ARTIKEL
HUKUM
Tidak ada Sarjana Hukum yang Abadi, terutama ketika Peraturan Hukum Senantiasa Terus Berubah dan Diganti dengan yang Norma yang Baru
Sebesar apapun prestasi, jam terbang, serta rekam jejak seorang profesi dibidang hukum, setenar apapun nama beliau dimasa lampau, se-senior apapun sarjana hukum yang bersangkutan, ketika peraturan perundang-undangan berubah atau setidaknya diganti dengan yang baru, maka ketika sang sarjana hukum senior tidak melakukan update informasi dan peraturan perundang-undangan yang paling terkini, maka dirinya akan kalah benar dan kalah tepat bila dibanding bahkan dengan umat awam hukum yang terlebih dahulu mencermati dan mendalami peraturan perundang-undangan paling terbaru dan paling kontemporer yang senantiasa silih berganti dicabut dan diterbitkan yang lebih baru—bila tidak diubah maka diganti ataupun dicabut dengan peraturan hukum yang terbaru dan paling baru.
Perubahan tren fashion,
mengenal “musim”, dimana tendensi serta kecenderungannya dapat diprediksi serta
diramalkan sebagai “pasti terjadi”, mengikuti minat publik (selera pasar).
Sementara itu, bandul perubahan dan pergerakan norma hukum, tanpa dapat
diperkirakan kapan terjadinya serta tiada yang dapat memastikan—dapat “jinak”
dan dapat pula menjelma demikian “liar”-nya, dapat cepat terjadi ataupun cukup
lama kita harus menunggunya sampai terjadi. Kemana arahnya, tiada yang tahu.
Tarik-menarik kepentingan para elit politik, disinyalir kerap mewarnai haluan
norma hukum yang akan dibentuk dimasa mendatang, suka maupun tidak kita sukai,
terlepas dari apapun aspirasi rakyat dan publik pada umumnya.
Adapun yang menjadi perbedaan
antara hukum dan fashion produk-produk busana, tren fashion musim terbaru tidak
mematikan sepenuhnya jenis-jenis fashion klasik, semata karena segmen pasar
yang berbeda dan terdiferensiasi. Namun yang pasti, kalangan sarjana hukum
manapun itu yang tidak merelakan dirinya bersedia untuk sepanjang hayat mengikuti
perkembangan arus norma hukum terbaru, dipastikan akan tertinggal oleh zaman
maupun tuntutan pekerjaan, dan tersisihkan sepenuhnya dari kompetisi dibidang
hukum yang telah demikian ketat dan “over
supply” akibat perspektif menyesatkan yang digaungkan oleh berbagai
universitas maupun perguruan tinggi ilmu hukum yang menjadikan bidang jasa
perkuliahan sebagai ladang bisnis (industri pendidikan sebagai kedok untuk
meraup keuntungan) paling menguntungkan serta paling “empuk-menggiurkan” dengan
menghimpun mahasiswa baru sebanyak-banyaknya lewat mengumbar pencitraan betapa
glamour hidup para pengacara ternama sehingga banyak memancing minat anak-anak
muda untuk menjadi seorang sarjana hukum dan mengalami hidup glamour serupa
dengan sang pengacara “beken”.
Bila kalangan kedokteran (para sarjana
kedokteran), seumur hidupnya bergelut dan berjibaku dengan aspek tubuh manusia
yang mana notabene sejak dari zaman prasejarah dan zaman batu sekalipun,
anatomi tubuh manusia relatif ajeg, rigid, dan itu-itu saja. Maka akan tampak
demikian kontras ketika kita sandingkan dengan kalangan profesi hukum, dimana
bilamana seseorang lulusan fakultas hukum tidak secara proaktif dan
berkesinambungan melakukan update
regulasi peraturan perundang-undangan yang terbaru, atau profesi hukum yang
hanya sekadar mengurus administrasi dan perizinan usaha, maka dirinya akan
mengalami “legal gap” (kesenjangan
pengetahuan ilmu hukum) yang membuat yang bersangkutan tergagab-gagab ketika
dihadapkan pada isu hukum paling aktual dan paling relevan dengan kekinian.
Seorang sarjana hukum yang sudah
tidak lagi bersentuhan dengan peraturan perundang-undangan paling aktual maupun
perkembangan , setidaknya selama lima tahun terakhir, maka dirinya sejatinya
secara inheren sudah tidak layak lagi menyandang gelar maupun mengaku-ngaku sebagai
seorang sarjana dibidang ilmu hukum. Bandul haluan hukum yang menjadi ideologi
seorang Kepala Pemerintahan (dalam hal ini presiden yang sedang menjabat, incumbent), terus berubah seiring silih
bergantinya pejabat presiden yang terpilih dalam pemilihan umum. Sama halnya,
sebagaimana anekdot “ganti kepala kantor (maka akan) ganti kebijakan”, sudah
sangat lazim dan tidak aneh lagi.
Tidak jarang kita dapat menjumpai
sejumlah peraturan presiden, peraturan pemerintah, hingga Undang-Undang,
peraturan menteri, peraturan daerah, dan berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya, yang berumur kurang dari lima tahun sudah diubah atau diganti. Yang
kerap terjadi tambal-sulam regulasi (momok), ialah Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, dimana SEMA
tahun tertentu diubah norma hukum substansinya oleh SEMA yang terbit satu atau
dua tahun berikutnya, sehingga menyerupai kebijakan “gali lubang tutup
lubang”—terkesan tidak matang dalam proses perumusan dan penyusunan norma-norma
hukum yang sekalipun mengikat umum (publik luas sebagai subjek hukum yang
diatur di dalamnya). Praktis, umur SEMA kerap kali hanya “seumur jagung” serta
menjadikan nasib masyarakat luas sebagai ajang spekulasi “try and error” dimana pastinya akan ada warga yang jatuh korban
sebagai harga yang harus dibayarkan dari regulasi “eksperimental” demikian—seolah-olah
rakyat merupakan kelinci percobaan kebijakan bongkar-pasang aturan hukum.
Karenanya, potensi resiko usaha
paling riskan, ialah profesi dibidang hukum, semata karena perputaran “life cycle” peraturan perundang-undangan
demikian dinamis, terus berubah, bertumbuh, dicabut, berganti secara silih-berganti,
dan terus mengalami evolusi hingga revolusi, dimana penguasaan berbagai peraturan
perundang-undangan tanpa melakukan pembaharuan informasi (update) secara rutin dan berkesinambungan, akan menjelma frustasi
yang kontraproduktif ketika mencoba untuk memungkirinya ataupun mencoba
“menutup mata” dari realita betapa pendeknya umur berbagai peraturan
perundang-undangan yang mana bisa jadi pada hari ini atau pada detik ini pula keberlakuan
suatu peraturan telah menjelma “basi” sehingga tidak lagi relevan untuk
diimplementasikan dalam praktik.
Bila banyak pendapat umum yang
menyebutkan, bahwa syarat untuk menjadi sarjana hukum ialah kuat dari segi
hafalan (daya ingat), maka itu keliru sepenuhnya. Tiada artinya, mengingat
seluruh peraturan perundang-undangan, namun tidak memahami maknanya, serta
tidak mampu mengaplikasikannya secara praktis sesuai kebutuhan praktik real di
tengah-tengah masyarakat, disamping tidak melakukan “update” regulasi, maka sang sarjana hukum dapat disinonimkan dengan
“sarjana hukum BASI” yang mana pengetahuan hukumnya telah tidak lagi relevan,
ketinggalan zaman, serta kadaluarsa sehingga dapat menyesatkan masyarakat yang
menjadi pengguna jasa sang sarjana hukum.
Terdapat selentingan pendapat
yang menyebutkan, pihak-pihak yang menolak pembentukan Undang-Undang baru untuk
menggantikan Undang-Undang “uzur” warisan Kolonial Belanda yang masih digunakan
oleh Republik Indonesia hingga saat ulasan ini disusun, antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Lelang, Hukum Acara Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ialah akibat desakan
politis serta kepentingan para sarjana hukum yang telah berusia lanjut yang
merasa “malas” untuk mengulang dari awal serta dari “NOL besar” mempelajari
norma-norma hukum bentukan terbaru oleh Undang-Undang terbaru.
Penulis banyak memiliki buku
berisi kumpulan Undang-Undang, yang mana banyak diantaranya yang dahulu memang
masih dapat digunakan dalam praktik karena masih relevan, namun hingga saat
sekarang kini sebagian besar diantaranya sudah layak dicampakkan sebagai
penghuni gerobak pengepul barang bekas loakan yang tidak berharga, untuk menjadi
kertas daur-ulang karena sudah tidak lagi aktual karena diubah ataupun diganti
oleh peraturan perundang-undangan paling terbaru yang diterbitkan oleh
pemerintah. “Aktual”, itulah kata kunci eksistensi profesi dibidang hukum.
Konsekuensi dibalik perubahan
peraturan perundang-undangan, setiap sarjana hukum maupun profesi hukum harus
menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk mengulang kembali dari “NOL besar”
dengan membacanya setara dengan seseorang yang baru mulai belajar ilmu hukum di
bangku perkuliahan, alias kembali mengulang bangku perkuliahan secara otodidak dan
secara informal. Itulah sebabnya, berhasil memperoleh serta menyandang gelar
sebagai seorang sarjana hukum, bukanlah akhir cerita dan bukanlah akhir dari
segalanya, justru menjadi awal dari segalanya.
Perlu dipahami oleh setiap
insan calon mahasiswa ataupun para pembelajar dibidang hukum, mempelajari
peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada, ialah pembelajaran
sepanjang hayat. Perlu ada kesiap-sediaan serta komitmen, disamping kerelaan,
untuk melepas berbagai peraturan perundang-undangan yang sebelumnya telah
pernah kita pelajari dan tekuni hingga kuasai sangat telaten serta mendalam,
namun mendapati fakta harus kembali mempelajari dan melakukan riset berbagai
peraturan perundang-undangan terbaru yang merubah ataupun mengganti peraturan
perundang-undangan sebelumnya yang diubah ataupun diganti.
Itulah juga yang
melatar-belakangi kecenderungan sosiologis tarif jasa (fee) dibidang hukum, terkesan demikian tinggi pembebanannya kepada setiap
klien pengguna jasa. Merupakan sebentuk pelecehan terhadap profesi dan keringat
sendiri, bilamana seorang penyedia jasa dibidang hukum menjual murah atau
bahkan mengobral tarif jasa dan pengetahuan ataupun keterampilan hukumnya.
Tidak terkecuali terkait jam kerja, dari pengalaman dan pengamatan penulis, jam
kerja pekerja dibidang industri jasa hukum tergolong paling fantastis : dari
pagi ketemu pagi kembali, sehingga praktis sang pekerja hukum hanya pulang dari
kantor, untuk tidur di rumah, dan kembali bekerja di kantor, dimana tiada hari
tanpa beban kerja lembur.
Menjadi mulai dapat kita pahami
dan maklumi, tingkat stres pekerja hukum, tergolong sebagai yang tertinggi di
belahan dunia manapun. Banyak diantara para pekerja hukum tersebut bahkan mulai
mengalami gejala fisik akibat keletihan dan kurangnya istirahat akibat beban kerja
berlebihan (psikosomatik), sekalipun sebagian diantara mereka mendapatkan
insentif upah yang diatas rata-rata. Mereka, disaat bersamaan, harus membayar
mahal dengan kesehatan, tingkat kebahagiaan, serta waktu dan umur hidup mereka—semata
bukan karena mereka sukai, namun tuntutan pekerjaan profesi hukum yang memang
selalu “over kapasitas” pribadi pekerja hukum manapun dimana adalah mustahil
kita memiliki waktu yang cukup untuk membaca seluruh peraturan
perundang-undangan yang saat kini sudah menjelma menyerupai “rimba hukum”.
Contoh sederhana berikut, dapat
menjadi ilustrasi sederhana yang dapat memudahkan pemahaman. Ketika penulis
masih berupa seorang mahasiswa hukum, belasan tahun lampau pada salah satu
universitas swasta cukup ternama di Kota Jakarta, tidak jarang penulis beradu
argumentasi terhadap seorang dosen pengajar, yang masih memakai dasar hukum
berupa peraturan perundang-undangan yang baru-baru ini dan baru-baru saja
diubah ataupun diganti dengan peraturan perundang-undangan yang lebih baru.
Pilihan satu-satunya bagi sang
dosen pengajar ketika penulis sampaikan di forum perkuliahan, ialah dengan
kerendahan hati mengakui kekeliruannya masih membahas regulasi yang telah “basi”
serta atas abainya dirinya menguasai “hukum positif” (aturan hukum yang berlaku
kekinian) yang telah menggantikan regulasi yang ada sebelumnya, semata karena
seluruh mahasiswa lainnya turut menyimak dan menyaksikan serta mampu menilainya
sendiri sebagai juri sekaligus hakim dalam benak mereka. Itulah bukti konkret,
bahkan seorang mahasiswa yang masih sangat “hijau” dibidang hukum telah
ternyata mampu mengalahkan dan menyisihkan seorang sarjana hukum yang telah
demikian senior mengajar hukum selama puluhan tahun lamanya.
Beda nasib pegawai kantor hukum
dan nasib karyawan hukum pada suatu perusahaan (legal staff / legal officer).
Bila para pekerja hukum pada berbagai kantor hukum yang cukup ternama, makmur
dari segi ekonomi dan finansial, maka pada perusahaan yang bergerak dibisang
jasa dan barang nonhukum, sebesar dan sebanyak apapun jumlah pegawainya, kerap
kali rata-rata hanya terdapat satu orang “staf hukum”—dimana semua masalah
serta aspek legal perusahaan, mulai dari urusan hubungan industrial, perizinan,
peraturan terkait bidang usaha yang dijalankan perusahaan, masalah
gugat-menggugat, menyusun dan mengevaluasi draf suatu perjanjian, dan lain
sebagainya. dibebankan serta bertumpu semata kepada sang pegawai “staf hukum”
seorang diri, yang mana juga ironisnya benar-benar “overload” disamping kerapkali tingkat upahnya hanya melampaui
sedikit diatas rata-rata upah seorang “office boy” namun dengan resiko serta
bobot kerja yang berkali-kali lipat dari pegawai biasa pada umumnya.
Itulah juga sebabnya, kasta
paling rendah dari segala profesi hukum, mengingat kerap dilecehkan karena
tidak dihargai fungsi dan peran jabatannya—meski tanggung jawab yang dipikul
olehnya tidaklah sepele adanya—oleh pelaku usaha maupun oleh sesama rekan
pekerja kantoran, ialah seorang “legal staff”. Sekalipun tingkat ketersediaan
lowongan pekerjaan bagi pekerja “staf hukum” ini tergolong langka, karena dalam
satu perusahaan yang terdiri dari ribuan hingga puluhan ribu karyawan,
kerapkali hanya mempekerjakan seorang “staf hukum”, tetap saja itu pun
diposisikan, dipersepsikan, serta diperlakukan tidak lebih tinggi dari seorang
“office boy”, baik dari segi upah,
martabat, harkat, maupun peran utamanya. Bukankah itu sebentuk ironi, yang mana
selama ini kerap terjadi dalam praktik dunia lapangan usaha?
Tetap saja, meski tingkat
keberhasilan lulusan fakultas hukum untuk berkecimpung serta meniti karir
dibidang jasa hukum, ialah setipis lubang jarum untuk memasukkan benang, tetap
saja jutaan masyarakat terutama anak muda kita, berbondong-bondong memasuki
fakultas hukum sebagai mahasiswa, menambah banyak deretan tingkat angkatan
kerja hukum yang tidak terpenuhi kebutuhan bursa kerja dan lapangan pekerjaan
dibidang hukum, mengakibatkan daya tawar para lulusan sarjana hukum muda
tersebut berada di titik terendah yang kemudian dimanfaatkan dengan betul oleh
pelaku usaha untuk menekan standar upah bagi seorang “legal staff” untuk dieksploitasi, dimana akibat “over supply”—yang tidak seimbang
(timpang) antara “supply” dan “demand”—yang tidak mampu ditampung oleh
“demand”, jadilah para sarjana hukum
dewasa ini membanting harga diri dan harga profesinya ke titik paling terendah
(“jual rugi”), dimana bahkan standar upah bagi “legal staff” disejajarkan sedikit diatas tingkat upah seorang “office boy”, namun dengan bobot tugas
dan tanggung jawab yang berada jauh diatas rata-rata tingkat stres dan beban
pekerjaan pegawai kantoran pada umumnya. Tetap saja, penyandang profesi “staf
hukum” tidaklah pernah benar-benar dipandang sebagai sebagai profesi yang
penting dan berat untuk dijalankan, karenanya menjadi tidak mengherankan bila
mereka kerap dilecehkan dan tidak dihargai terlebih dipahami dan dihormati
ruang lingkup serta peran penting profesinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.