4 Karakter Ragam Wajah Pembentukan dan Penerapan Hukum, bagaimanakah Pola dan Watak Hukum di Indonesia?

ARTIKEL HUKUM

Norma Hukum (Seharusnya) Bersifat Tegas, alih-alih Permisif

Hukum Negara yang Ideal, Efektif serta Efisien, Hukum yang Tepat Guna dan Implementatif

Faktor apakah, yang membuat hukum di Indonesia seakan buruk reputasi serta efektivitasnya dalam hal penegakan hukum maupun penindakannya, baik terhadap rakyat sipil maupun terhadap para penyelenggara negara? Terpuruk, itulah status yang dilekatkan pada norma hukum yang ada di republik ini oleh masyarakat kita. Terlebih dikala keadaan atau situasi darurat seperti pandemik akibat infiltrasi gempuran wabah yang diakibatkan virus menular antar manusia, dimana penindakan yang separuh hati atau yang tidak tegas, dapat dipastikan akan tidak berfaedah, bahkan kontraproduktif.

Hukum di Indonesia, dikenal “gemuk” jika tidak dapat kita sebut telah memasuki fase kritis “obesitas” penuh lemak yang hanya menjadi beban penyulit, pemanis bibir, gincu pemoles agar tampak seperti “negara berhukum”, alias “macan ompong di atas kertas”, hasil karya kegenitan intelektual para legislator baik di parlemen, pemerintahan pusat, antar lembaga, maupun pada berbagai pemerintahan daerah. Padahal bukanlah seperti itu, yang disebut sebagai negara hukum yang berperadaban tinggi.

Sebagai contoh itu berbagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Wilayah, pelanggaran terjadi secara masif, dimana pelaku usaha ilegal yang meresahkan warga pemukim di wilayah pemukiman, dibiarkan serta diabaikan selama puluhan tahun meski para aparatur perangkat daerah memiliki kewajiban untuk menerapkan Perda yang mereka susun dan tetapkan sendiri. Diterbitkan, namun tidak diterapkan. Itu sama artinya “PHP” (pemberi harapn palsu) sekaligus sangat kompromistis (terhadap pelaku pelanggaran), dimana warga yang patuh justru mendapat dis-insentif, disamping sangat transaksional dimana pelaku usaha ilegal pelanggar tata ruang wilayah cukup membayar sejumlah dana gratifikasi (baca : upeti) maka justru pejabat setempat menjadi “backing” dari mereka dan kontraproduktif terhadap kepentingan warga yang menjadi konstituen sang pejabat daerah.

Setelah sekian lama berkecimpung dibidang hukum sebagai pemerhati sekaligus praktisi, penulis menemukan sebuah pola yang membuat wajah atau citra penerapan hukum menjadi berdisparitas antar berbagai negara, dimana terdapat sebuah paradigma pembentukan dan penerapan hukum, dengan variasi sebagai berikut, yang hanya terdiri dari empat kemungkinan pola, yakni:

1. Proses pembentukan hukum dilakukan secara tidak partisipatif (tidak demokratis), dan penerapan atau penegakannya demikian k0munistik;

2. Proses pembentukan hukum dilakukan secara tidak partisipatif (tidak demokratis), dan penerapan atau penegakannya demikian kompromistis, transaksional, permisif;

3. Proses pembentukan hukum dilakukan secara partisipatif (demokratis), dan penerapan atau penegakannya demikian k0munistik; atau

4. Proses pembentukan hukum dilakukan secara partisipatif (demokratis), dan penerapan atau penegakannya demikian kompromistis, transaksional, permisif.

Teks yang disuguhkan kepada publik, perlu ditinjau dari konteks yang ada. Keduanya, perlu dibaca secara bersamaan, antara teks dan konteks. Kekeliruan paradigmatif terbesar para kaum pengusung konsep hak asasi manusia (HAM), mereka demikian “membuta” sehingga tidak arif serta kurang bijaksana menyikapi situasi tanpa melihat konteksnya (baik konteks yang melatar-belakangi maupun konteks pendahuluannya). Sebagai contoh, pembentukan hukum telah demikian demokratis, seperti pembentukan norma hukum perihal larangan hukuman bagi para pengedar obat-obatan terlarang, disertai pengaturan perihal sanksi bagi pelanggarnya berupa hukuman mati. Ketika seseorang warga melanggarnya, maka ia yang menjebloskan dirinya sendiri ke tangan algojo untuk dieksekusi hukuman mati. Kita dapat menyebutnya sebagai, “YOU ASKED FOR IT!

Norma hukum, memang harus diterapkan secara k0munistik agar tidak pandang bulu serta tidak kenal kompromi (perhatikan konteksnya, terdapat kata kunci “penerapannya”). Itulah yang membuat norma hukum menjadi berbeda dengan norma-norma lain seperti norma sosial, norma agama, norma moral, norma budaya adat istiadat, dan lain sebagainya. Norma hukum besikap IMPERATIF dan PRESKRIPTIF, bukan bersifat kebolehan tanpa sanksi ataupun deskriptif.

Harus terdapat distingsi atau garis pemisah yang tegas antara norma hukum dan norma lainnya, agar wibawa norma hukum dihormati, disakralkan, serta disegani oleh para subjek hukum yang diatur olehnya—dan disaat bersamaan, agar tidak disepelekan, tidak dilecehkan, serta tidak dipandang sebelah mata sehingga mengundang niat orang jahat untuk “mencoba-coba” melawan hukum, bahkan tidak jarang “mengangkangi” hukum. Kepatuhan warga dan aparaturnya, dimulai dari konsistensi penerapan norma hukum yang tegak setegak-tegaknya tanpa kenal kompromi—perhatikan, itulah ciri khas paradigmatik tipe negara k0munistik, namun juga jangan lupakan konteksnya, berupa kata kunci “penerapannya”.

Di Indonesia, ironisnya sekalipun telah sekian lama merdeka dan para profesor dibidang ilmu hukum telah melimpah-ruah dengan segala teori yang “omong kosong” menghiasi berbagai buku-buku “sampah” yang menyesaki rak-rak buku (agar tampak intelek), wajah praktik hukumnya justru terbolak-balik, penerapan hukumnya justru demikian jauh dari kesan sifat k0munistik, yakni amat sangat kompromistis dan separuh hati—disamping “tebang pilih” tanpa komitmen dalam hal penegakan dan penindakannya. Para Sarjana Hukum kita di Indonesia, sungguh telah salah didik serta salah asuhan. Betapa tidak, sebagian besar para akademisi kita mengaku sebagai pakar dibidang hukum, bergelar doktor dibidang hukum, meski senyatanya mereka lebih patut disebut sebagai seorang “sosiolog” ketimbang seorang pakar dibidang ilmu hukum.

Kini, kita masuk pada fokus bahasan utama kita, yakni penerapan hukum secara k0munistik. Hans Kelsen maupun John Austin, tokoh sekaligus pujangga besar paling diakui dalam dunia ilmu hukum dari Barat, sekalipun negara Barat tergolong sebagai negara bertipe “liberal”, telah ternyata memiliki paradigma berpikir hukum yang sangat k0munistik. Terbukti dari berbagai pendapat Kelsen ketika sang pujangga membagi karakteristik norma-norma ke dalam sekat pemisah yang tegas antara “is” dan “ought to”. Sederhana saja konsepnya, namun senyatanya jarang dipahami oleh para Sarjana Hukum kita.

Is”, selama ini dan selamanya menjadi domain abadi kalangan profesi “deskriptif” semacam para sosiolog, kriminilog, victimolog, dan para reporter penyiar berita yang bahkan sama sekali tidak berlatar-belakang disiplin ilmu hukum. Berbeda ranah secara kontras dengan itu, “ought to” menjadi domain khas bagi kalangan profesi hukum sejati, secara “preskriptif” membuat penegakan perihal “larangan” dan “perintah”. Inilah, yakni semangat “ought to”, yang menjadi spirit atau jiwa dari norma hukum, dimana tanpa itu maka ia tidak dapat lagi disebut sebagai norma hukum (the heart of law, nyawa dari hukum).

Ketika Anda cerabut keberlakuan sifat “ought to”, dimana frasa “ought to” dapat Anda sepadankan atau diterjemahkan sebagai “seharusnya”, maka tiada lagi yang tersisa dari norma hukum selain sekadar “macam ompong”, dimana yang kemudian menjadi konsekuensi logisnya ialah norma hukum turun derajat menjadi sekadar norma sosial yang boleh dipatuhi juga boleh tidak dipatuhi, tanpa paksaan serta tanpa pemberlakuan saksi dari pihak penegaknya, sekadar himbauan semata. Dengan kata lain, ketika penerapan hukum ditegakkan secara kompromistis dan negosiatif, yang kita sebut sebagai partisipatif ala demokratik, maka ia bukanlah norma hukum, namun norma sosial. Hanya ketika ia tegakkan secara tanpa kenal kompromi (k0munistik), maka itulah yang kita sebut sebagai “ought to”, alias norma hukum.

Sebagaimana namanya, “is”, maka ia sekadar menggambarkan dalam bentuk deskriptif, berupa realita atau kenyataan dalam wujudnya yang telah sesuai atau justru bertentangan dengan kaidah atau ketentuan dalam norma hukum yang ada. Dengan kata lain, “is” sekadar berfungsi untuk menggambarkan, karenanya disebut sebagai sebuah ilmu tentang “deskriptif”, melukiskan apa yang terjadi dalam realita, dimana isu sentralnya bukanlah norma hukum itu sendiri, namun fenomena sosial. Sebagai contoh, warga masyarakat di Indonesia gemar membuang sampah sembarangan, dan selama ini tiada tindakan yang berarti dari pemerintah.

Itulah “is”, dimana norma hukum larangan membuang sampah sembarangan menjadi turun kelas menjadi sekadar norma sosial, himbauan yang boleh dilanggar juga boleh dipatuhi, tanpa sanksi atau ancaman hukuman apapun. Masyarakat pelanggarnya pun senang, hidup di negara “demokratis”, bebas melanggar dan menabrak setiap aturan yang ada. Semangatnya lebih menyerupai norma moralitas, untuk tidak sembarangan membuang sampah. Sebaliknya, di Singapura, terkesan “tidak boleh coba-coba”, karena penerapan hukumnya berwajah k0munistik, tidak kenal kompromi, suka ataupun tidak suka, dan sudah menjadi rahasia umum Warga Negara Indonesia mendadak patuh hukum ketika menjejakkan kakinya di sana.

Salah satu ciri tipe penegakan hukum secara k0munistik, ialah sifatnya yang sangat prediktif, yang menurut Kelsen ialah dalam derajat yang paling maksimum tingkat prediktifnya. Berhubung sifat atau keberlakuan norma hukumnya sebagai “ought to”, karena itu tidak mengherankan bila sifat keberlakuannya ialah tiada kompromistis, konsisten, tegas, serta tanpa mengenal pandang bulu, disamping “tajam” bahkan dapat disebut “sadistik” menyerupai hukum alam yang tidak kenal ampun ketika badai mengamuk, bahkan anak balita atau warga tua renta pun akan tersapu ombak badai ketika sang badai memang harus “mengamuk” pada hari naas tersebut.

Cacat atau kelirumologi paling utama dari sistem hukum di Indonesia, ialah, konsepsinya terbolak-balik, dari yang semestinya proses pembentukan hukum dibuat serta disusun secara partisipatif bersama publik (demokratis), lantas penerapannya kemudian ialah secara tegas tanpa kenal kompromi (k0munistik), namun yang selama ini terjadi ialah justru sebaliknya : Proses pembentukannya sembunyi-sembunyi serta berseberangan dengan kepentingan maupun aspirasi publik, seringkali patut diragukan karena tiada instrumen pengawasan oleh publik (disusun, dibentuk, dan disepakati di “ruang gelap”), sebelum kemudian disahkan dan diberlakukan secara kompromistis, negosiatif, tebang pilih, kadang tumpul namun juga terkadang tajam (demikian subjektif, melihat siapa yang akan dikenakan hukum, penguasa dan bermodal ataukah jelata), berat sebelah, diskriminatif, serta penuh toleransi yang mengatas-namakan “negara demokratis” sehingga tidak boleh menegakkan hukum secara tegas dan keras secara merata (erga omnes).

Yang disebut sebagai “negara demokratis”, ialah proses pembentukan hukum pada negara tersebut (perhatikan konteksnya). Namun adalah salah-kaprah yang melampaui segala kelirumologi, ketika seseorang mengaku sebagai “pakar hukum” membuat istilah blunder bernama “negara hukum demokratis”. Sebagaimana telah dijelaskan secara lugas dan gamblang oleh Kelsen, tidak ada yang namanya norma hukum yang penerapannya secara demokratik, yang ada ialah norma hukum yang bersifat “ought to”, yang bermakna k0munistik. Kecuali Anda hendak mendirikan negara “dagelan”, dimana norma hukum dibentuk semata untuk dijadikan objek lelucon dan tidak berwibawa di mata masyarakat disamping sekadar untuk dilecehkan dan di remehkan.

Sebagai bukti, tiada negara k0munis maupun negara sosialisme yang tidak mengaku sebagai negara berhukum, dan memang betul adanya bahwa negara-negara tersebut seperti Republik Rakyat China (RRC), Vietnam, dan Rusia, justru penuh oleh berbagai penerapan instrumen hukum secara efektif disamping tepat guna pemberlakuannya. Rakyat pun, patuh dan mudah diatur, efektivitasnya dalam derajat paling maksimum, karenanya rantai komando pun mudah diarahkan secara “top to down” tanpa kendala berarti ketika situasi urgen seperti negara kritis darurat wabah yang mana butuh ketegasan tertentu dari penyusun kebijakan negara.

Sebaliknya, tiada negara demokratik yang tidak memberlakukan norma hukum dalam derajat yang paling minimum. Sebagai contoh, Amerika Serikat, norma hukum benar-benar diterapkan secara komitmen dan konsisten, yang secara nyata dan kasat mata berpola wajah sama dan identik dengan cara RRC menerapkan hukum terhadap rakyatnya maupun terhadap warga asing yang berada pada teritorinya, yakni : tidak kenal kompromi dan tidak menerima banyak alasan. Melanggar adalah pelanggaran, dan yang melanggar dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, di Indonesia, hanya norma hukum perihal lalu-lintas yang diberlakukan secara k0munistik, dalam rangka menilang demi kepentingan finansial isi saku kantung baju dan celana sang polisi yang menilang. Hanya dalam konteks tilang-menilang, negara lewat aparatur penegak hukumnya benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat.

Semuanya adalah negara hukum, tiada negara yang tidak memiliki dan memberlakukan hukum pada teritori wilayah negaranya, baik negara dekokratik paling orthodoks, negara demokratik paling liberal, negara k0munistik paling tidak beradab (semacam Korea Utara), negara k0munistik modern (seperti RRC), bahkan hingga negara berbentuk monarkhi maupun monarkhi konstitusional, semua mengklaim sebagai “negara hukum”. Negara (yang berdasarkan) kekuasaan, legitimasinya juga ialah atas dasar hukum, semisal presiden diangkat untuk seumur hidup, bisa jadi memang terdapat pengaturannya dalam konstitusi negara tersebut. Suatu kepala negara bisa menjadi diktator, juga akibat dibuka peluangnya oleh instrumen dan norma hukum yang ada pada suatu negara.

Sehingga, ketika oleh para pakar hukum pendahulu kita di Tanah Air, saat merumuskan bersama para “founding father” istilah “Indonesia adalah hukum (rechtsstaat) bukan negara berdasarkan kekuasaan (machtsstaat)” (yang kemungkinan besar kalimat demikian disusupi secara sepihak oleh Supomo, berdasarkan kabar yang beredar seputar isu pembentukan Konstitusi NKRI yang pertama pra amandemen), faktanya ialah semua negara paling diktator yang pernah ada di muka bumi sekalipun, merupakan negara hukum, setidaknya “mulut raja adalah hukum itu sendiri” sebelum asas legalitas dikenal dalam sistem hukum pidana suatu negara. Anda kira, Adolf Hitler saat sedang berkusa di Jerman, kediktatorannya tidak mendapat legitimasi dari hukum di negara Jerman yang berlaku pada saat ia berkuasa? Tiada diktator yang membonceng norma hukum yang ada dan dibentuk di negara tempat ia berkuasa, norma hukum yang menghamba pada penguasa.

Karenanya, tidak lagi relevan membenturkan antara negara hukum Vs. negara demokratik Vs. negara k0munistik, semata karena semuanya adalah negara hukum—hanya saja isu sentralnya yang lebih relevan ialah, norma hukum yang diberlakukan di negara bersangkutan menurut latar-belakangnya dibentuk secara partisipatif atau tidaknya. Ketika masih dalam proses penyusunan dan pembahasan, sifat suatu negara haruslah demokratik. Namun, ketika telah disahkan dan diterbitkan sebagai hukum positif suatu negara, maka suka tidak suka, mau tidak mau, “hukum memang keras, namun itulah bunyinya” (perhatikan konteksnya), suatu karakter khas k0munistik, dan negara memang harus berwajah k0munistik ketika telah masuk dalam tataran implementasi norma hukumnya.

Penulis menyebutnya sebagai sebuah “ambivalen” yang tidak dapat kita hindari dan tidak terhindarkan demi tercipatnya “legal order” (ketertiban umum), yakni suatu wajah berganda, namun bukan standar berganda, perihal norma hukum. Sehingga, yang perlu kita ketahui dan soroti ialah kerangka waktunya, bukan substanasi norma hukum itu sendiri. Ketika suatu produk legislasi peraturan perundang-undangan dibentuk dan disusun secara demokratik, maka segenap rakyat harus memaklumi bila norma hukum tersebut ketika terbit, sah, dan berlaku sebagai hukum positif, maka wajah dari otoritas negara (dalam hal ini ialah aparatur penegak hukum) ialah berkarakter k0munistik, dimana kepatuhan rakyat menjadi harga mati tanpa dapat ditawar-tawar lagi. Namun ketika proses legislatif dibentuk secara k0munistik, rakyat harus mengajukan keberatan hingga level pemberontakan ketika norma hukum tersebut diberlakukan secara tajam ke tengah-tengah masyarakat.

Jenis yang ketiga, ialah tiada norma hukum yang lebih gagal, ketika legislasi dibentuk secara serius dan penuh muatan sarat kebaikan maupun pertimbangan mendalam, namun implementasinya justru separuh hati, dengan mengatas-namakan negara demokratik sehingga negara tidak bisa bersikap tegas dan keras terhadap rakyat maupun terhadap aparaturnya untuk diatur dan dibuat patuh untuk tunduk, namun disaat bersamaan, terdapat norma hukum lain yang sebelumnya juga telah pernah dibentuk oleh negara, namun ternyata diterapkan secara tegas dan keras.

Contoh kasusnya, ialah UU ITE (Undang-Undang tentang Transaksi Elektronik), dibentuk secara kurang transparan, namun sangat tajam ke bawah. Disaat bersamaan, terdapat berbagai Peraturan Daerah namun ternyata minim implementasi, tidak terkecuali berbagai regulasi diterbitkan Kepala Pemerintahan dalam rangka menertibkan warga ketika pandemik akibat wabah virus menular antar manusia terjadi, banyak warga melanggar, namun seolah pemerintah dan aparatur penegak hukumnya tidak berdaya menindak dan menertibkan, seperti larangan mudik, kewajiban mengikuti program vaksinasi, larangan kegiatan usaha pada sektor tertentu, larangan berkerumun, kewajiban menerapkan “protokol kesehatan”, jam malam, dan lain sebagainya.

Penulis menyebutnya sebagai tipe negara ketiga, yakni tipe negara “waria”, alias tidak jelas status haluan dan tendensinya berorientasi pada kiblat apakah, apakah pada kiblat “suka-suka penguasa dan pemerintah yang sedang berkuasa”? Omnibus Law, menjadi simbolisasi monumen “mulut presiden adalah hukum itu sendiri” (executive heavy), suka-suka Bapak Presiden mau buat Peraturan Pemerintah semacam apa untuk membolak-balik kaidah hukum di republik ini. Ciri paling utama dari tipe negara tidak jelas orientasinya demikian, ditandai oleh satu ciri khas watak berhukumnya, yakni : Tiadanya kepastian hukum dalam derajat paling minimum sekalipun.

Sebaliknya, tipe negara yang menerapkan hukum secara k0munistik, memiliki satu tipe watak berhukum yang khas, yakni : Ilmu hukum didefinisikan sebagai ilmu tentang prediksi, dimana sifat prediktifnya ialah dalam derajat paling maksimum (teori tersebut dikutip dari berbagai karya tulis Hans Kelsen). Itulah yang dapat kita jumpai pada norma hukum bentukan preseden, yang menjadi ciri khas Anglo Saxon ala Common Law, dimana yang paling mengejutkan ialah Anglo Saxon merupakan kiblat hukum negara Barat semacam Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa, sehingga menjadi jelas bahwa di negara tersebut penerapan hukumnya bersifat k0munistik, sehingga penerapannya tegas dan keras—karenanya menjadi bersifat prediktif dalam derajat paling maksimum sehingga tercipta kepastian hukum.

Itulah juga yang menjadi penyebab, Belanda, yang semula menjadi kiblat hukum negara Indonesia, beberapa tahun lampau telah resmi berpindah haluan dari Civil Law menjelma Common Law, semata atas dasar pertimbangan pragmatis bahwa kepastian hukum jauh lebih menawarkan keadilan bagi masyarakat, sekalipun penerapan norma hukumnya harus secara k0munistik, yakni tegas, keras, dan konsisten penuh komitmen tanpa kenal kompromi. Tiada keadilan bagi masyarakat, bila tiada kepastian hukum dalam derajat paling maksimum bagi rakyatnya tanpa terkecuali.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.