LEGAL OPINION
Ciri Khas Manusia Berotak Kriminil : Kerap
Menyepelekan dan Meremehkan Perasaan dan Derita Korban
Question: Bila ada luka pada tubuh (fisik) korban, semakin lebar dan dalam luka pada tubuh korban maka akan membuat pelakunya dihukum lebih berat oleh hakim di pengadilan. Namun bagaimana dengan korban, yang hanya saja tidak memiliki luka fisik yang kasat-mata namun mengalami luka batin (trauma) hebat, apakah vonis hukumannya akan sebanding dengan derita korban yang mengalami luka pada anggota tubuhnya?
Brief Answer: Khusus untuk konteks penegakan hukum pidana di Indonesia,
jangankan terhadap korban “luka batin”, terhadap “luka fisik” pun kerap jauh
dari kata sebanding dibandingkan dengan penjatuhan hukuman oleh peradilan umum.
Sebagai contoh, korban yang sepasang matanya dilukai dengan disiram “air keras”
oleh pelaku, sehingga mengalami kebutaan permanen, sang korban tidak hanya menderita
kerugian berupa kehilangan penglihatan untuk seumur hidupnya, dimana
dampak sampingan sebagai konsekuensinya ialah derita mental (batiniah) yang
juga untuk seumur hidupnya berupa tekanan hidup memikirkan
ketidak-pastian hidup dan masa depan dimana selama ini yang bersangkutan
mengandalkan penglihatannya untuk beraktivitas dan mencari nafkah. Meski demikian,
apakah para pelakunya yang dijadikan Terdakwa dan Terpidana, akan dijatuhi
hukuman berupa sanksi penjara selama seumur hidup yang bersangkutan atau selama
derita yang dialami oleh korban-korbannya semisal “mata ganti mata”?
Begitupula ketika jatuh “korban jiwa” dimana seorang
kepala keluarga tewas terbunuh oleh pelaku pembunuhan terencana, mengakibatkan
sanak-keluarga korban mengalami kehilangan untuk seumur hidupnya, atau bahkan anak-anaknya
masih balita sehingga selama puluhan tahun sang istri dan anak berjuang seorang
diri mencari nafkah dan menghadapi deraan kerasnya hidup. Maka, pertanyaan “psikologi
hukum” yang mengemuka ialah, apakah sang pelaku pembunuhan akan dihukum selama
jangka waktu derita yang harus ditanggung dan dipikul oleh sanak-keluarga
korban, semisal dipenjara selama puluhan tahun dan harus diberi sanksi tambahan
berupa memberi nafkah lahiriah terhadap keluarga korban untuk seumur hidupnya
sang istri dan hingga sang anak mampu hidup mandiri?
Itulah sebabnya, dari perspektif “psikologi hukum”,
tiada putusan dalam perkara pidana yang mampu secara setara dan setimpal terhadap
derita dan kerugian yang diderita oleh pihak korban. Sifat dibalik penegakan
hukum pidana, ialah sebatas mendekati keadilan, namun bukan keadilan itu
sendiri. Pada titik itulah, penitensier
atau penjatuhan sanksi pemidanaan dapat menyerupai “sin laundring” (alias “cuci dosa”) seolah-olah dosa akibat
perbuatan kotor-nya akan tercuci bersih setelah menjalani masa penahanan
ataupun pemenjaraan yang tergolong lebih singkat daripada berbagai kerugian dan
trauma yang diderita oleh pihak korbannya.
PEMBAHASAN:
Para akademisi (teoretis)
menilai bahwa sanksi pemidanaan tidak harus bermuara pada pemenjaraan yang
mengakibatkan kerap over-kapasitas berbagai pembaga pemasyarakatan maupun rumah
tahanan oleh para terdakwa dan para terpidana yang penuh sesak, lengkap dengan embel-embel
seperti “restorative justice” dan
lain sebagainya. Namun, dalam pengamatan para praktisi yang berkegiatan di
lapangan, maraknya aksi kriminalitas di tengah masyarakat, terjadi akibat
kurangnya efek jera yang dimunculkan dalam pemidanaan, semisal kebijakan “obral
remisi” bagi para pelaku aksi kejahatan berat semacam teror!sme, obat-obatan terlarang,
korupsi, dan lain sebagainya—demi semata mengejar kebijakan percepatan
pengosongan sel-sel penjara yang selalu penuh sesak akibat sudah akan menanti
datangnya antrean para narapidana baru lainnya, yang mana sebagian diantara
ialah residivis.
Para narapidana, perlu “dibina”,
dimana pembinaannya dalam konteks pemidanaan dan pemenjaraan ialah
diberlakukannya kebijakan pembentukan “efek jera” agar para terpidana benar-benar
“jera” sejera-jeranya. Bukanlah tugas lembaga pemasyarakatan untuk membina berupa pembekalan
keterampilan ini dan itu (ini dan itu tersebut adalah tugas lembaga-lembaga pendidikan
dan keterampilan formal maupun informal di luar penjara). Sama seperti tugas Komisi
Pemberantasan Korupsi ialah pada khususnya untuk “memberantas” korupsi, bukan
mencegah korupsi yang merupakan tugas berbagai instansi pemerintahan lainnya
dibidang pengawasan serta tugas para pemuka agama serta para edukator (para
guru di bangku sekolah).
Trauma psikologis yang paling kentara, dapat kita jumpai diderita
oleh para korban pemerkosaan yang bisa jadi membekas untuk seumur hidupnya, lengkap
dengan segala penyulitnya. Apakah pelakunya, dihukum untuk seumur hidupnya atau
setidaknya “dikebiri” untuk seumur hidupnya? Kengerian dan mencekamnya menjadi
korban pemerkosaan, melahirkan trauma yang tidak dapat disepelekan ataupun
diremehkan, maka cobalah tempatkan posisi diri Anda sebagai sang korban,
sebagaimana tertuang salah satunya dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara
pidana tingkat kasasi register Nomor 1018 K/Pid/2019 tanggal 17 Oktober 2019,
dimana sang Terdakwa dituntut selama sebelas tahun pidana penjara atas dakwaan
telah bersalah melakukan Tindak Pidana “Melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan,
diancam karena melakukan perkosaan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun kemudian yang menjadi putusan
Pengadilan Negeri Kuala Simpang Nomor 49/Pid.B/2019/PN.Ksp, tanggal 24 April
2019, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa H.M. ADAM bin M. HASYIM, telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerkosaan”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, dengan pidana penjara selama
10 (sepuluh) tahun;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
Dalam tingkat banding, yang
menjadi putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 139/PID/2019/PT.BNA, tanggal
27 Juni 2019, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menerima permohonan banding dari Penasihat Hukum Terdakwa;
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kualasimpang Nomor 49/Pid.B/2019/PN
Ksp. tanggal 24 April 2019 yang dimintakan banding tersebut;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan.”
Pihak Terdakwa mengajukan upaya
hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta
amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa terhadap
alasan permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
- Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena putusan
judex facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan judex facti Pengadilan
Negeri yang menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Pemerkosaan”, tidak salah dan telah menerapkan
peraturan hukum sebagaimana mestinya serta cara mengadili telah dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
- Bahwa putusan judex facti juga telah mempertimbangkan fakta hukum yang
relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap
di muka sidang, sehingga perbuatan materiil Terdakwa telah memenuhi semua unsur
tindak pidana Pasal 285 KUHP pada dakwaan Alternatif Kesatu;
- Bahwa Terdakwa adalah Bapak tiri saksi korban;
- Bahwa berawal dari saksi 1 pergi bekerja dengan diantarkan oleh saksi
2, dan saat di rumah sepi, Terdakwa menghampiri saksi korban sedang berada di
ruang televisi, kemudian Terdakwa langsung meraba payudaro dan vag!na saksi
korban, lalu Terdakwa menurunkan celana dalam saksi korban hingga sebatas
lutut, lalu Terdakwa langsung memasukkan alat kelam!n Terdakwa ke dalam vag!na
saksi korban dan pada saat itu saksi korban berusaha memberontak akan tetapi
Terdakwa membekap mulut saksi korban dengan menggunakan tangan Terdakwa,
lalu Terdakwa mengeluarkan cairan sperma di vag!na saksi korban;
- Bahwa demikian pula putusan judex facti menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun, tidak melampaui
kewenangannya dan telah mempertimbangkan dengan cukup semua keadaan yang
melingkupi perbuatan Terdakwa, baik keadaan yang memberatkan maupun keadaan
yang meringankan dan sifat perbuatan yang dilakukan Terdakwa;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa H. M
ADAM bin M. HASYIM tersebut.”
Catatan Penutup Penulis:
Korban pelapor, tidak pernah diberikan
hak untuk mengajukan keberatan terhadap isi amar putusan ataupun bahkan
terhadap substansi rumusan dakwaan maupun tuntutan dalam surat tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Yang paling berbahaya ialah ketika Penyidik pada Kepolisian, Jaksa
Penuntut Umum, maupun Hakim di Pengadilan memiliki perspektif yang tidak ramah
terhadap korban (victim friendly)
dengan meremehkan dan menyepelekan perasaan korban, dan disaat bersamaan tidak
mengkritik ataupun mencela perilaku buruk pelakunya. Satu hal paling
mencolok yang dapat kita temukan sebagai ciri khas dari orang-orang bermental
kriminil, ialah kerap menyepelekan dan meremahkan derita ataupun perasaan
korban dan disaat bersamaan menihilkan pula perilaku buruk pihak-pihak yang
berbuat jahat kepada sang korban.
Ada kalanya atau bahkan kerap
mengalami, kita sebagai warga yang menjadi korban pelapor terbentur oleh
kompleksitas sistem pelaporan pidana, segala biaya dan pungutan (bahkan korban
perkosaan pun harus merogoh kocek dana pribadi untuk biaya visum yang tidak
murah, dimana tidak jarang pihak Penyidik hanya bersedia merujuk kepada rumah
sakit tertentu yang bisa jadi adalah rekanan “kongkalikong” sang penyidik,
semata karena Puskesmas milik Pemerintah Daerah sebenarnya menyanggupi untuk
melakukan visum, namun pihak Puskesmas membutuhkan surat rujukan dari Penyidik
Kepolisian), korupsi di internal tubuh Penyidik Kepolisian, Penuntut Umum di
Kejaksaan (merumuskan tuntutan “melepaskan
Terdakwa dari segala tuntutan hukum”, pernah benar-benar terjadi, sehingga
alhasil diputuskan hakim sesuai tuntutan sang Jaksa), maupun Kehakiman di Peradilan
(putusan-putusan yang menyimpang dari preseden, bahkan sekadar divonis pidana “percobaan”),
sehingga korban tidak mendapatkan akses menuju keadilan sebagaimana mestinya
bahkan sama sekali tidak diberi ruang untuk mengakses hukum pidana yang dimonopolisir
lembaga-lembaga pemerintah tersebut.
Ketika
itu terjadi, supremasi Hukum Karma yang akan tampil mengambil-alih
penegakan hukum sebagai Hakim sekaligus Penuntut Umum dan Eksekutornya, secara seadil-adilnya
(adanya kesetimpalan, terlebih bila sang pelaku tidak menyesali perbuatan
buruknya yang telah melukai, merugikan, ataupun menyakiti korban). Dengan mulai
memahami hal demikian, barulah kita akan mulai menyadari, bahwa sebetulnya bisa
jadi kita tidak pernah membutuhkan eksistensi Polisi, Jaksa, maupun Hakim (terlebih
mengemis-ngemis dari mereka, sekalipun itu menjadi tugas mereka) yang tidak
jarang lebih kriminal daripada kriminal, lebih preman daripada preman, lebih
kotor daripada koruptor, dan pada saat itu jugalah kita telah menjadi pemenang
yang menang melawan arogansi Polisi, Jaksa, maupun Hakim—semata-mata karena
kita tidak pernah lagi menaruh minat ataupun mengandalkan institusi-institusi
penegakan hukum pidana demikian, semata menaruh harapan kepada Hukum Karma,
jaminan mutu keadilan yang benar-benar adil.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.