, bahkan bilamana pasal-pasal tersebut
tidak diatur namun “hukum kebiasaan” (konvensi) dalam praktik niaga selama ini
yang / telah mengaturnya, maka pasal-pasal konvensi demikian tetap dibaca
sebagai turut melekat serta diberlakukan secara efektif dan dapat dipaksakan
keberlakuannya oleh satu atau lebih pihak di dalamnya—semisal dengan melakukan “parate eksekusi” maupun menggugat ke pengadilan
untuk dapat dieksekusi keberlakuan isi pasal-pasalnya.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.