BANK adalah RENTENIR, Bukti Tidak Terbantahkan & Dasar Hukumnya

LEGAL OPINION

Tanpa menjadi LINTAH DARAT, Bank Tidak akan menjadi Raksasa, Dinasti Bank dari Sabang hingga Merauke

Debitor yang Paham Hukum, adalah Debitor yang Paham Praktik RENTENIR Kalangan PERBANKAN, BUNGA TERSELUBUNG Berkedok Denda, Bunga Mejemuk, Pinalti, Provisi, dsb.

Question: Jika memang bank adalah rentenir, mengapa Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan yang mengawasi bank, tidak menindak bank-bank tersebut atau membiarkan mereka melakukan praktik rentenir selama puluhan tahun berjalan hingga saat kini?

Brief Answer: Jawabannya cukup secara pragmatis dan analogis, yakni “pinjaman online” atau “peer to peer lending” alias “fintech” (financial technology), baik yang legal maupun ilegal, sama-sama menerapkan bunga yang sangat tinggi kepada nasabah peminjamnya. “Fintech” legal yang perusahaannya terdaftar di otoritas pengawas pemerintah sekalipun, tetap menerapkan kebijakan bunga yang tidak kalah “lintah darat” dengan para rentenir yang bekeliaran di pasar-pasar—mengatas-namakan pinjaman tanpa agunan sehingga pembebanan bunga yang tinggi sebagai mitigasi kerugian usaha bilamana debitornya gagal bayar, meski tidak jarang bunga yang tinggi itulah sebagai “akar penyebab” yang mencekik leher para debitor mereka sehingga mendorong terjadinya cidera janji melunasi (sejak semula di-design untuk “macet” lewat ketentuan bunga yang irasional).

Karenanya, antara “fintech” legal maupun ilegal, sama-sama menerapkan bunga “RENTENIR”. Yang membedakan antara “fintech” legal dan yang ilegal, ialah perihal cara menagihnya melawan hukum ataukah sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah selaku otoritas pengawas dan pengatur. Begitupula lembaga keuangan perbankan, yang kita sebut dengan istilah lebih familier sebagai “Bank” atau “perbankan”, pada praktiknya turut serta menerapkan bunga dan denda yang menyerupai praktik seorang “rentenir” yang berkeliaran di pasar-pasar tradisional maupun di pemukiman penduduk kelas menengah kebawah.

Hanya saja cara menagihnya bila “rentenir berbaju preman” ialah dengan intimidasi dan ancaman kekerasan fisik, maka cara menagih (“memeras”) oleh kalangan “rentenir kerah putih” terhadap nasabah debitornya ialah secara seketika dan secara serta-merta melelang eksekusi terhadap agunan dengan “kuasa sendiri” sekalipun tanpa lagi membutuhkan izin ataupun persetujuan dari debitor / pemilik agunan / pemberi jaminan saat menjual via lelang eksekusi (baik “parate eksekusi” maupun “fiat eksekusi”), sehingga cara-cara menagih kalangan perbankan bisa jauh lebih “menzolimi” ketimbang “rentenir preman pasar”, dimana secara mendadak sudah muncul suatu pihak yang mengaku-ngaku sebagai pembeli dan pemilik rumah milik sang debitor yang mengagunkan rumahnya sebagai jaminan pelunasan hutang hingga dieksekusi pengosongan.

PEMBAHASAN:

Secara sederhana, disebut sebagai “RENTENIR” bila praktik tagih-menagih pinjaman sejumlah dana dipungut oleh sang kreditor bunga diatas suku bunga kewajaran 6% (enam persen) hingga 12% (dua belas persen) per tahun, dalam keadaan ekonomi nasional sedang berjalan normal diluar krisis ekonomi seperti akibat pandemik wabah, baik statusnya menunggak maupun patuh mencicilnya sang debitor, dimana akumulasi antara total pokok hutang tertunggak dan bunga (atau apapun istilahnya seperti pinalti dan denda), ialah kembali pada rumusan kalkulasi sederhana sebagai berikut : Pokok hutang tertunggak yang tersisa belum dilunasi + komponen Bunga antara 6% hingga 12% per tahun = TOTAL HUTANG (outstanding hutang).

Bila terdapat kalangan perbankan yang merasa berkeberatan disebut atau disamakan dengan seorang “RENTENIR”, alias mencari keuntungan dari praktik menghisap darah bak lintah, dan meminta dasar hukumnya dinyatakan sebagai “RENTENIR” atas praktik tagih-menagih kepada debitor mereka, maka Anda dapat merujuk dasar hukum sebagaimana telah lama diatur dalam Pasal 1250 paragraf (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur:

“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.” [Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar 6% (enam persen) setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No. 22.]

Dipertegas kembali sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk dasar hukumnya berupa kaedah yang bersumber dari pendirian hakim dalam praktik peradilan sebagaimana yurisprudensi putusan Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986: [Sumber : Majalah Hukum Varia Peradilan No.18.Tahun. II. Maret.1987. Hlm. 5.]

Berdasar Akta Puchase Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani bunga, denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi keterlambatan pada hari jatuh tempo.

Pengadilan Negeri di dalam putusannya tidak dapat menerima gugatan Penggugat.

Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang menghukum Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note US dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun.

Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut:

Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda tersebut harus ditolak.

Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Sebenarnya, bila kita memakai pikiran yang jernih serta bersikap jujur disamping terbuka secara transparan, tiada yang memungkiri bahwa praktik perbankan nasional maupun perbankan asing di Indonesia, selama ini menerapkan bisnis pinjam-meminjam dana secara “rentenir”. Sekalipun tanpa segala dasar hukum maupun kaedah yurisprudensi di atas, dengan logika awam paling sederhana tanpa memerlukan logika akutansi yang rumit, kita sudah dapat menerka apa yang akan terjadi bilamana multiplikasi hutang berlipat ganda akibat pembebanan dan penagihan bunga, bunga terhadap bunga, bunga terhadap denda, denda, denda terhadap denda, dengan terhadap tunggakan hutang, pinalti, provisi, dan berbagai tagihan-tagihan lainnya yang ditentukan secara sepihak dan “sesuka hati” pihak kreditor yang beranak-pinak kantor cabangnya hingga menyerupai dinasti bisnis keuangan, dimana sekadar memungut bunga semata tidaklah mungkin mampu menutupi biaya operasional kantor maupun anggaran gaji para pegawai kantor mereka disamping pembayaran bunga terhadap nasabah penabung yang menjadi sumber dana kalangan perbankan.

Dari kalkulasi selisih “interest rate” antara “bunga penabung” dan “bunga peminjam”, margin keuntungan semata dari pungutan “bunga” secara murni hanya cukup untuk belanja anggaran pegawai, belum lagi mampu menutup biaya operasional gedung kantor bank maupun kantor cabangnya. Karenanya, kalangan perbankan di Tanah Air mengambil banyak keuntungan ditengah kesempitan kondisi debitornya yang “macet”, alih-alih dari debitornya yang patuh dan rutin mencicil tagihan cicilan hingga lunas. Secara sederhana, bila seorang debitor (nasabah peminjam) mampu mencicil tagihan cicilan secara patuh dan tidak menunggak satu bulan pun hingga angsuran dinyatakan lunas selama belasan hingga puluhan tahun sejak meminjam dana, maka kalangan perbankan hanya dapat menarih pungutan berupa komponen “bunga” SEMATA. Namun siapa yang dapat memastikan dunia usaha yang digeluti oleh sang debitor, masa depan tidaklah pasti, apakah sumber dana untuk mencicil masih terjangkau atau tidaknya.

Namun, ketika debitornya menunggak, jadilah segala tagihan membengkak yang mengakibatkan total hutang dapat beranak-pinak dalam arti yang sesungguhnya menjelma segunung tagihan hutang yang tidak lagi mungkin dapat dilunasi selain dilelang eksekusinya agunan (jaminan pelunasan hutang milik debitor atau milik penjamin) hingga dipailitkannya sang debitor. Kemungkinannya hanya ada dua itu saja, perbankan dapat menjadi “kawan” namun juga dapat menjadi “lintah darat”, ambivalensi ditengah ketidakpastian dunia usaha sang debitor dimana ironinya, debitor yang patuh mencicil dan melunasi justru dapat disebut sebagai “resiko usaha kalangan perbankan”—semata karena hanya dapat memungut tagihan berupa “pokok hutang” dan “bunga”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.