GRADUAL Vs, KONTRAS, manakah yang Lebih Berbahaya?

SENI PIKIR & TULIS

Perbandingan, menjadi Tolar Ukur. Masalahnya, Sejauh atau Sependek apakah, Tolak Ukurnya?

Antara Hitam Vs. Putih, diantaranya terdapat Zona Abu-Abu yang Tidak Terhitung Gradasinya

Mengapa seseorang, bisa berubah karakternya seratus delapan puluh derajat, tanpa ia sadari? Mengapa, tubuh seseorang dari semula “langsing semampai” dapat berubah menjadi gemuk bak “gentong” yang “bulat”? Mengapa seseorang yang semula bodoh, dapat menjadi pandai dan cerdas (from zero to hero)? Mengapa juga, seseorang yang semula miskin “melarat” dapat menjelma konglomerat dan miliarder atau setidaknya sebagai jutawan? Itulah, perbandingan yang sifatnya ekstrim, membentuk apa yang disebut perspektif keberadaan “kontras”. Tolak ukur perbandingannya sangat jauh, karenanya menimbulkan efek psikologis, dramatis, serta sebagian diantaranya bahkan “traumatik” bagi kita dalam menyikapi dan memandangnya.

Sejatinya, yang paling patut kita waspadai dan berikan perhatian jernih bukanlah perubahan secara radikal yang sedemikian kontras, namun perubahan secara gradual, dimana pergeserannya perlahan demi perlahan, sangat halus dan tidak kentara, sehingga acapkali tidak disadari oleh diri kita yang mengalami perubahan secara perlahan, maupun di mata orang lain yang melihat atau berhubungan maupun memiliki keterlibatan dengan kita. Tentu kita masih ingat pepatah klasik yang masih relevan hingga saat kini serta hingga kapan pun, bahwa menabung koin sedikit demi sedikit, lambat-laun akan menjadi bukit hingga gunung uang.

Bisa juga kita balik logikanya, ketika kita hendak membeli sebidang properti, tampak harganya seolah tidak terjangkau oleh keuangan kita pada saat kini, seakan jauh sekali untuk bisa dibeli dan dimiliki, karena besar nominalnya mencapai ratusan hingga miliaran rupiah, sementara pengahasilan bulanan kita hanya sebatas jutaan rupiah, sungguh jauh dipandang. Untuk itu, kita mensiasatinya dengan meminjam kredit dari lembaga keuangan perbankan, dan mencicilnya bulan demi bulan, tahun demi tahun. Ketika pada akhirnya telah berhasil kita lunasi belasan hingga puluhan tahun kemudian, kita pun terperanjat, betapa kita telah memiliki sebuah properti untuk dihuni senilai ratusan hingga miliaran rupiah!

Ilustrasi berikut dapat kita amati dari perjalanan hidup kita sendiri. Kini, setidaknya Anda telah sebagai seorang dewasa, atau mungkin seorang lanjut usia (lansia), atau setidaknya sebagai seorang remaja. Sekarang, cobalah renungkan, betapa pada mulanya Anda dan kita masih seorang bocah kecil mungil “mini” yang manis nan menggemaskan di bangku Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar yang kerap di-“cubit” pipinya oleh siapapun yang berjumpa dengan kita. Bagaikan sulap yang penuh sihir, kini kita telah menjelma sebagai seorang manusia dewasa yang tinggi, bongsor, dan besar disamping berat sehingga tidak dapat lagi di-gendong—dan tentunya, tidak lagi di-“cubit” pipinya terlebih disebut sebagai “imut-imut”.

Kita, lebih tidak menyadari dan tidak mewaspadai perubahan yang bersifat gradual ketimbang yang radikal. Sebagai contoh, bila biasanya kita bangun pagi pada pukul tujuh pagi, namun pada suatu ketika kita bangun siang pada pukul dua belas siang, maka kemungkinan besar anggota keluarga Anda akan bertanya, “Apakah Anda sedang sakit?” Berbeda halnya ketika secara gradual, Anda bangun lebih telat lima menit setiap harinya dan secara konsisten telat selama kelipatan lima menit, maka tidak sampai dua bulan lamanya, Anda telah memiliki kebiasaan baru yang tidak seorang pun akan mempertanyakan ataupun menyadarinya, bangun “pagi” pada pukul dua belas siang.

Sama halnya, prinsip serupa berlaku pula ketika Anda tengah bergadang, pada mulanya pukul sebelas malam baru beranjak istirahat tidur malam, perlahan diulur selama lima menit setiap harinya, hingga pada akhirnya Anda akan tidur “malam” pada subuh hari—tidur “subuh”. Sama juga, terdapat orang-orang yang dikenal sebagai maestro, pakar, atau ahli dibidangnya, dibangun dari pengetahuan yang dipupuk bahkan dari sejak bangku sekolah, tahap demi tahap, jenjang studi demi jenjang studi, penelitian demi penelitian, pengalaman demi pengalaman, bagai kepingan puzzle yang disusun dalam “frame” raksasa. Begitupula para atlet, telah dibina bahkan sejak masih kanak-kanak.

Kita pun kerap meremehkan yang bersifat gradual. Semisal, hanya menambah banyak satu ons nasi, atau menambah banyak lima gram lauk pada porsi makanan kita sehari-hari di atas piring. Esoknya, kita menambah kembali dengan kelipatan yang sama, sampai pada akhirnya, tanpa kita sadari, bobot atau berat tubuh kita telah bertambah puluhan kilogram. Ketika kita membuka kembali arsip koleksi foto, kita mendapati sesosok orang yang bertubuh “langsing” dan atletis. Siapakah dia? Itu adalah Anda sendiri!

Hemat pangkal kaya, adalah fakta adanya. Jangan pernah remehkan uang recehan, dosa, perbuatan tercela, kebiasaan buruk, waktu, kesehatan, dan lain sebagainya, semata karena dipandang “receh” sehingga dipandang remeh-temeh. Bila mengumpulkan uang recehan koin yang ditabung secara konsisten hari demi hari, saat demi saat, momen demi momen, secara gradual akan berangsur-angsur menjelma setumpuk dana besar, maka sama halnya perbuatan jahat (dosa), yang ditimbun sedikit demi sedikit, dengan meremehkan “sedikit” atau “dosa yang kecil”, pada akhirnya akan menjelma pula segunung dan setumpuk dosa yang harus Anda bayarkan pada gilirannya, cepat atau lambat. Dari seseorang yang bersih putih polos, menjelma seorang “pendosa” yang penuh dosa. Begitulah cara kerjanya, bukan secara kontras, namun terjadi secara gradual meski pada akhirnya akan tampak kontras bila tolak-ukurnya ialah perbandingan antara kini dengan masa lampau yang lama sebelum ini.

Seorang kriminal maupun pelaku korupsi, mungkin pada mulanya masuk sebagai anggota komunitasnya, adalah orang yang lugu dan murni. Namun, ketika dirinya dibiasakan atau dikondisikan oleh lingkungannya yang kurang kondusif terhadap sifat murni dirinya, dirinya pun mulai perlahan mentolerir perbuatan buruk dan tercela, yang kian hari kian tinggi “dosis”-nya, sampai pada akhirnya menjelma manusia kotor, kriminil, dan koruptor. Mereka dapat menjuluki dirinya sendiri sebagai “korban keadaan”, yakni dikondisikan untuk berubah (merosot) secara gradual. Seseorang disebut idealisme tulen, karena selalu mengingat “patokan” jati-diri awalnya, sebagai tolak-ukur sehingga ketika dirinya menyimpang, ia akan segera kembali ke jalur semula yang karenanya tidak akan menyimpang terlampau jauh ketika melakukan kekeliruan “keluar jalur”.

Seekor anak ayam, lucu, dan menggemaskan. Hewan apapun semacam itu adanya, lucu, mungil, menggemaskan. Entah itu kucing, anjing, bebek, hingga harimau sekalipun, kita semua ingin memeluknya, mengelusnya, menggendongnya, menimang-nimang, berfoto dengannya, hingga merawatnya penuh cinta kasih. Tunggulah hingga si hewan beranjak dewasa, mungkin persepsi Anda akan berubah—meski lebih banyak diantara kita yang tidak mau menyadari hakekat hukum perubahan, tidak kekal, tanpa diri, dan senantiasa mengecewakan.

Contoh, kita tergila-gila dan mengejar-ngejar gadis atau pria idaman Anda. Namun, ketika mereka berubah, maka Anda pun akan berubah dan melupakan betapa Anda dahulu kala begitu tergila-gila padanya. Begitulah, banyak pasangan suami-istri menikat dibangun atas dasar relasi “cinta”, namun berakhir pada gugat-menggugat perceraian. Cinta pun, menjelma kebencian dan kekecewaan. Sesuatu yang dahulu pada mulanya Anda perjuangkan, kini tampak seperti fatamorgana, demikian fana, bagai menulis di atas pasir yang akan tersapu oleh ombak pantai. Para sesepuh dan senior menyebutkan, jalinan asmara dibangun dengan drama percintaan, namun rumah-tangga dibangun diatas fondasi bernama “komitmen”.

Berikut kiat atau tips dari penulis, untuk bisa lebih mawas diri dan lebih penuh kewaspadaan, terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain. Jangan gunakan tolak-ukur yang bersifat gradual, namun yang jauh dari momen saat kini, yakni bisa sepuluh tahun lampau, atau setidaknya satu tahun lampau, semata agar suatu kontras menjadi tampak lebih kasat-mata dan lebih mudah dikenali serta sadari. Semisal kita memiliki masalah pada berat badan, bentuk tubuh, karakter, kualitas hidup, kesehatan, yang perlu kita pahami ialah bahwa delusi tercipta bila tolak-ukur untuk perbandingannya bersifat gradual, dimana psikologi manusia lebih cenderung memandang remeh dan sepele yang bersifat gradual adanya.

Contoh, tinggi badan seorang remaja bertambah satu sentimeter dari satu tahun lampau, tampak sepele dan tidak signifikan. Namun, ketika kita gunakan tolak-ukur sepuluh tahun lampau, sungguh kontras perubahan dan perbedaannya. Itulah salah satu contoh, bahwa psikologi manusia penuh “cacat”, sehingga kerap disusupi atau berkembang delusi-delusi yang sifatnya irasional, tidak logis, dan tidak berakal sehat bila kita mencoba mencermatinya lebih lebih jernih.

Seperti rambut Anda dan rambut kita, kecuali Anda tidak punya rambut, bertambah panjang dalam senyap sekian milisentimeter setiap harinya, tanpa kita sadari, tahu-tahu kita sudah “gondrong” dari semula dicukur habis “gundul”. Karakter, adalah hasil tempa selama perjalanan hidup kita, bukan secara revolusioner, namun secara evolusif : dari orang yang semula baik menjadi semakin baik, atau sebaliknya, dari jahat menjadi semakin jahat, secara berangsur-angsur, tanpa siapapun menyadarinya, bahkan oleh diri mereka sendiri. Sementara itu dari faktor kesehatan, perubahan secara gradual, sungguh suatu mesin pembunuh yang bekerja “dalam senyap”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.