SENI PIKIR & TULIS
Tidak BEROTAK + Anti KRITIK = Jalan Tol Menuju NERAKA
IQ Bukanlah Sumber Kejahatan, Kurangnya IQ (justru)
merupakan Sumber Petaka. IQ Lemah Pangkal EQ (yang) Tiarap
Momok, sekaligus mimpi buruk “di siang bolong” yang setiap harinya menghantui dan merajalela, terdapat seorang kurir dari suatu perusahaan ekspedisi swasta nasional yang kerap hilir-mudik di jalan perumahan depan kediaman keluarga penulis untuk mengantarkan paket kepada warga pemukim. Petugas kurirnya ialah orang yang “itu itu saja” dan mudah dikenali oleh ciri khasnya yang berteriak keras sekali dari jalan kompleks perumahan kami, “PERMISI, PAKET! PERMISI, PAKET! PERMISI, PAKET!”
Dirinya merasa bangga, dapat
berteriak sekeras itu hingga terdengar dalam radius ratusan meter jauhnya. Ia
pikir dirinya telah bekerja keras dengan cara demikian, namun itulah cara dan
gaya berpikir tipikal orang-orang yang tergolong notabene “tidak
berotak”—itulah sebabnya, selama bertahun-tahun ini dirinya hanya dapat bekerja
sebagai orang kurir pengantar paket. Sungguh disayangkan, dirinya bekerja
secara keras, namun tidak secara cerdas, yang pada gilirannya menjadi “petaka”
bagi banyak orang.
Betapa tidak, dalam keseharian
penulis dan anggota keluarga kerap diganggu oleh suara teriakan sang kurir
maupun kurir-kurir “online” lainnya,
setiap kali terdengar teriakan “PERMISI,
PAKET!”, maka warga sekitar pemukiman kami termasuk anggota keluarga
kediaman penulis, harus merepotkan diri terganggu dengan beranjak dari
aktivitas maupun istirahat, ke halaman depan rumah atau setidaknya melongok dari
jendela rumah untuk mencari tahu dan melihat, paket untuk siapakah itu?
Telah ternyata, seringkali, itu
paket untuk warga sekitar yang menjadi tetangga kediaman penulis. Sekali
teriakan “tidak berotak demikian” diumbar serta membahana di tengah-tengah pemukiman
padat penduduk, entah berapa banyak keluarga pemukim yang terganggu dan
diganggu aktivitas maupun istirahatnya dari sang “manusia purba” yang masih
terbelakang cara berpikirnya—dicirikan oleh kurangnya kreativitas dalam daya
berpikir maupun “empati” (yang disebut terakhir ini, merupakan maskot dari EQ),
akibat minimnya IQ yang bersangkutan. Itulah sebabnya, antara IQ dan EQ
ibarat dua sisi pada satu keping yang sama, tidak dapat saling terpisahkan satu
sama lainnya.
Pada giliran lain, merasa jenuh
dan geram karena kerap merasa “dipermainkan” oleh teriakan “tidak berotak”
demikian, maka alam bawah sadar penulis kemudian memblokir suara-suara semacam
itu agar tidak lagi mengganggu ketenangan hidup, namun ternyata itu paket yang
ditujukan untuk kediaman keluarga penulis. Jadilah, serba salah : Didiamkan,
salah. Merepotkan diri karena direpotkan untuk beranjak dan melongok, juga
salah. Mengapa untuk hal-hal yang sederhana yang dapat dipikirkan secara dengan
“akal sehat milik orang sehat”, yang bersangkutan meski telah dewasa harus
ditegur oleh warga, seolah-olah mereka (para pelakunya itu) sendiri tidak
memiliki kediaman dimana suara dapat menjelma “polusi suara” yang menerobos
sekat batas kediaman antar tetangga. Mereka pikir, seluruh warga dapat membaca
pikiran mereka?
Hanya satu penjelasannya
sebagai jawaban, yakni : mereka tergolong orang-orang dengan “akal sakit milik
orang sakit”. Dengan IQ yang paling minimum, kita dapat berpikir sendiri (tanpa
perlu ditegur ataupun dikritik oleh orang lain), bahwa warga-warga sekitar
dapat terganggu aktivitas maupun ketenangan hidupnya oleh teriakan “PERMISI, PAKET!” PAKET UNTUK SIAPA
DAN UNTUK NOMOR RUMAH BERAPA? Mengapa mereka justru lebih sibuk berbangga
diri sekencang-kencangnya berteriak “PERMISI,
PAKET!”, secara berulang-ulang, bahkan tidak jarang membunyikan klakson
kendaraan yang mereka kendarai, ketimbang seperti : “Blok Y Nomor 7, Ibu / Bapak
A, PAKET!”—maka warga sekitar tidak akan banyak teralihkan perhatiannya dari
kegiatan rumah-tangga, karena seketika mengetahui bukanlah mereka yang hendak
dituju oleh sang pengantar paket.
Pernah sekali waktu kurir
“bebal” dari perusahaan ekspedisi swasta terbesar di Indonesia tersebut,
penulis berikan “gerutuan” kerena geram dan kesal kerap dipermainkan demikian.
Namun, tidak lama kemudian, perilaku dan kebiasaan lama kembali terulang dan
kambuh kembali hingga saat kini, “PERMISI,
PAKET!” Kerap kita mendengar selentingan yang menyebutkan, bahwa “IQ
bukanlah segalanya”. Faktanya, “segalanya membutuhkan IQ”. Tanpa
tingkat IQ yang memadai, maka yang akan bermuara pada gilirannya ialah EQ yang
sama “tiarap”-nya dengan IQ yang memprihatinkan milik mereka. Dengan EQ
yang dangkal, tercermin dari minimnya daya empati yang menjadi faktor paling
dominan dari cerminan EQ, maka bagaimana mungkin bangsa ini mengaku sebagai
bangsa “agamais” (SQ)?
Bangsa Indonesia tergolong sebagai
bangsa yang arogan, dimana sikap-sikap negatif tidak beradap seperti “anti
kritik”, “egoistik”, serta “lebih galak yang ditegur” maupun “menyelesaikan
segala masalah dengan cara kekerasan fisik” benar-benar menjadi budaya serta
membudaya yang mendarah-daging serta meluas, entah wanita maupun pria “Made in Indonesia”. Contoh paling
sederhana yang mencerminkan secara masif budaya sejati Bangsa Indonesia,
penulis ketika berjalan kaki ataupun berkendara kendaraan bermotor roda dua di
jalan umum, kerap berpapasan dengan pengendara yang melaju secara melawan arah,
dimana penulis yang harus mengalah dan membuat diri beresiko tertabrak
kendaraan dari arah belakang karena tidak dapat melihat ke belakang ketika
bergeser ke badan jalan dari bahu jalan dari pengedara yang melaju melawan arah
ataupun memarkirkan kendaraannya di bahu jalan (merampas hak pengguna jalan
lainnya)—dimana penulis benar-benar pernah mengalami kecelakaan tertabrak dari
belakang karena sikap-sikap egoistik bangsa ini.
Pernah penulis menegur mereka,
namun apa yang kemudian terjadi ialah sebagaimana dapat kita duga, seperti yang
sudah-sudah, dan selalu terjadi dengan pola serupa sehingga kesimpulan yang
dapat kita petik ialah memang sudah budaya Bangsa Indonesia, yakni : “anti
kritik”, “egoistik”, dan “lebih galak yang ditegur” hingga yang tidak kalah
mencoloknya yakni “menyelesaikan segala masalah dengan cara kekerasan fisik”. Jadilah,
saat kini penulis menjelma pribadi yang apatis ketika menghadapi Bangsa
Indonesia, dengan menerapkan pendekatan baru, yang penulis namakan sebagai : Terserahlah
kalian mau apa! Si dungu berpikir
adalah kebanggaan dan keberuntungan, ketika dapat menyakiti, melukai, maupun
merugikan warga lain sementara dirinya tidak dapat dituntut pertanggung-jawaban
lewat sikap-sikap “lebih galak ketika ditegur” ataupun “membungkam pengkritik
dengan mengumbar kekerasan fisik”.
Orang-orang yang tidak membuka
diri dari kritikan dan teguran, adalah bangsa-bangsa yang berdelusi bahwa
dirinya “terjamin masuk surga”, seolah-olah korban tidak memiliki “hak veto”
untuk menolak para pendosa dan para tercela tersebut untuk menjadikan alam
surgawi menyerupai “dunia manusia jilid kedua” dimana para serampangan bebas
berbuat serampangan dengan modus “lebih galak yang ditegur” sebagaimana ketika
mereka menjadi penghuni alam manusia. Alhasil, orang-orang biadab di Indonesia
selalu hampir dapat dipastikan berhasil menyalurkan “libido birahi” mereka
dengan bertindak serampangan dan tidak bertanggung-jawab. Tahukah Anda, menurut
Buddhisme, hanyalah penjahat yang paling beruntung yang selalu gagal
melancarkan niat jahatnya—dan sebaliknya, hanya penjahat paling tidak beruntung
yang selalu berhasil melancarkan niat jahatnya.
Baru-baru ini, seperti yang
sudah-sudah, kembali terdengar teriakan “PERMISI,
PAKET!”, yang membahana secara berulang-ulang dengan nada teriakan penuh
kebanggaan seolah dirinya telah menjalankan misi tugas mulia dengan cara hebat
berupa modal suara teriakan yang keras, “PERMISI,
PAKET!”. Pada mulanya penulis ingin memaki dan menjerit balik karena telah
tidak lagi terhitung kuantitas dipermainkan oleh kurir yang bersangkutan, “PUNYA OTAK TIDAK KAMU ITU? TERIAKAN KAMU ITU
MENGGANGGU WARGA YANG ISTIRAHAT DAN BERKEGIATAN, JADI KELUAR SEMUA WARGA DAN
TETANGGA KARENA TERIAKAN KAMU! KAMU TERIAK-TERIAK ‘PAKET, PERMISI, PAKET!’,
PAKET BUAT SIAPA DAN UNTUK NOMOR RUMAH BERAPA?”
Dapat kita prediksi,
sebagaimana yang sudah-sudah, alih-alih berterimakasih telah ditegur dan
diberitahu letak kekeliruannya agar tidak setiap hari menimbun Karma Buruk dengan
mengganggu hidup warga, serta agar dapat memperbaiki diri, dimana warga yang
menjadi korban selama bertahun-tahun oleh teriakan demikian menjadi murka dan
memaki pelaku yang selama ini mengganggu adalah wajar sifatnya (korban bukanlah
sebongkah “mayat” yang hanya bisa terbujur kaku dan dilarang menjerit), namun
pelakunya akan menampilkan trik “premanis” sebagaimana budaya bangsa “aroganis”
ala “predatoris” : lebih galak yang ditegur serta bungkam pengkritik Anda dengan
mengumbar kekerasan fisik!
Ya sudahlah, terserah kalian
mau apa. Toh, kalian sendiri yang tanam Karma Buruk dan menimbun diri ke dalam
lubang kubur yang kalian gali sendiri. Si dungu, anti kritik, silahkan gali
lebih dalam lagi lubang kubur kalian sendiri. Si bijak, meminta masukan serta
kritik, dalam rangka memperbaiki diri dan membangun yang lebih baik bagi
kebaikan bersama. Sang Buddha menyebutkan, teman yang baik adalah teman
yang menegur perilaku buruk sahabatnya. Realitanya, banyak pemakai baru
obat-obatan terlarang, produk tembakau, maupun minuman beralkohol, bukan
terjemurus akibat bandar yang memasarkan ataupun iklan pariwara industri barang
madat, namun akibat pergaulan, dimana “teman” justru menjerumuskan kawan-kawan
dalam lingkungan pergaulannya. Seorang teman yang menegur perilaku buruk kawan sepergaulannya,
justru dinilai tidak memiliki jiwa solidaritas antar teman serta “tidak asyik”.
Sang Buddha pula pernah menyampaikan dalam Dhammapada, ketika
tidak ada teman seperjalanan yang sepadan (dari segi moralitas) dengan kita, maka
lebih baik kita berjalan seorang diri. Sungguh, penulis merasa bersyukur
terlahir sebagai pribadi yang tergolong “introvert tulen” di tengah-tengah
bangsa Indonesia, dimana pergaulannya antar pemuda maupun antar warganya kerap
diwarnai kebiasaan-kebiasaan dan perilaku negatif yang tidak sehat,
menjerumuskan, negatif, kurang produktif, konsumtif, cenderung dungu, merusak,
serta merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Penulis bahkan terpikirkan
untuk menulis sebuah buku inspirasional berangkat dari pengalaman pribadi,
dengan judul “How to be an Introvert!”
serta “Happy as an Intovert”—siapa
tahu banyak peminatnya dan merasa terbantu karena membacanya. Sederhana,
bersahaja, berkecukupan hati, berdikari serta soliter (tangguh), pekerja keras,
pemikir mendalam (deep thinker),
penuh tanggung jawab, moralis, idealis, tidak merepotkan, dan kemampuan untuk
bersyukur, menghasilkan karya-karya besar, merupakan anugerah terbesar kaum
introvert.
Diatas kesemua itu, ciri khas
paling utama kaum introvert, ialah dianugerahi kecerdasan untuk dengan mudah
melakukan introspeksi diri tanpa perlu menunggu sampai ditegur oleh orang lain.
Intovert pula memiliki keterkaitan dengan tingkat IQ yang lebih tinggi daripada
orang kebanyakan pada umumnya. Mungkin itulah satu-satunya yang tidak penulis
sesali dalam kehidupan pribadi diri penulis dalam dunia fana yang penuh “bopeng”
ini.
Biarkanlah di dunia ini, di
luar sana, banyak berkeliaran orang-orang “tidak waras” yang saling memakan dan
saling menyakiti sesama orang-orang “tidak waras”. Terserah mereka sajalah
mau berbuat kegilaan apapun, toh mereka sendiri yang kelak menanggung
konsekuensi sebagai harga yang harus mereka bayarkan. Yang penting diri pribadi
penulis tetap menjaga sikap eling, waras, dan sadar, serta memiliki cara
berpikir berupa akal yang sehat. Itulah cara penulis menjadi diri pribadi yang
profesional serta penuh tanggung jawab terhadap diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.