LEGAL OPINION
Segel Sertifikat Tanah bernama BLOKIR dan STATUS QUO, Serupa namun Tidak Sama, PERMANEN Vs. TEMPORER
Question: JIka kita ingin buat (mohonkan) sertifikat tanah atau
beli tanah yang sudah bersertifikat, disyaratkan adanya surat pernyataan “tanah
tidak dalam keadaan sengketa”. Itu maksudnya apa, “tidak ada sengketa”? “Sengketa”
itu maksudnya, seperti apa? Bila, katakanlah, ada orang ngaku-ngaku atau main klaim
seenaknya, bahwa ladang ini milik buyutnya, gunung ini milik istrinya, bukit
itu milik kakeknya, sawah ini milik nenek dari neneknya, kebun ini milik
anaknya, dan lain sebagainya.
Semua orang juga bisa, asal klaim sebagai pemilik dan asal menunjuk (secara sumir mengaku-ngaku sebagai pemilik / mendaku). Apa itu disebut juga sebagai “bersengketa” atau “adanya sengketa” dan tersandera oleh klaim-klaim dari orang tidak jelas semacam itu untuk SEUMUR HIDUP disebut tanah berstatus “sengketa”? Ini negara hukum, atau negara asal klaim seenaknya tanpa dasar?
Brief Answer: Itulah salah-kaprah yang selama ini terjadi di
lapangan, dan mengisi mindset baik
pihak penyelenggara negara maupun para petugas di Kantor Pertanahan, seolah-olah
“sengketa lisan” semudah bagi siapapun “mengumbar (secara sumir) klaim
kepemilikan” dikategorikan pula sebagai “sengketa” yang bahkan sama kuatnya dengan
“blokir” yang berlaku selama-lamanya tanpa batas waktu “penyanderaan akibat
klaim suatu pihak”. Semua orang memang dapat mendaku dengan begitu bebasnya sebagai
pemilik yang paling berhak atas suatu objek bidang tanah, meskipun tidak semua
orang dapat membuktikannya, itulah yang kurang dipahami oleh para pejabat kita
dibidang otoritas pertanahan.
Salah-kaprah kedua, yang kerap terjadi baik dibenak
warga masyarakat maupun oleh sebagian besar pejabat di Kantor Pertanahan, seolah-olah
hak atas tanah dapat “diblokir” semudah mengajukan klaim sebagai “pemilik yang
sah” ataupun dinyatakan sebagai “masih dipersengketakan”. Yang dikenal oleh peraturan
perundang-undangan, ialah “status quo”
yang mana sifat pembekuan suatu hak atas tanah yang telah terdaftar
(tersertifikat) di Kantor Pertanahan, ialah sebatas dan terbatas “temporer”
saja keberlakuan segelnya.
Adapun segel yang menurut sifatnya berlaku secara
permanen terhadap suatu hak atas tanah sampai segel kembali dicabut, barulah
bernama “BLOKIR” dimana dapat berupa putusan sita pengadilan perkara pidana,
perdata, maupun pajak. Singkatnya, tiada sita oleh pengadilan artinya tiada “blokir”,
namun “status quo” secara temporer
saja sifatnya. Segel yang bersifat permanen, itulah “blokir”, dimana
menggugat adanya gugatan secara perdata sekalipun tidak menjamin penetapan sita
akan dikabulkan permohonannya oleh hakim di pengadilan.
PEMBAHASAN:
Adapun regulasi yang berlaku
untuk konteks “blokir” maupun “status quo”,
yang penulis istilahkan sebagai “segel tingkat pertama”, dapat kita jumpai ketentuan
norma hukumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (PP 18
Tahun 2021), dengan kutipan sebagai berikut:
Pasal 91
(1) Dalam hal Tanah menjadi objek perkara di pengadilan, pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pencatatan ke Kantor Pertanahan
bahwa suatu Hak Atas Tanah atau hak milik atas Satuan Rumah Susun menjadi objek
perkara di pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan.
(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hapus dengan
sendirinya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender
terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang mengajukan
pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum jangka waktu berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memerintahkan status quo atas Hak Atas Tanah atau hak milik atas Satuan
Rumah Susun yang bersangkutan maka atas permohonan hakim perintah tersebut
dicatatkan ke Kantor Pertanahan.
(4) Catatan mengenai perintah status quo sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender kecuali
apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita
acara eksekusinya disampaikan kepada kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 92
(1) Dalam hal Tanah merupakan objek perkara pengadilan, objek penetapan
status quo oleh hakim yang memeriksa perkara atau objek sita pengadilan, kepala
Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan
hak.
(2) Setelah jangka waktu catatan objek perkara pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dan/atau catatan objek penetapan status quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (4) hapus dan objek perkara tidak
diikuti penetapan sita jaminan maka pendaftaran peralihan atau pembebanan
hak dapat dilaksanakan.
(3) Penolakan kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tertulis yang memuat alasan penolakan.
Pasal 93
(1) Untuk memastikan letak dan batas Tanah objek gugatan yang sedang
diperkarakan, hakim yang memeriksa perkara dapat meminta pengukuran pada Kantor
Pertanahan setempat.
(2) Sebelum pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan, panitera
pengadilan wajib mengajukan permohonan pengukuran kepada Kantor
Pertanahan atas objek eksekusi untuk memastikan letak dan batas Tanah objek
eksekusi yang ditunjukan oleh juru sita dan bertanggung jawab atas letak
dan batas Tanah objek eksekusi yang ditunjukannya.
Ketentuan Pasal 93 Ayat (2) PP
18 Tahun 2021 di atas, merupakan jawaban sekaligus terobosan yang cukup “progresif”
atas berbagai permasalahan yang kerap muncul di lapangan, terutama ketika warga
selaku pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak tahu-menahu
adanya sengketa di pengadilan, bahkan juga tidak pernah mengenal pihak pemohon
eksekusi, mendapati bahwa objek tanahnya secara tiba-tiba dan mendadak
dieksekusi oleh pihak pengadilan, dimana objek tanah sejatinya dimiliki oleh atau
tercatat namanya dalam sertifikat tanah sebagai milik pihak ketiga yang tidak
memiliki keterlibatan dalam sengketa di pengadilan. Dengan adanya kewajiban
pengukuran bidang tanah oleh pihak Kantor Pertanahan, maka pihak ketiga
dilindungi oleh hukum secara sendirinya dari kesewenangan-wenangan jurusita
pengadilan dalam mengeksekusi putusan.
Dalam regulasi sebelumnya,
yakni Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang terkhusus
pengaturan tentang “blokir dan status quo”
telah digantikan oleh Peraturan Pemerintah terbaru di atas, warga dapat membebankan
“segel” berupa “status quo” secara
sumir dengan mengajukan permohonan, maka akan terjadi “status quo” selama 30 hari sekalipun pihak tersebut tidak
mengajukan gugatan ke hadapan persidangan agar sengketa diputuskan oleh hakim.
Namun ketentuan serupa tidak diatur kembali dalam Peraturan Pemerintah terbaru ini—yang
aman artinya, “segel” baik temporer maupun permanen, hanya dapat diajukan dengan
adanya gugatan ke pengadilan, tidak dapat lagi diajukan secara sumir kepada
Kantor Pertanahan.
Disamping ketentuan di atas,
terdapat pula “segel tingkat kedua”, yang menurut sifatnya juga tergolong
sebagai “segel” dapat perspektif dan kepentingan tertentu, dalam rangka
mengamankan pihak-pihak yang saling berkepentingan, tanpa melalui jalur
litigasi peradilan, yakni sebagaiman dapat kita jumpai dalam ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan
Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah:
Pasal 90
(1) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pencatatan
perjanjian pengikatan jual beli atau perjanjian sewa atas Tanah terdaftar
ke Kantor Pertanahan.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada daftar
umum dan/atau sertipikat Hak Atas Tanah.
Kerap terjadi dalam praktik, modus-modus
klasik yang cukup “purba” semacam menjual kembali objek hak atas tanah yang
sebelumnya telah diikat PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dengan suatu
pihak, namun dikemudian hari dijual kembali oleh pihak penjual kepada peminat
lainnya (pihak ketiga) untuk membeli objek tanah yang sama. Kejahatan, terjadi
karena adanya kesempatan disamping adanya niat buruk. Dengan telah ditutupnya “celah”
yang selama ini menjadi pintu masuk bagi “kesempatan”, maka diharapkan mampu
menekan tingginya tingkat kriminalitas dan modus-modus kejahatan.
Dengan mencatatkan suatu
perbuatan hukum seperti adanya ikatan PPJB ataupun penghuniaan berdasarkan perikatan
sewa-menyewa, dapat dicegah bibit sengketa hukumnya dengan memanfaatkan
mekanisme dicatatkannya peristiwa hukum tersebut pada sertifikat hak atas tanah
milik pihak pemilik hak atas tanah, sehingga tidak akan lagi kita jumpai praktik-praktik
invalid semacam PPJB berganda maupun sewa-menyewa berganda yang merugikan pihak
yang mengikatkan dirinya paling pertama. Itulah arti pentingnya kehadiran serta
peran negara dalam memberikan pelindungan hukum kepada para warganya. Adapun untuk
peristiwa hukum seperti dijadikan agunan, hanya dapat dilakukan pencatatannya
bila telah terdapat Hak Tanggungan yang diikat sempurna sebagai jaminan
pelunasan hutang.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.