ARTIKEL HUKUM
Jangan Bersikap Seolah-olah Orang Lain Kurang Kerjaan
untuk Bermain Teka-Teki dan Mengikuti Kemauan Tidak Jelas yang Menyerupai SPAMMER
Manusia Sampah, Spammer,
Banyak di Luar Sana. Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan Manusia Sampah yang
hanya dapat Mengganggu dan Merusak Pemandangan
Entah bagaimana sistem pendidikan formal dan nonformal bangsa Indonesia selama ini diterapkan, dimana semestinya orang-orang dewasa dengan akal sehat mampu berpikir dan menyadari perihal etika komunikasi yang dilandasi EQ, setidaknya yang paling mendasar, namun faktanya kerapkali penulis sampai harus merepotkan diri mendebat dan didebat sekadar untuk menegur etika komunikas banyak manusia dewasa “Made in Indonesia” ini. Salah satunya ialah seorang “spammer” (manausia sampah) yang “menyampah” dengan menyalah-gunakan informasi alamat email profesi penulis yang diperuntukkan hanya bagi klien pengguna jasa konsultasi seputar hukum, yakni dengan identitas pelaku pelanggar: Shalom Nommensen <legaltaxconsultant1211 @gmail.com>, dengan isi pesan “sampah” pengganggu sebagai berikut:
Saya ingin bertemu anda untuk
sesuatu hal yang amat penting dengan masalah saya. Di mana saya bisa temui
anda? Mohon berikan nomor HP anda juga. Terimakasih.
HA.
Itukah, yang disebut dengan sopan-santun
dan tata-krama ala Bangsa Indonesia? Mengapa tidak sekalian saja, ubahnya nama
yang bersangkutan menjadi “setan tanpa nama” ketimbang “HA”? Itu, yang disebut
memperkenalkan diri ketika bertamu dan mengganggu? Dirinya bahkan tidak menyatakan
bersedia membayar tarif layanan jasa sekalipun jelas-jelas penulis sedang
mencari nafkah sebagai penyedia jasa dan penjual jasa, ketika menyalah-gunakan
alamat email profesi penulis.
Mengganggu orang lain yang
sedang bekerja mencari nafkah, untuk bermain-main perihal “teka teki” misterius
sang “manusia SAMPAH” ini? Anda? Nama penulis bukanlah “Anda”. itu, yang disebut
sebagai menghormati dan menghargai “tuan rumah” ketika sang “setan tanpa nama”
bertamu dan mengganggu pekerjaan orang lain yang sedang bekerja mencari nafkah?
Janganlah bersikap seolah-olah penulis yang butuh yang bersangkutan, sehingga
masih pula meminta dilayani. Relasi yang sehat, ialah bertimbal-balik, saling
membutuhkan, saling menguntungkan, saling menerima dan saling memberi, saling
menaruh hormat dan penghargaan.
Dalam artikel ini, penulis akan
memberikan jawaban atas surel “tidak sopan” pengganggu yang mengganggu dan hanya
sekadar “spam” selayaknya para spammer lain yang banyak bertebaran dan
berkeliaran di luar sana, sekalipun secara demokratis membuka ruang bagi para
pembaca untuk menilainya sendiri sebagai juri sekaligus hakimnya, siapakah yang
sebetulnya tidak sopan, “tuan rumah” ataukah sang “tamu”?
Tentu saja, penulis menyertakan
“term and conditions” bagi pihak-pihak
yang mencoba menghubungi penulis via email maupun nomor handphone yang menjadi kontak
untuk keperluan pekerjaan dan profesi penulis, namun “aturan milik tuan rumah”
tersebut dilanggar secara disengaja (“dikangkangi” secara arogan) oleh sang “manusia
sampah” yang artinya jelas-jelas telah secara sengaja pula memiliki itikad
buruk “menyalah-gunakan” info kontak alamat email profesi penulis.
Pertama, dirinya tidak menyebutkan
dari mana yang bersangkutan mendapatkan alamat email untuk kepentingan kerja penulis.
Bila yang bersangkutan menyebutkan darimana informasi seputar alamat email kerja
penulis ia peroleh, itu sama artinya dirinya tidak bisa lagi “pura-pura bodoh”
dan “pura-pura tidak tahu” perihal pekerjaan penulis serta “syarat dan
ketentuan” yang berlaku bagi pihak-pihak yang hendak menghubungi penulis. Modus
sang pelanggar, sebagaimana yang sudah-sudah, ialah berpura-pura tidak
mengetahui profesi penulis serta berpura-pura tidak membaca segala peringatan
maupun “term and conditions” bagi pihak-pihak
yang menghubungi penulis via email maupun nomor handphone, sehingga dapat
menjadi “alasan pembenar” atau “alibi” untuk berkelit ketika ditegur karena melanggar
dan melecehkan profesi penulis.
Kedua, apa untungnya atau apa faedahnya
bagi penulis diganggu, direpotkan, serta membuang-buang waktu untuk menemui
sang “setan tanpa nama”? Manusia sampah, spammer,
banyak di luar sana. Sungguh hanya membuang-buang waktu serta menghabiskan umur
yang berharga ini untuk meladeni seorang ataupun para “manusia sampah”
demikian. TIME IS MONEY! Dunia
ini tidak pernah kekurangan “manusia sampah”. Yang bersangkutan tentulah
pastinya telah berusia dewasa, namun dari segi etika komunikasi serta EQ,
dangkal serta kekanak-kanakan seperti kanak-kanak di Taman Kanak-Kanak—bedanya,
sang “manusia SAMPAH” penuh keserakahan, tidak lucu, serta tidak menggemaskan.
Ketiga, dirinya mati sekalipun,
atau masuk jurang karena diseruduk banteng atau hendak harakiri sekalipun, apa
urusannya dengan penulis? Mengapa yang bersangkutan tidak mencari saja babysitter untuk menggantikan popok bau
miliknya yang kerap buang air seni dan air besar di celana popoknya sendiri? Bila
dirinya tidak bisa mencuci bokongnya sendiri, maka apa urusannya dengan penulis
ataupun orang lain?
Keempat, yang bersangkutan
secara tidak etis dan melecehkan, bersikap seolah-olah penulis adalah “kurang
kerjaan”. Yang “kurang kerjaan”, ialah sang “manusia sampah” (spammer) itu sendiri sehingga membuang-buang
waktu diri sendiri serta membuang-buang waktu orang lain dengan melakukan aksi “spam” yang kotor, jorok, bau, dan
tentunya mengganggu. Buang-buang waktu bertemu dengan seorang “spammer”? Dirinya mati sekalipun,
penulis tidak merugi apapun, justru bersyukur karena berkurang sudah satu orang
“manusia sampah” dari muka Bumi ini yang suda penuh sesak oleh sampah-sampah
pengganggu yang mengganggu.
Kelima, tempatnya “manusia
sampah” (spammer) ialah di “tong
sampah” dan di-“delete” serta di-“blokir”.
Mengapa tidak yang besangkutan masuk saja ke tong sampah atau setidaknya masuk
ke lubang kubur (men-delete diri), alih-alih
menganggu ketenangan dan hidup maupun pekerjaan orang lain? Dunia ini tidak
akan pernah bersedih, karena memang tidak pernah kekurangan “manusia-manusia sampah”
serupa lainnya yang banyak berkeliaran di luar sana.
Keenam, ia pikir orang lain
suka, bermain teka-teki bodoh serta misteri konyol yang bersangkutan? Dirinya adalah
bencong, waria, bajingan, biadab, bar-bar, tuna susila, geladangan, pengemis
hina, gembel rombeng, tukang perkosa, kecebong, kodok batu, atau unta
jadi-jadian sekalipun, anjing buduk, siapa yang perduli? Dirinya adalah “manusia
SAMPAH”, jorok, bau, busuk, hanya menarik bagi lalat dan mengundang binatang-binatang
jorok serta jelek yang kotor lainnya. Siapa yang sudi, dekat-dekat terlebih
menemui “manusia SAMPAH”? Ditemui pun penulis akan merasa alergi serta menutup
hidung serta mata.
Ketujuh, sang spammer berkata, “amat penting dengan masalah saya”. Itulah yang disebut
dengan “bijaksini”, bukan “bijaksana”. Yang bersangkutan tidak secara fairness menyebutkan apa faedahnya bagi
kepentingan penulis yang juga penting bagi kehidupan penulis seperti tarif jasa
yang menjadi sumber nafkah profesi penulis. Profesi manakah dan profesi
siapakah, yang dengan dungu-nya sudi diganggu oleh “spam” oleh sang spammer
semacam demikian?
Kedelapan, mengapa harus
penulis selaku tuan rumah, yang sudah diganggu waktu berharganya, masih juga
harus repot-repot bertanya, siapa nama Anda?, dimana Anda bertempat-tinggal?, darimana
Anda dapat alamat email kerja saya?, apa mau Anda?, Anda bersedia membayar
tarif jasa?, Anda telah setuju dengan syarat dan ketentuan layanan yang
berlaku?, dan lain sebagainya, seolah-olah penulis “kurang kerjaan” dan senang
diganggu oleh “manusia SAMPAH” demikian?
Kesembilan, untuk apa
menghormati “tamu tidak diundang” yang tidak menaruh respek, hormat, maupun penghargaan
terhadap “tuan rumah”? Tidak mau repot-repot menghormati dan menghargai nama
maupun profesi orang lain, namun mengharap dilayani, dihormati, serta
ditanggapi secara ramah, santun, sopan, serta penuh kehangatan secara tangan
terbuka? Jika yang bersangkutan berpikir bahwa orang lain adalah bodoh, maka
dirinya sendiri yang paling dungu adanya. Itulah yang disebut sebagai
irasional, masih pula mengharap diladeni dan dilayani.
Kesepuluh, sang spammer berkata, “Di mana saya bisa temui anda?” Wah, jangan-jangan yang bersangkutan
ini tukang pukul, atau sejenisnya. Anda pikir siapa diri Anda? Bahkan, secara “besar
kepala” hendak meminta penulis membuka privasi kehidupan penulis seperti dimana
penulis berada untuk ditemui. Dirinya bahkan tidak bertanya, apakah bersedia repot-repot
dan buang-buang waktu menjumpai sang “manusia SAMPAH”? Siapa juga yang sudi
dijumpai “manusia SAMPAH”? Apa hak Anda, menjumpai penulis? Jika Anda merasa
memiliki hak, lantas apa yang menjadi kewajiban Anda? Semua orang bisa menemui
presiden, namun tidak semua orang berhak menemui presiden. Semua orang ingin
berjumpa dengan presiden, namun tidak semua orang bisa berjumpa presiden. Ia pikir,
siapa dirinya? Elu pikir, siapa diri lu? Hanya seorang “manusia SAMPAH”!
Kesebelas, sang spammer berkata, “Mohon berikan nomor HP anda juga”—sungguh tipikal khas SPAMMER, yang akan mengirimkan segudang spam PENGGANGGU yang hanya mengganggu
privasi dan waktu orang lain. Itulah, tipe “setan tanpa nama” sekaligus “spammer” yang bila diberikan hati, maka
akan “besar kepala”, alias tidak sadar diri dan tidak tahu diri. Sungguh aneh
bin ajaib, ada dan banyak sekali “manusia-manusia SAMPAH” semacam sang spammer tersebut di atas yang telah
pernah menyalah-gunakan info kontak profesi penulis, sekalipun mereka menyandang
gelar kesarjaan serta mengaku-ngaku “agamais” di republik “premanis—barbarik” ini.
Keduabelas, seolah-olah belum
cukup panjang semua “cacat moril” sang “manusia SAMPAH”, dirinya lebih layak
diberikan “reward” ataukah “punishment”, atas sikapnya yang tidak mengenal
tata-krama dan sopan-santun? Jika diberi “reward”,
maka sifat dan sikap buruknya akan menjadi-jadi karena berpikir, toh dengan sikap
yang tidak dilandasi respek seperti ini saja, tetap diladeni dan dilayani, maka
untuk apa repot-repot bertata-krama dan bersopan-santun?
Begitu masifnya pihak-pihak yang
dengan tidak dilandasi etika komunikasi, menyalah-gunakan info kontak kerja
profesi penulis, tanpa sopan-santun ataupun tata-krama selayaknya orang dewasa
sekalipun mereka telah dewasa secara umur fisik, namun dangkal dan kekanakan
dari segi EQ. Karenanya, penulis sampai pada satu kesimpulan, bahwa adalah “omong
kosong” perihal jargon bangsa Indonesia yang mengklaim sebagai bangsa yang gemar
bergotong-royong, adil, luhur, budi pekerti dan penuh tata-krama serta sopan-santun—karena
faktanya selalu berkebalikan dari apa yang bangsa ini klaim mengenai jati
dirinya. Contoh di atas, hanyalah salah satu cerminan kecil dari segudang
pengalaman buruk serupa lainnya yang pernah penulis hadapi dan sampai pada
taraf yang sangat mengganggu.
Bukankah sungguh meletihkan,
penulis sampai harus berdebat dan didebat oleh setiap orang yang setiap kali mencoba
menyalah-gunakan info kontak kerja profesi penulis? Itu membuang-buang waktu
penulis yang sangat berharga, sementara bukanlah kewajiban moril maupun tugas
penulis untuk mendidik yang bersangkutan perihal etika komunikasi dan jiwa
berkeadilan—seolah-olah mereka tidak pernah dididik secara patut dan memadai
oleh orangtua di rumah, guru di sekolah, maupun pemuka agama di tempat ibadah,
perihal hal paling mendasar seperti etika komunikasi.
Penulis tidak punya waktu untuk
mendebat mereka semua, karenanya penulis saat kini telah mencapai titik letih serta
jemu menghadapi sebagian besar bangsa Indonesia yang memang senyatanya tidak memiliki
EQ terlebih IQ (bahasa sederhana gaulnya, “tidak punya otak”). Terbukti, untuk
hal yang mendasar seperti itu saja, sampai harus penulis uraikan dan berdebat secara
panjang-lebar, sekalipun yang bersangkutan memiliki otak untuk berpikir dan
introspeksi diri sendiri. Kini, penulis lebih banyak “bungkam”, dan seketika
memblokir pihak-pihak “SAMPAH” semacam demikian.
Biarkan saja mereka tetap
melakoni sifat “SAMPAH”, bukanlah kewajiban penulis untuk mendidik mereka perihal
etika komunikasi dan EQ. Sungguh bangsa “sampah”, karena banyak dihuni oleh
para “sampah”, sekalipun tidak semua warganya se-“sampah” itu. Karena itulah,
penulis menaruh respek yang sangat dalam, terhadap pihak-pihak yang secara adil
dan berjiwa ksatria, dapat saling menghargai eksistensi serta profesi satu sama
lainnya. Orang-orang baik, jujur, adil, bukan untuk dijadikan “mangsa empuk”,
namun untuk dilestarikan, dihargai, dihormati, dijaga, dirawat, serta
dilindungi—karena mereka “langka” di republik ini. Anda dapat dengan mudah mencari
emas di toko logam mulia, namun sungguh sukar menjumpai dan mencari orang-orang
jujur, adil, serta berbudi luhur.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.