Kebodohan Seyogianya Bukan untuk Dipertontonkan secara Vulgar serta Bukanlah Tontotan yang Cerdas

ARTIKEL HUKUM

Beriman, namun Justru Memfitnah Tuhan yang Disembah oleh Mereka Sendiri sebagai Kambing Hitam yang Bertanggung Jawab atas Segala Suka Duka Umat Manusia

Bila Aurat Ditutupi Rapat-Rapat, Lantas mengapa Kebodohan Berpikir dan Bertutur-Kata justru Diumbar dan Dipertontonkan Tanpa Malu?

Pada suatu hari Jum’at tengah hari, dari suatu tempat ibadah yang mengumandangkan ceramah seorang pemuka agama lewat pengeras suara yang bahkan masuk menyeruak hingga ke dalam toilet kediaman rumah penulis, sehingga lebih banyak yang “masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri”, bahkan ayat-ayat kitab agamanya diumbar bak selebaran iklan yang diobral sehingga bertebaran di jalan sehingga hanya berakhir masuk mengisi “tong sampah” ibarat sampah-sampah daun berguguran yang berserakan kesana dan kemari tanpa nilai dan tanpa harga, sang pengkhotbah menceritakan sebuah kisah sebagai berikut untuk “mengispirasi” dan “mencerahkan” para umat pemirsanya yang dapat penulis bayangkan hanya “manggut-manggut” bagai tidak memiliki otak pemberian sekaligus sebagai anugerah terbesar dari Tuhan untuk berpikir dan mengkritisi “kebenaran”—otak mana telah digadaikan demi iman yang “membuta” serta “tebal”.

Sang pengkhotbah memulai, alkisah, terdapat seorang ulama yang mampu melihat makhluk berukuran mikro semacam bakteri dan virus, tanpa bantuan alat bantu semacam mikroskop sekalipun. “Hei, siapa kalian?” Tanya sang ulama. “Kami virus ciptaan Tuhan. Kami diutus untuk memberi cobaan kepada para manusia. Kini kami berangkat untuk menyerang sebuah perkampungan untuk kami infeksi para penduduknya,” jawab sang virus. “Berapa banyak korban jiwa yang akan kalian bunuh, wahai virus?” “Kami diutus Tuhan untuk membunuh seribu orang manusia selama dua bulan.”

Beberapa waktu kemudian, benar-benar terjadi wabah pada perkampungan tersebut, dan tidak lama setelahnya sang ulama kembali berjumpa sang virus. “Hei, itu kalian lagi, virus yang sama dengan saya jumpai dua bulan lalu. Kini kalian hendak kemana?” “Kami baru saja selesai menjalankan tugas pemberian Tuhan yang menghendaki dua bulan lamanya wabah merebak, maka dua bulan wabah terjadi dan selesai. Kini kami hendak pulang, karena tugas kami telah selesai.” “Seribu orang yang tewas?” “Empat ribu orang yang tewas.” “Kalian pernah bilang, kalian hanya diutus untuk membunuh seribu orang manusia?” “Memang, yang kami bunuh adalah seribu orang manusia, namun penduduk yang mati akibat takut dan panik, mati takut karena mendengar betapa mamatikannya kami para virus menular, ada tiga ribu orang.” “Jadi kami harus bagaimana?” “Beribadah dan beriman kepada Tuhan,” imbuh sang virus sebagai penutup perjumpaan mereka.

Sang penceramah menambahkan kepada para audiens-nya, bahwa tanpa kehendak dan kuasa Tuhan, kita tidak akan mati sekalipun diserang virus penyebab wabah. Sebaliknya, jika suatu manusia telah dijadikan target oleh Tuhan, maka dirinya pasti mati dan tewas entah karena virus atau karena penyakit dan sebab lainnya. Kini, mari kita “uji moril” kebenaran hikayat yang disampaikan sang penceramah, terdapat setidaknya beberapa kontradiksi dengan rincian sebagai berikut:

- Umur makhluk dengan ukuran mikron sebentuk virus, memilik masa hidup yang amat singkat, bagaimana mungkin sang ulama berjumpa kembali dengan virus yang dua bulan lampau pernah saling berjumpa dan bercakap-cakap dengannya?

- “Untuk anak sendiri, koq masih dicoba-coba?” (dikutip dari dialog dari sebuah iklan sebuah obat cacing pada pariwara di televisi beberapa dekade lampau);

- Mencoba atau membunuh? Orang mati tewas akibatnya, apanya lagi yang dicoba-coba? Mencoba dalam rangka membunuh? Yang dicoba kini sudah di alam baka karena tewas. Jika sejak awal sudah diputuskan dan direncanakan Tuhan untuk mati tewas terbunuh, artinya bukan “dicoba-coba”, karena sejak awal hingga pada akhirnya sudah jelas muaranya, “mati terbunuh”, sehingga sejujurnya yang ada ialah “membunuh” dengan kemasan istilah “cobaan” agar tampak lebih Tuhanis;

- Umur umat manusia telah hampir setua usia Planet Bumi ini, setidaknya telah ratusan ribu tahun lamanya Tuhan menjadikan manusia sebagai “kelinci percobaan” eksperimen percobaan Tuhan, mengapa tidak selesai-selesai dan akan sampai kapan Tuhan masih juga mencoba-coba bak “TIDAK Maha Tahu” (suatu penistaan terhadap Tuhan oleh umat-Nya sendiri)?

- Dikatakan oleh sang penceramah bahwa bila Tuhan tidak berkehendak, maka tidak pakai masker saat wabah pun, tidak akan tewas. Sebaliknya, seseorang tewas karena kuasa, rencana, izin, serta kehendak Tuhan, maka mengenakan masker dikala wabah sekalipun akan tetap tewas. Lantas, mengapa tiga ribu jiwa lainnya bisa tewas tanpa perintah ataupun tanpa rencana dan kehendak dari Tuhan saat mengutus si virus kecil mungil tersebut? Tuhan meleset merencanakan serta mengizinkan umat manusia untuk tewas terbunuh, artinya Tuhan “BELUM Maha Kuasa”;

- Virus bersifat vegetatif, dalam artian tidak dapat berkomunikasi serta tidak dapat berpikir terlebih memiliki kehendak sendiri. Manusia yang bisa berkomunikasi dengan hewan seperti monyet dan kera, masih mungkin. Namun manusia bercakap-cakap dengan kuman, bakteri, dan virus? Bisa-bisa saat sang ulama duduk di bangku rumahnya, ada tungau di kapas kapuknya menjerit, “Hei, jangan duduki kami!” Yang lebih ajaib, seekor virus mampu menguasai serta memahami bahasa manusia! Sang ulama mungkin bisa membuka kursus bahasa asing, Bahasa Virus dan Kuman penyakit.

- Manusia boleh mencoba-cobai Tuhan. Mengapa? Karena jika sudah ditentukan akan mati, maka pakai masker dikala wabah pun, adalah percuma. Sebaliknya, jika belum ditentukan akan mati, maka buat apa pakai masker dikala wabah?

- Artinya, “tidak takut” dan “vaksin iman” adalah kunci jawaban mengatasi wabah. Artinya pula, yang selama ini tewas menjadi korban jiwa serangan dan keganasan wabah, adalah orang-orang yang dapat kita hakimi sebagai orang-orang yang “penakut” serta “tidak beriman”;

- Tidak perlu takut, juga tidak perlu takut berbuat dosa (menjadi pendosa) dengan cara tertular lalu menulari orang lain yang bisa jadi akan berdampak fatal hingga meninggal dunia akibat tertular dan terpapar oleh si “beriman yang tidak takut dosa” yang menjadi “agen penular wabah”;

- Yang paling menarik ialah, ternyata sang virus dalam kisah wabah di atas, ialah nabi ke-27 yang diutus Tuhan sebagai “messenger! Atau mungkin juga sang ulama yang menjadi sang rasul ke-27, dimana sang virus dapat dianalogikan sebagai malaikat utusan Tuhan sebagai penyambung lidah.

Yang tidak kalah mengherankan, sang penceramah kemudian berdoa kepada Tuhan, semoga wabah dan penyakit yang saat kini melanda Indonesia, agar berkenan diangkat dan dicabut oleh Tuhan. Jika memang sang umat dan sang pengkhotbah benar-benar meyakini dan mengimani isi khotbahnya sendiri sebelumnya, mengapa masih pula mengeluhkan dan berkeluh-kesah kepada Tuhan terhadap cobaan yang diberikan oleh Tuhan?

Tuhan ialah “Maha Tahu” serta “Maha Pengasih”, tidak perlu diminta dan dikeluhkan pun Tuhan sudah tahu mana yang terbaik bagi umat-Nya serta memberi cobaan demi kebaikan umat manusia sebagai bentuk kasih-Nya. Yang terlebih mengherankan, bila memang wabah adalah ciptaan Tuhan, maka mengapa umat manusia justru meminta obat atau penyembuhannya kepada sosok yang sama dengan sosok yang menjadi pencipta wabah dan pemberi penyakit?

Sang penceramah dalam bagian penutup untuk mengakhiri ceramahnya pada siang hari yang terik dan lembab itu, menyampaikan pidato sebagai berikut : “Kini mari kita patuhi kebijakan pemerintah untuk menetapkan karantina wilayah dan lockdown wilayah. Orang dari luar tidak boleh masuk, dan sebaliknya orang dalam tidak boleh keluar wilayahnya. Orang dari luar tidak boleh masuk ke wilayah kita, karena takutnya mereka menulari warga kita. Orang dari lingkungan kita tidak boleh keluar dari wilayah kita, karena takutnya orang kita yang terjangkit kemudian menulari orang lain di luar wilayahnya.” Takut dari siapa, takut terhadap kuasa Tuhan?

Inilah yang kemudian menjadi pendapat serta opini pribadi penulis sehabis sang pengkhotbah selesai dengan ceramahnya yang tampak berhasl meyakinkan para umat pendengarnya tersebut : Kebodohan bukan untuk dipertontonkan. Kebodohan adalah aurat, semestinya malu, alih-alih bangga didendangkan demikian membahana kepada khalayak ramai. Seolah belum cukup tampak “dungu” di mata publik, ketika sang virus penyebab wabah untuk pertama kalinya muncul dan menjadi pandemik pada suatu negara asing, berbondong-bondong dan berjemaah para “agamais” di Indonesia menyerukan kutukan (alih-alih empati dan simpati sebagai sesama warga dari “global vilage”) bagi bangsa asing tersebut berupa lontaran kata “azab” dari Tuhan—sebelum kemudian turut menyebar luas menjelma “global pandemic”, tidak terkecuali menjangkiti Republik Indonesia serta memporak-porandakan ekonomi serta kesehatan warganya.

Bila di Amerika Serikat, yang menjadi propaganda menentang kebijakan pemerintah untuk menerapkan “protokol kesehatan” dikala wabah, bahkan menentang vaksin, ialah para kalangan pendeta yang menganggap dirinya adalah pejuang yang mengatas-namakan Tuhan. Sejatinya, mereka telah “memasang badan” dalam rangka menantang Tuhan, sekaligus mencelakai segenap umat manusia yang turut terhasut, serta bertanggung-jawab atas sekian banyaknya warga Amerika Serikat yang tertular dan tewas. Sama halnya, yang menjadi biang keladi keruhnya kondisi pandemik akibat virus menular antar manusia di Indonesia, juga merupakan “buah buruk” dibalik bilang keladi atau ulah para pemuka agama di Republik Indonesia.

Seolah masih belum cukup tampak “konyol”, meski telah jutaan warga terkonfirmasi positif terjangkit wabah, serta puluhan ribu sesama warga di Republik Indonesia tewas karenanya sebagai korban jiwa, masih pula masyarakat bangsa Ini meyakini secara bersikukuh serta masih juga membuat propaganda bahwa wabah akibat virus menular antar manusia ini adalah “hoax”. Untuk hal yang sedemikian saintifik, dimana para kalangan medik dan epidemiolog serta para virolog telah menyatakan kebenaran empirik realita wabah, masih juga dibantah lewat asumsi penuh spekulatif yang memungkiri keberadaannya. Alih-alih merasa malu, para warga pembantah justru merasa bangga menantang Tuhan yang di-iman-inya sendiri. Jangankan surga dan neraka yang abstrak, wabah di depan mata pun tidak diakui. Gajah persis di depan mata, seolah tidak tampak. Semut di seberang lautan, ditunjuk-tunjuk.

Seakan-akan masih belum terlampau “irasional”, salah edukasi, serta salah persepsi, warga yang terpapar wabah dianggap sebagai “aib” untuk ditutup-tutupi dan jangan diberitahukan kepada warga lain, sehingga membawa resiko justru kepada warga dan masyarakat sekitarnya, karenanya tracing dan testing menjadi sangat minim. Yang seharusnya dimalukan, ialah “malu berbuat jahat dan membawa resiko kesehatan hingga keselamatan” orang lain.

Mengenakan masker dikala wabah, ialah dalam rangka tanggung jawab sosial sebagai “kewajiban asasi” sesama warga di tengah-tengah masyarakat dalam rangka melindungi orang lain. Warga-warga yang sedang terjangkit harus diapresiasi bila melapor kepada otoritas setempat agar cepat ditindak-lanjuti dan “diamankan” agar tidak membawa resiko bagi warga lain dan agar si warga yang terjangkit tidak menderita “tanggung jawab moril” seorang diri tanpa dukungan ketika muncul rasa bersalah ketika turut menjangkiti orang lainnya dan jatuh korban jiwa.

Informasi perihal warga yang sedang terjangkit, pun harus dibuka selebar-lebarnya kepada publik secara transparan agar warga menaruh waspada ketika berada dekat dengan sang terjangkit, alih-alih dirahasikan sebagai “hak atas privasI”—suatu salah waktu dan salah alamat, privasi dikala keadaan darurat semacam wabah? Warga yang terjangkit tidak membutuhkan bantuan kebutuhan pokok berupa beras dan sebagainya ketika isolasi diri secara mandiri, namun penanganan yang serius dan penuh komitmen secara tanggap dari pemerintah dan para otoritas warga setempat agar pandemik tidak berlarut-larut dan menjadi terang-benderang dengan harapan tidak akan ada lagi korban jiwa yang berjatuhan sebagai terkena “getah”-nya.

Ketika jatuh korban jiwa akibat terpapar wabah, siapa yang akan bertanggung-jawab? Sang “agen penular”, berkat kesombongan dirinya karena tidak bergejala sekalipun tubuhnya menjadi sarang wabah yang menulari korban lainnya, menuding hidung Tuhan sebagai “kambing hitam” pelakunya, lewat slogan klise kesayangan mereka : “Jika Tuhan sudah berkehendak, siapapun akan mati jika sudah waktunya untuk mati, dan tidak akan mati bila Tuhan belum mengizinkan ia mati.” Mereka pun, menyatakan secara penuh arogansi, melawan wabah sama artinya melawan Tuhan, karena wabah diciptakan Tuhan serta merupakan kehendak Tuhan. Karenanya, seseorang yang didiagnosa mengidap kanker maupun tumor ganas, dilarang untuk melakukan bedah operasi untuk mengangkat kanker / tumor, juga “haram” hukumnya terapi medik, karena kanker dan penyakit lainnya ialah kehendak serta ciptaan dari Tuhan.

Seolah-olah masih juga belum cukup “bebal”, masih juga para “agamais” kita memfitnah dan mengkambing-hitamkan Tuhan sebagai yang paling bertanggung-jawab atas wabah dan berlarut-larutnya keadaan pandemik, sebagai pencipta dan kehendak, izin, restu, maupun rencana terjadinya pandemik akibat wabah virus, sekalipun faktanya segala fenomena alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, kekeringan, hingga tsunami, merupakan hal yang alamiah saja sifat terjadinya, by nature.

Sebagai planet yang terdiri dari inti cairan magma dengan lempeng-lempeng kerak pada permukaan planet bernama Bumi ini, terus bergerak dan bertumbukan tiada henti. Karenanya, tidur atau tidak pernah tidurnya Tuhan, kehendak atau tidak berkehendaknya Tuhan, izin atau tiadanya izin dari Tuhan, rencana maupun tidak rencanakannya oleh Tuhan, ikut campur tangan atau tiadanya intervensi dari Tuhan, semua bencana alam dan fenomena alam apapun itu, terjadi secara by nature, alami saja terjadinya, tidak terkecuali kemunculan serta lenyapnya virus penyebab wabah. Agama semestinya membuat akal sesorang menjadi sehat, bukan menjelma “akal sakit milik orang sakit”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.