SENI PIKIR & TULIS
Ketegasan Norma Terletak pada Konsistensi dan Menutup diri dari Ruang Pengecualian. Dilarang, akan tetapi... (Embel-Embel “Tapi...”)
Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga, Pepatah untuk Tidak Memehkan Dosa (Perbuatan Jahat), Terkandung Bahaya Dibaliknya. Suciwan Tidak Menyepelekan Perbuatan Kotor yang Tercela, Sekecil Apapun
Seseorang tokoh senior dibidang praktik hukum, pernah menyebutkan, norma hukum yang semestinya sarat ketegasan, telah ternyata penuh pengecualian. Betapa tidak, melakukan pelanggaran hukum disebutkan terdapat ancaman sanksi sebagai hukuman. Namun, selalu pula dapat kita jumpai pasal-pasal “pengecualian” yang dapat “mengecualikan” pemberlakuan sanksi bagi pelanggarnya. Bila dalam rezim hukum perdata, pengecualian dapat kita jumpai salah satunya lewat penerapan doktrin “force majeure” alias keadaan kahar, maka suatu pihak dibebaskan dari kewajiban bertanggung-jawab ketika ingkar janji. Dalam rezim hukum pidana, pengecualian terhadap vonis hukuman sebagai sanksi bagi seorang pelanggar, dapat kita jumpai berupa pasal-pasal terkait “alasan pembenar” maupun “alasan pemaaf”, ataupun istilah-istilah penegasian ancaman sanksi hukuman bagi para “justice collaborator” maupun “saksi mahkota”.
Disebutkan pula, semua orang (warganegara) berhak mencalonkan diri sebagai presiden dan terpilih sebagai presiden. Namun, syarat dibaliknya membuat hampir separuh penduduk negeri ini tidak memungkinkan untuk dapat mencalonkan dirinya sebagai seorang presiden. Semua subjek hukum atau wajib pajak, wajib membayar pajak, namun telah ternyata terdapat “tax amnesty”. Narapidana terhukum vonis mati atau seumur hidup, mendapat keringanan remisi. Yang semestinya menjalani vonis hukuman penjara, diberikan amnesti dan abolisi, hingga pembebasan bersyarat. Penjahat dipenjarakan, namun juga telah ternyata terdapat “tahanan rumah” maupun “tahanan kota”. Yang semestinya dijatuhi hukuman penjara, ternyata diberi pengecualian berupa pidana masa percobaan. Pelaku tindak pidana oleh anak dibawah umur, alih-alih divonis pidana, justru dikembalikan kepada orangtuanya yang jelas-jelas telah salah cara dalam mengasuh sang anak. Yang tidak boleh menjadi boleh, pun sebaliknya yang boleh menjadi tidak boleh, mengatas-namakan “diskresi”.
Telah ternyata, “norma hukum” tidak bersifat “tegas-tegas amat”, penuh nuansa “pengecualian” yang bahkan diatur oleh internal norma hukum itu sendiri. Kini, kita masuk pada fokus bahasan pada isu yang lebih sensuil, yakni “norma agama”, yang mana konon berisi substansi wahyu dari Tuhan, akankah akan kita jumpai pengecualian-pengecualian serupa untuk dapat disimpangi? Sungguh adalah percuma, segala perintah dan larangan Tuhan, bilamana segala perintah dan larangan tersebut seolah-olah atau seakan-akan boleh “diterobos” dan dilanggar (menjadi “pendosa”) semata karena adanya “escape clause” bernama “cuci uang” maupun “cuci dosa”, sehingga dosa bukanlah lagi hal yang “tabu” untuk dilakukan—sebuah dogma penuh iming-iming janji surgawi bernama “penghapusan / penebusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Disebutkan, memakan daging B2 adalah “dilarang” dan “terlarang”. Namun bila “kepepet”, menjadi sahih dan boleh. Menggauli selain istri, dilarang. Namun ketika “kepepet” nafsu libido birahi tidak tertahankan, apakah anak gadis orang lain pun menjadi boleh untuk digauli? Terlalu banyak alasan, tidaklah baik. Pada satu sisi melarang pembunuhan sesama manusia, namun pada saat bersamaan terdapat perintah untuk membunuh sesama manusia hanya karena berbeda keyakinan (mempromosikan perbuatan dosa dengan mengkampanyekan pembunuhan manusia, “Agama DOSA”). Pada satu sisi mengajarkan “cinta damai”, namun pada sisi lain terkandung perintah untuk bersikap radikal yang “haus darah” dengan melakukan “pertumpahan darah”.
Konon, menurut salah satu “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”, mencuri akan diganjar sanksi berupa “potong tangan”, dan berzinah pelakunya akan dihukum “rajam” atau dicambuk di depan umum. namun, lihatlah keganjilan yang menegasikan segala ancaman hukuman mengerikan tersebut, salah satunya dapat kita jumpai dalam ayat berikut : “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
Disebutkan bahwa “agamamu adalah agamamu, dan agamaku adalah agamaku”, bahwa seolah-olah “cinta damai”, toleran, anti maksiat seperti merampok dan membunuh, namun dinegasikan sendiri oleh ayat-ayat “Kitab DOSA” bersangkutan : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.”
Disebutkan bahwa berdosa seperti berzinah, akan dimasukkan ke “neraka jahanam”. Namun kemudian, ancaman demikian lagi-lagi dinegasikan alias ditiadakan atau dinihilkan oleh dogma dalam “Agama DOSA” yang sama, yakni lewat keberadaan ayat-ayat dalam “Kitab DOSA” bersangkutan perihal “penghapusan / penebusan dosa”. Disebutkan pula, bahwa manusia dilahirkan untuk dikodratkan (secara fatalistik) sebagai seorang pendosa, karenanya mustahil menjalani hidup suci (terlebih menjadi suciwan) yang karenanya hidup dengan penuh gelimang perbuatan dosa, untuk kemudian justru lagi-lagi dinegasikan atau ditiadakan atau dinihilkan oleh dogma-dogma perihal “penebusan dosa” yang menyerupai “meminta maaf dahulu berbuat membuat pelanggaran”.
Irasional dibalik penegasian demikian, sama irasionalnya ketika seorang pendosa justru merasa bangga berceramah perihal cara hidup suci, baik, dan mulia (apa tidak salah dengar?). Disebutkan bahwa dalam satu bulan berpuasa, maka seluruh dosa-dosa umat yang menjalani puasa akan dihapuskan selama satu tahun terakhir, jaminan tiket masuk menuju surga. Itu artinya, menegasikan segala perintah dan larangan agama bersangkutan selama sebelas bulan diluar bulan puasa, sehingga umatnya bebas sebebas-bebasnya untuk melanggar, berbuat dosa, dan bermaksiat diri selama sebelas bulan, sebelum kemudian “mendadak alim” pada saat memasuki bulan puasa, sehingga seluruh dosa-dosanya selama satu tahun dicuci bersih.
Disebutkan bahwa mencuri seperti halnya melakukan korupsi, adalah dosa dimana pelakunya disebut sebagai berdosa karena menerima, mengambil, atau memakan uang “haram”. Namun, telah ternyata terdapat “solusi” meng-halal-kan uang kotor, dalam rangka “membersihkan harta” lewat mekanisme mendermakan “recehan” yang tidak sampai lima persen dari pendapatan “kotor” (dalam arti harfiah) yang dihimpun sang umat bersangkutan selama satu tahunnya menyibukkan diri berkecimpung sebagai koruptor profesional (money laundring, yang mana pelakunya justru diberi “karpet merah” serta jalan tol menuju alam surgawi).
Bila berdusta adalah keburukan yang melanggar larangan Tuhan, maka mengapa Tuhan seolah-olah membenarkan praktik perdustaan semata demi kepentingan pribadi Tuhan? [“Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.” (Filipi 1:18)] Satu ciri khas paling utama dari pasal-pasal maupun ayat-ayat “akrobatik”, yakni tidak konsisten karena saling menegasikan antar pasal maupun antar ayat dalam “Kitab Undang-Undang” maupun “Kitab DOSA” yang sama.
Disebutkan, konon Tuhan adalah sesosok maha welas asih, namun pada sisi lain Tuhan digambarkan sebagai pembenci dari banyak hal yang lain dan juga pembenci manusia. (Ulangan 16:22, Maleakhi 2:16, Imamat 26:30). Disebutkan rela mati demi menebus dosa umat manusia, namun disaat bersamaan melemparkan ke neraka umat manusia yang tidak menaruh keyakinan kepadanya—sehingga menodai ketulusan pengorbanan diri yang bersangkutan. Kontradiktif pula ketika merujuk kepada : “Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, aku benci melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya.” (Yesaya1:14)
Tuhan dicitrakan sebagai “Maha Pengampun”, namun akan bertolak-belakang terhadap pengakuan Tuhan sendiri, “Tuhan itu Allah yang cemburu dan pembalas, Tuhan itu pembalas dan penuh kehangatan amarah. Tuhan itu pembalas kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-Nya.” (Nahum 1:2) “TUHAN itu pahlawan perang; TUHAN, itulah nama-Nya” (Keluaran 15:3) “Apabila Aku mengasah pedang-Ku yang berkilat-kilat, dan tangan-Ku memegang penghukuman, maka Aku membalas dendam kepada lawan-Ku, dan mengadakan pembalasan kepada yang membenci Aku. Aku akan memabukkan anak panah-Ku dengan darah, dan pedang-Ku akan memakan daging: darah orang-orang yang mati tertikam dan orang-orang yang tertawan, dari kepala-kepala musuh yang berambut panjang.” (Ulangan 32:41-42)
Maha pengasih, yang menjadi simpang-siur ketika ternyata Tuhan membantu pengikutNya untuk menguasai kota-kota, membunuh penduduk dan mengalahkan laskar perang (misalnya Bilangan 21:1-3, Bilangan 31:1-2, Ulangan 3:3-7, Yosua 11:6-11, dll). “Dan TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka.” (Ulangan 7:2) “Engkau harus melenyapkan segala bangsa yang diserahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu; janganlah engkau merasa sayang kepada mereka dan janganlah beribadah kepada allah mereka, sebab hal itu akan menjadi jerat bagimu.” (Ulangan 7:16)
Bahkan Tuhan dapat dibuat “frustasi” oleh ciptaannya sendiri, dibakar api buta. “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.” (Ulangan 5:9) “TUHAN akan mendatangkan penyakit sampar kepadamu, sampai dihabiskannya engkau dari tanah, ke mana engkau pergi untuk mendudukinya. Tuhan akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa.” (Ulangan 28:21-22)
Disebutkan bahwa penyakit adalah “cobaan” dari Tuhan, namun senyatanya diakui sendiri oleh Tuhan itu merupakan alat penyiksa bagi umat manusia. “TUHAN akan menghajar engkau dengan barah Mesir, dengan borok, dengan kedal dan kudis, yang dari padanya engkau tidak dapat sembuh.” (Ulangan 28:27) Terkadang Tuhan bahkan menimbulkan wabah penyakit yang ganas kepada orang hanya untuk menguji iman orang tersebut. Untuk menguji Ayub, Tuhan membiarkan semua anak Ayub untuk mati (Ayub1:18-19) dan Ayub sendiri dikenai penyakit yang parah (Ayub 2:6-8). Begitu dalamnya penderitaan Ayub, Ayub sendiri bahkan berharap dia tidak pernah dilahirkan (Ayub 3:1-26). Tuhan bahkan membuat orang menjadi buta dan membiarkan mereka hidup mengemis dan meraba-raba dalam kegelapan, supaya Tuhan bisa menyembuhkan mereka dan memamerkan keajaiban akan kekuatan Tuhan (Yohanes 9:1-4).
“Maha Pencipta”, namun sekaligus “Maha Perusak dan penghancur”. “yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini.” (Yesaya 45:7-8) Samuel 16:14-16, kita diberitahu bahwa roh kejahatan yang berasal dari Tuhan menyiksa Saul. Tuhan bilang ketika daging, lemak, kulit dan tulang dari kurban binatang itu dilemparkan ke dalam api dan terbakar, dia menyukai aromanya. (Imamat 1:9, 1:17).
Akan tetapi, tidak semua korban persembahan yang Tuhan minta adalah binatang; terkadang Tuhan juga meminta korban manusia sebagai “tumbal”. Tuhan pernah berkata kepada Abraham: “Firman-Nya: Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22:2) Abraham membawa anaknya ke tempat yang telah ditujukan oleh Tuhan, membangun altar, membaringkan anaknya di atas altar tersebut dan mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. Persis sebelum Abraham menyayat leher anaknya sendiri, Abraham dihentikan oleh seorang malaikat. (Kejadian 22:12).
Sungguh membingungkan, bagai antinomi, apakah sebetulnya umat manusia mencintai dan suka pada Tuhan, ataukah justru takut kepada Tuhan yang mana ketakutan itu setara dengan ketakutan manusia terhadap Adolf Hitler sang tiran yang diktator. Kita telah melihat bahwa Tuhan marah setiap hari (Mazmur 7:12) dan dia sangat cepat marah (Mazmur 2:11-12). “Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu.” (Ulangan 4:24) “Orang yang nekat pun takkan berani membangkitkan marahnya. Siapakah yang dapat bertahan di hadapan Aku? Siapakah yang menghadapi Aku, yang Kubiarkan tetap selamat? Apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku.” (Ayub 41:1-2) Rasa takut tidak membuat kita medekat padanya, justru membuat akal sehat kita berbisik untuk menjauhinya. “Supaya Ia jangan murka dan kamu binasa di jalan, sebab mudah sekali murka-Nya menyala.” (Mazmur 2:11)
Telah ternyata, menjadi kaya secara materi untuk bisa hidup kenyang, ada dosa. Celakanya, disebutkan bahwa rezeki dan makanan adalah pemberian dari Tuhan, dan sudah ada yang mengaturnya siapa yang menjadi kaya dan siapa yang menjadi miskin. “Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karna kamu akan berdukacita dan menangis.” (Lukas 6:24-25) “Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, buanglah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” (Matius 19:21)
“Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Matius 19:23-24) Namun janganlah khawatir dan tidak perlu dicemaskan untuk berbuat dosa dengan melanggarnya, sudah dinegasikan oleh Tuhan itu sendiri lewat “penebusan dosa” ribuan tahun lampau, sehingga semua ayat-ayat ancaman tersebut di atas hanya menjadi sebuah “omong kosong” adanya.
Disebutkan bahwa kita harus hidup rukun, berdampingan, tidak salah bermusuhan, cinta damai, saling mengasihi, serta saling toleran. Pertanyaannya, mungkinkah? Orang-orang Kristen selalu mempersamakan orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus sebagai orang jahat, dan telah menuduh orang yang tidak percaya sebagai orang yang tidak bertuhan, orang jahat, orang keras kepala, penyembah berhala, orang-orang tercela, pengikut ajaran nabi-nabi palsu, pemuja setan. (Petrus 2:1-22) Hanya Yesus yang bisa memberikan penyelamatan. (Yohanes 14:6).
Dihidupkan, hanya untuk dimatikan, saling menegasikan, sungguh suatu akrobatik kesia-siaan. Lazarus telah meninggal setidaknya empat hari dan mungkin telah di surga, ketika keluarganya sedang sedih dan berduka. Dengan membangkitkan dia dari kematian, Yesus memang telah menunjukkan kekuatannya, tetapi apa yang Lazarus dan keluarganya dapat dari kebangkitan Lazarus itu? Lazarus dipindahkan dari surga kembali ke “lembah penuh air mata” ini hanya untuk mati sekali lagi suatu saat di masa yang akan datang, dan keluarganya akan harus berduka dan bersedih sekali lagi. (Yohanes 11:1-4)
Tuhan semestinya melahirkan kehidupan dan memelihara kehidupan yang ia ciptakan, bukan justru merusak dan menghancurkan. Seorang telah dirasuki oleh setan, dan sebelum Yesus mengusir setan tersebut, iblis-iblis meminta Yesus apakah Yesus bersedia mengirim iblis ke peternakan babi terdekat. Yesus mengabuli permintaan iblis tersebut dan mengirim iblis-iblis tersebut ke dalam tubuh babi-babi, yang kemudian lari-lari kerasukan menuju tebing danau dan menceburkan diri. (Markus 5:1-13).
Dengan matinya ternak bagi tersebut, tentunya menimbulkan kesulitan keuangan bagi pemilik babi tersebut. Tidaklah mengherankan, kita dikabarkan bahwa setelah kejadian tersebut, orang-orang dari desa terdekat datang kepada Yesus dan memohon kepadanya untuk meninggalkan daerah tersebut. (Markus 5:17). Matius menceritakan cerita yang sama tetapi telah menambah bumbu cerita dengan menyatakan bahwa bukan satu tetapi dua orang yang dirasuki iblis. (Matius 8:28-32)
Diajarkan untuk berbakti pada Tuhan, namun tidak pada orangtua, suatu penegasian. Agama semestinya meredam konflik dan menetralkan sengketa, bukan justru disimbolikkan oleh pedang dan kekerasan berdarah, menegasikan misi perdamaian yang diusung oleh agama itu sendiri. Yesus mengutuk orang Farisi yang mengajarkan orang untuk menghormati ayah dan ibu. (Matius 15:3-6, Markus 7:10-13) “Jawab mereka: “Suatupun tidak.” Kata-Nya kepada mereka: “Tetapi sekarang ini, siapa yang mempunyai pundi-pundi, hendaklah ia membawanya, demikian juga yang mempunyai bekal; dan siapa yang tidak mempunyainya hendaklah menjual jubahnya dan membeli pedang.” (Lukas 22:36)
Agama “damai”, namun mempromosikan kekerasan dan pengrusakan, saling menegasikan. “Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya.” (Yohanes 2:15) “salah satu dari teman Yesus mencabut pedangnya dan menyerang pembantu pemuka agama dengan memotong telinganya.” (Matius 26:51). Tak lebih dari sekedar ulat (Ayub 25:6) manusia tidaklah mampu untuk menjadi baik, dan tidak bisa diselamatkan oleh usaha-usaha mereka sendiri melainkan hanya melalui keagungan Tuhan mereka terselamatkan.
Disebutkan, manusia dilahirkan sebagai pendosa dan dikodratkan menjadi pendosa, semata karena mewarisi “dosa warisan dari Adam”, manusia pertama yang jatuh dalam “ranjau darat” yang dipasang sendiri oleh Tuhan, lengkap dengan ciptaan watak Adam yang nakal “dari sananya” (bukan salah bunda mengandung?). Namun, kemanakah “harta warisan dari Adam?” Manusia bertanggung-jawab atas kesalahan yang mereka perbuat semasa hidup mereka tetapi juga manusia bertanggung-jawab atas dosa yang diperbuat oleh Adam dan Hawa. (Kejadian 3:15-19) Pada hari pertama Tuhan menciptakan terang dan gelap tetapi pada hari keempat Dia menciptakan matahari (Kejadian 1:15-16) Yesus tidaklah bangkit kembali setelah kematian. Sebelum Yesus disalibkan, Yesus memberitahu murid-muridnya bahwa dia akan kembali sebelum yang terakhir dari mereka mati. (Matius 10:23, 16:28, Lukas 21:32)
Sebagai penutup, meski bukan yang paling akhir, disebutkan bahwa menyembah “patung” adalah berhala, meski para umatnya tidak pernah sampai menciumi patung tersebut. Namun, tidaklah konsisten, ketika sang umat pengkritik tersebut justru melakukan ulah yang berkebalikan daripada apa yang mereka kritik—menjelma kemunafikan—sebagaimana ternyata dalam riwayat Umar bin Al Khatab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati batu hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapapun. Jika saya tidak melihat rasul A mencium kau, aku tidak akan menciummu!’”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.