Indonesia, Tipe Negara REJEKI SUDAH ADA YANG MENGATUR

SENI PIKIR & TULIS

Negara Kapitalis Berkedok Komun!sme, Ideologi sebagai Kedok

Standar Ganda Negara Komun!s

Negara-negara liberal!sme, seperti disimbolisasi oleh tipe ekonomi pasar global Amerika Serikat, alih-alih menampilkan wajah “tiada intervensi negara” terhadap praktik perdagangan bebas, justru sangat kental akan nuansa proteksionisme sehingga kerap berujung “perang dagang” akibat praktik dumping negara pengekspor yang menjadikan pasar di Amerika Serikat sebagai target konsumennya, serta keberlakuan Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tegas dan ketat di negara liberal!sme tersebut.

Bukankah itu tidak konsisten, terhadap ideologi yang mereka usung sebagai negara “l!beral”? Realitanya, pelanggar lalu-lintas tidak akan dapat sebebas itu melanggar rambu-rambu lalu lintas di negeri tersebut, sehingga sejatinya praktik di Indonesia bisa jadi masih lebih “l!beral” daripada Amerika Serikat, sehingga saat kini para petugas kepolisian (manusia “agamais”) justru mulai digantikan perannya oleh “robot” yang mampu menilang dari jarak jauh kendaraan yang melangggar ketentuan lalu-lintas di jalan raya. Menjadi pertanyaan menarik, negara-negara super tegas seperti Singapura, dimana “menyampah” atau sekadar “meludah sembarangan” pun tidak akan ditolerir dan seketika itu pula dikenakan hukuman denda oleh otoritas di Singapura, apakah artinya kalah “l!beral” daripada negara Indonesia?

Para pengusaha di Tiongkok maupun investor asing, tumbuh subur di Republik Rakyat China (RRC), sehingga para kalangan menengah dan atas baru bertumbuhan setiap tahunnya secara pesat, menikmati akses-akses pasar lokal domestik maupun pasar global yang difasilitasi dengan “membanjirnya” oleh pemerintahan di Tiongkok, mengibatkan RRC identik dengan negara kapitalistik yang berciri-utamakan tingkat produktivitas, industrialisasi, serta peredaran dan pasar yang luas disamping perputaran uang hampir tanpa batas, bahkan menguasai pangsa pasar barang-barang impor yang beredar di luar China.

Kini, mari kita kembali pada paham doktrin mengenai “komun!sme”, yang dicetuskan oleh Karl Marx, dimana digambarkan oleh sang tokoh sebagai benturan antara kepentingan proletar (buruh) berhadap-hadapan terhadap pengusaha dan pemodal kapitalis, dimana menurut Marx bahwasannya buruhlah yang harus memperoleh akses kursi-kursi kekuasaan terpuncak pada suatu negara, demi distribusi dan redistribusi sumber-sumber daya ekonomi suatu negara. Namun, Marx tampaknya tidak menyebutkan bahaya laten dibalik teori yang dicetuskan olehnya, atau setidaknya tidak menyadarinya.

Kini, penulis akan menguraikan dan mengungkap “standar ganda” dibalik wajah doktrin dan ideologi negara-negara yang menyebut dirinya sebagai negara “komun!s”. Pertama, dalam tipe negara satu ini yang dinilai “kolot” serta “orthodoks” sehingga terkungkung dan sukar untuk maju berkembang, rakyat dilarang untuk makmur semakmur-makmurnya, rakyat dilarang untuk menguasai kapitalisasi kekuangan, rakyat dilarang memiliki aset-aset negara, dimana hanya otoritas negara (dalam hal ini pemerintah) semata yang diizinkan memonopoli kapitalisasi kekayaan baik dari segi dana hingga sumber daya alam dan pertanahan, dimana kemudian yang terjadi ialah berhadap-hadapannya antara “Rakyat (miskin dan kaya) Vs. Pemerintahannya”, bukan negara (pemerintah) dari dan oleh serta untuk rakyat seperti halnya tipe negara demokratis.

Buruh, dilarang menjadi kaya, ironisnya merupakan antitesis dari doktrin Marx, antitesis mana justru diciptakan sendiri oleh pencetus teori tersebut, sehingga perjuangan proletar menjadi “omong kosong”, yakni “perjuangan untuk tetap menjadi buruh” dimana buruh dilarang banting setir untuk menjadi pengusaha elit—sekalipun kita ketahui, sebagian diantara para pengusaha bermodal besar saat kini memulai karirnya sebagai seorang buruh dalam arti harfiah. Buruh sekadar untuk menjadi buruh, perjuangan yang pesimistis, buruh dikodratkan dan diizinkan sekadar menjadi buruh untuk seumur hidupnya.

Kedua, negara-negara “komun!s” mengklaim sebagai mendirikan negara “proletar”, namun pemerintahannya sangat gemuk kekayaan dana dan aset ala feodalisme, sehingga menjadi rancu ketika “buruh (yang duduk di bangku kekuasaan)” memiliki segunung harta dan kekayaan, sementara rakyatnya ditaruh pada kelas yang lebih rendah daripada seorang “buruh” sekalipun karena dilarang untuk memiliki aset secara seumur hidup turun-temurun, dan berbagai intervensi yang sangat kental nuansa “top to down” terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan privat-personal maupun ekonomi rakyatnya mulai dari kehidupan keluarga, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Berhubung otoritas negara dalam hal ini pemerintah negara-negara “komun!s”, mencerminkan wajah yang “jauh arang dari api”, alias sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kalangan “proletar” buruh yang miskin, berpakaian kotor, tertindas, lemah, tidak memiliki akses ekonomi dan aset, telah ternyata menampilkan wajah yang otoriter, diktator, kuat, makmur, kaya, berkuasa, dan ditakuti oleh rakyatnya. Sehingga, secara falsafah, bila kita konsisten terhadap doktrin ideologi “komun!sme”, tiada satu pun negara di dunia ini yang benar-benar tergolong negara “komun!s”—yang ada ialah negara-negara kapitalistik berkedok “komun!s”. Contoh paling simboliknya ialah pemerintahan di RRC, jauh dari wajah “proletar”. Partai “Kai Pang”, alias Partai “Pengemis”, itulah yang lebih menyerupai proletar ala komun!sme yang diagung-agungkankan Marx, negara yang dipimpin dan dikuasai para “pengemis” ataupun “buruh yang bodoh”.

Di negara-negara “komun!s”, agama-agama bertumbuh-kembang secara majemuk, jauh dari konotasi “komun!s = anti agama”. Sebaliknya, negara-negara yang mengklaim sebagai “agamais”, seperti di kawasan Timur Tengah, justru menampilkan wajah intoleran terhadap kemajemukan umat beragama, dimana monopoli satu buah agama yang dibolehkan eksis, dimana satu agama yang sama namun berbeda sekter sekalipun dilarang dan diberangus—alias jauh lebih “komun!s” daripada “komun!s”. Itulah juga sebabnya, terhadap kalangan yang menampilkan wajah-wajah intoleransi dan tidak solidaritas antar umat beragama, penulis sebut sebagai “komun!s bersorban” sekalipun dirinya “agamais”.

Rakyat tidak boleh menjadi kaya-raya, namun pemerintah Tiongkok boleh dan harus menjadi adikuasa dan adikaya yang memiliki tanah, sumber daya, ekonomi, dan segalanya. Secara karikatur, dapat kita cermati dari suguhan berita cukup menarik bertajuk “Alasan Pemerintah China Tega Sikat Vicky Zhao”, detikInet, 03 Sep 2021, https:// inet.detik .com/cyberlife/d-5707801/alasan-pemerintah-china-tega-sikat-vicky-zhao, diakses pada tanggal 2 Oktober 2021, melansir berita luar negeri di Tiongkok:

Beijing - Vicky Zhao atau Zhao Wei dan beberapa bintang tenar telah dicekal oleh pemerintah China. Apa kira-kira alasan Negeri Tirai Bambu tega menghancurkan karir para seleb terbesarnya itu?

Eksistensi Vicky Zhao di internet, seperti diberitakan, dihapus seluruhnya di China. Meski seleb China sudah diincar pemerintah sebelumnya, tindakan kali ini lebih keras. Karir Vicky Zhao misalnya, bisa saja terjegal karena tidak ada lagi videonya yang bisa ditayangkan di dunia maya.

Sebelumnya, Cyberspace Administration of China (CAC) mengeluarkan panduan untuk mengatur fanpage para selebriti di jagat online. Semua pihak juga dilarang meranking pesohor berdasarkan popularitasnya.

“Di bawah presiden Xi Jinping, partai Komun!s China menjadi lebih terobsesi terhadap kontrol ideologi dan budaya. Pesona para bintang dan maraknya fandom dianggap sebagai sebuah bahaya, pengaruh buruk terutama bagi generasi muda China,” sebut CNN yang dikutip detikINET.

“Selama beberapa dekade, pertumbuhan ekonomi tinggi adalah pilar kunci legitimasi partai. Di saat ekonomi China melambat, Xi mendorong perlunya kemakmuran umum dan berjanji mendistribusikan kemakmuran, sehingga selebriti berpendapatan tinggi dan taipan teknologi jadi yang pertama menanggung beban,” tambah CNN.

Tingginya gaji pesohor merupakan pertanda jelas kesenjangan ekonomi. Zheng misalnya, dibayar USD 24 juta untuk sebuah serial drama. Tahun silam, pejabat China mengungkap 600 juta warga hanya berpenghasilan USD 140 per bulan.

Dari perspektif ideologi, partai ingin agar para seleb menjadi model untuk membantu mempromosikan nilai-nilai patriotisme dan cinta pemerintah. Namun ada hal lain yang jadi perhatian.

“Partai melihat gaya hidup mewah sebagian selebriti sebagai pertanda kerusakan moral dan menganggap beberapa idola pria terlalu bertingkah seperti perempuan. Hal ekstrem yang dilakukan fans untuk membela idolanya seperti dengan mengejek di dunia maya dan menyebarkan rumor juga jadi perhatian,” sebut CNN.

Hal itu disebut sebagai budaya seleb yang toxic dan tidak sesuai untuk anak muda. Maka itulah razia digalakkan, termasuk pada Vicky Zhao. Walau belum gamblang alasannya, dia sudah beberapa kali bermasalah dengan otoritas seperti tudingan penipuan investasi, pernah memakai kostum dengan bendera jepang, dekat dengan Jack Ma dan alasan lainnya.

Komentar Netizen:

Terserah kalian mau apa juga negara dan rakyat kalian bos, mau kemakmuran merata utk rakyat. Yang rajin, pintar dan kreatif jadi malas yang malas tambah jd pemalas ngapain kerja keras dan usaha toh penghasilan buat diratain.. Tugas pemerintah dialihkan ke Pribadi dan pengusaha. Paham Max yang akut.

Pemerintah Indonesia mampukah bertindak seperti ini terhadap orang-orang kaya? Apa mungkin gak mampu ya...

Seharusnya bisa juga diterapkan di Indonesia. Lihat saja ulah dan gaya hidup selebritis2 tajir, crazy rich2, youtuber2 kaya dadakan dan para konglo2, yang mempertontonkan gaya hidup bermewah2 ditengah2 kehidupan rakyat2 miskin dan kelas bawah yg hidupnya kesulitan krn pandemi, dimana mencari sesuap nasi saja hrs banting tulang sedemikian rupa. Bukannya iri, tp sdh sgt jauh tingkat penghasilan antara si kaya dng si miskin.

Iri bilang boss.

Mantap kali pemerintah cina. tegas dan terukur. coba kalau dulu Indonesia kayak gini, pasti udah hilang itu bocah epep.

indah banget jadi artis dimari yg bebas pamer mewah ...ada kasus langsung follower meningkat ...pokoke suka suka ....negara ga bisa ngapain ke mereka ...bisa ke rakyat bawah terus yg di peres peres ...

JANGAN SAMPAI NEGARA INI MENJADI NEGARA ADI DAYA. BISA-BISA SELURUH MANUSIA DIMUKA BUMI AKAN DIATUR SAMPAI KE HAL-HAL YANG BERSIFAT SANGAT PRIBADI.

Amerika negara adidaya tp menjujung tinggi demokrasi dan hak setiap org, hak bersuara dll.

Banyak juga pendukung komun!s disini yah yg pada muji2 RRC.... Nanti kalau dah digilas tank spt jaman tianamen baru pada nyaho semua... peraturan tuh harus jelas, apa yg dilanggar & apa sanksinya, misalnya kalau penggelapan pajak yah silahkan saja dihukum.... tapi kalau cuma karena alesan pamer hidup mewah atau gaya hidup pribadi itu mah absurb... Ngapain negara terlalu campur tangan kehidupan pribadi warganya? ini dah mirip2 sama taliban... lah uang milik dia pribadi hasil kerja keras (kecuali korupsi yah), yah terserah dia lah mau ngapain aja selama gak melanggar hukum... mau beli mobil /pesawat mewah kek, mginap hotel mewah kek, dll yah kan itu hak asasi dia... emang cuma orang miskin yg punya hak, orang kaya juga punya hak sebagai manusia lah..., dasar komunis lebay...

Niat kontrol ok, tp kasih alasan yang jelas gitu.. biar orang mengerti rambu2 yang benar. lebih fair. jgn malah menimbulkan tanda tanya dan gosip baru. tp kl sampai semua film-nya ga boleh ditonton sayang banget. Beberapa kan bagus temanya, ikut menyumbang pendapatan negara pula.

Setuju juga sih, para selebritis biasanya menyebar racun buat masyarakat misalnya pamer kemewahan, pamer kehidupan pribadi demi mendapat uang yang biasanya ditiru anak muda.

Lah mau pamer juga itu uang2 dia & harta2 dia, hak asasi dia donk... dasar sirik loe, jadi racun itu kalau emang loe pikirannya julid & sirik... kalau hati loe bersih yah biarin & cuekin aja, toh gak menggangu juga kalau loe cuekin.... mending kerja lebih keras biar dapat rejeki juga... Sebagai umat beragama seharusnya kita percaya donk bahwa rejeki itu sudah ada ngatur, ngapain julid sama orang lain...

Mau komen negatif tapi MEMANG BENAR, negara KOMUN!S saja tahu kalau pria tidak boleh mirip perempuan. mumgkin sekarang kita mencemooh kebijakan China tapi 20 tahun lagi gantian kita mengacungkan jempol. persis seperti yang terjadi di awal 80an dunia memandang china.

Tegas sangat diperlukan utk menjaga budaya dan martabat bangsa.

Kasihan.. lama2 jadi kek korut.

Sudah kayak taliban.

Terlepas dari ideologinya, ini yg harusnya kita tiru. Pemerintah yg tegas dan ga pandang bulu. Koruptor bukan dihukum mati, malah dikurangi hukumannya. Pajak untuk dinikmati semua. Siapa bilang kita ga punya konsep marx!sme? Pasal 33 ayat 3 itu konsep Marx!sme. Semua untuk semua. Prakteknya? Semua untuk golongan tertentu.

Di sini beda.... negara misiskin bantuannya trus... biar duit utang ..bersyukurlah kalian dapat bantuan. dan bersyukurlah kalian artis2 yg pada ngaku sultan.... di sini artis pada pamerin gaya hidup mewah... kalau soal berbagi tunggu dulu...

Apa ?? disana 600 juta orang rata rata berpengsilan 1.997.100/bulan. RRC sama kya indo ternyata belangsak juga klo rakyatnya rata rata, tapi negaranya banyak duitnya minjemin ke semua negara.

Yah gpp kan memang ideologi bangsa mereka adalah Komun!s. Salah satu aspek yg ditekankan dalam ideologi komun!s adalah pemerataan / kesetaraan tidak boleh kaya sendiri. Komun!s menolak paham kapitalis.

Kontrol informasi gapapa, asal pemerintah kerja beneran dan negara jadi maju, jangan kek pemerintah sini kontrolnya sama, tapi kerjanya cuma polesan, indeks negara merosot di berbagai sektor.

Pesohor Indonesia bebas pamer harta saat pandemi Covid-19.

Gitu giliran taliban yang ngelakuin hal serupa dibilang kejam.

Ada pencinta Taliban sepertinya. Taliban menyeret penyanyi, ditembak kepalanya di halaman. Dibandingkan dengan RRC yg menyensor siaran. Sebanding kah?

Lu aja yang kurang gaul dan kurang baca.. Tiananmen lu tau nggak??

Alasan aja. Bilang aja mau kontrol kebablasan.

Kapan di Indo bisa kayak gitu? Oweh setuju, itu baru ceng li.

Giliran pemerintah keras nanti nangeess, teriak2 demokrasi.

Rakyat biasa ataupun selebriti & orang kaya tidak boleh terlihat glamor / hidup mewah dari negara (di sana).

Alasannya sih bagus tapi kebebasannya sudah mulai di kontrol. demikian kl indo menerapkan begini pasti di demo. krn demokrasi indo sudah keblablasan.

kirain gua doang yg berpikir kebablasan.

Indonesia memang kebablasan, sampe disekat gara gara pandemi pun pos polisi bisa dibakar. Ga pake masker malah polisi yg menegor dipukul. Semuanya korupsi dari atas sampai kebawah.

Komun!s ccp gila tp gw setuju.

Rakyat perlu dikontrol supaya ga smakin lari jalur... krn nafsu manusia selalu berlebihan, selalu ikuti ego nya yg tinggi. Sehingga tanpa sadar merugikan org byk. Karena merasa lebih punya power tuk menekan yg lebih lemah. Ada baiknya sepanjang rakyat menengah kebawah tak dirugikan. Yang kaya raya harus selalu berbagi ke yg tidak mampu dan selalu hidup sederhana. Itu yg ingin di terapkan pemerintah China ke rakyatnya. Jangan sampai rakyatnya hilang kontrol diri dan diikuti pula sama generasi2 berikutnya. Hanya akan merusak jiwa mental dan pola pikir anak muda.

Paling jg gegara si artis nolak di ajak tidur sama penguasa, konsekuensinya habis karir nya, mirip2 lah dgn jaman orba dulu.

Dia udah bersuami.

Lah kan si pejabatnya gak peduli mau ada suami ato ndak.

Ya terus kalo ketauan gimana? Itu pejabat bakal dipecat dari partai dan si vicky bakal tamat karir nya dan dicerain suaminya. Di sana gak kayak di sini yg mana selebriti pelakor masih bisa eksis terus. Jadi gak mungkin lah si vicky sampai ngelakuin hal sebodoh itu. Bikin fitnah mesti cerdas dikit.

Kalo disini gaya hidup mewah bukan selebs aja, pejabat publik dari tingkat bawah ampe atas udah biasa bergaya hidup mewah, lebih hebatnya lagi... pake uang rakyat.

Kesannya sekilas bagus y, seperti mengontrol supaya seleb tdk berulah dan tdk dpt honor yg berlebihan. Tapi, setelah setahunan kepoin dunia c ent, prihatin dgn perlakuan netijen + official, ke seleb yg dianggap kena ‘skandal’. Beberapa diblok karna alasan yg menurutq gak masuk akal, dan banyak yg dibulli netizen. Ini opini pribadi aja.

Seleb, crazy rich indonesia, pemilik perusahaan konglomerat indonesia. itu rata2 malah yg suka minta diskon atau bebas pajak. harusnya pajaknya lebih besar dari rakyat berpenghasilan kecil.

Kalo ente ngomong begini ke Soeharto ini benar, ente lihat gimana Tomy Soeharto, Tutut, Bambang dan anak /konco Soeharto bisa dapat pembebasan pajak bea impor, pajak pertambahan nilai mewah (ppnbm) dan stimulus2 lainnya, sementara mayoritas rakyat saat itu hanya makan nasi aking, tiwul dsb. Kalo skrg beda, diskon 100 persen pajak penghasilan (pph21) berlaku hanya utk rakyat berpenghasilan maksimal 5 juta /bulan, malah selama pandemi dinaikkan ke maksimal 15 juta /bulan, sementara stimulus pajak bagi pengusaha (semua pengusaha) hanya agar perusahaannya tetap hidup dan karyawan kagak diPHK. Kalopun pemerintah buat tax amnesty, tujuannya agar pengusaha2 yg selama ini lebih pilih taruh uang di negara lain yg bebas pajak atau pajak ringan, mau pindahin ke Indonesia. Sampe sini ente paham? Kalo msh kagak paham jg berarti ente golongan faqir wawasan.

Mungkin kalau wawasan kamu selevel saya baru bisa paham. org umum otak mentok susah dijelasin.

Gak bisa seenaknya naikin pajak. orang kaya tinggal mindahin duitnya ke negara lain yg pajaknya lebih kecil.

“.menganggap beberapa idola pria terlalu bertingkah seperti perempuan.. “  Nah  ini nh...

Indonesis bisa juga diterapkan tapi incar pajaknya para seleb, lagi tern pamer kekayaan.

Salut! Ini contoh kebijakan yg patut ditiru negri +62.

Tumben banyak pendukung komun!s di Indonesia.

Kok bagus ya, justru lebih manusiawi. Resources yg mrk dapat sebenarnya milik rakyat banyak yg jauh dibawah garis kemiskinan. Misal org2 kaya dunia, mrk mengumpulkan kekayaan besar saat dibelahan dunia ada kemelaratan dan harta mrk terus menggunung.

Plus minus komun!s dengan demokrasi.. semua ada dua sisi..

Beberapa waktu kemudian, dilansir berita tambahan terkait, https:// inet.detik .com/cyberlife/d-5725949/vicky-zhao-kembali-online-setelah-dilenyapkan-pemerintah-china, diakses pada tanggal 2 Oktober 2021:

Tidak ada penjelasan resmi kenapa Vicky Zhao menjadi incaran pemerintah China. Akan tetap belakangan Negeri Tirai Bambu itu giat merazia industri hiburan dan budaya pemujaan berlebihan pada para pesohor.

Media pemerintah, Global Times, hanya menyebut bahwa Zhao banyak punya skandal. Misalnya ia digugat dalam masalah bisnis investasi, termasuk kepemilikan saham di Alibaba Pictures Group yang dimiliki Alibaba, perusahaan Jack Ma.

Ada juga yang menilai Vicky Zhao ditindak lantaran presiden Xi Jinping tidak senang dengan pemujaan berlebihan pada selebriti dan ketenaran mereka di media sosial karena dianggap tidak sesuai dengan karakter China.

Sejak tahun 2018, otoritas China rupanya sudah mencekal beberapa selebriti yang dinilai tidak bermoral, vulgar dan ‘tidak punya kelas’.

Hal serupa juga sudah terjadi di jagat teknologi. Perusahaan raksasa teknologi semacam Alibaba sampai Tencent kena regulasi ketat bahkan denda besar dengan tuduhan semacam melakukan praktik monopoli. Pentolan teknologi Jack Ma pun sudah tidak pernah lagi tampil di publik.

Jack Ma menghilang setelah mengkritik sistem keuangan pemerintah China dan juga popularitasnya dianggap sudah berlebihan. Tak menutup kemungkinan nasib Vicky Zhao akan sama seperti Jack Ma, paling tidak aktivitasnya di depan publik tidak lagi seperti dahulu.

Berita serupa lainnya dapat kita jumpai pada “China Bakal Larang Idol ‘Melambai’. Ancamannya Dilenyapkan Seperti Vicky Zhao”, 23 Sep 2021, https:// hot.detik .com/celeb/d-5737063/china-bakal-larang-idol-melambai-ancamannya-dilenyapkan-seperti-vicky-zhao?tag_from=news_beritaTerkait&_ga=2.214167582.843959231.1633189186-869720398.1631388498, diakses pada tanggal 2 Oktober 2021:

Industri hiburan di China tengah mengalami badai boikot dari pemerintah (yang selama ini melakukan sensor super ketat terhadap industri film dan media). Ada wacana pemerintah China akan melarang grup idola pria yang tampil tidak macho atau terlalu ‘melambai’.

Dikutip dari South China Morning Post, pemerintah setempat tengah membahas soal penampilan pria di industri hiburan yang dinilai keluar dari nilai-nilai stereotip pria sesungguhnya. Hal ini tentu saja menyeret penampilan para grup idola yang selama ini identik dengan makeup dan tidak selalu menampilkan sisi maskulin mereka di layar kaca.

Administrasi Radio dan Televisi Nasional menyebutkan, mereka dengan tegas ingin melakukan boikot kepada grup idola yang mereka nilai ‘melambai’.

“Kita harusnya memiliki keyakinan budaya yang kuat, fokus pada mempromosikan budaya tradisional dan budaya sos!alis. Kita harus mempromosikan standar maskulinitas dan harus berhati-hari dalam memilih para aktor dan penampil,” kata pihak mereka.

Lebih lanjut lagi pihak Administrasi Radio dan Televisi Nasional mengatakan bahwa China seharusnya punya standar yang ketat untuk urusan gaya para artis dalam berpenampilan termasuk soal busana dan makeup.

“Kita benar-benar harus menolak kesan laki-laki melambai yang menyimpang,” katanya lagi.

Wacana pemerintah China ini mendapat reaksi tegas dari masyarakat dan warganet. Mereka tidak setuju dengan ide pemerintah tersebut dan merasa masih banyak hal yang harus dilihat dari nilai-nilai maskulinitas pria selain penampilan.

Warganet juga tidak setuju pemerintah menggunakan kata ‘pria melambai’ untuk mendefinisikan mereka yang aktif di industri hiburan dan tampil dengan dandanan makeup paripurna seperti para personel grup idola.

“Istilah ‘pria melambai’ adalah definisi yang tidak jelas. Ini akan membuat laki-laki muda yang punya pribadi lembut dalam bahaya. Standar penilaian seorang pria yang baik seharusnya dari sikap, kejujuran, tanggung jawab, rajin, dan memberikan energi positif buat orang lain. Bukan berdasarkan penampilan, warna rambut, atau aksesori yang mereka gunakan!” kata salah satu warganet dalam kutipan berita South China Morning Post.

Belum lama ini sempat ramai dengan kabar dilenyapkannya Vicky Zhao (Zhao Wei) dari dunia maya China. Seluruh film, iklan, serial televisi hingga pembahasan tentang sang aktris dihilangkan oleh pemerintah.

Beberapa media lokal pun menuliskan bahwa pemerintah China kini sangat khawatir dengan efek dari terlalu mengidolakan artis yang jadi terlalu rusuh hingga sulit dikendalikan.

Komentar Netizen:

Dasar komun!s, semaju apapun ttp mental komun!s!

Indo religius hipokrit.

Dimari semakin melambai semakin rating tipi tinggi ..aneh kan yeee.

Indonesia hrs spt cina. Lenyapkan laki laki ky prempuan... Bagus nih ky gini.

Indonesia haram tiru koomuniz.

Pemerintah indo sebaiknya harus tegas. Liat TV ,radio, hostnya semakin gemulai semakin lucu katanya ..hadeewh Juminah ooh Juminah ......

Yng ini setuju... Hilnagkan otang ornag mrlambai di TV indonesia.

Tuh,... Masa cowo2 KPOP cantik cantik, bedakkan, pakai anting, pakai lipstik, ntar cewe2 ngga laku gmn?

Apalagi di inonesia tingkah ustad yang gemulai, pemirsa, ooo, sudah makan belom?

Perlu di contoh nih yg begini .. masa laki laki melambai?

Kapan ini diterapkan di Indonesia?

Sebuah ironi, dimana negara komun!s lebih tegas terhadap hal seperti ini.

Sebenarnya tidak ada, yang namanya tipe negara “komun!s”, “liberal!s”, “demokratis”, dsb, karena itulah antar negara “komun!s” pun pada realitanya saling beragam wajah corak karakternya dalam pemerintahan, kebijakan luar negeri, dan dalam tataran perlakuan terhadap rakyatnya. Yang ada ialah tipe negara yang unik sifatnya di masing-masing negara itu sendiri, yakni tipe negara Amerika Serikat, tipe negara China, tipe negara Kuba, tipe negara Rusia, tipe negara Indonesia, tipe negara Korea Utara, tipe negara Afrika Selatan, tipe negara Singapura, tipe negara Vietnam, dan lain sebagainya.

Semata karena, latar belakang sejarah, ideologi bangsa, dan budaya masing-masing negara, saling beragam. Memaksakan satu ideologi tertentu kepada satu negara, maka akan tercipta “gegar budaya” seperti halnya “revolusi budaya” di Tiongkok yang mengakibatkan banyaknya pertumpahan darah dari sesama anak bangsa mereka dan rusaknya karya-karya bernilai sejarah yang tidak dapat dibenarkan untuk alasan apapun.

Adapun yang menarik dari tipe negara yang mengklaim sebagai “komun!s”, tipe corak pemerintahannya sangat efektif dalam mengatur dan menertibkan rakyatnya. Sebagai contoh, aturan normatif hukum tidak dibentuk sekadar sebagai “kegenitan intelektual” atau “polesan bibir”, namun benar-benar diterapkan sehingga tiada warga lokal maupun warga asing yang berani untuk melanggarnya, bukan sekadar “ancaman tanpa gigi taring”—itulah sebabnya, Singapura layak dikategorikan sebagai tipe negara “komun!s”, namun sayangnya menerapkan “standar ganda”, semisal melarang warganya melakukan praktik “money laundring”, namun disaat bersamaan membuka pintu lebar-lebar serta kebijakan tangan terbuka terhadap dana-dana “kotor” dari luar untuk ditanam di Singapura.

Kedua, tiada kebijakan pemerintah yang gagal diterapkan terhadap rakyatnya, sehingga wibawa dan reputasi hukum di negara-negara “komun!s” benar-benar sakral dan dipatuhi karena disegani (serta ditakuti) oleh rakyatnya, oleh sebab memang diterapkan secara tanpa kompromi dan tanpa tolelir. Pasal-pasal terkait ancaman hukuman mati, seperti hukuman mati bagi koruptor, benar-benar diterapkan, berbeda dengan “gimmick” peraturan perundang-undangan di Indonesia, dimana koruptor yang mengkorupsi dana bantuan sosial bagi rakyat dikala wabah akibat pandemik sekalipun, dapat memprediksi bahwa ancaman hukuman mati tidak akan pernah dialamatkan kepada dirinya—sehingga praktik korupsi tumbuh-subur di republik ini.

Yang paling membingungkan dari tipe pemerintahan di China, tergambar dengan satiris dalam salah satu serial drama asal Tiongkok, dimana sang guru di kelas meminta pada para siswa di kelasnya agar melakukan “pemilihan umum” bagi seisi kelas untuk memilih ketua kelas mereka alih-alih ditunjuk oleh sang guru ataupun oleh Kepala Sekolah. Bukankah itu, merupakan didikan ala negara demokrasi? Penulis bahkan terkejut sembari terkekeh (bagaimana bisa, terkejut sembari terkekeh? Namun itulah faktanya) ketika menyaksikan tayangan semacam itu.

Tipe negara yang ternyata sangat tidak konsisten, dimana anak-anak mereka dididik untuk demokratis di ruang-ruang kelas, namun disaat bersamaan para orangtua mereka yang duduk di bangku pemerintahan partai politik tunggal di China, benar-benar berpraktik bak raja dari dinasti-dinasti yang cenderung “kolot” dalam mengemban kekuasaan absolut yang menentukan nasib hidup dan mati rakyatnya. Beruntung jika Kepala Pemerintahannya cukup arif-bijaksana (berkah bagi rakyatnya) dan memperhatikan kepentingan dan nasib pemerataan ekonomi bagi rakyatnya seperti di Tiongkok, kekuasaan yang dimonopolisir penguasa diganjar dengan konsisten penuh komitmen menghukum mati para koruptor di negeri mereka, namun bagaimana bila praktiknya lebih menyerupai Korea Utara?

Setidaknya, tidak sebagai tipe negara “tidak jelas”, seperti nasib yang kini menimpa Indonesia, negara “kesatuan” tidak, negara “federal” juga tidak, demokrasi yang “keblablasan”, hingga wajah praktik di lapangan seperti “negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat kecuali saat sedang menilang kendaraan bermotor”. Lihatlah, bagaimana masyarakat di Indonesia yang kebetulan sedang tergolong makmur, kerap mengumbar slogan penuh jargon, “Rezeki sudah ada yang atur!”—Pertanyaannya, bagaimana bila yang mendengarkannya ialah orang-orang tergolong “miskin” dan “tersisihkan” (kaum marginal), sehingga terdengar sebagai sebuah olok-olok? Itulah bukti konkret tidak terbantahkan, betapa rendahnya tingkat EQ bangsa Indonesia.

Sekali lagi, China bukanlah tipe negara “komun!s”, namun tipe negara “RRC” yang khas dan unik hanya ada di RRC. Yang disebut sebagai tipe negara “komun!s”, ialah para rakyat yang hanya memiliki kendaraan berupa sepeda tidak bermotor yang dibolehkan menggunakan jalan tol, hanya petani miskin yang dibolehkan memilikih Sertifikat Hak Guna Usaha seluas hektar-an, hanya rakyat miskin yang boleh naik pesawat, hanya rakyat miskin yang boleh naik angkutan umum semewah mobil-mobil bermerek buatan Eropa, hanya orang miskin yang boleh masuk mall, hanya orang miskin yang boleh memakai jas dan setelan baju maupun gaun yang berbahan selembut sutera, hanya orang-orang miskin yang boleh memiliki rekening di bank serta deposito ataupun nota cek dan bilyet giro, hanya orang miskin yang dibolehkan membeli dan memiliki tanah serta rumah dengan Sertifikat Hak Milik, dan hanya orang miskin yang boleh duduk di bangku-bangku kekuasaan para pemerintahan, hanya buruh miskin yang boleh memilih pada pemilihan umum, dan hanya ada satu partai politik yakni “Partai BURUH”—sebagaimana diimpi-impikan oleh Karl Marx, sebuah era atau dunia yang dijuluki sebagai duduknya para “Proletar” pada bangku-bangku kekuasaan.

Itulah sebabnya, Karl Marx lebih cocok disebut sebagai seorang “pendongeng” ketimbang seorang negarawan. Mengapa pemerintahan yang dari sananya sudah otoriter, lebih senang memakai jubah nama “komun!s”, jawabannya : agar yang dipersalahkan oleh rakyat yang menderita akibat kebijakan militeristik ala pemerintahan otoriter yang diktator, ialah Marx (“kambing hitam”). Bukankah tiada alibi yang lebih sempurna, melempar dosa ke pundak seorang Karl Marx yang malang ini?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.