ARTIKEL
HUKUM
Jangan Bersikap Seolah-olah Orang Lain bisa Membaca
Pikiran Kita
Janganlah Menjebak dengan Membuat Aturan Main Seenaknya secara Sepihak, terlebih Menyalahgunakan Kekuasaan
Terdapat satu asas mendasar paling penting dalam ilmu hukum yang menjadi sentral dari pilar penopang norma hukum, terutama pada hukum pidana, perihal “asas legalitas” yang secara sederhana bermakna bahwa segala norma imperatif (yang bersifat mengharuskan maupun larangan) bagi warga, wajib terlebih dahulu diterbitkan dalam bentuk publikasi serta sosialisasi secara layak, patut, dan secara memadai, sebelum secara efektif diberlakukan kepada publik yang menjadi subjek pengembannya. Dengan begitu, seseorang warga tidak dapat dikriminalisasi (dipersalahkan) semata karena kesewenangan-wenangan seorang penguasa yang kerap membuat aturan hukumnya sendiri secara seketika saat itu juga ketika hukuman dijatuhkan bagi warga yang dituding melanggar, sebagaimana cara zaman kerajaan dahulu kala dimana “mulut raja adalah hukum itu sendiri”.
Sejatinya, asas legalitas tidak
hanya dapat kita jumpai secara monopolistik pada hukum pidana. Dalam hukum
perdata, juga dikenal peraturan perundang-undangan terkait norma-norma keperdataan,
semacam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang lain terkait dagang
dan niaga, kekeluargaan, harta kebendaan, kepailitan, anti monopoli usaha, dan
lain sebagainya. Begitupula rezim hukum perizinan, dibolehkan ataupun tidak diizinkannya,
wajib terlebih dahulu diatur ketentuan perihal syarat dan prosedur perizinan
sebelum efektif diberlakukan secara umum.
Begitupula ketika sebuah badan
hukum semacam Perseroan Terbatas, Yayasan, maupun Koperasi didirikan oleh para
pendirinya, aturan main operasional organisasi mereka (relasi dan hak serta
kewajiban masing-masing antar pendiri) perlu dituangkan terlebih dahulu dalam
suatu Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga yang menjadi “autonomic legislation” (norma otonom)
masing-masing badan hukum—dan itulah tepatnya, yang menjadi aturan main yang
mengikat para pihak yang berkepentingan di dalamnya.
Dengan demikian, kini dapat
kita maklumi serta pahami, bahkan sekaliber “norma otonom” sekalipun, sifatnya
haruslah terlebih dahulu dibentuk “aturan mainnya” secara transparan serta
akuntabel, disosialisasikan (asas publikasi yang menjadi syarat mutlak asas
legalitas) kepada para stakeholders,
sebelum kemudian diberlakukan secara efektif (mengikat dan memiliki daya ikat
yang dapat dipaksakan). Itulah sebabnya, peraturan perundang-undangan
ditempatkan dalam Lembaran Negara saat diterbitkan dan dipublikasikan kepada
publik, sebelum efektif diterapkan—asas fairness.
Karenanya, norma hukum menyerupai semangat “sportifitas” dalam suatu aturan
main masing-masing ajang kompetisi cabang olahraga.
Tidak terkecuali perikatan “peer to peer”, semacam kontrak bisnis
antar pengusaha, perjanjian pranikah antar para pasangan mempelai, syarat dan
ketentuan layanan (term and conditions)
para penyedia barang dan jasa, dan lain sebagainya, sifatnya perlu disepakati
terlebih dahulu apa saja yang menjadi “aturan main” bagi para pihak, sekaligus
menjadi rambu-rambu serta koridor batas-batas keleluasaan maupun kewajiban yang
berlaku, dimana masing-masing pihak memegang rangkap rincian “aturan main” yang
mengikat para pihak semacam kontrak ataupun surat perjanjian. Sifatnya wajib
dipublikasikan di muka secara meluas dan secara patut dan memadai, secara
eksplisit, bukan secara implisit, sebelum efektif diberlakukan ketentuannya—itulah
corak paling menonjol, dari norma hukum bentukan negara maupun norma otonom
bentukan komunitas sipil.
Aturan main, wajib dibuat dan
ditetapkan terlebih dahulu, agar terjadi fairness
dan kelancaran arus masyarakat secara harmoni. Seperti para pemain catur di
atas papan catur yang saling berhadapan, perlu dibuat terlebih dahulu aturan di
muka dan diketahui oleh masing-masing partisipan, seperti batas limitasi waktu
bagi masing-masing peserta yang berkompetisi, dan lain sebagainya. Begitupula
pertandingan bela diri, perlu ditatapkan aturan main seperti memakai aturan
main boxing, muaythai, free style, dan lain sebagainya.
Di Amerika Serikat, arus
lalu-lintas berjalan di sebelah kanan, sementara itu di Indonesia terdapat
kewajiban bagi pengendara untuk hanya diperkenankan melajukan kendaraannya di
sebelah kiri. Namun, bukanlah itu yang terpenting. Yang terpenting ialah adanya
konsensus publik yang kemudian dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan
negara setempat, sebelum kemudian disosialisasikan, bahwa melajukan kendaraan
adalah di ruas jalan sebelah kiri ataukah ruas jalan sebelah kanan. Karenanya,
“moralitas hukum” bukan bertopang pada isu apakah berjalan di ruas jalan
sebelah kiri ataukah sebelah kanan yang merupakan lebih benar dan lebih tepat,
semata adalah norma terkait prosedural, namun adanya konsensus publik disamping
publikasi sebelum diberlakukan yang menjadi urat nadi dari “moralitas hukum”
ini.
Mungkin untuk lebih memudahkan
pemahaman bagi para pembaca, betapa penting dan krusialnya “asas legalitas”
dalam kehidupan sehari-hari yang tidak tersangkut-paut perkara pidana,
ilustrasi sederhana yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dan
adanya unsur kedekatan dengan keseharian kita (proximity), akan lebih menjelaskan secara konkret dan aktual,
betapa “asas legalitas” by nature
merupakan “hak asasi publik”. Ulasan ini disusun saat penulis baru mengikuti
program pemerintah vaksin Corona Virus di Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas), dimana kisah berikut ini secara representatif mampu memperlihatkan
titik tekan peran vital “asas legalitas” sebagai rambu-rambu agar penguasa
tidak cenderung sewenang-wenang terhadap warga sipil.
Ketika penulis baru tiba di
Puskemas setempat kediaman penulis, di halaman balik gerbang halaman depan
gedung Puskesmas, terdapat seorang petugas berseragam Satpam sedang berbincang
dengan pengunjung lain, dan tidak menghiraukan kedatangan penulis, membuat
penulis mengira bahwa memang tidak ada kewajiban semacam “tamu wajib lapor
terlebih dahulu pada Satpam”. Setelah menunggu sekitar sekian menit tanpa
adanya hirau dari sang petugas Satpam yang seolah sama sekali tidak menaruh
perduli pada kehadiran penulis di dekatnya, penulis beranjak masuk ke gedung
Puskesmas. Namun alangkah terkejutnya penulis, sang petugas Satpam secara
arogan meneriaki penulis seolah-olah penulis adalah pelanggar ataupun maling
yang diteriaki karena memasuki pekarangan rumah milik orang lain tanpa izin.
Dengan nada bicara serta
tatapan mata yang tidak ramah, secara arogan sang petugas Satpam menegur
penulis agar melapor terlebih dahulu kepada dirinya barulah diizinkan masuk ke
gedung Puskesmas. Ingin sekali penulis berdebat dengan melontarkan argumentasi
berikut (yang penulis urungkan, karena pejabat maupun petugas Aparatur Sipil Negara
kita kerap menyalah-gunakan kekuasaan serta kewanangan monopolistiknya. Itu
baru level Satpam, bagaimana pejabat tingkat tinggi kita?):
“Mengapa
Anda harus meneriaki warga pengunjung, seperti seolah-olah maling yang mengusup
masuk? Memangnya ada, rambu-rambu bertuliskan ‘WAJIB LAPOR KEPADA SATPAM DI
DEPAN PAGAR’? Mana kami tahu, harus lapor kedatangan / kunjungan ke petugas
Satpam terlebih dahulu, dimana dahulu kala tidak ada aturan semacam itu, dan
kamu pikir orang lain bisa baca Anda punya pikiran? Siapa juga yang membuat
peraturan seenaknya demikian? Memangnya Anda itu petugas Satpam ataukah petugas
receptionist? Mendaftar pada lazimnya ialah kepada petugas dibalik meja
resepsionis, bukan kepada petugas berseragam Satpam yang hanya berwenang untuk tugas
keamanan dan pengawasan semata.”
Hal demikian menyerupai
seseorang yang secara serampangan serta secara dadakan (mendadak) membuat
aturan main “wajib lepas alas kaki sebelum masuk”, lantas seketika itu pula
memaki warga pengunjung yang memasuki area tanpa melepaskan alas kaki yang
dikenakan olehnya, dimana para warga pengunjung tidak pernah tahu sebelumnya
ada aturan semacam itu yang barusan saja dibuat secara sepihak terhadap seluruh
warga pengunjung dan hanya diketahui oleh sang pembuat aturan—seolah-olah orang
lain bisa membaca pikiran yang bersangkutan.
Bisa jadi, yang disebut sebagai
pelanggaran (tudingan) demikian ialah suatu hal atau alasan yang (sedari awal
memang) dibuat-buat untuk “menjebak” orang banyak agar jatuh pada lubang yang
sama—dimana tujuan utamanya memang sekadar untuk melecehkan, menyalahkan,
menghakimi, serta mendiskreditkan disamping sebagai alasan pembenar untuk
melakukan persekusi (aksi main hakim sendiri). Setiap gedung pemerintahan, yang
anggaran pendirian dan operasionalnya bersumber dari “uang rakyat” (jangan pernah
menggunakan terminologi “uang negara”, sehingga seolah-olah “bos” para Aparatur
Sipil Negara tersebut adalah Kepala Kantor dan Menteri, namun “uang rakyat”
agar para Pegawai Negeri Sipil menjiwai statusnya sebagai “civil servant”), haruslah humanis, welcome, dan friendly
terhadap rakyat.
Terdapat sebuah Kantor
Kelurahan, sekalipun berdiri persis di tengah-tengah perkampungan padat
penduduk, seperti Kelurahan Rawa Buaya di Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat,
yang pernah mengusir kedatangan penulis saat hendak mengurus eKTP yang sempat
berlarut-larut beberapa tahun lampau, semata karena tidak menggunakan celana
panjang meski penulis mengenakan celana “anak muda gaul” yang panjangnya
sebetis. Pejabat kelurahan mendalilkan, agar warga tampil “sopan” seperti
ketika datang seperti ketika kita ke perkantoran.
Itulah cerminan aksi “putar
balik logika moril”, dimana sejatinya bos mereka adalah rakyat, dimana sumber
gaji mereka ialah “uang rakyat”, mengapa mereka justru mengusir rakyat?
Sekalian saja, buat aturan “norma otonom” semacam warga pengunjung wajib
memakai sepatu serta kemeja ketika datang berkunjung, agar sopan seperti di
perkantoran. Warga yang memakai sandal, wajib diusir atau setidaknya tidak
diberi pelayanan publik (arogansi yang bersumber dari kewenangan monopolistik).
Yang benar saja, lihatlah kanan-kiri serta jalan sekitar Kantor Kelurahan Rawa
Buaya, ini kawasan PERKAMPUNGAN, bukan perkantoran!
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.