Bank Tidak Boleh Menjual Cessie kepada Kreditor Perorangan

LEGAL OPINION

Semua BANK adalah RENTENIR

Denda merupakan BUNGA TERSELUBUNG, Praktik RENTENIR Kreditor Perbankan maupun Perorangan

Question: Apa benar, ada yang mengatakan bahwa jika mau pinjamkan utang ke orang (debitor) dan mau ambil untung besar, agar tidak disebut sebagai rentenir, maka bunga dalam perjanjian hutang-piutang atau akta pinjam-meminjam uang ini, cukup sekian persen saja yang kecil angka bunganya, namun dibuat besar dalam tagihan denda (akibat menunggak), karena perihal denda bila terjadi tunggakan tidak diatur oleh negara juga tidak dilarang oleh hukum? Pertanyaan kedua, apakah boleh bank jual “hak tagih”-nya (cessie maupun subrogasi) kepada “kreditor perorangan”?

Brief Answer: Baik “denda” maupun “bunga”, bila sama-sama ditagihkan kepada debitor untuk setiap bulannya, baik dalam kondisi lancar mencicil maupun terhadap debitor yang dalam status menunggak cicilan, maka bukankah itu disebut sebagai “bunga berganda”? Tidak penting apa yang menjadi nama atau istilahnya, namun esensinya bila sama dan serupa, baik “bunga” maupun “denda”, maka mengapa terjadi tagihan komponen bunga yang berganda yang hanya saja berbeda kemasan nama? Membuat tingkat suku “bunga” tampak kecil, namun menggelembungkan tingkat besaran “denda”, pada muaranya tetap saja merupakan praktik “rentenir” sebagai esensinya disamping cerminan praktik “penyelundupan hukum” semata agar pada wujud luarnya tidak menyerupai praktik “lintah darat”.

Perihal cessie, antara “Kreditor Perorangan” dan “Kreditor Perbankan”, merupakan dua “genus” yang berbeda dan berlainan domain, karenanya cessie ataupun subrogasi tidak dapat dibenarkan lintas “genus” demikian, sehingga cessie maupun subrogasi hanya dapat dilakukan antar bank, namun bukan serta tidak dapat dimaknai dari bank yang dapat menjual hak tagihnya kepada “Kreditor Perorangan”. Dari berbagai kajian fakta hukum maupun bukti-bukti lapangan yang dijumpai SHIETRA & PARTNERS, antara “syarat dan ketentuan” dalam perikatan hutang-piutang “Kreditor Perbankan” dan “Kreditor Perorangan”, jelas berbeda dan berlainan, bahkan dalam berbagai pasal perikatan pinjam-meminjam uang (utang-piutang), antara keduanya tidak dapat saling dipertukarkan.

Biasanya, dalam Akta Hutang-Piutang / Perjanjian Kredit lembaga keuangan perbankan, tertuang klausul yang hanya diperbolehkan dipraktikkan oleh lembaga keuangan perbankan, sebagai contoh pasal terkait “floating rate” berikut : “Tingkat atau besaran suku bunga kredit, dapat berubah sewaktu-waktu sesuai pengumuman resmi kantor pusat Bank.” Lembaga keuangan perbankan, tunduk pada regulasi perihal “suku bunga kredit” yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kerenanya tingkat suku bunga oleh masing-masing lembaga keuangan telah terdapat “jaring pengaman” (safety nett) agar tidak menjelma praktik “rentenir berdasi”.

Namun, bila ketentuan atau pasal demikian dalam Perjanjian Kredit, dialihkan kepada “kreditor baru” berdasarkan cessie maupun subrogasi, yakni kepada “Kreditor Perorangan”, dan dimaknai bahwa sang “kreditor baru” yang bisa jadi serta kerap kali merupakan “mafia tanah” (yang membisniskan praktik jual-beli cessie), akan menjelma praktik pemerasan terselubung dengan mengatas-namakan “floating rate” yang ditetapkan secara “sesuka hati” alias secara “suka-suka” sang pembeli hak tagih (pembeli cessie / subrogasi).

Itulah “moral hazard” yang melatar-belakangi larangan alih hak tagih atau praktik penjualan piutang (cessie / subrogasi) dari “Kreditor Perbankan” kepada “Kreditor Perorangan”. “Kreditor Perorangan”, berdasarkan praktik peradilan di Indonesia (yurisprudensi serta berbagai preseden Mahkamah Agung RI), terdapat pendirian hakim yang menyatakan bahwa “Kreditor Perorangan” hanya berhak memungut “bunga tetap” (fixed rate), dan nilainya pun dibatasi hanya pada kisaran 6% (enam persen) per tahun sebagai nilai kewajaran bunga pinjaman yang dapat ditagihkan oleh kreditor kepada debitornya.

Perihal komponen-komponen pembebanan lain diluar tagihan “bunga” dalam suatu Perjanjian Hutang-Piutang (Kredit), seperti denda keterlambatan, bunga terhadap bunga tertunggak, denda terhadap bunga tertunggak, bunga terhadap denda tertunggak, denda terhadap denda tertunggak, dan banyak istilah lain sebagainya (yang tidak masuk diakal selain pembebanan yang mengada-ngada), yang bahkan perhitungannya tidak jelas serta tidak dilandasi asas transparansi dan akuntabilitas, maka praktik demikian dikategorikan sebagai pembebanan “bunga majemuk” atau “bunga terselubung” yang ilegal dan dapat digugat agar dibatalkan sehingga yang berlaku dan dapat ditagihkan oleh kreditor kepada debitornya ialah semata dua komponen tagihan berupa “cicilan terhadap pokok hutang” serta “bunga”, tanpa embel-embel tagihan lainnya.

PEMBAHASAN:

Terdapat pihak-pihak yang berlatar-belakang ekonomi cukup kuat, menjadi pemodal dengan menawarkan kredit atau dana pinjaman kepada para pengusaha yang membutuhkan modal usaha maupun kepada masyarakat umum yang sedang membutuhkan dana tunai untuk keperluan rumah-tangga, keluarga, maupun usahanya. Namun, sang pemodal / kreditor menyalah-gunakan kekuasaan ekonomi dan dominasi daya tawarnya untuk praktik “pemerasan terselubung”, dengan mendalilkan bahwa tingkat suku bunga cukup rendah atau kecil saja diatur dalam Perjanjian Kredit, namun perihal denda tidak diatur juga tidak dibatasi besarannya oleh negara, sehingga besaran “denda akibat menunggak” dapat diatur sebesar mungkin dalam Perjanjian Kredit, bila perlu mencekik dan menghisap debitornya bak “lintah darat” hingga kering-kerontang.

Menurut mereka, sebagaimana pengalaman SHIETRA & PARTNERS menghadapi berbagai kalangan klien berlatar-belakang kreditor maupun debitor, mendalilkan bahwa sang pemodal kuat tersebut dapat menerapkan tingkat bunga dalam Perjanjian Kredit cukup hanya 6% (enam persen) per tahun atau bahkan kurang dari itu sebagai “pemanis”. Namun, sang kreditor akan mengambil keuntungan besar diatas derita debitornya yang karena kesulitan ekonomi sehingga mengalami tunggakan atau “kredit macet”, dengan memungut serta menagihkan denda yang sangat tinggi sehingga menjerat dan mencekik debitornya, yang karenanya sebagai konsekuensi logis dapat dipastikan tidak akan mampu membayar dan melunasi berbagai tagihan dari denda yang diberlakukan oleh kreditornya tersebut.

Ketika SHIETRA & PARTNERS memberi edukasi kepada klien “Kreditor Perorangan” yang berlatar-belakang ekonomi kuat serta berkedudukan sebagai “lintah darat”, bahwa praktik “bunga terselubung” demikian ialah ilegal dan dapat digugat pembatalan separuh isi Perjanjian Kredit terkait beban “denda akibat tunggakan” (partial annulment) oleh pihak debitornya, sang kreditor tampak kecewa terhadap opini hukum SHIETRA & PARTNERS, dengan tanggapan bahwa dirinya lebih baik mendepositokan dana miliknya ke bank ketimbang menawarkan kredit ke orang-orang dimana dirinya selama ini menjadikan praktik demikian sebagai bisnis untuk meraup keuntungan besar dalam waktu singkat. Tetap saja, sang “lintah darat” memanfaat keadaan terutama terhadap kalangan debitor yang pada umumnya rata-rata “buta hukum” sehingga tidak mengetahui hak-hak hukum keperdataannya terutama terkait beban yang timbul akibat relasi hutang-piutang.

Lembaga Keuangan seperti perbankan, diawasi OJK serta suku bunga acuan kredit mengacu pada “BI rate” bagi nasabah peminjam maupun ketentuan LPS bagi nasabah penabung. Sementara itu “kreditor perorangan” DILARANG menerapkan “floating rate”, mengingat tiada tolak ukur yang jelas, dapat tagih “suka-suka” dan “sekehendak hati” (menyerupai RENTENIR), sehingga bagi “kreditor perorangan” dalam praktik yurisprudensi di Mahkamah Agung RI, hanya diperkenankan “fixed rate” dalam rangka menutup celah penyalah-gunaan posisi penagih yang bila dibiarkan akan berpotensi melakukan praktik pemerasan terselubung. Dimana lebih dari itu, merupakan praktik RENTENIR yang ILEGAL.

Jelas bahwa masyarakat memilih meminjam di Bank alih-alih meminjam di “Lintah Darat”, karena lemabga perbankan “diyakini” memiliki SOP yang jelas, tingkat suku bunga yang jelas, diawasi oleh OJK, tunduk pada Undang-Undang Perbankan, memiliki izin lembaga keuangan dari BI, perhitungan bunga dan tunggakan yang trasnparan serta akuntabel berdasarkan standar akuntansi. Namun ketika bank menjual cessie kepada “Kreditor Perorangan” yang tidak jelas profil maupun itikadnya, bahkan seorang “mafia tanah”, maka kita pun dapat menyatakan secara tegas : “Bila dari awal saya tahu bahwa bank ini kelak akan menjual cessie kepada seorang ‘preman’ maupun ‘mafia tanah’, tidak akan saya meminjam uang dari bank ini.

Dari penelusuran SHIETRA & PARTNERS, telah terdapat preseden terkait praktik penggelembungan hutang berkedok bunga, denda, dan lain sebagainya, sebagaimana dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986, dengan kasus posisi bermula pada sebuah Akta Puchase Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani bunga, denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi keterlambatan pada hari jatuh tempo.

Pada mulanya, terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri di dalam putusannya tidak dapat menerima gugatan Penggugat. Berlanjut ke tingkat banding, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang menghukum Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note US dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun.

Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut: [Sumber : Majalah Hukum Varia Peradilan No.18.Tahun. II. Maret.1987. Hlm. 5.]

Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda tersebut harus ditolak.

Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Pada prinsipnya, bila sang debitor baik nasabah peminjam dari “Kreditor Perbankan” maupun nasabah peminjam dari “Kreditor Perorangan” menerapkan praktik “rentenir” dengan ciri khas adanya berbagai tagihan dengan komponen “bunga terselubung”, menggugat Perjanjian Kredit atau Akta Hutang-Piutang demikian ke hadapan pengadilan, agar dibatalkan separuh isi perikatan atau pasal di dalamnya (partial annulment) terutama terkait pembebanan “denda” maupun klausula-klausula baku yang “timpang sebelah” dan tidak adil demikian, sehingga tidak mencekik sang nasabah peminjam, yang karenanya menjadi rasional untuk dapat dilunasi dan menebus agunan dari tangan kreditornya tanpa diperberat oleh pembebanan biaya “denda tunggakan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.