SENI PIKIR & TULIS
Misi Misionaris adalah Pendekatan Humanistis, Cinta
Kasih, Perdamaian, Kesejukan, Keteduhan, dan Ahimsa (TANPA KEKERASAN), Bukan
Kekerasan Fisik, Intimidasi, Teror, Ancaman, Paksaan, Aniaya, terlebih
Radikalisme
Agama semestinya membuat Umatnya Lebih Toleran dan
Lebih Humanis, bukan justru Mengubah yang Semula Toleran menjelma Intoleran dan
Radikal, dari Semula Humanis menjadi Premanis dan Hewanis
Sejarah selalu Terulang dengan Pola yang Sama, Lahir
dari Kekerasan, Bertumbuh Lewat Kekerasan, dan Bertahan dengan Kekerasan,
Pola-Pola Kekerasan yang justru Mendukung Catatan Bersejarah dalam Serat Darmogandul
Bayangkan kejadian bersejarah berikut yang terjadi pada abad ke-15 di Bumi Pertiwi, ketika Kerajaan Majapahit masih berdiri sebagai kerajaan Buddhist yang dikenal toleran terhadap agama-agama NON-Buddhisme untuk masuk dan berkembang (kebhinekaan). Maka, para pemuka “agama I” dapat mendarat dan menyebarkan agamanya kepada penduduk di Pulau Jawa, Sumatera, dsb. Ketika warga setempat menolak untuk meyakini dan memeluk “agama I”, bahkan menyebutnya sebagai “agama setan yang sesat”, apakah para misionaris “agama I” yang diberi nama “sepuluh wali” tersebut akan menanggapi dengan respon berikut : PUKUL, ANCAM, TEROR, ANIAYA, KEROYOK, BUNUH, PENGGAL, TAWAN, PENJARAKAN, dan kekerasan fisik maupun intimidasi mental lainnya?
Semisal, ketika warga setempat
menyebut mereka sebagai penganut “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”,
bermuara pada penganiayaan oleh sang misionaris “agama I” kepada warga
setempat, maka menjadi terbuktilah tudingan “TEROR!S” yang dilontarkan dan disematkan oleh sang warga yang menjadi
korban penganiayaan, bahwa yang disebarkan oleh sang misionaris adalah “Agama
DOSA” dari “Kitab DOSA” penuh kekerasan dan kebiadaban (belum beradab), dengan
kutipan dogma berikut:
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan
berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Faktanya, mereka tidak perlu
menyibukkan diri untuk berkelit bahwa mereka bukanlah “TEROR!S” dan “Cinta
Damai” yang “Anti Kekerasan” serta “Humanis”, maupun segala klaim lainnya ala
“Kecap Nomor 1”, namun senyatanya pula mereka selalu gagal membuktikannya,
lembaran sejarah demi lembaran sejarah telah mencatatnya dan tidak bisa
dihapuskan. Menjadi mengherankan, ketika kaum tersebut mengklaim bahwa para
penduduk negara di berbagai belahan dunia, bahkan di negara-negara Barat, telah
beralih menjadi pemeluk “agama I”, bila model misionarisnya ialah “pukul
dengan pukulan tinju” bagi warga atau penduduk setempat yang menyebut mereka
sebagai “sesat”, “teror!s”, “agama bagi para pendosa”, “hanya pendosa yang
mengidolakan iming-iming penghapusan dosa”, dan lain sebagainya yang
berkebalikan dengan klaimnya semula, “menimpuk dengan BOTOL Kecap Nomor 1”.
Perhatikan relevansinya visi
misionaris “agama I” yang dapat kita cerminkan sendiri dalam kehidupan
sehari-hari di Indonesia, dimana catatan sejarah selalu berulang dengan pola
yang sama dan terus-menerus berulang bagai “lingkaran setan” tidak
berkesudahan, dengan jatuh korban yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya,
dimana salah satu ilustrasinya ialah pemberitaan mengenai seorang YouTuber bernama
“Muhamad Kece” yang mengatakan bahwa “Kitab-kitab
yang diajarkan dalam Islam adalah ajaran yang sesat” (Aug 23, 2021,
kutipan pernyataannya tersebut dipublikasikan oleh berbagai media massa).
Muhammad Kosman alias Muhammad
Kece dijadikan tersangka penistaan agama. Saat proses penahanan, kantor berita
Antara melaporkan, M. Kece langsung dilarikan ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati
usai kejadian penganiayaan yang diduga dilakukan oleh tahanan lain bernama Irjen
Pol Napoleon Bonaparte (polisi yang tersandung kasus hukum
karena kolusi penyalah-gunaan kekuasaan dengan menghapus “red notice” seorang buronan, alias “pendosa” yang hendak “sok suci”
dengan menganiaya seorang penista agama seolah dirinya tidak telah menista
Tuhan-nya sendiri dengan menjadi “pendosa”).
Mengapa agama, justru membuat
umat manusia menjadi tidak memiliki peradaban, kehilangan perasaan dan hati
nurani? Tanpa fanatisme keagamaan, seseorang tidak mungkin menganiaya
orang lain hanya karena alasan agama. Menganiaya orang lain (main kekerasan
fisik), apapun alasannya, adalah tercela dan perbuatan buruk itu sendiri.
Faktor agama, bukanlah alasan untuk melakukan penganiayaan. Benarlah
pendapat seorang tokoh, bahwa “agama semacam itu” (agama yang men-tolerir
kekerasan fisik mengantas-namakan agama), merupakan musuh peradaban umat
manusia dan tidak memanusiakan manusia yang semestinya “manusiawi”—namun
menjadikan bak “hewanis” yang “aroganis” bak “premanis”. Bila Tuhan masih
memberi nafas kepada sang tersangka, mengapa manusia (sang umat) merasa
memiliki hak untuk melangkahi Tuhan dengan merampas hidup ataupun nyawa seorang
tersangka?
Berlanjut pada pemberitaan yang
dilansir detikNews, 17 September 2021, dengan tajuk : “Muhammad Kece Dianiaya (tiga
orang) Sesama Tahanan di Rutan Bareskrim”. Para netizen pun berkomentar sebagai
berikut (sumber : https:// news.detik .com/berita/d-5728620/muhammad-kece-dianiaya-sesama-tahanan-di-rutan-bareskrim;
serta https:// news.detik .com/berita/d-5729382/irjen-napoleon-aniaya-m-kece-di-rutan-polri-dalami-keterlibatan-pihak-lain)
Terjadi hukum rimba di area
penegakan hukum?
Alhamdulillah.
Masa sekelas rutan Bareskrim
gak ada CCTV-nya? Sepertinya ada pembiaran nih. Polri harus bertanggung jawab.
Orang kalau sudah menghina
agama patutnya jangan dikumpulin sama tahanan yang lain, kasihan. Masukkan
sumur, tutup dengan koral, biar aman. Kasihan dia disiksa.
Mantap Pak Napoleon, saya
mendukung bapak.
Kebiasaan buruk yang tidak
perlu dilestarikan.
Alhamdulillah... saya doakan bpk Napoleon bonaparte selalu diberi
kesehatan. Amin.
Udeh maling uang negara
dipenjara masih berani menganiaya orang. Nih orang zalim munapek mesti
ditambah 10 tahun minimal yang kayak ginian biar jera.
Mantap... terhibur
jadinya.
Di rutan saja sudah digebukin
gimana kalo di lapas.
Ya... yang seperti ini ga usah
heran lagi lah... kita sudah sama-sama tahulah arti kata damai dan indah.
Beneran nih pelaku nya Jenderal
Kepolisian???
Benar. Udah taulah ya pemeluk
agama mana itu.
Hukum yang aniaya, biar kapok napi-napi
sok jagoan, sekali melakukan kesalahan langsung menambah waktu di penjara.
Mapus, hajar.
Negara tidak hadir ketika bahaya mengancam dan menyentuh M. Kace. Mulai sekarang, Negara
wajib hadir setiap waktu untuk melindungi salah seorang warganya, M. Kace, dari
bahaya yang sudah begitu nyata. Jika terjadi lagi kejadian serupa di depan,
yang bertanggung jawab dan harus dipersalahkan adalah pemerintah.
Penjahat berseragam petugas
sampai dapat 2 bintang?
Tidak layak tingkah laku Irjen
seperti itu kalau memang benar.
Sekali penjahat berseragam
tetap penjahat sebagai napi.
Gua makin yakin M. Kece berkata
benar. cuma orang yang benar ngomongnya yang dianiaya penjahat. Betuuuul?
HANYA ORANG GILA YANG MENGAKU
WARAS...
Terus... kau yang mana
kawan...? Kau mengaku gak Waras, supaya dianggap waras...? Ha ha ha... jujur
sekali kau kawan...
Kata M. Kece, kita puluhan
tahun dijajah dan dibodohi oleh para turunan Ara.b
Waduh .. Bagemane Hukum bisa
menjungkir-balikkan semua nilai-nilai yang ada, coba .... Siapa yang menggerakkan
semua itu??
Percuma pangkat tinggi kelakuan
kayak preman. Polisi harus tegas.
Misionaris adalah misionaris,
preman adalah preman. Betul, namun tidak ada preman yang “sok suci” mengklaim
membela agama dengan melakukan perbuatan jahat seperti “main kekerasan fisik”
(menganiaya untuk menyelesaikan masalah). Preman yang “sok misionaris”, ataukah
misionaris yang “sok premanis”? Yang tampil dalam peristiwa semacam di atas
ialah, misionaris merangkap sebagai preman disaat bersamaan. Membela agama
semacam apakah, sampai-sampai menggunakan kekerasan fisik, bila agama yang
bersangkutan pada faktanya yang dipertunjukkan ialah “agama kekerasan”
alih-alih “agama kebaikan dan cinta kasih”? Karenanya, pelakunya bukanlah
preman, namun sang misionaris itu sendiri.
Baru-baru ini saat ulasan ini
disusun, “M” yang merupakan tempat ibadah “Agama I”, lewat pengeras suara yang
super “narsis” (bahkan tembus hingga ruang toilet dan jamban di kediaman
penulis), pemuka agamanya berceramah selama berjam-jam pada suatu malam dengan
desibel suara speaker eksternal yang mengganggu ketenangan hidup kami selaku
warga pemukim maupun hak beribadah umat agama lain (penulis tidak dapat
bermeditasi akibatnya, terampas hak konstitusional untuk beribadah sesuai
keyakinan masing-masing), sekalipun pada siang harinya telah membuat “polusi
suara” serupa maupun pada subuh dini hari keesokan harinya, tanpa takut serta
tanpa menurunkan nada suara, berceramah secara membahana sebagai berikut:
“Agama kita berbeda dengan
Agama Kr!sten, di Kr!sten yang ada ialah penebusan dosa, bukan pengampunan
dosa. Caranya penebusan dosa orang Kristen, yaitu dengan sembunyi-sembunyi
bertemu Pendeta di Gereja, lalu membuat pengakuan dosa, empat mata dengan
pastur di kamar yang gelap. Bagi Kristen yang mampu menyumbang banyak uang bagi
gereja, tentu mudah bagi mereka mengakses pengakuan dosa untuk ditebus.
Artinya, hanya orang kaya yang bisa masuk surganya Kristen!” (ceramah oleh pemuka “agama I”
pada “M. Al-Marifah, Jakarta, pukul 17.00 WIB tanggal 17 September 2021, dimana
seluruh penduduk setempat dapat menjadi “saksi telinga”-nya dalam radius satu
kilometer.)
Bukankah kita sepakat, bahwa
kutipan ceramah pemuka “agama I” tersebut di atas maupun ceramah-ceramah yang
menjelek-jelekkan dan menghina agama lain yang dapat kita dengar pada
keseharian lewat pengeras suara di keseharian “M”, merupakan bentuk penistaan
terhadap “agama K”? Mengapa bila umat “agama I” seolah berhak dan dibolehkan
menista maupun mendiskreditkan agama lain, namun agamanya sendiri demikian anti
kritik? Bukankah itu wujud konkret “standar ganda” alias sikap “mau menang
sendiri”?
Dalam berita berjudul “Tak
Terima Tuhan Yesus Dihina, Josep Paul Zhang Sebut Ustaz Menachem Ali Sebagai
Pengecut: Dia Cuman Bisa Masturbas! Doang!”, 20 Agustus 2021, https:// poskota .co.id/2021/8/20/tak-terima-tuhan-yesus-dihina-josep-paul-zhang-sebut-ustaz-menachem-ali-sebagai-pengecut-dia-cuman-bisa-masturbasi-doang,
diakses pada tanggal 20 September 2021, terungkap pula bahwa umat “agama I”
yang menista agama lain tidak tersentuh hukum terlebih dianiaya, namun disaat
bersamaan terjadi “standar ganda” bila agamanya sendiri dilecehkan: (Note :
Perhatikan siapa yang dijadikan tersangka, korban ataukah pelaku penistaan)
“Tersangka
kasus dugaan penista agama, Joseph Paul Zhang merasa tak terima karena
beberapa waktu yang lalu Ustaz Menachem Ali sempat mengucapkan
kalimat penghinaan terhadap Tuhan Yesus.
Paul Zhang merasa Ustaz
Menachem Ali tidak mempunyai nyali dan hanya berani mencela agamanya saja.
Diketahui bahwa pada bulan Mei
2021 lalu tersebar sebuah video dari Ustaz Menachem Ali
mengatakan bahwa ibu dari Yesus Kristus yakni Bunda Maria telah berinzah dengan
serdadu Romawi.
Ucapan sang pendakwah itu
langsung memunculkan kontroversi yang beragam dari sejumlah pihak, salah satunya
Joseph Paul Zhang yang tidak terima dengan ucapan tersebut.”
Pola-pola serupa dapat pula
kita jumpai dalam rekaman sejarah tahun-tahun sebelumnya. Kita tidak punya hak
untuk menghakimi perasaan maupun derita korban, dimana korban berhak untuk
“berteriak”—tanpa dapat teriakan atau jeritan seorang korban disebut sebagai
“tidak sopan” seolah-olah perilaku pelakunya telah “sopan”. Terlebih, yang
menghakimi sang korban ialah pelakunya itu sendiri, yang artinya dua buah
rangkaian kesalahan dalam satu momen kejadian.
Salah satunya ialah tragedi
yang menimpa seorang umat Buddhist, agama nenek-moyang Bangsa Indonesia (abad
ke-5 Masehi hingga abad ke-15 Masehi) yang telah memakmurkan dan menyuburkan
Nusantara dan memiliki budi memberi toleransi masuknya “Agama I”, yang telah
ternyata kini membalas budi baik maupun hutang budi toleransi dengan
intoleransi, dan kini setelah menjadi mayoritas justru hendak memusnahkan
kemajemukan setelah menikmati toleransi yang melahirkan mereka di negeri ini.
“Jeritan” korban, adalah
“AKIBAT”. Pelaku yang menyakiti, adalah “SEBAB”. Bagaimana mungkin, “AKIBAT”
disebut sebagai provokator-nya atau biang keladinya? KORBAN diputar-balik
sebagai pelaku, sementara pelakunya merasa “dizolimi”, lantas menjadi alasan
pembanar untuk melakukan tindakan radikalisme terhadap korban yang menjadi
korban untuk kesekian kalinya, sebagaimana dilansir oleh BBC dalam berita bertajuk
“Amuk massa di Tanjung Balai, vihara dan kelenteng dibakar”, 30 Juli 2016, https://
www. bbc .com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160730_indonesia_rusuh_tanjung_balai,
diakses pada tanggal 21 September 2021:
Aksi pembakaran dimulai
menjelang tengah malam, berlangsungs ecara cepat.
Tujuh orang terduga penjarah
diperiksa terkait kerusuhan bermula dari permintaan seorang perempuan kepada
seorang imam untuk mengecilkan pengeras suara mesjid,
dalang dan pelaku masih dicari.
Pembakaran-pembakaran itu mulai
meletus Jumat (29/7) menjelang tengah malam, sekitar pukul 23.00.
“Ada enam vihara dan
kelenteng yang diserang beberapa ratus warga. Namun kebanyakan,
pembakarannya dilakukan pada alat-alat persembahyangan, dan bangunannya sendiri
tidak terbakar habis,” kata juru bicara Kepolisian daerah Sumatera Utara,
Kombes Rina Sari Ginting kepada Ging Ginanjar dari BBC Indonesia.
Ditanya mengapa massa bisa
leluasa mengamuk dan seakan polisi membiarkan, Rina Ginting menjawab, “Kami
masih sedang mendalami, namun tidak betul polisi membiarkan.”
“Saat itu sebetulnya sedang
berlangsung dialog, namun massa di luar bergerak sendiri. Mereka bergerak
cepat, kami berusaha meminta mereka untuk membubarkan diri dan tidak melakukan
kekerasan. Dan jumlah polisi sangat terbatas.”
“Kami terus mendalami, dan
menyelidiki siapa pelaku-pelakunya, siapa dalangnya. Mereka pasti ditindak,
karena ini merupakan perbuatan pidana,” tegasnya.
Adapun tujuh orang yang sudah
‘diamankan’ dan masih diinterogasi, terkait dugaan penjarahan saat kejadian,
bukan pada tindakan perusakan dan pembakaran.
Polisi disebutkan sempat
berhasil meminta massa bubar, namun warga kembali beberapa waktu kemudian
diduga karena seruan di media sosial. [Note : Siapa dan apakah agama si provokator
tersebut? Mengapa Ibu Meiliana yang dicela, sementara pelaku provokatornya
tidak dikritik?]
Ditambahkannya, amukan
orang-orang yang sebagian adalah anak muda itu berlangsung beberapa jam, dan
mulai membubarkan diri sekitar pukul 04.30.
“Namun bakar-bakarannya
sendiri, tak berlangsung lama, karena yang dibakar adalah barang-barang
persembahyangan. Misalnya dupa, gaharu, lilin, minyak dan kertas, patung
Budha, gong, dan perabotan seperti meja, kursi, lampu, lampion.
Bangunan-bangunannya sendiri, terbakar sedikit.” [Note : Membakar sosok rupang
junjungan Guru Agung para siswa Sang Buddha, sungguh penistaan terhadap Agama
Buddha, mengapa pelakunya tidak dipidana sebagai perusak properti dan sekaligus
pasal penista agama?]
Disebutkannya, ketegangan
bermula menjelang shalat Isya, setelah Meliana, seorang perempuan Tionghoa
berusia 41 tahun yang meminta agar pengurus mesjid Al Maksum di lingkungannya mengecilkan
volume pengeras suaranya. [Note : Kelak, ketika umat “Agama I” ritual
ibadah dengan meledakkan rudal roket ke udara, jangan ada yang protes, agar
tidak menjadi Meiliana-Meiliana baru lainnya yang dikorbankan, karena protes
dari “NON” itulah yang mereka tunggu-tunggu sebagai alasan pembenar untuk
melakukan represi kekerasan dan anarkhi. Biarkan saja mereka semakin “narsis”,
karena ada orang-orang yang masih waras yang akan memandang rendah cara dan
gaya ibadah kaum mereka.]
Sesudah shalat Isya, sekitar
pukul 20.00 sejumlah jemaah dan pengurus mesjid mendatangi rumah Meliana. Lalu
atas prakarsa Kepala Lingkungan, Meliana dan suaminya dibahwa ke kantor lurah.
Namun suasana memanas, Meliana
dan suaminya kemudian ‘diamankan’ ke Polsek Tanjung Balai Selatan.
“Di kantor Polsek lalu
dilakukan pembicaraan yang melibatkan Camat, Kepala Lingkungan, tokoh
masyarakat, Ketua MUI, dan Ketua FPI setempat,” kata Rina Ginting.
Ia mengaku belum tahu, mengapa
FPI dilibatkan.
“Tapi di luar, massa mulai
banyak berkumpul, dengan banyak mahasiswa, mereka melakukan pula orasi-orasi.
Tapi kami bisa menghimbah mereka dan mereka pun membubarkan diri.”
Namun katanya, dua jam kemudian
massa berkumpul lagi, kemungkinan akibat pesan di media sosial.
Mereka lalu mendatangi rumah
Meliana dan bermaksud membakarnya namun dicegah oleh warga sekitar. Sesudah itu, massa yang semakin banyak dan semakin panas bergerak
menuju Vihara Juanda yg berjarak sekitar 500 meter dan berupaya utk
membakarnya tapi dihadang oleh para petugas Polres Tanjung Balau. massa
yang marah lalu melempar vihara itu dengan batu.
“Lalu massa bergerak ke
tempt lain, yang ternyata melakukan pembakaran di beberapa vihara dan kelenteng,
yang jaraknya berdekatan” papar Rina Ginting pula.
Disebutkannya tercatat pembakaran
dan perusakan terjadi pada setidaknya enam vihara dan sejumlah kelenteng dan
beberapa bangunan lain, serta sejumlah kendaraan.
Berita selanjutnya diberitakan detikNews
dalam liputannya berjudul “Selembar Pembelaan Meiliana”, 25 Agustus 2018, https://
news.detik .com/berita/d-4181540/selembar-pembelaan-meiliana diakses pada
tanggal 21 September 2021:
Meiliana divonis 18 bulan
penjara karena dianggap menista agama akibat mengeluhkan volume
suara azan. Saat sidang, Meiliana sempat menyampaikan pleidoi lewat
selembar kertas.
Pengacara Meiliana, Ranto
Sibarani, menunjukkan selembar kertas dengan tulisan tangan Meiliana. Saat
sidang dengan agenda pleidoi pada 13 Agustus 2018 itu, Meiliana membaca
pembelaannya sambil menangis.
Perempuan asal Tanjung Balai,
Sumatera Utara, itu mengaku sedih semenjak ditahan karena jauh dari keluarga
dan anak. Atas penahanan itu, Meiliana bersama suaminya tak bisa lagi
mendapatkan penghasilan untuk menghidupi keluarganya.
Bukan hanya itu. Meiliana
bersama anak-anaknya mengalami trauma. Mereka jadi takut terhadap keramaian. [Note : Yang merasa senang
atas derita Meiliana, tidak punya hati nurani, atau dimatikan dan dibutakan
oleh agamanya. Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang yang sama.]
Dalam pleidoi itu, Meiliana
mengaku tidak bermaksud melakukan penistaan agama karena juga punya saudara
beragama Islam. Dia juga mengaku hanya berbicara spontan kepada saudaranya.
“Saya tidak bersalah karena
saya tidak pernah melakukan itu. Saya hanya berbicara spontan kepada teman
saya, Kak Uwok. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan agama orang lain karena
saudara saya pun ada yang beragama Islam,” demikian penggalan pleidoi Meiliana.
Berikut ini pleidoi yang
ditulis Meiliana di selembar kertas:
PN Medan, 13-8-2018
Saya Meiliana. Semenjak di
rutan / lapas, saya merasa sedih karena meninggalkan anak-anak saya dan
keluarga.
Semenjak saya ditahan, saya
kehilangan pekerjaan dan pendapatan untuk anak-anak saya dan di kota Medan saya
tidak bisa bekerja dan di rumah saja. Dan suami saya pun sama-sama tidak bisa
bekerja seperti biasa karena di kota Medan tidak ada yang bisa kami kerjakan.
Dan saya pun merasakan ketakutan setiap saat dan anak-anak saya pun merasakan
ketakutan asal ada keramaian dan sampai sekarang masih trauma.
Sampai sekarang saya masih takut
dan sekarang masih menanti tuntutan jaksa. Takut atau sedih karena saya tidak
bersalah.
Saya tidak bersalah karena saya
tidak pernah melakukan itu. Saya hanya berbicara spontan saja pada teman saya
Kak Uwok. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan agama orang lain karena saudara
saya pun ada yang beragama Islam. Itu adalah bagian dari saya.
Harapan saya ingin bebas
Terima kasih
Meiliana
Warga Negara Indonesia
Meiliana divonis 18 bulan
karena mengeluhkan volume suara azan di masjid sekitar rumahnya pada 2016.
Rumah Meiliana sempat dirusak warga. Pascavonis, dukungan mengalir ke Meiliana
dari sipil maupun politikus. Bahkan ada puluhan ribu orang berpartisipasi lewat
petisi di situs change .org yang meminta Meiliana dibebaskan.
Komentar Netizen:
Udah pantas ini di hukum!! Kalau
ga suka pergi dari Indonesia sana, kami umat muslim wajib mengumandangkan azan
dengan baik dan keras krn itu penting konsisten! Macam2 aja kau hah.
Berisik woi... klo mau teriak
di hutan sana??
Luar biasa agama yg cinta
damai.. memberi Rahmat bagi sesama..
Lo senggol gue bacok, tapi kalo lo gue senggol awas kalau
ngelawan, gue panggil geng gue ntar.
islamphobia ada karena Arogan, teror,
menyeramkan...
Memang benar tidak ada asap
bila tidak ada apinya. Tapi justru apinya itu berasal dari speaker yang teramat
sangat keras. Dan kejadian ini sangat sering terjadi.
The perveted religion followed
by foolish people is totally lethal.
Negara overdosis agama.
menyedihkan...
Islam itu agama damai, kalo loe
gak percaya, gua gorok loe baru tau rasa....
Iiiiih.... Takutttt.......
Radikal yah om??
Dia cuma mau beri gambaran
beginilah agama itu sebenarnya. jadi jgn heran..
Orang mengeluh suara bising kok
dianggap menista .. jaka sembung.
Itu bukti masyarakat indonesia
masih banyak yg bodoh.
Ada api pasti ada asap..
Ya, asapnya suara toa yg
kenceng itu.
Gak mungkin org muslim ngamuk
kalo tdk ada hal2 yg menyakitkan hati, harusnya ibu itu di usir dari negara ini
Krn sdh menghina agama ..... [Note : Mengeluhkan speaker = menghina “Agama
I”? Berarti, “Agama I” = Agama SPEAKER—agama baru, umatnya menyembah SPEAKER.
Kedua, Bumi Pertiwi adalah negara nenek-moyang Buddhist abad ke-5 sampai abad
ke-15. Silahkan para radikal kembali ke negara asalnya di Timur Tengah.]
Menghinanya gimana emang?
Nah kan ini dia pemilik kapling
surga, yg masih ngak punya malu bilang alirannya cinta damai wkwkwkwkwk.
Ajaran situ mana ada yg gak
mungkin kalau urusan balas membalas .. noh tertulis gitu vulgar kok.. suruh
perangi yang tidak sejalan...damainya indahnya ajaaran seprti itu.. (menurut si
foolish ya)
Agama lain lbh sering disakiti
hatinya, kalo semua juga ngamuk begini, mau jadi apa negeri ini?
Menjadi malu luar biasa yg
beragama islam, dunia internasional mengecam nya. [Note : Kini investor asing
membalasnya, dengan MENOLAK menanamkan modalnya ke Indonesia. Rohingya pun
menolak mengungsi ke Indonesia, “Negara
MISKIN”, kata orang Rohingya yang sempat mendarat di Aceh.]
Mana punya malu... Tinggal putar
balikkan fakta aja... Jurus andalannya.
Semoga keluarga anda mengalami
hal yg sama, bumi ini bulat bos, kasih rasa kasihan, karna beliau sudah
menjelaskan.
Kalo tdk mau dengar adzan jgn
beli rumah dekat masjid, mudahkan??? [Note : Dimana ada pemukiman yang speaker M-nya
tidak membahana bersahut-sahutan antar M, di hutan? Anda sendiri saja yang
teriak-teriak di hutan bersama monyet-monyet liar.]
Masjidnya tidak salah, pemakai
speakernya yg suka intoleran dan memasang volume terlalu keras. Tapi begitu
diminta mengurangi volume langsung di fatwa penistaan. Sebagai muslim saja ane
sampai malu dan marah. Islam yang diajarkan ane bukan begitu. Dan ini sangat
mencoreng citra islam.
Jadi di Islam melegalkan utk berbuat kekerasan untuk
menyelesaikan sesuatu masalah?? Dangkal bgt otaknya dikit2 rusak, bakar,bunuh..
Gimana kalau besok saya pasang
TOA di sebelah rumah anda dan putar lagu-lagu gereja keras-keras? Pengen tahu
aja, paling yang ada nanti bakar... bakar... bakar!
Yg paling sering mempersalahkan
agama lain ya tau sendiri siapa, dari banyak agama di Indonesia yg suka jahat
sama ke agama lain ya tau sendiri siapa.
Kalo umat agama lain marah2
paling cuma kesal dihati aja, apa pernah sampai bakar masjid kecuali pernah
terjadi di papua aja. [Note : Inilah yang selalu ada di mindset
umat “Agama I” : “Masih untung kalian
para kaf!r tidak kami BUNUH!”]
Kalo memang sebuah agama
berasal dari Tuhan Yang Esa, diapakan saja tidak akan pernah hina. Hanya
pemeluknya saja yang merasa terhina. Yang saya heran, koq ada UU yang sangat
abu-abu. Penistaan agama, perbuatan yang tidak menyenangkan. Apa sih standar
penilaian seorang hakim?
Mengeluh dan melarang beda arti
bos.
Jadi mmg harus bebas bisa
sekeras kerasnya ya, ga ada yg boleh protes ya.. Mm panteslah.. Semakin tau
sekarang.
Jadi situ setuju kalo faktanya
terlalu keras?? Btw jangan lupa beli buku belajar menulis yang baik dan benar
ditoko buku terdekat anda.
Dalam seminggu saja ada berita
anak TK bercadar bawa senjata terus ini, sudah jelas negara ini arahnya mau
kemana. Tapi kalo sendirinya yg dibisingin marah, itulah Indonesia.
Hakim ini sepertinya buta mata
dan buta hati. [Note : Akibat meneladani Hakim Agung Artidjo Alkostar, Hakim Agung yang
dikenal lebih pandai menghukum ketimbang mengadili, sekaligus Hakim Agung yang
memutus perkara Meiliana dalam tingkat kasasi dan menguatkan putusan Pengadilan
Negeri.]
Vonis tidak adil dan mengundang
kemarahan dunia internasional ini menunjukkan bahwa banyak orang yang buta mata
hatinya dan rasa keadilannya. Berdoa hanya untuk ditunjukkan pada tetangganya
dan supaya dianggap religius. Tapi korupsi jalan terus dan arogansi diutamakan.
Masa urusan speaker membakar puluhan rumah dan rumah ibadah umat lain? Ini
sangat memalukan dan sama sekali tidak menunjukkan keimanan seorang muslim,
justru membuat malu agama kita.
Sedih aja bacanya, turut
prihatin bu Meliana.
Mungkin Meiliana protes suara
Adzan tidak secara baik-baik sehingga ia harus diproses hukum secara baik-baik.
Namun proses hukum saja masih belum cukup, masyarakat juga layak memberi
hukuman terhadap Meiliana dengan dengan cara aksi demo dan bakar rumah yang
tidak dilakukan secara baik-baik. Memprotes volume suara adzan itu sama dengan
memprotes suara adzan, dan sama juga dengan memprotes Adzan, dengan kata lain
memprotes atau menghina agama Islam. Kekerasan terhadap Agama yang dilakukan
oleh Meiliana tersebut lebih KERAS dan BAHAYA dibandingkan dengan kekerasan
yang dilakukan oleh masyarakat yang melakukan kekerasan dan membakar rumahnya,
sehingga Meiliana pantas dihukum lebih berat dari masyarakat yang melakukan
kekerasan terhadapnya.
Sakit otakmu. Berarti kalau
ada tempat ibadah dibakar itu wajar?
Astaga ternyata banyak
pemahaman kaya gini? Sesat banget.
Sekolah kamu dimana? yang
ngajar kamu siapa? otak ga waras kok dipelihara?
Mengapa segelintir orang sdh
tdk memiliki akal sehat dan nurani karena Meilana mengeluh terlampau kerasnya
suara toa yg mengumandangkan Azan? Bahkan sampai merusak rumahnya? Inikah
arti damai bagi mereka?
Cuma karena masalah speaker aja
sampai ke ranah hukum penistaan agama ? Rakyat Indonesia memang toleran dan
penuh musyawarah.....:P [Note : Musyawarah dengan memakai pukulan tinju, tinju yang berbicara.]
Kadang dubilangin baik2 juga
gampang tersinggung. Sabar buat Meliana, mudah2 jalanmu dan kekuarga ke
depannya lebih dimudahkan. Prihatin dengar berita seperti ini. Jujur saja saya
juga suka terganggu dengan suara keras dr toa2 itu. Meskipun itu juga agama
saya.
Bagi para perusak Vihara
bagaimana, apakah mengeluhkan suara azan yang dianggap terlalu keras oleh
Meliana lebih parah dibanding merusak tempat ibadah (Vihara).
Malu baca berita ginian. Sama
sedih.
Semut di seberang lautan
kelihatan. Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.
Mereka kena pasal yang beda.
beda pasal beda hukuman. [Note : Merusak Vihara dan membakar Buddha rupang simbolik Buddhisme,
dibilang bukan penistaan agama? STANDAR GANDA!]
Sekeras apapun kamu
mensyariatkan ‘toa’, tetap saja Tuhan tidak menilai keras tidaknya suara adzan.
Toa bagian dari jaman, bukan syariat. Bebaskan Meiliana.
Kl sholat jumat jalan macet, yg
mengeluh banyak tp knp tdk dianggap penistaan agama. Hukum cm berlaku buat yg
lemah.
Lha..kl pedagang toa sepi dan
bangkrut siapa yang tanggung jawab.
KISAH MIRIP
AHOK.....KAsihan.....KASIHAN BANGSA INI JIKA JIWA Rakyatnya Masih Kerdil......
Orang protes ko di bilang
menghina. Jangan langsung menghakimi orang lain.
Urusan beginian bisa sampai
bakar bakar rumah orang dan rumah ibadah lain, sungguh memalukan umat. Apa
dikira akan membuat kita lebih terhormat? Apa pandangan orang lain pada kita.
Cerdaslah, tindakan sedikit sedikit rusuh ini akan semakin merusak citra umat
kita sendiri dan sangat memalukan. [Note : Ayo, lanjutkan para umat “Agama I”, agar
semakin tercoreng agama Anda, bila Anda anggap belum cukup coreng-moreng di
mata publik domestik lokal maupun global.]
Semua menunjukan jati diri.
Saya rasa tujuan perusakan dan
pembakaran bermodus lain. bukan urusan balas membalas, arahnya lebih
penjarahan. aji mumpung gitu loh. [Note : Sama seperti psikologi superter
sepakbola di Indonesia, tujuannya ke stadiun bukanlah untuk menonton tim
idolanya bertanding, namun untuk pulang dengan membawa oleh-oleh berupa
“kerusuhan” antar “bonek”.]
Heran kemana sikap lembut dan
santun itu? Kok mau nya dan selalu perangai beringas yg ditonjolkan?
Klo minta ngecilkan toa secara
baik2 gak mungkin ribut...
Ente sudah pernah mencoba itu?
Kalau yang meminta sesama umat kemungkinan rusuh memang kecil. Tapi kalau yang
meminta umat lain biasanya pada ribut tersinggung.
Betul, tekanan dari kelompok
radikal.
Hal lain nya karena syetan2 itu
pada kerumunan di sidang, memaksa hasil sidang, keliatan bgt juga di foto
belakang meliana.
Pakai logika aja udah keliatan
mana yg salah.
Dia tdk menghina agama bro.
Yg dikeluhkan suara speaker
terlalu besar, dan jadi masalah krn speaker itu speaker ibadah. Bukan isi
ibadahnya yg dikeluhkan. Namanya juga cerita dari mulut ke mulut keluhan suara
terlaku besar bisa jadi merasa dilarang ibadah.
Cm mengeluh speaker kegedean
sama tetangga mak uwok... uda di sebut penistaan agama...... hakim oh hakim....
kedepan semua org akan takut ngomong sesuatu..baik ampli jelek atau apapun.
Tapi kenapa bisa keluar fatwa
penistaan agama TANPA TABAYUN TERLEBIH DAHULU?
BEBASKAN MEILIANA.
Rijiq sering sekali
menyinggung2 dan menghina agama lain... Knp kalian diam? Apakah bgtu ajaran
agama yang baik? Atau toleransi tdk berlaku dua arah? Knp JK gak dipenjara juga
dr dulu minta suara toa mesjid dikecilkan??? [Note : Biarkan HUKUM KARMA yang akan membalas
perbuatan seluruh umat “Agama I” yang telah bertindak “zolim” terhadap kaum
“NON”.]
Sesama genk harus dibela coy...
Auto heaven.
Bagaimana dengan intoleransi
yang dilakukan oleh ormas2 Islam, pemuka2 agama, intimidasi terhadap kegiatan
ibadah non muslim dan pembangunan tempat ibadah non muslim?? Intoleransi hanya
diberlakukan kepada non muslim dan diijinkan kepada muslim?
Iya kalau yg muslim intolerant
baru boleh, demi persatuan dan kesatuan bangsa, kalau ngak boleh dibakar tempat
ibadah dan rumah kalian non muslim.
Kalau salah ya salah. Jangan
karena se agama dengan kita terus menutup mata jika ada oknum melakukan
kesalahan.
Yang merusak dan membakar tempat
ibadah orang lain, bukannya kriminal tuh?
Menurut mereka yang suci dan
damai itu... Itu bukan kriminal loh.. itu karena ada asap maka ada api....
Sesuai ajarannya gitu loh.. ente diganggu maka halal utk balas .. begitulah
kura kura... Such a bigot and foolish people.
Inilah agama dinegriku.. begitu
mudah menghakimi orang lain..kebenaran dibalas kejahatan asal atas nama agama,
kejahatan menjadi kebenaran.
Akibat menjamurnya PREMAN
BERJUBAH.
Kalo telinga mereka sudah tuli
dipanggil pakai toa kekuatan 100 ribu Watt juga gak bakal mendengar. Mereka
memang cuma mau show of force bahwa mereka paling kuat. Membakar tempat
sembahyang agama lain yg tidak ada hubungan adalah buktinya. Dan hakim2 takut
memutuskan dengan adil seolah-olah mendukung mereka.. inilah Indonesia.
Kapannbisa maju??
Hakim takut dgn tekanan Massa
yg BAKAR vihara. Jadi org yg minta suara TOA mesjid dikecilkan yg di hukum
berat. Ini yg dibilang Hakim Kongkong kabulamma.
Sangat parah dan konyol?! Siapa
yg melaporkan dan menerima laporan ini?!
Berarti dikit2
bakar...bakar...bakar....gitu ya? [Note : Satu lagi, pasal penistaan agama,
dikit-dikit dibilang menista.]
Percuma Panggilan Sang khalik
berkumandang tiap hari, tapi perangai dan sikap gak ada yg lembut.
Disebut pembunuh, ada niat
membunuh, ada proses.membunuh, dan akhirnya ada yg terbunuh (mati). Adanya
keinginan suara speaker dikecilkan, ada nya proses meminta suara speaker
dikecilkan, akhirnya bagaimana? Apakah jadi dikercilkan?
Cuma satu kata...... GILA.
Semakin lama semakin kacau dan
rusak hukum dinegara kita. MUI juga semakin kehilangan bobotnya untuk membuat
fatwa. Sembarangan membuat fatwa penistaan agama sebelum Tabayun justru membuat
kekacauan.
Itu baru VOLUME DIKECILKAN
sudah pada ribut, gimana minta dimatikan tuh TOA, hukuman mati kali....!!!!
Ummmmaaattt ancurrrr...
Secara tidak langsung hakim
Indonesia mendukung tindakan terorisme atau memang mau mendirikan Sharia di
Indonesia. Sudahlah, lebih baik tidak usah membela Indonesia, tidak ada
gunanya, kita tidak dianggap!
Harus di cek volume toa di
masjid itu apakah memang benar sesuai standar atau tidak, penggunaannya sesuai
tujuannya untuk adzan saja atau bukan dan Ibu Meiliana sebenarnya hanya
komplain karena suara toa dinaikan atau melarang adzan. Kita Harus objektif
melihat kenyataan. Tapi ya kenyataannya orang yg bakar tempat ibadahain saja
vonis paling 1-2 bulan. Padahal jelas2 ada niat dan tujuan buruk. Pembakar
tempat ibadah seharusnya dijerat uu teror!sme.
Keputusannya tercemar oleh
kedatangan ormas.
Justru ekor yang semakin menunjukan
ketidakadilan. Sudah jatuh ditimpa tangga. Pelajaran bagi kita semua, hati hati
jika bicara bahkan kepada teman sekalipun.
Biar dunia melihat.. begini lah
negriku.
[Note : Tidak heran bila di Indonesia ini banyak bencana alam, terjadi
sepanjang tahun, bertubi-tubi, serta tragedi kemanusiaan, kutukan “dikorupsi
oleh sesama anak bangsa”, bangsa serba impor bahkan untuk urusan beras dan
bawang, dan segala bentuk kriminalitas lainnya, akibat degradasi moral sejak
rusaknya “standar moral” akibat “Agama SPEAKER”.]
Polusi udara antara lain
disebabkan oleh asap kendaraan, karenanya kendaraan harus dikurangi...penistaan
atas kendaraan?
Khan tinggal bilang ke meliana
nya klo ngak bisa, tapi suara kerasnya cuma berlangsung 1 menit, klo kenyataan
nya khan ngak, langsung rusak rumah dan tempat ibadah.
1 menit kepalamu! 20 menit
belum lagi anak2 yang sering bermain2 pakai speaker toa. Sangat menganggu,
volumenya perlu di kecilkan.
Coba klu kita ditempatkan pada
posisi meliana. Bagaimana perasaan kita. saya rasa klu komplain tentang
kehidupan bertetangga itu hal biasa. jangan dibawa emosi.
Kayanya dy hanya minta volume
toa dikecilkan, bukannya di matikan. Mungkin saja saat itu volumenya terdengar
sangat bising. Harusnya ga perlu di tanggapi secara berlebihan, apalagi main
bakar-bakar rumah ibadah. Tidak perlu menunjukan kekuatan dengan arogant. Agama
bukanlah suatu komunitas macam yakuza atau mafia. Agama mengajarkan kedamaian.
Harap setiap oknum yg beragama bisa mengamalkannya.
Pada ngaku bela agama, tp pada
korupsi juga dan doyan kardua iai duit.
Yg bakar2 kemarin kenapa lo diam?? Itu jelas lbh
menista..
Berani bakar.. berani bertanggungjawab.... Jangan
sembunyi dibalik kertas toilet..
seandainya di dunia ini tdk di
ciptakan TOA atau speaker masih kah umat menyembah dan sujud kepadaNYA?
Toa itu buatan negara mana
awalnya?
Justru yang harus hati hati
adalah yang kelak memakai speaker harus lebih memperttimbangkan gangguan pada
tetangganya. Jangan dibalik, karena itu menimbulkan kesan umat muslim arogan.
Jaga mulutmu juga!
Bro. Dia kan cuma minta
dikecilkan dikit, bukan minta azan dihilangkan. Kagak menghormati tolerabsi
gmn?
Bela agama tapi dengan cara
merusak sekarang seakan jadi pembenaran.
Terdapat satu komentar netizen,
menyebutkan : “MULUTMU HARIMAU MU, BU
MEILIANA!” Tanggapan penulis, yang pertama kali membuat gaduh dengan
“polusi suara”, siapakah? Berarti, tudingan demikian ditujukan kepada umat
“Agama I” itu sendiri. Mereka pikir, mereka merebut “kemenangan” dengan
berhasil teror, menyebarkan ketakutan, merusak, menjarah, membakar, sakiti, dan
penjarakan Ibu Meiliana maupun para umat Buddhist-Tionghua di Tanjung Balai
pada khususnya maupun di seluruh Indonesia pada umumnya. Faktanya, mereka telah
MENCORENG CITRA AGAMA MEREKA SENDIRI—mereka KALAH TELAK, MENAMPAR WAJAH SENDIRI.
Mereka hanya mendapat dukungan
dari para simpatisan yang sejak semula sama-sama intoleran, namun mendapat
antipati keras dari kaum “NON”—sekalipun kaum “NON” kian bungkam bukan karena
tiada protes atas perilaku ritual “Agama I”, namun karena kian merasa TAKUT dan
TERANCAM menjadi korban selanjutnya yang dijatuhkan. Perihal “speaker”, itu
hanya menjadi alibi alias alasan pembenar. Sedari sejak awal, menurut
perspektif psikologi perilaku, mereka telah memiliki niat untuk merepresi umat
agama “NON”—terbukti dari mudahnya massa dimobilisir serta tersulut
oleh provokator dari pihak “Agama I”.
Di mata penulis secara
personal, Ibu Meiliana adalah PAHLAWAN—karena banyak diantara kita yang
SEJUJURNYA TERGANGGU suara speaker “M”, namun memilih bungkam dan hanya
memendam rasa geram akibat terganggu setiap harinya selama bertahun-tahun,
sementara itu Ibu Meiliana berani mengungkapkan isi hati terdalamnya untuk
mengajukan protes. Jujur berkata, dimaknai sebagai protes “penistaan agama”,
bermuara pembungkaman. Kelak, umat “Agama I” akan kian menginjak-injak kepala
umat “NON”, dan kian hari kian terbukti, mulai dari parkir liar merajalela dengan
mengatas-namakan kegiatan agama (“Kamu
ingin larang kami ibadah?”), terbitnya berbagai peraturan daerah intoleran
bernuansa syariat, pelarangan rumah makan saat bulan puasa, kewajiban
menggunakan kerudung, diskriminasi SARA, dsb. Bahkan, protes terhadap sandal
para umat “Agama I” yang berceceran di jalan umum pun, akan dikatakan sebagai
“penistaan agama”.
Bila keluhan warga disebut
sebagai “polusi suara” yang memberi legitimasi bagi umat “Agama I” untuk main
kekerasan fisik dan menista Agama Buddha, maka di telinga umat Agama Buddha
suara speaker ritual “Agama I” juga merupakan “polusi suara”. Jika umat Buddha
diharuskan sopan dan santun melakukan komplain, mengapa umat “Agama I” boleh
anarkis dan barbarik ketika komplain terhadap “polusi suara” yang sekeras
komplain seseorang yang hanya bisa didengar sejauh beberapa meter jauhnya,
ketimbang “polusi suara” speaker yang demikian kerasnya menyakitkan telinga
hingga berkilo-kilo meter kerasnya? Bukankah itu STANDAR GANDA alias praktik
“mau benar sendiri”?
JIKA BOLEH JUJUR, jika boleh untuk jujur (jika tidak boleh, maka
jangan dibaca tulisan berisi pengakuan jujur ini), penulis AMAT SANGAT
TERGANGGU OLEH PRAKTIK RITUAL IBADAH UMAT “AGAMA I”. Penulis tidak dapat
beristirahat dengan tenang, beribadah dengan tenang sesuai keyakinan keagamaan
pribadi penulis, tidak dapat bekerja dengan tenang, tidak dapat keluar ataupun
masuk kediaman sendiri karena kendaraan para umat “Agama I” parkir sembarangan
di depan pagar kediaman rumah (meski banyak tempat lain yang lebih layak
sebagai tempat untuk parkir, semisal di ruas jalan lain BUKAN TEPAT PERSIS
PARKIR BERJEJER DI DEPAN PAGAR KEDIAMAN WARGA, cerminan IQ
tiarap namun bersikap bak ber-SQ tinggi dengan menyebut diri “agamais”), maka
silahkan Anda nilai pengakuan penulis sebagai penistaan terhadap “SPEAKER”—yang
artinya Anda mengaku MENYEMBAH SPEAKER (“BERHALA”).
Yang mana juga, silahkan Anda tafsirkan
pula bahwa agama Anda adalah “Agama SPEAKER” bahwa Anda menyembah “SPEAKER” dan
Tuhan yang Anda Tuhan-kan adalah “SPEAKER” yang penulis kutuk tersebut.
Setidaknya, sekalipun tubuh ini dipenjara, dibakar, dijarah, dianiaya, penulis
KIAN MEMILIH DAN KIAN MEMUTUSKAN UNTUK MENJADI “NON”. Setidaknya, berkat
mereka, ada satu orang di dunia ini yang menjadi “NON”, yakni diri pribadi
penulis. Dengan memilih untuk hidup dan mati tetap sebagai “NON”, artinya
umat “Agama I” dan Tuhan “Agama I” telah kalah dan tidak dapat membuat jiwa
penulis bertekuk-lutut di hadapan mereka. Mereka pikir mereka telah memenangkan
“peperangan”—namun mereka keliru, karena ada satu orang di dunia ini (yakni
pribadi penulis) yang kian memutuskan menjadi “NON”, berkat mereka.
Mereka gagal menjadikan penulis sebagai umat “Agama I”, yang artinya kegagalan
bagi Tuhan “Agama I”.
Contoh-contoh di atas merupakan
ilustrasi kecil dari berbagai kasus konkret serupa yang dapat kita lihat atau
bahkan alami sendiri di keseharian di Indonesia, terjadi secara lebih masif dan
meluas, baik yang terpublikasikan secara viral maupun yang menjadi pengalaman
personal pribadi kita masing-masing. Bukti-bukti empirik tersebut secara
langsung membuktikan kebenaran isi rekaman berupa dokumentasi jejak sejarah bernama
“Serat Darmogandul”, yang merupakan karya sastra kuno berbahasa
Jawa, yang kebenaran data sejarah di dalamnya ternyata dibenarkan oleh
perilaku-perilaku masa kekinian yang dapat kita simak dengan mata-kepala kita
sendiri.
Terjemahan bebas ke bahasa
Indonesia dari Serat Darmogandul, dapat kita temukan pada http:// mahayuge.blogspot
.com/2015/03/isi-serat-darmo-gandul-rahasia-sejarah.html, diakses pada tanggal
20 September 2021, dengan kutipan sebagai berikut, sembari membuat kaitan
relevansinya dengan contoh-contoh kasus kontemporer sebelumnya di atas:
Isi Serat Darmo Gandul (Rahasia Sejarah Kehancuran Majapahit)
Serat Darmo Gandhul pernah
diterbitkan oleh Dahara Prize – Semarang berukuran 15 cm x 15 cm. Berikut ini
adalah tulisan tentang Serat Darmo Gandhul yang dimuat berseri di Tabloid Posmo
terbitan Surabaya. Isi dari serat ini rasanya masih relevan dikaitkan dengan
zaman sekarang, dimana mulai bermunculan kelompok fundamentalis Islam,
terorisme yang mengatas namakan agama, dan juga kelompok-kelompok yang bermimpi
untuk mendirikan kekhalifahan Islam di negeri ini, dan juga di negara-negara
Asia Tenggara lainnya.
Penerbit: TAN KHOEN SWIE –
Kediri Djalan Dhoho 149
Pada suatu hari, Darmogandul
bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula orang Jawa meninggalkan agama
Budha dan berganti agama Islam.
Lantas, Ki Kalamwadi pun
menjawab, “Aku tidak mengerti. Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan
asal-usul orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam.
Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu.”
Pada zaman dulu Majapahit
(1292-1478) bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan. Bagi yang belum tahu
ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan. Prabu Brawijaya adalah
raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam.
Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam. Ketika sedang beradu
asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu.
Putri Campa.
Setiap dekat sang prabu, tiada
kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam. Tak lama
kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad. Ia mohon izin
menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad
tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya.
Banyak ulama dari seberang
datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon izin tinggal di wilayah
pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya berkembang dan banyak orang Jawa
memeluk agama Islam. [Note : Umat “Agama I” berhutang budi kepada Buddhist, menikmati toleransi
yang diberikan Buddhist. Kini, apa balasan terhadap budi baik Buddhist yang
merupakan NENEK-MOYANG BANGSA INDONESIA?]
Perkembangan itu menempatkan
seorang guru agama Islam tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban.
Sayid Kramat namanya. Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.
Orang-orang Jawa banyak yang
tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur
meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah Blambangan sampai
ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam.
Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000
tahun. Menyembah kepada Budi Hawa.
Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.
Raden Patah.
Sang Prabu mempunyai seorang
putra bernama Raden Patah. Ia lahir di Palembang dari rahim seorang Putri Cina
(Puteri Campa?). Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama
saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen (Husein).
Sang Prabu bingung memberi nama
putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang
lahir di pengunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang
Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib.
Sang Prabu memanggil patih dan
abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila
mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena
ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat
lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata
kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah.
Sampai saat ini, keturunan
pembauran antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama
pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya. Babah Patah
kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di sepanjang
pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel.
Babah Patah tinggal di desa
Bintara, Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak
ia diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati
di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran Islam makin berkembang.
Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber
pengetahuan tentang baik dan buruk. Orang yang berbudi baik patut dimintai
ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya.
Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur.
Sang Prabu Brawijaya berpikir,
para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa juga masih
mengurangi makan dan tidur.
Sunan Bonang.
Pada waktu itu sunan Bonang
akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah
Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan
dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki
agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha.
Ternyata, kata Ki Bandar,
masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap
Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari
raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira
ria.
Kata Sunan Bonang, ”Kalau
begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak.
Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah.” Sejak itu, daerah di sebelah utara
Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Kutukan Sunan Bonang terhadap
Seorang Wanita.
Hari terik. Waktu sholat dhuhur
tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan
airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air
simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang
dimaksud.
Sesampai di desa Patuk ada
sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis berajak
dewasa sedang menenun. ”Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan
bersih,” kata sahabat itu.
Perawan itu terkejut. Ia
menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham. Menyangka lelaki itu
bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar : “Kamu baru saja lewat sungai.
Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali
air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya.”
Mendengar kata-kata kasar itu,
sahabat itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh
sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan
itu disampaikan.
Mendengar penuturan itu Sunan
Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit
air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga
dengan kaum jejakanya. Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua.
Terkena ucapan Sunan Bonang,
aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa,
hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang.
Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air.
Perempuan-perempuannya menjadi
perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada
demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang
sedang dikerumuni anak cucunya.
Mereka lapor, bahwa ada orang
bernama Sunan Bonang suka engganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan
kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan
Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka
mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai
Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang.
Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya
terasa panas seperti dibakar. Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang
langgang. Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.
Raja mereka bernama Buta
Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buta Locaya semula adalah
patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal
Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama
negara.
Ia diberi nama Buta Locaya dan
diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu.
Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna
orang bodoh yang dapat dipercaya.
Sebutan itu hampri menyerupai
sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai artinya
melaksanakan tugas anak cucu dan orang di sekitarnya. Kisah soal kyai ini
bermula saat Sang Raja ke rumah Kyai Daka.
Sang Prabu dijamu Kyai Daka.
Sang Prabu suka dengan keramahan itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa
yang kemudian berganti Tunggulwulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima
perang.
Ketika Prabu Jayabaya muksa
(mati bersama raganya hilang) bersama Ni Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan
Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa. Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa.
Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin.
Semua mahluk halus yang ada di
laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya
menempati Selabale. Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud
menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang,
Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak.
Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan
Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil
menangis.
Ia melaporkan
kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari
Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan
dan penduduk daerah itu. Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murka.
Tubuhnya bagaikan api. Ia
memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para setan dan jin
itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang.
Mengikuti arus angin, mereka
pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia,
berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya
tidak menampakkan diri.
Menghadang perjalanan Sunan
Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja
setan dan jin sedang menghadang perjalanannya.
Tubuh Sunan yang panas menjelma
bagai bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan
menghadapi wibawa Sunan Bonang.
Namun tatkala berhadapan dengan
Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan
demam.
Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
(Source : Posmo No. 2 – 25 Maret 1999).
Debat sengit antara Sunan
Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang dengan tegas menyatakan
bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedah karena tidak jelas agamanya.
”Kusabdakan sulit air karena
ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan
mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh
karena yang kuminai air itu perawan desa.”
Buta Locaya menjawab, bahwa itu
tidak seimbang. Salah yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh
seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan oleh banyak orang. Bila dilaporkan
kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena merusak daerah.
Sunan Bonang menjawab, ia pun
tak takut dilaporkan Raja Majalengka. Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata
itu, ia pun marah. Buta Locaya berkata masygul: ”Ucapan tuan bukan ucapan yang
paham aturan negara. Itu pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah
madat, mengandalkan kesaktian.
Janganlah sombong.
Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat sekehendak
hati. Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab.
Meskipun di Jawa ini akan ada
orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada
laknat dewa. Tuan akan dijauhi orang-orang baik budi bila tetap berbuat
demikian.
Apakah tuan termasuk orang
seperti Aji Saka murid Ijajil? Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun,
lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang. Ia Hindu. Suka membuat
sulit air.
Tuan mengaku sunan seharusnya
berbudi baik, menyelamatkan orang banyak, tetapi ternyata tidak demikian. Tuan
layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas
naik darah. Sunan apakah itu?
Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu
suka berbuat kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa. Itulah jalan celaka,
tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan
tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih.”
Hamba ini bangsa mahluk halus,
tidak selam dengan manusia, tetapi hamba masih memperhatikan nasib manusia.
Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai
yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon agar dikembalikan.
Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati. Hamba akan
meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan.”
Begitu mendengar kemarahan Buta
Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia berkata, ”Buta Locaya, aku
Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku. Aku hanya bisa membatasi saja.
Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti
semula.”
Buta Locaya mendengar kesediaan
Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya. ”Kembalikan sekarang juga. Bila tidak,
tuan akan hamba ikat.”
Sunan Bonang: ”Sudah, jangan
berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur.
Buah Sambi ini kunamakan cacil
karena keadaan ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Setan dan manusia
saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan
manusia dengan setan. Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam,
daging buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka
yang masam.
Tempat perjumpaan ini kuberi
nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat
kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran.”
Debat Soal Tuhan.
Setelah berkata demikian, Sunan
Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada
desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya
pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal.
Buta Locaya memburu kepergian
Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon
Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian
memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.
[NOTE Penyunting : Bagaikan
“standar ganda”, perhatikan ayat berikut. Umar Khattab, Sahabat M. terusik
dengan apa yang dilihatnya. Umar mendekati BATU HITAM dan menciumnya
serta mengatakan, “Tidak diragukan lagi,
aku tahu kau hanyalah sebuah BATU yang tidak berfaedah maupun tidak dapat
mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah mencium kau,
aku tidak akan menciummu” (Bukhar!, No. 680)]
Ketika Buta Locaya melihat
Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.
”Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak di
zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat
para wanita Jawa.
Sunan Bonang pun berkata, ”Kau
ini bangsa hantu. Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya hantu yang
sombong.”
Kata Buta Locaya, ”Apa bedanya.
Tuan Sunan, saya ratu Hantu,”
Sunan Bonang berkata,
Trenggulun ini kuberi nama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua
debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.
[Ki Kalamwadi berkata: ”Terkenal
sampai kini, buah trenggulun bernama kentios karena ucapan Sunan Bonang. Semua
itu menurut cerita guruku menurut cerita guruku bernama Raden Budi.]
Sunan Bonang kemudian berjalan
ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat. Di luar desa
ada sumur tetapi tiada timba. Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu
Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu
bernama sumur gumuling.” [Note : Pakai speaker tidak?]
Setelah salat, Sunan
melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan
berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di
sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang
berjatuhan.
Melihat patung itu, Sunan
Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke
arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak
akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan,
dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi. ”Tuan
ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi
jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan
merusak patung itu?”
Sunan Bonang: ”Patung itu
kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji dan diberi
kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin.”
Kata Buta Locaya, ”Orang
Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan berkuasa.
Bukan Tuhan, maka mereka layani. Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para
hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia.”
Para hantu mereka tempatkan di
patung itu, lalu tuan usir ke mana? Telah lazim setan tinggal di gua,
arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa
nyaman.
Lebih senang lagi bila tinggal
di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar. Mereka
menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia.”
Sunan Bonang Khilaf. Buta
Locaya berkata, ”Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan? Mendapat wahyu agar
pandai. Cermat penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.
Sedangkan yang membuat arca
Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu mulia. Dia
pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum
terjadi. Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun berpedoman petuah dari para
leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai kabar dari
leluhur sendiri dengan peninggalan masih bisa disaksikan.
Pulau Jawa ini tanah suci dan
mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah air. Apa saja ditanam
dapat tumbuh. [Note : Saat itu Bumi Pertiwi
disuburkan oleh moralitas Buddhisme.]
Pria tampak tampan, wanita
kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin melihat pusat
dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur. Seandainya tidak
benar, pukullah.
Yang membuat arca itu adalah
tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi?
Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini. Bila menolak akan hamba
panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan
menang?
Lalu akan hamba bawa ke dalam
kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah? Inginkah tuan tinggal di Batu
seperti hamba? Mari ke Selabale menjadi murid hamba.”
Sunan Bonang: ”Tak sudi
mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan.”
Buta Locaya berkata, ”Meskipun
hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum tentu seperti
hamba.
Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan menentang adat,
menentang agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur. Tuan
dapat disiksa dan dibuang ke Menado.” [Note : Lihatlah dan terbuktilah, sejarah selalu
berulang dan berulang oleh penganut agama yang sama, agama kekerasan.]
Sunan Bonang tak menggubris. Ia
berkata: ”Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena
aku kecelung (sesat) pemikiran dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat
dengan hantu, kalah pengetahuan dan pemikiran.” [Note : Sunan Bonang telah
melakukan PENISTAAN AGAMA!]
[Sampai kini buah dadap bernama
kledung, bunganya bernama celung.] Sudah, aku akan pulang ke Bonang.”
Buta Locaya berkata, ”Ya sudah,
silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas. Bila terlalu lama di
sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air, dan mengurangi air.”
Tak Setuju Serang Majapahit,
Syech Siti Jenar Dibunuh (Source : Posmo No. 3 – 1 April 1999).
Prabu Brawijaya amat murka
ketika mendapat laporan sang patih tentang adanya surat dari Tumenggung di
Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan di wilayah itu
akibat ulah Sunan Bonang.
Segera ia mengutus Patih ke
Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya. Setelah tiba, sang patih melaporkan
semua yang telah terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena
telah mengembara tak tahu kemana.
Saking murkanya, Prabu
Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi. Hanya di
Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan menyebarkan agama
Islam. Apabila menolak akan dibunuh.
Pernyataan tersebut juga
dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun tidak
menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri. Sedang
ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka, diseranglah Giri
hingga kocar-kacir.
Menyadari kekeliruannya karena
tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang mengajak Sunan Giri ke Demak. Di sana,
mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak (putera PB alias Raden Patah) dan mengajak
menyerbu ke Majalengka.
Kata Sunan Bonang (Muslim tulen
yg penuh akal bulus itu), ”Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan
Majalengka yang telah berumur 103 tahun. Menurut pertimbanganku, kamulah yang
berhak menjadi Raja. Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.
Jangan sampai ketahuan.
Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang.
Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya.”
Adipati Demak yang memang putra
Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti saran Sunan Bonang. ”Saya takut
merusak negeri Majalengka. Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang
telah memberikan kebahagian dan kebaikan di dunia. Kata kakek saya di
Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski beragama Budha atau pun
kafir.”
Mendengan jawaban demikian,
Sunan Bonang berkata, ”Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya
kerena dia kafir. Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.”
Kakekmu itu santri yang iri,
gundul dan bodoh tak bernalar. Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading.
Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku, Sayid Kramat, Sunan Bonang yang
dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam.
Meski kamu dosa, toh hanya
kepada satu orang. Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam. Hal demikian,
alangkah banyaknya pahala yang kau terima.
Tuhan masih cinta kepadamu.
Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama
Babah. Babah itu artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang
dibawa Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang,
orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati tidak
baik.
“Karena itu, balaslah dengan
halus. Pokoknya jangan kelihatan. Dalam hati, isaplah darahnya,
kunyahlah tulangnya.” [Note : Dalam versi lebih modern saat kini, pasang “jebakan”, seperti
memasang bunyi speaker keras-keras agar mendundang komplain warga “NON”, lalu
menjadikan itu alibi untuk merusak dan menghancurkan agama “NON”.]
Kemudian, Sunan Giri (juga seorang
Muslim tulen yg penuh dgn akal bulus) menyambung, ”Aku tidak berdosa, dicari
ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku tidak menghadap ke Majalengka.
Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
anjing.
Banyak orang Cina yang datang
ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan. Sebab, menurut Qur-an, bila
meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan surga.
Kedatanganku ke sini untuk
minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci
kepada santri yang suka berzikir. Katanya, sakit ayan pagi dan sore. Bila kamu
tidak membela, rusaklah agama Islam ini.”
Jawab sang Adipati Demak,
”Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan Sunan mendirikan kraton. Tidak
menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih berkuasa. Maka,
sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak menyadari makan
minum di Pulau Jawa.”
Namun, Sunan Bonang berkata
lagi, “Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi. Setelah ayahmu turun,
tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan kepada Adipati Pranaraga
karena dia putra paling tua. Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di
Pengging.
Kamu anak muda, tidak berhak
menjadi raja. Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga. Sudah
biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin
menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin
rakyat Jawa, memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha.”
Panjang lebar nasihat Sunan
Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan mau merusak Majalengka.
Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena
kafir.
Syech Siti Jenar Dibunuh.
Singkat cerita, tak lama
kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara datang semua ke Demak. Berkumpul
untuk mendirikan masjid. Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru
didirikan. Usai sembahyang pintu masjid ditutup.
Sunan Bonang berkata kepada
semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak akan dinobatkan sebagai raja dan
akan menggempur Majapahit. Bila semua setuju akan segera dimulai. Semua sunsn
dan bupati setuju.
Hanya Syech Siti Jenar yang
tidak. Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar. Yang
disuruh membunuh adalah Sunan Giri. [Satu lagi tindakan Islami para Sunan yg
mencontoh kelakuan nabi! Bunuh mereka yg tidak sepaham dgnmu, karena itu
dianggap melawan nabi dan melawan Islam]
Setelah sepakat, Adipati Demak
diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar Senopati Jimbuningrat
dengan patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat. Esok harinya, Senopati
Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang berangkat menuju
Majapahit diiringkan para sunan dan bupati. Berjalan berarakan seprti Grebeg
Maulud. Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para
tumenggung, para sunan dan para ulama.
Sunan Bonang dan Sunan Giri
tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia. Keduanya hanya akan salat di dalam
masjid dan merestui perjalanan. Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan
panjang lebar.
Kerajaan Majapahit VS Kerajaan
Demak.
Alkisah, sepulang dari Giri,
sang patih melaporkan hasil penaklukan terhadap Giri yang dipimpin oleh orang
Cina beragama Islam bernama Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai
panjang. Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis
panjang berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.
Dalam berperang mereka lincah
seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit menembaki. Akibatnya, pasukan
Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima peluru. Senapati Setyasena
menemui ajal.
Pasukan Giri melarikan diri ke
hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu
oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu
dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.
Maka Sang Prabu memerintahkan
patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan
Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah
memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat melawan dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan
Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim ke Demak. Tetapi,
tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat terkenal (Menak
Tanjangpura), mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri
sebagai Raja Demak.
Sedangkan yang mendorong
penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di Pesisir Utara
dan semua kawan yang sudah masuk Islam mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu
Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil
Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
Pasukannya berjumlah tiga puluh
ribu lengkap dengan senjata perang, terserah kepada Patih cara menghadap kepada
raja. Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa
kesembilan wuku Prabangkat. Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil
mengatupkan giginya.
Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari
kebaikan sang raja. Selanjutnya, kyai patih
melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat itu. [Note : Sejarah selalu
berulang hingga saat kini, budi baik Buddhist dibalas penzoliman.]
Mendengan laporan patih, Sang
Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama tak berkata. Dalam hatinya sangat
heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka
diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.
Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari
perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir
batin. Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.
Pikiran sang raja sangat gelap.
Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi
hutan. Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
para ulama serta bupati tega melawan Majapahit. Patih pun menjawab tak
mengerti. Ki Patih juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi
kebaikan membalas dengan kejahatan. [Note : Mendarah-daging, akibat ajaran agamanya
yang memusuhi perbedaan keyakinan dan ideologi kebencian terhadap “kaf!r”.]
Kemudian, Sang Prabu berkata
bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya sendiri. Yang meremehkan agama yang
telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah terpikat kata-kata Putri
Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyeberkan agama Islam. [Note : Buddhisme, AGAMA
NENEK-MOYANG BANGSA INDONESIA, mari kita rebut kembali tanah para Buddhist ini!]
Dari kebingungan hatinya, ia
menyumpahi orang-orang Islam. ”Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah
kesedihan hamba. Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi
orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan membalas dengan
kejahatan.”
Sabda sang raja yang berada
dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad. Terbukti dengan adanya suara
menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai sekarang,
ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang kedatangan musuh, yaitu
santri yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih.
Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara
peperangan. Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan
diberikan karena Raja telah lanjut usia. [Note : Itulah dia, yang menutup ruang diskusi,
dialog, dan komunikasi musyawarah kekeluargaan, ialah umat kaum “Agama I” itu
sendiri, sejarah selalu berulang.]
Patih menjawab, lebih baik
menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan sampai merusak bala
pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena
putra yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.
Setelah memerintahkan demikian,
sang Prabu meloloskan diri pergi ke Bali diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong.
Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana. Maka Sang
Raja segera pergi dengan terburu-buru.
Kutipan di atas bukanlah versi
lengkap dari “Serat Darmogandul”, namun sudah cukup mewakili. Seorang netizen
bernama Dewa Gilang, dalam artikelnya “Serat Darmogandul”, sumber : kompasiana .com/dewagilang98/55127800a333116359ba7e9c/serat-darmogandul-i-tanggapan-terhadap-niki-saraswati,
diakses pada tanggal 20 September 2021, menyebutkan fakta yang cukup menarik sebagai
berikut:
“Melihat bahwa rentang waktu
penulisan ‘Serat Dharmogandul’ yang terpisah jarak yang demikian jauh dengan
Walisanga (yang sering2 disebut sebagai ‘penghasut’ anak untuk menyerang
bapaknya), tak pelak Serat ini dinilai tidak kredibel dalam mengungkap fakta2
sejarah, meski didukung oleh dokumen yang ditemukan di Kronik Kelenteng
Sam Po Kong, Semarang.”
Pembuktian selebihnya, sudah
cukup terbuktikan dari pemberitaan-pemberitaan aktual perilaku para umat “Agama
I” di keseharian, maupun ayat-ayat yang terkandung dalam Kitab “Agama I”. Res ipsa loquitur, the thing speaks for
itself. Yang membuktikan dan mengukuhkan kisah dalam Serat tersebut,
siapakah, jika bukan perilaku umat “Agama I” itu sendiri? Yang menampar,
menista, dan mencoreng agama, bukanlah orang lain, namun perilaku umat agama
itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.