Girik (Bukanlah Lagi) Bukti Hak Atas Tanah

ARTIKEL HUKUM

Rezim Pendaftaran Hak Atas Tanah Sertifikasi Badan Pertanahan Nasional (Unifikasi Hukum Agraria Nasional) Vs. Tanah Hukum Adat (Girik)

Apakah dengan mencoba memungkiri “tanah hukum adat”, maka artinya kita telah melakukan terobosan langkah “unifikasi hukum”, yakni hukum nasional dengan menafikan keberadaan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan eksis tersebar di berbagai komunitas adat di seluruh penjuru Indonesia? Apapun itu, dualisme hak atas tanah dalam sistem pertanahan nasional, telah menciptakan beragam ketidak-pastian hukum dalam praktiknya.

Beruntung dan kita patut bersyukur, Indonesia telah memiliki Undang-Undang terkait pengakuan terhadap komunal masyarakat hukum adat serta hak atas tanah adat komunal mereka—meski tidak sedikit diantaranya bersinggungan dengan Undang-Undang terkait perkebunan maupun hutan tanaman industri yang kerap menjadi pintu masuknya konflik agraria terhadap masyarakat hukum adat ketika menggarap ladang tempat mereka bercocok-tanam selama turun-temurun.

Sebetulnya, secara empirik, sekalipun unifikasi hukum pertanahan dan agraria nasional benar-benar direalisasikan, masyarakat komunitas hukum adat tidak akan terpengaruh sama sekali, mengingat hukum adat melarang anggota komunitas adatnya untuk menjual tanah adat garapan mereka kepada orang lain dari luar komunitas hukum adat mereka, dimana peran tetua adat menjadi sentral yang dipatuhi keputusannya oleh masing-masing anggota komunitas adat.

Adapun girik, yang masih dianggap domain serta tunduk pada stelsel agraria hukum adat, lengkap dengan asas-asasnya seperti “asas terang dan tunai”, fakta realnya telah ternyata dapat serta lazim untuk dipindah-tangankan dan dialihkan ke luar dari komunitas adat, yakni notabene diperjual-belikan antar warga yang modern tinggal di perkotaan. Bahkan, untuk ukuran kota metropolitan sekelas Jakarta yang luas tanahnya terbatas dan tergolong sangat urban, masih dapat kita jumpai objek-objek tanah girik, sehingga “tanah hukum adat” hanya tinggal sekadar slogan semata.

Berlatar-belakang kerap terjadinya, sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, dalam sengketa gugat-menggugat di pengadilan, dibatalkan dan dikalahkan oleh bukti kepemilikan hak berupa sebatas girik, yang mana gaibnya, sertifikat hak atas tanah mustahil terbit ketika pendaftaran hak atas tanah untuk pertama kalinya oleh warga pemohon pemegang girik, diukur oleh petugas Kantor Pertanahan bersama pihak Kelurahan / Kepala Desa, sehingga bila terdapat tumpang-tindih ataupun duplikasi dua buah girik terhadap satu bidang yang sama, menjadi absurd dan bila terus dibiarkan akan menjadi sebentuk “moral hazard”.

Girik bila tetap dipandang sebagai hak atas tanah, maka menjadi ambigu, girik adalah quasi Sertifikat Hak Milik yang bersfiat dapat dikuasai turun-temurun ataukah quasi Hak Guna Bangunan ataukah Hak Pakai yang memiliki masa berlaku? Tidak pula terdapat pengaturan mengenai batas maksimum kepemilikan bidang tanah, mengakibatkan para tengkulak dan tuan tanah berbondong-bondong “berinvestasi” dengan menjadi seorang partikelir yang menguasai sumber daya alam dan agraria yang demikian didominasi sebagian diantaranya ialah girik.

Bila hak atas tanah berupa sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, mengenal asas larangan guntai maupun absentee, maka pengaturan yang sangat ideal tersebut tidak dikenal pada girik. SHGB dan SHGU yang diabaikan oleh pemegang haknya, Kantor Pertanahan berhak untuk mencabut dan membatalkan hak atas tanah yang ditelantarkan tersebut, dan menjadi objek tanah untuk keperluan program “redistribusi tanah” (land reform).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2021

TENTANG

HAK PENGELOLAAN, HAK ATAS TANAH, SATUAN RUMAH SUSUN, DAN PENDAFTARAN TANAH

Pasal 96

(1) Alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.

Pasal 97

Surat keterangan tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa, dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan sebagai keterangan atas penguasaan dan pemilikan Tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa / lurah / camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.

Pasal 104

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021.

Adapun yang menjadi Penjelasan Resmi Pasal 96 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, sebagaimana terkutip di atas, menjelaskan latar belakang

“Bahwa alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat tersebut objeknya belum diterbitkan sertipikat. Jangka waktu 5 (lima) tahun dipertimbangkan menjadi jangka waktu penyelesaian Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan tidak berlakunya alat bukti tertulis bekas Tanah milik adat, tidak mengubah status Tanah tersebut.”

Ketentuan dalam norma hukum Pasal 96 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 demikian di atas, dapat menjadi “celah hukum sempurna” (perfect crime / alibi) bagi masuknya mafia tanah “bermain” terhadap bidang-bidang tanah yang belum didaftarkan sertifikasinya oleh Kantor Pertanahan, dimana ketika warga pemilik tanah girik pada akhirnya hendak mensertifikatkannya, katakanlah sepuluh tahun kemudian setelah regulasi ini terbit, ternyata bidang tanah bersangkutan telah disertifikatkan oleh pihak lain yang tidak dikenal, dimana warga pemilik girik tidak lagi mampu berkutik karena alat bukti dokumen giriknya dinyatakan “tidak berlaku” demi hukum sejak regulasi ini berlaku.

Tidak diketahui secara pasti, mengingat susunan redaksionalnya tidak sempurna, Pasal 97 Peraturan Pemerintah tersebut di atas, adalah dalam rangka kelanjutan Pasal 96 Ayat (2), dalam hal ini telah lewat waktu lima tahun sejak Peraturan Pemerintah ini terbit dan berlaku, ataukah ditujukan untuk saat kini juga? Menimbang terdapatnya frasa “hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah”, maka dapat kita maknai sebagai bagian dari kelanjutan pasal sebelumnya.

Girik, bagaikan “duri dalam daging”. Membiarkan girik berlarut-larut sebagai girik untuk berabad-abad lamanya, sama artinya membiarkan dualisme hukum pertanahan bermuarakan ketidak-pastian hukum pada gilirannya jatuh korban dari pihak warga yang terutama membeli girik sebagai hak atas tanah, disamping tata kelola hak atas tanah pada Kelurahan maupun Kantor Desa yang kurang tertib administrasi sehingga kerap overlaping serta ketidak-rapihan peta bidang tanah dan data pemegang haknya, tidak ada pilihan lain selain memaksa secara legal-politis agar seluruh warga menertibkan diri dengan mendaftarkan hak atas tanah giriknya ke Kantor Pertanahan setempat.

Disebut bagai “duri dalam daging”, karena pada sisi lain negara dan warganegara memang masih membutuhkan girik sebagai bukti hak atas tanah, mengingat berbagai Kantor Pertanahan yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota di Indonesia, belum menyanggupi pendaftaran secara sistematik maupun secara sporadik terhadap seluruh bidang tanah—faktor keterbatasan sumber daya manusia internal Kantor Pertanahan.

Namun, untuk ukuran kota yang telah cukup maju dan bidang luas tanahnya tidak terlampau luas, dimana rata-rata bidang tanah telah disertifikatkan, menjadi mengherankan bila seseorang warga tidak kunjung mendaftarkan hak atas tanahnya untuk dapat diterbitkan sertifikat hak atas tanah oleh pihak Kantor Pertanahan, sekalipun persyaratannya tidak tergolong sukar untuk dipenuhi seperti bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), identitas warga pemohon pendaftaran, bukti kepemilikan girik, surat keterangan (tiada sengketa, penguasaan secara fisik, serta riwayat tanah) dari pihak Lurah / Kepala Desa setempat, pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), maka sertifikat hak atas tanah dapat diterbikan oleh pihak Kantor Pertanahan, baik Sertifikat Hak Milik maupun Sertifikat Hak Guna Bangunan, dengan status sebagai “pengakuan hak” ataupun “konversi”.

Justru menjadi mencurigakan, ketika seorang warga pemegang girik bersikukuh untuk tidak kunjung mendaftarkan hak atas tanah miliknya, sekalipun Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria telah terbit sejak tahun 1960 yang mengamanatkan agar seluruh bidang tanah telah terkekola pendaftarannya oleh negara. Tampaknya pemerintah, dalam hal ini otoritas dibidang pertanahan dan jajaran vertikal di bawahnya, merasa cukup percaya diri untuk selama lima tahun sanggup melayani jutaan warga pemohon pendaftaran hak tanah tanah berupa girik miliknya agar dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik maupun Sertifikat Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, ataupun Hak Pakai.

Memang sudah tiba saatnya, dimana girik tidak dapat lagi eksis secara berlarut-larut bak “duri dalam daging” tanpa berkesudahan maupun penertiban dan terdata. Biakanlah, girik dimasa mendatang tetap sebagai “hak atas tanah” yang diakui oleh negara, namun dalam konteks sebatas pada masyarakat hukum adat.

Sementara itu diluar komunitas masyarakat hukum adat, girik tidak dapat lagi diakui sebagai suatu “hak atas tanah”, akan tetapi sebagai sebatas tata administrasi perpajakan dibidang PBB yang menjadi pendapatan asli daerah semata, namun tidak dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan “hak atas tanah” di luar maupun di dalam pengadilan, baik untuk disewakan, diagunkan, maupun diperjual-belikan.

Sadarkah Anda, dengan terbitnya regulasi di atas, kelak girik tidak dapat lagi diperjual-belikan, menimbang redaksional norma hukum berikut “hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah”, namun menjadi sebatas untuk keperluan pendaftaran tanah bila kita pecah kalimat norma pasalnya menjadi “hanya dapat digunakan sebagai, ‘petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah’”, ataupun dimaknai sebagai, “’hanya dapat digunakan sebagai petunjuk’, dalam rangka Pendaftaran Tanah”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.