Aturan Terbaru BLOKIR SERTIFIKAT TANAH (Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021)

LEGAL OPINION

Segel Sertifikat Tanah bernama BLOKIR dan STATUS QUO, Serupa namun Tidak Sama, PERMANEN Vs. TEMPORER

Question: JIka kita ingin buat (mohonkan) sertifikat tanah atau beli tanah yang sudah bersertifikat, disyaratkan adanya surat pernyataan “tanah tidak dalam keadaan sengketa”. Itu maksudnya apa, “tidak ada sengketa”? “Sengketa” itu maksudnya, seperti apa? Bila, katakanlah, ada orang ngaku-ngaku atau main klaim seenaknya, bahwa ladang ini milik buyutnya, gunung ini milik istrinya, bukit itu milik kakeknya, sawah ini milik nenek dari neneknya, kebun ini milik anaknya, dan lain sebagainya.

Semua orang juga bisa, asal klaim sebagai pemilik dan asal menunjuk (secara sumir mengaku-ngaku sebagai pemilik / mendaku). Apa itu disebut juga sebagai “bersengketa” atau “adanya sengketa” dan tersandera oleh klaim-klaim dari orang tidak jelas semacam itu untuk SEUMUR HIDUP disebut tanah berstatus “sengketa”? Ini negara hukum, atau negara asal klaim seenaknya tanpa dasar?

Brief Answer: Itulah salah-kaprah yang selama ini terjadi di lapangan, dan mengisi mindset baik pihak penyelenggara negara maupun para petugas di Kantor Pertanahan, seolah-olah “sengketa lisan” semudah bagi siapapun “mengumbar (secara sumir) klaim kepemilikan” dikategorikan pula sebagai “sengketa” yang bahkan sama kuatnya dengan “blokir” yang berlaku selama-lamanya tanpa batas waktu “penyanderaan akibat klaim suatu pihak”. Semua orang memang dapat mendaku dengan begitu bebasnya sebagai pemilik yang paling berhak atas suatu objek bidang tanah, meskipun tidak semua orang dapat membuktikannya, itulah yang kurang dipahami oleh para pejabat kita dibidang otoritas pertanahan.

Salah-kaprah kedua, yang kerap terjadi baik dibenak warga masyarakat maupun oleh sebagian besar pejabat di Kantor Pertanahan, seolah-olah hak atas tanah dapat “diblokir” semudah mengajukan klaim sebagai “pemilik yang sah” ataupun dinyatakan sebagai “masih dipersengketakan”. Yang dikenal oleh peraturan perundang-undangan, ialah “status quo” yang mana sifat pembekuan suatu hak atas tanah yang telah terdaftar (tersertifikat) di Kantor Pertanahan, ialah sebatas dan terbatas “temporer” saja keberlakuan segelnya.

Adapun segel yang menurut sifatnya berlaku secara permanen terhadap suatu hak atas tanah sampai segel kembali dicabut, barulah bernama “BLOKIR” dimana dapat berupa putusan sita pengadilan perkara pidana, perdata, maupun pajak. Singkatnya, tiada sita oleh pengadilan artinya tiada “blokir”, namun “status quo” secara temporer saja sifatnya. Segel yang bersifat permanen, itulah “blokir”, dimana menggugat adanya gugatan secara perdata sekalipun tidak menjamin penetapan sita akan dikabulkan permohonannya oleh hakim di pengadilan.

PEMBAHASAN:

Adapun regulasi yang berlaku untuk konteks “blokir” maupun “status quo”, yang penulis istilahkan sebagai “segel tingkat pertama”, dapat kita jumpai ketentuan norma hukumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (PP 18 Tahun 2021), dengan kutipan sebagai berikut:

Pasal 91

(1) Dalam hal Tanah menjadi objek perkara di pengadilan, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pencatatan ke Kantor Pertanahan bahwa suatu Hak Atas Tanah atau hak milik atas Satuan Rumah Susun menjadi objek perkara di pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan.

(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hapus dengan sendirinya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang mengajukan pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum jangka waktu berakhir.

(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas Hak Atas Tanah atau hak milik atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan maka atas permohonan hakim perintah tersebut dicatatkan ke Kantor Pertanahan.

(4) Catatan mengenai perintah status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada kepala Kantor Pertanahan.

Pasal 92

(1) Dalam hal Tanah merupakan objek perkara pengadilan, objek penetapan status quo oleh hakim yang memeriksa perkara atau objek sita pengadilan, kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak.

(2) Setelah jangka waktu catatan objek perkara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dan/atau catatan objek penetapan status quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (4) hapus dan objek perkara tidak diikuti penetapan sita jaminan maka pendaftaran peralihan atau pembebanan hak dapat dilaksanakan.

(3) Penolakan kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis yang memuat alasan penolakan.

Pasal 93

(1) Untuk memastikan letak dan batas Tanah objek gugatan yang sedang diperkarakan, hakim yang memeriksa perkara dapat meminta pengukuran pada Kantor Pertanahan setempat.

(2) Sebelum pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan, panitera pengadilan wajib mengajukan permohonan pengukuran kepada Kantor Pertanahan atas objek eksekusi untuk memastikan letak dan batas Tanah objek eksekusi yang ditunjukan oleh juru sita dan bertanggung jawab atas letak dan batas Tanah objek eksekusi yang ditunjukannya.

Ketentuan Pasal 93 Ayat (2) PP 18 Tahun 2021 di atas, merupakan jawaban sekaligus terobosan yang cukup “progresif” atas berbagai permasalahan yang kerap muncul di lapangan, terutama ketika warga selaku pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak tahu-menahu adanya sengketa di pengadilan, bahkan juga tidak pernah mengenal pihak pemohon eksekusi, mendapati bahwa objek tanahnya secara tiba-tiba dan mendadak dieksekusi oleh pihak pengadilan, dimana objek tanah sejatinya dimiliki oleh atau tercatat namanya dalam sertifikat tanah sebagai milik pihak ketiga yang tidak memiliki keterlibatan dalam sengketa di pengadilan. Dengan adanya kewajiban pengukuran bidang tanah oleh pihak Kantor Pertanahan, maka pihak ketiga dilindungi oleh hukum secara sendirinya dari kesewenangan-wenangan jurusita pengadilan dalam mengeksekusi putusan.

Dalam regulasi sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang terkhusus pengaturan tentang “blokir dan status quo” telah digantikan oleh Peraturan Pemerintah terbaru di atas, warga dapat membebankan “segel” berupa “status quo” secara sumir dengan mengajukan permohonan, maka akan terjadi “status quo” selama 30 hari sekalipun pihak tersebut tidak mengajukan gugatan ke hadapan persidangan agar sengketa diputuskan oleh hakim. Namun ketentuan serupa tidak diatur kembali dalam Peraturan Pemerintah terbaru ini—yang aman artinya, “segel” baik temporer maupun permanen, hanya dapat diajukan dengan adanya gugatan ke pengadilan, tidak dapat lagi diajukan secara sumir kepada Kantor Pertanahan.

Disamping ketentuan di atas, terdapat pula “segel tingkat kedua”, yang menurut sifatnya juga tergolong sebagai “segel” dapat perspektif dan kepentingan tertentu, dalam rangka mengamankan pihak-pihak yang saling berkepentingan, tanpa melalui jalur litigasi peradilan, yakni sebagaiman dapat kita jumpai dalam ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah:

Pasal 90

(1) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pencatatan perjanjian pengikatan jual beli atau perjanjian sewa atas Tanah terdaftar ke Kantor Pertanahan.

(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada daftar umum dan/atau sertipikat Hak Atas Tanah.

Kerap terjadi dalam praktik, modus-modus klasik yang cukup “purba” semacam menjual kembali objek hak atas tanah yang sebelumnya telah diikat PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dengan suatu pihak, namun dikemudian hari dijual kembali oleh pihak penjual kepada peminat lainnya (pihak ketiga) untuk membeli objek tanah yang sama. Kejahatan, terjadi karena adanya kesempatan disamping adanya niat buruk. Dengan telah ditutupnya “celah” yang selama ini menjadi pintu masuk bagi “kesempatan”, maka diharapkan mampu menekan tingginya tingkat kriminalitas dan modus-modus kejahatan.

Dengan mencatatkan suatu perbuatan hukum seperti adanya ikatan PPJB ataupun penghuniaan berdasarkan perikatan sewa-menyewa, dapat dicegah bibit sengketa hukumnya dengan memanfaatkan mekanisme dicatatkannya peristiwa hukum tersebut pada sertifikat hak atas tanah milik pihak pemilik hak atas tanah, sehingga tidak akan lagi kita jumpai praktik-praktik invalid semacam PPJB berganda maupun sewa-menyewa berganda yang merugikan pihak yang mengikatkan dirinya paling pertama. Itulah arti pentingnya kehadiran serta peran negara dalam memberikan pelindungan hukum kepada para warganya. Adapun untuk peristiwa hukum seperti dijadikan agunan, hanya dapat dilakukan pencatatannya bila telah terdapat Hak Tanggungan yang diikat sempurna sebagai jaminan pelunasan hutang.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.