Petugas Pajak, mengapa Dijuluki Malaikat Pencabut Nyawa? Ini Alasannya

LEGAL OPINION

Sinterklas akan Ditolak bila Melamar Kerja sebagai Petugas Penarik Pajak di Kantor Pajak

Kantor Pajak yang Menagih Sepihak kepada Wajib Pajak, bagaikan Iseng-Iseng Berhadiah

Question: Jika sudah ada petugas yang melayani masyarakat untuk konsultasi terkait kewajiban pembayaran pajaknya, buat apa ada konsultan pajak?

Brief Answer: Karena ada “konflik kepentingan” (conflict of interest) bila sang petugas pejak mengatakan “tidak perlu bayar pajak untuk hal ini atau itu”, sehingga yang akan selalu kita jumpai ialah jawaban secara sumir bagai kaset rusak, “wajib dibayar pajak untuk ini dan itu”. Dalam skala tertentu, adalah “salah alamat” bila hendak menanyakan besaran kewajiban pajak seorang wajib pajak kepada petugas pajak di Kantor Pajak. Kementerian Keuangan selaku otoritas pemerintah merupakan pihak yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, dan Direktorat Jenderal Pajak (yang mengepalai berbagai Kantor Pajak) yang menjadi instansi vertikal dibawah Kementerian Keuangan sebagai implementator dan eksekutornya.

Namun, bukan berarti Kantor Pajak selaku garda terdepan (front liner) dalam perpajakan dianggap selalu dan paling benar terkait akuntabilitas dan transparansi beban pajak yang harus dibayarkan ketika berhadapan dengan warga maupun pelaku usaha selaku para wajib pajak. Sama seperti kerapnya Kantor Pertanahan digugat dan dikalahkan di pengadilan oleh warga, sekalipun kantor Pertanahan bernaung dibawah atap Badan Pertanahan Nasional selaku pembentuk regulasi dibidang pertanahan dan agraria.

Terdapat “moral hazard” dibalik praktik berbagai lembaga pemerintahan, yang seolah berhak berspekulasi melakukan tuntutan, tudingan, maupun tuduhan, namun tanpa resiko apapun ketika gagal dibuktikan di persidangan. Sebagai contoh, Jaksa Penuntut Umum mendakwa seseorang warga sebagai pelaku kejahatan, namun oleh Majelis Hakim dinyatakan tidak terbukti, karenanya Terdakwa dibebaskan. Pertanyaannya, apakah sanksi bagi pihak Penyidik Kepolisian maupun Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan yang menuduh secara sembarang warga sebagai pelaku kejahatan, namun ternyata terbukti tidak benar adanya? Itulah yang disebut usaha tanpa resiko, dimana warga sipil dalam berusaha selalu penuh resiko.

Sama halnya, Kantor Pajak secara sumir kerap mengklaim sebagai wajib membayar pajak, apapun isu hukumnya secara sumir dijawab “wajib bayar” oleh para akun representatif di Kantor Perpajakan, sekalipun secara ketentuan perpajakan yang berlaku, senyatanya tidak diwajibkan. Begitupula terhadap setiap ketentuan perpajakan yang masih bersifat multitafsir atau kurangnya kejelasan substansi norma hukum perpajakan yang mengatur, akan secara sumir Kantor Pajak menyatakan sebagai “wajib bayar pajak” sebagai versi penafsiran mereka, dan itu menyudutkan warga maupun pelaku usaha selaku wajib pajak, bilamana benar kurang bayar maka akan dikenakan denda, dan bila membayarkan pajak yang tidak perlu dibayarkan maka akan tampak menyerupai “dijerumuskan” dan “dieksploitasi”.

Pertanyaannya sama klise dengan pertanyaan sebelumnya, jika sang wajib pajak terpaksa melakukan upaya hukum berbiaya finansial dan biaya moral yang tidak sedikit, dan klaim atau tagihan Kantor Pajak terbukti tidak rasional untuk membebani pajak yang tidak semestinya dipungut atau diwajibkan untuk dibayar oleh sang wajib pajak, lantas apa yang menjadi dis-insentif atau “punishment” bagi Kantor Pajak bersangkutan? Bagaikan dilematika, petugas pajak yang ternyata kurang melakukan penagihan sejumlah nilai nominal pajak, bisa terkena audit dan jeratan hukum dianggap telah merugikan “keuangan negara” yang bersumber dari punguntan pajak dari masyarakat dan pelaku usaha. Dalam perspektif tertentu, Kantor Pajak yang memungut sebanyak-banyaknya dipandang sebagai “pahlawan”, sekalipun akan menyerupai “Robinhood”.

PEMBAHASAN:

Atas dasar itulah, petugas pemungut pajak dari Kantor Pajak kerap diidentikkan dengan “malaikat pencabut nyawa”, semata karena memang dapat membuat klaim tagihan sepihak, tanpa adanya sanksi apapun bila semua tagihan demikian bisa jadi semata bersumber dari spekulasi—yakni berspekulasi siapa tahu sang wajib pajak tidak mengerti hukum perpajakan, pasrah saja, pasif saja, dan tidak melakukan gugat-menggugat, atau juga mungkin hendak bermurah hati dengan membayar pajak sesuai Surat Ketetangan Kurang Bayar Pajak yang diterbitkan oleh Kantor Pajak.

Perkara gugat-menggugat oleh wajib pajak melawan tagihan secara sewenang-wenang oleh Kantor Pajak yang mengklaim tagihan kekurangan bayar pajak secara sepihak, salah satunya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa pajak register Nomor 1611/B/PK/PJK/2017 tanggal 12 Oktober 2017, perkara antara:

- DIREKTUR JENDERAL PAJAK, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Terbanding; melawan

- PT. MENTAYA SAWIT MAS, selaku Termohon Peninjauan Kembali, semula selaku Pemohon Banding.

Bermula dari terbitnya Surat Keputusan Terbanding tertanggal 04 Desember 2013, yang menolak permohonan Keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa. Karenanya wajib pajak mengajukan Banding kepada Pengadilan Pajak. Koreksi yang dilakukan oleh Terbanding adalah koreksi positif PPN Masukan yang merupakan perolehan atas BKP/JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding sejumlah Rp52.494.980,00.

Faktur Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Terbanding merupakan Faktur Pajak Masukan atas perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) berupa pembangunan tempat tinggal / perumahan yang diperuntukkan bagi pegawai dan keluarganya di lokasi usaha (perkebunan) milik wajib pajak. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tertanggal 12 Oktober 2011 tentang Persetujuan Penetapan Daerah Tertentu, maka lokasi usaha wajib pajak telah ditetapkan sebagai Daerah Tertentu yang diberikan fasilitas perlakukan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dengan adanya penetapan tersebut, maka biaya pembangunan sarana dan fasilitas di lokasi kerja, termasuk biaya pembangunan tempat tinggal / perumahan bagi pegawai dan keluarganya merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak. Karena itu, Faktur Pajak Masukan atas biaya pembangunan tempat tinggal / perumahan tersebut merupakan perolehan Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha wajib pajak, karena biaya-biaya tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Yang kemudian menjadi pertimbangan hukum serta amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-66047/PP/M.VIIIB/16/2015, tanggal 25 November 2015, sebagai berikut:

“Bahwa sengketa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yaitu terkait atas Faktur Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding yaitu Pajak Masukan (Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN) Rp52.494.980,00 dengan perincian: ...;

“Bahwa berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, secara lengkap berbunyi:

Pasal 2

Pembelian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah:

a. Pembelian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan;

b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut;

c. Pembelian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.

Pasal 4 ayat (1)

Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk:

a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;

b. pelayanan kesehatan;

c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;

d. peribadatan;

e. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;

f. olahraga bagi Pegawai dan keluarga, tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.

Pasal 4 ayat (2)

Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak.

Pasal 4 ayat (3)

Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang- Undang Pajak Penghasilan.

“Bahwa dalam persidangan Pemohon Banding telah menunjukkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor ... tanggal 12 Oktober 2011 tentang Persetujuan Penetapan Daerah Tertentu yang mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2011 dan berlaku selama 5 (lima) tahun;

“Bahwa berdasar uraian tersebut di atas, Majelis telah meneliti dan menelaah atas Faktur Pajak yang disengketakan dan atas hal tersebut Majelis berpendapat Faktur Pajak tersebut berkaitan dengan penggantian atau imbalan dalam bentuk pengeluaran atas pekerjaan pembangunan perumahan karyawan di daerah terpencil;

“Bahwa Majelis berpendapat penggantian atau imbalan dalam bentuk pengeluaran atas pekerjaan pembangunan perumahan karyawan, pembangunan perumahan karyawan dan pengeluaran yang terkait dengan pembangunan perumahan bagi karyawan yang dilakukan oleh Pemohon Banding di daerah terpencil, dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding karena pengeluaran tersebut mempunyai keterkaitan sebagai sarana pendukung kegiatan usaha di daerah terpencil berupa pembangunan sarana dan fasilitas di lokasi kerja sehingga masih berhubungan dengan kegiatan menagih, mendapatkan dan memelihara penghasilan, sehingga koreksi Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar 52.494.980,00 tidak dapat dipertahankan.

MENGADILI

- Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor ... tanggal ... sehingga jumlah pajak yang lebih dibayar / seharusnya tidak terutang menjadi sebagai berikut: ...”

Sementara itu pihak otoritas perpajakan mendalilkan bantahan berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, Pasal 9 ayat (8) huruf b : Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk: perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b : Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 9 ayat (1) huruf e : Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pihak otoritas perpajakan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor ... , tanggal 04 Desember 2013, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Masa Pajak Desember 2011, Nomor ... tanggal ... , atas nama Pemohon Banding, NPWP ... , sehingga pajak yang lebih dibayar menjadi Rp1.059.895.341,00 adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:

a. Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp52.494.980,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, ... karena dalam perkara a quo berupa penggantian atau imbalan dalam bentuk pengeluaran atas pekerjaan pembangunan perumahan karyawan dan pengeluaran terkait dengan pembangunan perumahan bagi karyawan yang dilakukan oleh Pemohon Banding sekarang Daerah Terpencil maka Pajak Masukannya dapat dikreditkan karena pengeluaran tersebut memiliki hubungan langsung dengan 3M (Mendapatkan, Menagih dan Memelihara) penghasilan, substansi yang telah telah diperiksa, diputus dan diadili oleh Majelis Pengadilan Pajak dengan benar, sehingga Majelis Hakim Agung mengambil-alih pertimbangan hukum dan menguatkan putusan Pengadilan Pajak a quo, dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.