SENI PIKIR & TULIS
Korban yang Menjerit, merupakan AKIBAT. Pelaku Kejahatan
yang Menjahati Korban, merupakan SEBAB. Siapakah yang Paling “Tidak Sopan”,
Pelaku Kejahatan ataukah Korban?
Jangan Bersikap Seolah-olah Korban adalah Sebongkah Mayat yang hanya Boleh Bungkam dan Tabu untuk Menjerit Kesakitan
Kelirutahu, atau kekelirutahuan, itulah akar penyebabnya akibat perspektif yang sempit atau yang dikotori oleh anasir-anasir sikap “timpang / berat sebelah”. Sebagai contoh, seringkali kalangan ibu dari seorang anak yang mengidap sindrom autis, dianggap sebagai seorang ibu yang “dingin”. Masyarakat umum menilai dan memberikan pandangan negatif terhadap seorang ibu dari penyandang autis—meski, menurut kajian ilmiah, sikap “dingin” sang ibu merupakan “akibat”, dimana kondisi autis anaknya merupakan “sebab”. Dibutuhkan sebentuk kecerdasan intelektual serta emosional untuk dapat menentukan manakah “sebab” dan manakah yang merupakan “akibat”. Memahami cara kerja paradigma yang lebih jernih demikian, kita akan mulai menyadari, bahwa korban selalu memiliki hak untuk menjerit sebagai “akibat”, bukan “sebab”.
Dari pengalaman pribadi
penulis, dalam banyak kejadian dan banyak kasus di Indonesia, sebagai korban, tampaknya
memang terdapat budaya irasional, bahwasannya menjadi dan dijadikan korban,
harus dan hanya boleh diam bungkam seribu bahasa, tabu bila menjerit, dimana
bila berteriak kesakitan ataupun menjerit meluapkan emosi yang dipicu oleh
pihak eksternal diri yang mengusik ketenangan maupun kedamaian hidupnya,
disebut sebagai “tidak sopan”. Sekali dua kali kejadian yang menyakiti kita,
kita bisa toleran dan kompromistis. Namun bila terjadi terus-menerus, selama bertahun-tahun,
kesabaran yang menampung banyak emosi penuh kekecewaan dan kemarahan dapat
meluap tidak lagi terbendung sehingga “meledak”.
Kita tidak dapat menuntut orang
lain untuk bersikap “sabar tanpa batas” (tuntut diri Anda sendiri, bukan
menghakimi orang lain), itu tidak etis dan tidak adil, semata karena bukanlah
kita yang merupakan korbannya. Semua itu bersifat humanis, manusiawi. Yang tidak
manusiawi, ialah pihak-pihak yang menjahati (menyakiti, melukai, maupun merugikan)
pihak lain, dan pihak-pihak yang menyatakan hingga mempropagandakan dan
mempromosikan bahwa seolah-olah adalah rugi dan merugi bila tidak menjadi
pendosa yang berbuat dosa dan juga rugi serta merugi bila dijadikan korban. Mereka
menyebutnya sebagai, “mubazir bila penghapusan dosa tidak dimanfaatkan”—jadilah,
mereka berlomba-lomba mengoleksi dosa, menimbun diri dengan dosa, berkubang
dosa, membuat bukit hingga gunungan dosa.
Merujuk ilmu psikologi
perilaku, terdapat sebuah teori yang disebut sebagai “teori jendela”—maksudnya,
seseorang yang mengalami guncangan batin yang traumatik, memerlukan sarana
untuk mengeluarkan atau menyalurkan emosi “sakit” itu agar tidak terperangkap
dan menumpuk di dalam batin yang dapat menjelma sebagai “racun” yang mengkontaminasi
psikis diri seorang korban hingga juga menimbulkan dampak keluhan fisik bila
dibiarkan terus menumpuk, terakumulasi, dan membusuk. Persis seperti sebuah
rumah kediaman, memerlukan ventilasi sebagai bagian dari keluar dan masuknya
udara dan oksigen bagi penghuninya untuk bernafas, batin pun memerlukan “ventilasi”
sebagai sarana pertukaran emosi.
Dalam kasus protes seorang
warga terhadap praktik ritual yang menimbulkan “polusi suara” di Tanjung Balai pada
tahun 2017, berbuntut pembakaran belasan Vihara serta perusakan rumah sang
warga yang melakukan komplain, berbuntut pula kriminalisasi pidana penjara
terhadap Meiliana sang warga yang sejatinya merupakan korban selama bertahun-tahun
menderita psikis akibat “polusi suara” yang ditimbulkan oleh praktik ibadah
yang intoleran terhadap kemajemukan demikian, merupakan salah satu bentuk
konkret betapa negeri ini begitu pro terhadap pelaku kejahatan dan pendosa—dimulai
dari korban dilarang komplain terlebih menjerit, merugi dijadikan korban karena
dituntut “sopan manis” bak seonggok mayat yang hanya dapat bungkam ketika disakiti,
hingga penghapusan dosa bagi para pendosa seolah-olah korban tidak memiliki hak
untuk menuntut keadilan, setidaknya komplain dan menjerit ataupun berteriak
penuh kesakitan sebagai bagian dari hak menyalurkan ekspresi dalam rangka
menggambarkan betapa sakit yang diderita olehnya akibat yang ditimbulkan oleh pihak-pihak
yang membuatnya memutuskan untuk mengungkapkan protes verbal.
Budaya-budaya tidak sehat
demikian, sungguh merupakan “akal sakit milik orang sakit”, dan terus
ditumbuhkan bahkan dilestarikan, yang mana blunder serta budaya irasional
demikian yang tidak humanis dan tidak bersahabat terhadap kalangan korban, akan
terus meminta korban yang bertumbangan seolah tidak pernah cukup terjadinya
tahun demi tahun. Salah satu fenomena “puncak gunung es” yang saat ulasan ini disusun
sedang viral di media sosial, dimana yang tidak terliput media massa jauh lebih
meluas, dapat kita jumpai dalam liputan bertajuk “Pasal KDRT Psikis Ini Bikin
Istri Omeli Suami Mabuk Dituntut 1 Tahun Bui”, dilansir oleh Tim detikNews, 16
Nov 2021, diakses pada tanggal 18 November 2021:
Sorotan tertuju pada para jaksa
yang menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT di Karawang, Jawa
Barat (Jabar). Sebab, si istri dalam perkara itu dituntut 1 tahun penjara
karena disebut kerap memarahi suaminya yang pemabuk.
Si istri dalam perkara itu
adalah Valencya alias Nancy Lim yang menikah dengan Chan Yu Ching. Diketahui,
Chan Yu Ching sebelumnya berkewarganegaraan Taiwan, tapi belakangan sudah
berganti menjadi warga negara Indonesia.
Mereka menikah pada 2000,
tetapi akhirnya resmi bercerai pada awal 2020. Prahara terjadi dalam rumah
tangga mereka, seperti diakui Valencya, karena dia yang bekerja, sementara
suaminya menganggur.
Belakangan, Valencya
dipolisikan Chan Yu Ching. Di sisi lain, Chan Yu Ching juga balik dipolisikan
Valencya. Keduanya sama-sama diadili.
Singkatnya, Valencya dituntut
pada Kamis, 11 November 2021, dengan hukuman 1 tahun penjara. Jaksa penuntut
umum yang menangani kasus ini, Glendy Rivano, menyebutkan bahwa fakta
persidangan menunjukkan adanya kekerasan psikis yang dilakukan Valencya
terhadap Chan Yu Ching. [Note Penyunting : Jaksa pun melakukan “kekerasan psikis” dengan
mengkriminalisasi secara tidak patut pihak korban, suatu “standar ganda”.]
“Jadi kasus ini masuk dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga bahwa diperoleh diperoleh fakta-fakta melalui keterangan saksi dan alat
bukti bahwa inisial V (Valencya) terbukti jadi terdakwa dengan dijerat Pasal 45
ayat 1 juncto Pasal 5 huruf b,” ucap Glendy.
“Jadi inisial CYC (Chan Yu
Ching) ini diusir dan dimarahi dengan kata-kata kasar,” imbuhnya.
Terhadap tuntutan itu, Valencya
tidak terima. Dia mengaku marah terhadap Chan Yu Ching karena kerap
mabuk-mabukan.
“Saya keberatan yang mulia, apa
yang dibacakan tidak sesuai fakta, masak hanya karena saya mengomeli suami yang
suka mabuk-mabukan saya jadi tersangka dan dituntut satu tahun penjara,” kata
Valencya di hadapan majelis hakim.
Valencya dianggap jaksa melanggar
Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU KDRT).
Jaksa menyebutkan bila pasal yang dilanggar Valencya terkait kekerasan psikis.
Berikut ini bunyi pasal-pasal
yang digunakan jaksa untuk menjerat Valencya:
Pasal 45 Ayat (1)
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000 (sembilan juta rupiah).
Pasal 5 huruf b
Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara kekerasan psikis.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Namun belakangan perkara ini
menuai kontroversi. Kejaksaan Agung (Kejagung) pun mengambil langkah dengan
mengambil alih perkara ini.
Leonard Eben Ezer Simanjuntak,
selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, menyebut para
jaksa yang terlibat dalam penanganan perkara itu tidak peka. Total
setidaknya ada 9 jaksa yang kemudian diperiksa internal oleh Kejagung.
“Dari tahap pra-penuntutan
sampai dengan tahap penuntutan, baik dari Kejaksaan Negeri Karawang maupun dari
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, tidak memiliki sense of crisis atau kepekaan,”
ucap Leonard pada Senin (15/11/2021).
Leonard mengatakan Jaksa Agung
ST Burhanuddin memerintahkan agar perkara Valencya dan Chan Yu Ching untuk
diambil alih langsung oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum
(Jampidum) Fadil Zumhana. Tak hanya itu, para jaksa di Karawang hingga Jawa
Barat yang terlibat dalam perkara ini diminta Burhanuddin untuk dieksaminasi
khusus.
Salah seorang jaksa yang
diperiksa ialah Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati Jabar, yang
dinonaktifkan karena ditarik ke Kejagung untuk memudahkan pemeriksaan
fungsional oleh Jamwas. Leonard mengatakan para jaksa itu tidak peka
serta tidak patuh terhadap pedoman Jaksa Agung untuk mengedepankan upaya
restoratif. [Note : Kepekaan terhadap perspektif yang dialami seseorang, untuk
menentukan mana serta siapa yang menjadi “sebab” dan mana serta siapa yang
menjadi “akibat”.]
Komentar Netizen:
Hukum di indonesia ikut2an
mabuk x ya?
Modus nih taiwan hebatnya??
modal dengkul nikahi wanita indonesia pakai uang pinjaman utk gaya, stelah itu
istri diboyong jadi budak yg hrs melunasi hutang. pas istrinya udh sadar
diperbudak,,,, ehhh malah dipidanakan bersama2 komplotan penegak hukum???
Kasus ini merusak logika berpikir
yg benar. sedih Indonesia ku, contoh kecil hukum Indonesia sakit dan tdk
berfungsi sesuai tujuan awal pembentukan hukum untuk memastikan orang dpt
keadilan.
Gaa logiss ..hukum di indo.
Jaksa kampreeet, dari dulu
lembaga ini ga becus, semua pakai
duit.... ga percaya???
Negara maju dan modern, adalah
negara yang lembaga yudikatif nya kuat.
Kantor polisi mana ni yg
meloloskan perkara ini ampe ke kejaksaan, polsek mana sih yg nanganin.
Hukum tanpa nalar dan logika ya
begini.
indonesia banyak pasal karet,
salahkan perumus UU. ditambah lagi kalau oknum penegak hukum yang suka suka
menggunakan pasal karet demi kepentingan pihak tertentu. keadilan jadi hanya
buat yang mampu bayar pengacara.
Betul, disengaja karet. Agar
bisa dimanfaatkan dan gampang ngeles. Project dari aparat korup dan legislasi
korup.
Suami pengangguran, suka judi,
pulang mabuk... isteri harus puji2, elus2, pijat2 itu suami... gitu pak JAKSA??????
Jadi maunya jaksa atau
hakimnya, kalo pasangan berbuat angkara murka dibantuin jgn diomelin.
Istrinya Jaksa pasti galak,
suka ngomel2...jadi jaksanya bales dendam ke istri orang. Soalnya jaksanya
takut istri...wkwkwkkkkk.
Besok kalo ada suami mabok
mending digebukin saja toch sama sama dipenjara tapi puas nggebukin daripada
cuma ngomelin.
Aparat2 yg memarahi rakyat
harusnya bisa dipenjarakan jg cuiii.
Wkwkwkw berarti si jaksa temen
mabuknya si suami tuh wkwkwkwk.
Hukum dinegeri sulap.
Negara klo dipenuhi pasal karet
molor molor ya begini... lapor melapor dan besok-besok akan ada lagi yg lain.
Tidak bisa bedakan hitam atau
putih, cuma tahu warna ijo.
Perhatian buat istri istri
besok besok kalau mau marahin suaminya bisa katakan dasar polisi loe, dasar
Jaksa loe dasar hakim loe. Pakai kata kata itu aja aman gak dituntut.
Akan jatuh dan terus berjatuhan
begitu banyak korban, ketika kita selaku anggota masyarakat maupun penegak
hukum tidak mampu membedakan secara jernih mana yang merupakan atau siapa sebagai
“akibat” dan manakah yang merupakan atau siapa sebagai penerbit “sebab” (pelaku
penyebab). Tidak dibutuhkan kecerdasan cemerlang untuk memiliki kecerdasan
dalam memilah hal demikian, cukup pikiran dan kesadaran yang jernih ketika
mencermati suatu pokok permasalahan, maka disitulah “sense of fairness” akan mampu kita ketahui dan kedepankan. Masalahnya,
ketika bangsa di republik kita ini masih tergila-gila serta tersandera oleh
ideologi korup semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”
hingga “manusia dilahirkan dan dikodratkan sebagai pendosa”, maka selama itu
pula korban-korban akan terus bertumbangan dan “merugi”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.