Aparatur Penegak Hukum (Penyidik POLRI) Tidak Perlu Tunduk pada Peraturan Menteri Hukum

ARTIKEL HUKUM

Menteri Hukum yang Mencoba Mengangkangi Institusi Kepolisian dan Aparatur Penegak Hukum, Hak Veto Delusif Penuh Conflict of Interest

Kepala Polisi Republik Indonesia (POLRI), “Wahai Menteri Hukum, Anda pikir diri Anda itu siapa, Undang-Undang?

Kapolri (Kepala POLRI) adalah sejajar dan sederajat terhadap para pejabat Menteri lainnya, dalam segi hierarkhi di kursi kabinet yang dikepalai oleh seorang Kepala Pemerintahan. Karenanya, apakah mungkin dibenarkan, langkah institusi POLRI dan jajaran vertikal dibawahnya, ketika hendak melakukan upaya penegakan hukum pidana seperti menyidik, memanggil, menyita, menggeledah, ataupun menahan, dapat di-“jegal” ataupun di-“veto” oleh seorang menteri yang mengatas-namakan atau mendalilkan dan mengalibikan sebuah alasan pembenar bernama adanya Peraturan Menteri yang dibuat dan diterbitkan oleh sang menteri itu sendiri?

Sebagaimana kita ketahui, sebuah “norma otonom” (autonomic legislation) hanya berlaku untuk internal organisasi atau instansi bersangkutan, tidak bisa serta tidak memiliki hak moril terlebih kekuatan hukum untuk mengikat pihak eksternal. Menjadi pertanyaan besar yang penulis tawarkan untuk para pembaca dan publik turut pertanyakan, apakah dapat dibenarkan seorang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia membuat peraturan yang mengamputasi hak aparatur penegak hukum yang sedang melakukan penyidikan?

Fakta yuridisnya, POLRI dan jajaran dibawahnya hanya tunduk pada Peraturan Kapolri serta terutama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bukan peraturan kementerian lainnya. Peraturan kementerian yang mengatur Juklak (petunjuk pelaksanaan) maupun Juknis (petunjuk teknis) semacam SOP (standar operational prosedur), hanya berlaku secara internal ke dalam institusi kementerian itu sendiri, karena setiap kementerian maupun setiap departemen dan lembaga negara, memiliki aturan internalnya sendiri perihal SOP dan tata cara penegakan, pengawasan, maupun penindakannya.

Tidak dibutuhkan kecerdasan dalam level “jenius” untuk dapat memahami “logika peraturan perundang-undangan”. Tampaknya, negeri kita kekurangan para penyusun kebijakan yang mampu berpikir secara normal, dalam artian memiliki akal sehat dan rasional saat menyusun regulasi. Ulasan ini akan mengangkat salah satu ilustrasi konkret paling ekstrim sekaligus cerminan betapa dangkal cara berpikir para petinggi maupun penyusun kebijakan di Indonesia, yang kerap mengedepankan semacam pola “standar ganda”—yang mana akan sama dangkalnya bilamana institusi lain tunduk pada cara berpikir irasional yang tidak logis kementerian bersangkutan yang memandang dirinya sebagai lebih superior ketimbang institusi lain, bahkan mencoba mengatur “rumah tangga” organisasi lain.

Majelis Kehormatan Notaris disebut-sebut dalam sejumlah ulasan sebagai suatu wadah yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan notaris (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2021 tentang Majelis Kehormatan Notaris, Permenkumham No. 17 Tahun 2021).

Dengan mencermati penjabaran pada paragraf sebelumnya di atas, mereka yang benar-benar mampu memahami “logika peraturan perundang-undangan”, akan menyadari, bahwa Majelis Kehormatan Notaris merupakan instansi vertikal dibawah Kementerian Hukum, sementara itu penyidik Kepolisian merupakan instansi vertikal dibawah POLRI. Majelis Kehormatan Notaris, tunduk pada Peraturan Menteri Hukum. Sementara itu Kepolisian tunduk pada Peraturan Kepala POLRI (Peraturan Kapolri) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karenanya, keduanya bekerja pada dua domain serta urusan “rumah tangga” masing-masing, yang satu menegakkan etika profesi Notaris, yang satunya lagi menegakkan hukum. Hanya produk hukum setingkat Undang-Undang, yang barulah dapat mengatur seluruh institusi pemerintahan tanpa terkecuali.

Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris, dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pasal tersebut berbunyi: “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang: a). mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan notaris dan; b). memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.”—bila kita terapkan teknik “argumentur a contrario”, tanpa persetujuan Majelis Kehormatan Notaris maka langkah aparatur penegak hukum menjadi “terjagal” atau “teramputasi” kewenangannya.

Bagaimana mungkin, tanpa persetujuan Majelis Kehormatan Notaris, maka penyidik, penuntut umum, maupun hakim sekalipun tidak berwenang melakukan proses penyidikan, penuntutan, maupun menyita dalam rangka penyidangan seorang Notaris? Undang-Undang di atas, ditujukan khusus bagi kalangan profesi Notaris, bukan ditujukan kepada penyidik Kepolisian. Fakta hukum kedua, Undang-Undang tersebut tidak dapat dibenarkan untuk ditafsirkan membatasi kewenangan aparatur penegak hukum dalam menyidik kalangan profesi Notaris, karena memang pengaturan perihal koridor kewenangan aparatur penegak hukum diatur dalam Undang-Undang yang khusus mengatur perihal penyidikan

Kewenangan tersebut diberikan kepada Majelis Kehormatan Notaris, alibinya disebutkan ialah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada notaris terkait dengan kewajibannya merahasiakan isi akta, sebagaimana merujuk Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris: “dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.”—merahasiakan kepada umum, namun tidak dalam konteks terhadap aparatur penegak hukum yang sedang menegakkan hukum.

Aparatur penegak hukum berwenang atas segala dokumen yang dirahasiakan bagi umum ataupun yang bersifat rahasia, sebagaimana telah diatur dalam KUHAP, bahkan untuk menggeledah dan menyita, hingga menyadap dan menahan. Otoritas Jasa Keuangan maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengetahui betul harta kekayaan setiap warga negara di Indonesia yang notabene “rahasia nasabah penabung”. Majelis Kehormatan Notaris, berwenang untuk menegakkan Kode Etik kalangan profesi Notaris, bukan mengatur perihal kewenangan profesi lain terlebih membatasi kewenangan aparatur penegak hukum.

Apa jadinya, Majelis Kehormatan Etik Advokat, diberi kewenangan yang sama seperti Majelis Kehormatan Notaris, yakni untuk mengamputasi dan “menjegal” atau mem-“veto” langkah aparatur penegak hukum ketika hendak memproses pidana seorang Advokat seperti yang dewasa ini kerap terjadi, semata demi melindungi semangat korps, esprit de corps? Idealnya, “jiwa korsa” ditujukan kepada negara dan penegakan hukum, bukan secara parsial serta sempit semata terhadap suatu koprs atau institusi belaka.

Jumlah Majelis Kehormatan Notaris menurut Permenkumham No.17 Tahun 2021 terdiri dari tujuh orang anggota Majelis. Terdiri atas tiga orang dari unsur notaris, dua orang dari unsur pemerintah dan dua orang dari unsur ahli atau akademisi. Dalam peraturan yang sama, juga disebutkan bahwa Majelis Kehormatan Notaris terdiri atas Majelis Kehormatan Notaris Pusat dan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah. Majelis Kehormatan Notaris Pusat dibentuk oleh Menteri dan berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dibentuk oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dan berkedudukan di ibu kota provinsi.

Sedangkan tugas Majelis Kehormatan Notaris Pusat adalah melaksanakan pembinaan kepada notaris dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah. Adapun Majelis Kehormatan Notaris Wilayah disebutkan bertugas melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim; dan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan.

Bukankah ketentuan di atas, tidak mengundang rasa diskriminasi terhadap profesi-profesi yang juga memang perlu menjaga rahasia klien, seperti profesi Advokat terhadap rahasia maupun dokumen-dokumen milik kliennya? Bila kita membenarkan alibi (“alasan pembenar”) imunitas profesi Notaris dengan diberikannya kekuasaan yang bahkan melampaui kewenangan dan kekuasaan profesi hakim maupun aparatur penegak hukum lainnya, maka mengapa Majelis Kehormatan Etik Advokat, tidak diberikan kewenangan serupa? Jangan lupakan pula profesi jurnalis yang wajib merahasiakan identitas narasumber, memiliki pula Majelis Kehormatan Etik Jurnalis, namun mengapa tidak memiliki kewenangan “super body” serupa Majelis Kehormatan Notaris?

Dalam rangka melaksanakan tugasnya, menurut Permenkumham No.17 Tahun 2021, Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan pembinaan dengan tujuan menjaga martabat dan kehormatan notaris dalam menjalankan profesi jabatannya dan memberikan perlindungan kepada notaris terkait dengan kewajiban notaris untuk merahasiakan isi akta. Meskipun Majelis Kehormatan Notaris memberikan perlindungan hukum kepada notaris, namun terkesan mengorbankan upaya penegakan hukum yang mana merupakan hak-hak korban pelapor atas keadilan serta kepastian hukum. Kasus tindak pidana terkait minuta akta maupun dokumen yang dilekatkan pada minuta akta, bersifat masif, dimana akan terjadi “bottleneck effect” bilamana harus menunggu disetujui atau bahkan ditolaknya langkah aparatur penegak hukum oleh Majelis Kehormatan Notaris (justice delay, is justice denied).

Permenkumham No.17 Tahun 2021 yang berbunyi: “bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kehormatan Notaris menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Majelis Kehormatan Notaris maupun instansi lain di luar Majelis Kehormatan Notaris sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.” Terkesan, antara aparatur penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) adalah sejajar dan setara terhadap Majelis Kehormatan Notaris, lewat keberadaan frasa “saling berkoordinasi”. JIka demikian, mengapa disaat yang sama Majelis Kehormatan Notaris diberi kewenangan untuk “menjegal” langkah penegakan hukum para aparatur penegak hukum dengan menolak kehadiran aparatur penegak hukum untuk menyidik, menuntut, menyita, dan menyidangkan sekadar sebagai saksi sekalipun?

Salah satu produk hukum Majelis Kehormatan Notaris, ialah berupa keputusan berupa “pemberian persetujuan” ataupun “penolakan” terhadap “permohonan” penyidik, penuntut umum, atau hakim yang sedang atau dalam rangka melakukan pemeriksaan dan pemanggilan kepada kalangan profesi Notaris—disebut “permohonan”, meski sejatinya merupakan kewenangan prerogatif aparatur penegak hukum untuk menegakkan hukum sebagaimana amanat KUHAP. Dengan demikian, kewenangan Majelis Kehormatan Notaris jelas-jelas secara eksplisit “mengangkangi” KUHAP.

Artinya pula, langkah penegakan hukum dapat menjelma “stagnan” bilamana Majelis Kehormatan Notaris menolak “permohonan” aparatur penegak hukum untuk melakukan upaya penegakan hukum. Konstruksi demikian sangat menyerupai kewajiban penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta persetujuan / izin dari Majelis Kehormatan Etik KPK—meski saat kini ketentuan demikian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI. Setidaknya, penyidik KPK memohon restu kepada Majelis Etik institusinya sendiri, bukan menyerupai penyidik Kepolisian yang justru meminta izin kepada Majelis Etik profesi Notaris yang merupakan instansi vertikal dibawah Kementerian Hukum.

Menurut Pasal 32 dan Pasal 33 Permenkumham No. 17 Tahun 2021, pemberian persetujuan ataupun penolakan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan dalam pengambilan fotokopi minuta akta dan/atau surat dan pemanggilan notaris, dilakukan dalam hal:

- adanya dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan notaris (semisal memasukkan keterangan palsu oleh para penghadap):

- belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana;

- adanya penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau lebih;

- adanya dugaan pengurangan atau penambahan atas minuta akta; dan/atau

- adanya dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal (antidatum atau backdate, sangat kerap terjadi dalam praktik kalangan profesi Notaris).

Menurut teori di atas kertas, kelima unsur di atas menjadi kriteria atau parameter bagi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan dan penolakan terhadap “permohonan” yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim. Artinya, jika berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap seorang Notaris ditemukan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka tidak ada alasan hukum bagi Majelis Kehormatan Notaris untuk menolak permohonan persetujuan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim, meskipun menurut keterangan Notaris dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris. Namun, alasan bukanlah hal sukar untuk dibuat-buat dan dicari-cari secara “sumir”.

Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Protokol notaris terdiri atas minuta akta, buku daftar akta atau repertorium, buku daftar akta di bawah tangan yang penandatanganannya dilakukan di hadapan notaris atau akta di bawah tangan yang didaftar (waarmerking), buku daftar nama penghadap atau klapper, buku daftar protes, buku daftar wasiat dan buku daftar lain yang harus disimpan oleh notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagai ilustrasi, penyidik memohon persetujuan pemanggilan seorang pejabat Notaris kepada Majelis Kehormatan Notaris, mengingat sang penyidik dari Kepolisian sedang menyidik perkara dugaan tindak pidana “menempatkan keterangan palsu” ke dalam akta otentik sebagaimana diancam dan diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keterangan yang diduga palsu adalah keterangan yang ditempatkan di dalam minuta akta yang dibuat oleh seorang Notaris.

Merujuk ketentuan Pasal 32 dan Pasal 33 Permenkumham No. 17 Tahun 2021, permohonan penyidik Kepolisian demikian “seharusnya” disetujui oleh Majelis Kehormatan Notaris, mengingat dugaan tindak pidana dengan frasa “menempatkan” tersebut terkait dengan minuta akta yang dibuat oleh seorang Notaris. Masalahnya, Undang-Undang Jabatan Notaris tidak menyertakan frasa “wajib memberi persetujuan”, sehingga sifatnya tentatif : dapat memberikan persetujuan, namun dapat pula memberikan penolakan terhadap permohonan aparatur penegak hukum. Mengapa upaya penegakan hukum, bahkan untuk sekadar penyidikan, dihalangi-halangi? Urgensi apakah, menghalangi upaya penegakan hukum oleh aparatur penegak hukum?

Ilustrasi lain, penyidik memohon persetujuan pemanggilan seorang pejabat Notaris kepada Majelis Kehormatan Notaris sehubungan dengan penanganan perkara dugaan tindak pidana membuat dan menggunakan surat palsu sebagaimana diancam dan diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP. Surat yang diduga palsu adalah surat yang dibuat di bawah tangan yang disahkan tanda-tangannya oleh seorang pejabat Notaris (sekadar “waarmerking”, bukan berupa minuta akta yang dibuat sang Notaris, sehingga identitas penandatangan, tanda-tangan, serta tanggal penandatanganan dijamin kebenarannya oleh sang Notaris).

Dalam konstruksi peristiwa hukum demikian, Majelis Kehormatan Notaris “seharusnya” memberikan persetujuan dengan alasan sudah memenuhi ketentuan yang diatur oleh Pasal 32 dan Pasal 33 Permenkumham No. 17 Tahun 2021, karena dugaan tindak pidana membuat dan menggunakan surat palsu terkait dengan surat yang dibuat di bawah tangan yang disahkan tanda-tangannya oleh Notaris—lagi-lagi, tiada ketentuan “wajib memberikan persetujuan”, sehingga sifatnya tentatif alias sekadar “dapat menyetujui” namun juga “dapat tidak mengabulkan” permohonan aparatur penegak hukum.

Dengan mengacu kepada Pasal 32 dan Pasal 33 Permenkumham No. 17 Tahun 2021, Majelis Kehormatan Notaris juga tidak perlu ragu-ragu untuk memberikan persetujuannya manakala ada pihak yang menyangkal tanda tangannya di dalam minuta akta yang dibuat oleh Notaris. Demikian pula halnya apabila adanya dugaan pengurangan atau penambahan atas minuta akta dan/atau adanya dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal (antidatum)—sekali lagi, dan lagi-lagi, tiada frasa “wajib”, sehingga hanya mengandalkan tanggung jawab moril anggota Majelis Kehormatan Notaris.

Seorang Notaris, dalam tulisannya menyebutkan : “Terkait hal ini, maka Majelis Kehormatan Notaris sebaiknya tidak ragu-ragu untuk memberikan persetujuan dan seharusnya tidak menolak memberikan persetujuan dengan alasan bahwa notaris telah melaksanakan pekerjaan atau jabatannya sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh UUJN. Atau dengan kata lain, Majelis Kehormatan Notaris tidak boleh sembarang menolak, jika kriteria Pasal 32 dan Pasal 33 Permenkumham No. 17 Tahun 2021 telah terpenuhi.”—frasa “sebaiknya” ataupun “idealnya”, merupakan norma sosial, bukan norma hukum. Norma hukum, bersifat imperatif bukan fakultatif, sehingga bercirikan “ought to” atau “should to”, kewajiban atau mewajibkan ataupun mengharuskan, bukan sekadar imbauan untuk “sebaiknya” yang tidak pernah dapat kita andalkan untuk secara jangka panjang karena amat bergantung pada itikad baik pihak-pihak yang menjabat sebagai anggota Majelis Kehormatan Notaris.

Masih menurut sang Notaris dalam opini tertulisnya, “Jika Majelis Kehormatan Notaris tetap menolak memberikan persetujuan dengan tidak berdasar pada Pasal 32 dan Pasal 33 Permenkumham No.17 Tahun 2021, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat menempuh prosedur hukum yang diatur dalam Pasal 43 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu memohon persetujuan kepada ketua pengadilan negeri setempat.”—dari Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, kembali lagi memantul kepada KUHAP.

Masalahnya, Undang-Undang Jabatan Notaris mengkategorikan hakim sebagai aparatur penegak hukum, dimana hakim termasuk Ketua Pengadilan Negeri yang notabene juga merupakan seorang hakim karier, tunduk sebagai subjek hukum yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait “hak veto” oleh Majelis Kehormatan Notaris. Bukankah semua ini menyerupai blunder ataupun akrobatik permainan kata-kata legal formil terminologi hukum yang diputar-balikkan sehingga menimbulkan ambigu yang tidak perlu ada serta tidak perlu diciptakan?

Apapun itu dalil dan argumentasinya, pihak-pihak yang menjadi pejabat Majelis Kehormatan Etik profesi lainnya, seperti pengacara, jurnalis, akutan, appraiser, dapat secara serta-merta menerapkan analogi yang serupa, yakni seolah-olah memiliki “hak veto” untuk “menjegal” langkah hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum ketika memperoses hukum para anggotanya, secara politis tentunya. Sebagai pertanyaan penutup pamuncak kita : Notaris, kawan ataukah lawan?

Memang, yang kontraproduktif ialah Undang-Undang tentang Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan yang “overlimit” sifatnya bagi Majelis Kehormatan Notaris. Namun, Kementerian Hukum cukuplah tidak memperkeruh keadaan dengan tidak perlu menerbitkan Peraturan Menteri Hukum terkait hal tersebut, mengingat pula pihak yang mengusung draf Undang-Undang dimaksud tentang Jabatan Notari dan Majelis Kehormatan Notaris ialah Kementerian Hukum itu sendiri, sehingga tentu saja terdapat pesan-pesan sponsor yang disusupkan (akibat konflik kepentingan), salah satunya ialah imunitas kalangan profesi Notaris lewat pintu masuk atau alibi berupa Majelis Kehormatan Notaris yang lebih berkuasa daripada aparatur penegak hukum sekalipun hanya berwenang menegakkan Kode Etik anggota profesi Notaris.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.