Kendalikan Pandemik Wabah dengan Menerapkan Protokol KETAKUTAN, TAKUT DOSA BILA TERTULAR & MENULARI ORANG LAIN

ARTIKEL HUKUM

Ketika Imbauan Protokol Kesehatan sudah Tidak Lagi Efektif Menggetarkan Hati Rakyat yang Sekeras Batu, Kesombongan atas Kesehatannya yang Merasa Kebal Wabah sehingga Menyepelekan dan Meremehkan Kesehatan / Keselamatan Orang Lain

Kebal Wabah Belum Tentu KEBAL DOSA, Jangan Menantang Wabah jika Tidak Ingin Menantang DOSA

Ditengah kian merebak dan meluasnya pandemik global dan domestik akibat wabah virus menular antar manusia, ada saja sebagian diantara masyarakat kita yang secara meremehkan telah menyepelekan ancaman wabah, dengan sindiran penuh sinisme kurang simpatik terhadap para korban maupun para calon korban wabah, sebagai “protokol KETAKUTAN”—yakni ketakutan harus jaga jarak, hindari kerumunan, mencuci tangan, mengenakan masker penutup hidung dan mulut (jika perlu “face shield”). Realita di tengah masyarakat kita, “protokol kesehatan” kian dilecehkan.

Memang, harus kita akui, ironi terbesar republik “agamais” bernama Indonedia ini ialah, para penduduknya sangat tidak takut berbuat dosa, menyepelekan dan meremehkannya, semata karena terdogmatisasi ajaran ideologi penuh kecurangan dari “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”, bernama “penghapusan / pengampunan dosa” ataupun “penebusan dosa”, sehingga nyawa orang lain melayang atau jatuh korban jiwa akibat perbuatan dirinya yang berupa kesengajaan maupun pengabaian, hanya dianggap sebagai hal sepele (trivial matter) yang tidak patut diperhitungkan atuapun dibesar-besarkan.

Nyawa orang lain yang tidak kita kenal, tidaklah penting bagi kita, namun bisa jadi penting dan berharga bagi orang-orang terdekat mereka seperti kerabat ataupun sanak-keluarga. Kita tidak pernah punya hak untuk menyepelekan hak hidup individu lainnya, terlebih membawa ancaman penularan bagi mereka. Mengorbankan orang lain, maka jangan heran bila suatu saat nanti pelakunya yang akan dikorbankan dan ditumbalkan oleh ego orang lain. Yang hidup dari arogansi, akan mati karena arogansi serupa.

Terhadap mereka yang justru melecehkan “protokol kesehatan” dikala wabah merebak, dengan menyepelekan dan mengangkanginya—bahkan sengaja menantang—dengan sindiran sebagai “protokol ketakutan”, maka jawablah dengan kalimat sebagai berikut : “Kamu tidak takut berbuat dosa, seperti membaca potensi ancaman menulari wabah kepada orang lain yang bisa jadi berdampak fatal bagi orang-orang yang kamu tulari?” Orang-orang yang cenderung menyepelekan serta merasa kebal dari wabah, kecenderungannya memiliki tendensi serta watak karakter yang merasa dirinya kebal dari dosa.

Saat ulasan ini disusun para pertengahan tahun 2021, sedang viral pemberitaan dengan tajuk “Bocah Vino yang Jadi Yatim Piatu Akibat Pandemi”. Alviano Dava Raharjo, seorang anak berusia 10 tahun di Kutai Barat, Kalimantan Timur, mengalami kenyataan bahwa dirinya kehilangan ayah dan ibunya, yang kini sang bocah hidup sebatang kara dengan uluran bantuan dari sejumlah pihak. Ayah dan ibu Vino meninggal dunia karena terpapar virus Corona Tipe-2 (COVID-19).

Begitu pula berita serupa dengan tajuk “Kesedihan Ghifari, Jadi Yatim Piatu Diusia 8 Tahun, Orang Tuanya Meninggal Karena Covid-19”. Pandemi COVID-19 telah turut mengakibatkan duka mendalam bagi Azhar Al Ghifari Putra Setyawan, seorang bocah berusia 8 tahun asal Kabupaten Sukoharjo, mendadak menjadi yatim piatu usai kedua orang tuanya meninggal terpapar COVID-19. Ghifari kerap meminta agar diantarkan ke makam ayah dan ibunya, kemudian menangis di sana, sembari melontarkan kata-kata rindu terhadap kedua orang tuanya.

Ghifari ditinggal pergi kedua orangtuanya untuk selama-lamanya setelah mereka bergular melawan infeksi virus corona. Sang ibu, Haryati, 37, meninggal lebih dulu pada 21 Juli 2021 saat mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit rujukan Covid-19 di RSUD dr Moewardi Solo. Haryati menghembuskan napas setelah tiga hari dirawat dengan saturasi oksigen dibawah 50. Kemudian berselang dua hari setelah itu, ayah Ghifari, Deni Budi Setyawan, 43, mengalami sakit dengan gejala sama, yaitu demam, batuk dan sesak napas. Namun sayangnya, Deni tak bisa mendapatkan perawatan di rumah sakit karena tidak tersedianya oksigen, akhirnya dibawa kembali ke rumah.

Duka dan pilu seolah belum cukup sampai disitu menghantam sang anak yang tidak berdaya, sebab di hari yang sama, kakek Ghifari, Sutrisno, 70, juga meninggal dunia di rumah sakit. Kakek bocah tersebut meninggal dunia setelah tidak sanggup meneruskan diri berjuang melawan infeksi virus corona yang tidak kenal kompromi. Siapa pun tidak akan menyangka akan dapat terjadi kehilangan tiga anggota keluarga sekaligus dalam hitungan hari. Ghifari pun baru mengetahui jika kedua orang tuanya telah tiada beberapa hari setelah kepergian mereka. Sejak kepergian orang tuanya ini, Ghifari kerap melamun.

Lantas, pertanyaan paling utamanya ialah, belum cukup jahat serta belum cukup berdosakah, orang-orang yang selama ini meremehkan arti penting “protokol kesehatan” maupun “protokol KETAKUTAN”? Apa pula yang menjadi tanggung-jawab seseorang yang telah menjadi agen penular sehingga menulari anggota keluarga tercinta dari sang bocah malang tersebut, yang pastinya hanya merupakan satu contoh kecil dari bocah-bocah malang lain diluar sana yang keluarganya kolaps akibat kepala keluarga atau anggota keluarga terkasih dan terdekatnya menjadi korban jiwa akibat terkena tular dan terpapar infeksi wabah menular antar manusia ini? Tidak adakah rasa bersalah bagi orang-orang di luar sana yang masih saja meremehkan kedua protokol tersebut? Tidak adakah hati nurani mereka ketika mendapati kenyataan demikian?

Sungguh, betapa miskin Bangsa Indonesia ini dari segi kapasitas “empati” terlebih sikap penuh tanggung-jawab, rasa bersalah, penyesalan diri, sikap saling menghargai, daya keprihatinan, introspeksi diri, kepatuhan terhadap hal yang baik, penghormatan, kepedulian dan perhatian, penghargaan terhadap kepentingan kesehatan dan keselamatan jiwa orang lain, kejujuran dan integritas diri serta moralitas. Mereka bahkan tidak takut berbuat dosa seperti dengan membawa potensi resiko menulari orang, virus penyebab wabah, yang bisa jadi fatal akibatnya ketika terjangkit oleh sang virus, bahkan menjadikannya sekadar sebagai bahan lelucon dan olokan yang “seolah-olah lucu”.

Para warga masyarakat kita di Indonesia, selama masih belum mampu menginternalisasi ke dalam sanubari diri terdalam mereka, perihal “protokol KETAKUTAN” ini, maka akan selamanya wabah ditulari oleh para sesama warga, sehingga yang tertular ialah sesama warga, yang menjadi korban jiwa juga ialah sesama warga. Tetap saja, sekalipun pelaku dan korbannya ialah sesama warga Indonesia di Indonesia, yang dibenci dan dimusuhi selalu ialah bangsa Barat dan Yahudi.

Sejatinya seseorang tidak perlu secara repetisi diberi penyuluhan—terlebih disertai ancaman—perihal “protokol kesehatan” bilamana sang warga telah memiliki “protokol KETAKUTAN”. Seorang warga yang telah menjiwai “protokol KETAKUTAN’, akan secara sendirinya dan secara proaktif mencari tahu dan menerapkan “protokol kesehatan” tanpa perlu disuruh serta tanpa perlu diawasi—karena kesadaran tumbuh dalam internal hati dan pikiran mereka sendiri.

Karenanya, strategi yang paling tepat guna dan efektif ialah pemerintah mencoba terlebih dahulu menumbuhkan kesadaran pentingnya menerapkan “protokol KETAKUTAN” kepada setiap anggota masyarakat, dimana dengan begitu pada gilirannya pemerintah akan dengan mudah mengedukasi masyarakatnya perihal “protokol kesehatan” yang pastinya akan diserap oleh masyarakat kita bagaikan spons yang dapat menyerap air tanpa banyak kendala berarti.

Mencoba strategi yang berkebalikan, memaksakan “protokol kesehatan” tanpa didahului kesadaran perihal “protokol KETAKUTAN”, jadilah seperti kondisi sekarang ini di Indonesia, yang sudah memiliki bonus “lockdown alami” berupa negara kepulauan, ditambah iklim dua musim, serta tingkat paparan sinar Ultraviolet (UV) tertinggi di dunia, namun tetap saja berbuah kontraproduktif, dimana bahwa para warga masyarakatnya sama sekali tidak takut berbuat dosa meskipun mereka tergolong “agamais” yang mengaku ber-Tuhan dan meyakini adanya alam neraka di alam baka setelah kematian menjelang.

Strategi internalisasi “protokol KETAKUTAN”, sejatinya, bukanlah barang baru. Agar warga masyarakat patuh terhadap peraturan peraturan perundang-undangan, maka dibentuklah norma hukum berisi ancaman hukuman disertai lembaga dimana sanksi diberlakukan semacam penjara. Begitupula saat warga pengendara kendaraan bermotor roda dua ditertibkan karena tidak mengenakan helm, dimana para pengendara tersebut bisa jadi tidak mengindahkan dan tidak memandang penting “protokol berkendara”, namun “protokol KETAKUTAN” berupa sanksi semacam tilang—bila mereka tidak takut kehilangan nyawa akibat cedera terjatuh dari kendaraan tanpa alat pelindung diri seperti helm—ternyata dapat mengisi celah daya berpikir irasional masyarakat kita, dan kini sedikit banyaknya telah membawa kontribusi cukup berarti bagi peningkatan ketertiban dan kepatuhan masyarakat kita khususnya tertiba berlalu-lintas di jalan raya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.