Debitor KPR, Berhak Meminta Diperlihatkan Asli Sertifikat Tanah dan Rumah yang Dibeli olehnya

LEGAL OPINION

Lembaga Keuangan yang Menutup-nutupi Informasi dan Tidak Transparan terhadap Debitornya terkait Sertifikat Tanah Objek Kredit Pemilikan Rumah, adalah Perbuatan Melawan Hukum, Bukan Wanprestasi Menyerahkan Sertifikat Tanah saat Pelunasan KPR

Debitor yang Lugu dan Bodoh, akan cenderung Dieksploitasi dan Diperdaya oleh Perbankan yang Tidak Transparan perihal Dokumen Sertifikat Hak Atas Tanah Objek Fasilitas KPR

Question: Setelah membeli rumah lewat fasilitas KPR (Kredit Pembelian / Pemilikan Rumah) pada salah satu bank di Indonesia, dan setelah beberapa bulan cicilan kredit berjalan, pihak bank selalu berkelit setiap kali saya selaku pembeli sekaligus sebagai nasabah debitor hendak meminta agar diperlihatkan sertifikat asli tanah dari rumah yang saya beli, untuk melihat apakah betul sudah dibalik-namakan ke atas nama saya selaku pembeli atau belum, serta untuk setidaknya meminta salinan dari sertifikat tanah milik saya tersebut yang telah saya beli. Wajar saya saya meminta untuk melihat asli sertifikat dan meminta salinannya, karena saya adalah pembeli sekaligus menjadi pemilik barunya. Ini ada apa sebetulnya, apakah permainan perbankan di Indonesia memang seperti itu, dan langkah hukum apa yang sebaiknya saya ambil?

Brief Answer: Lakukan langkah pendesakan persuasif disertai ancaman, bahwa bila pihak perbankan menutup-nutupi informasi apa yang menjadi hak dari debitornya, maka akan diasumsikan sertifikat tanah terkait kepemilikan rumah ternyata (bisa jadi) ada bermasalah pada proses “balik-nama” atau bahkan sertifikat induk masih belum dipecah ke atas nama pembeli, yang karenanya debitor tidak perlu mencicil ataupun membayar lunas hutang kreditnya.

Pada saat yang bersamaan, pasang indera penglihatan dan pendengaran Anda secara saksama, indentifikasikan nada bicara, pilihan kata, sorot mata, serta bahasa tubuh pihak petugas atau penanggung-jawab perbankan penyalur dana kredit, apakah terdapat tendensi atau semacam kecenderungan rasa panik dari pihak perbankan seperti menjanjikan akan segera memproses permohonan sang debitor, bahwa “semuanya aman”, agar cicilan tunggakan tetap dibayarkan secara rutin tanpa terlambat hingga lunas, yang pada pokoknya mencoba meyakinkan sang debitor bahwa ia tidak perlu mencemaskan hal lain diluar fokus mencicil hutang, yang sejatinya merupakan cara pihak perbankan untuk mengalihkan isu serta mengalihkan perhatian debitornya terkait keberadaan sertifikat hak atas tanah produk properti yang telah dibeli olehnya.

Bila baru saja atau belum berselang lama dari akad kredit (fasilitas KPR) ditanda-tangani antara pihak debitor dan bank, namun ternyata pihak bank tidak sanggup dan selalu gagal juga abai dalam memperlihatkan asli sertifikat hak atas tanah objek fasilitas KPR, maka patut diduga yang terjadi bukanlah “kehilangan dokumen berupa sertifikat hak atas tanah” oleh pihak penanggung-jawab di lembaga perbankan, namun karena pihak bank gagal menjadikan sertifikat hak atas tanah rumah yang diberi fasilitas KPR sebagai agunan yang butuh diikat sempurna sebagai objek jaminan kebendaan berwujud Hak Tanggungan, oleh karena satu atau lain sebab seperti tanah masih berupa “sertifikat induk” atas nama pihak developer penjual properti, atau karena Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) telah hangus masa berlakunya (kadaluarsa).

Bila Surat Kuasa Menjual Hak Atas Tanah, bersifat tiada masa berlaku, maka berbeda halnya dengan SKMHT yang bagi rumah-rumah kelas menengah keatas, memiliki masa kadaluarsa yang urgen untuk segera ditindak-lanjuti proses pembebanan Hak Tanggungan, tidak sampai hitungan semester terlebih tahunan sejak SKMHT ditanda-tangani oleh pihak debitor.

Bila objek tanah masih berupa sertifikat induk atas nama pihak developer tanpa juga kunjung dipecah, tentulah SKMHT yang diberikan pihak debitor menjadi tidak lagi dapat digunakan sampai kapanpun—atau lebih tepatnya sampai sertifikat induk milik pihak developer telah dipecah serta dibalik-namakan ke atas nama sang pembeli, itu pun dengan catatan krusial yakni bila SKMHT masih belum kadaluarsa masa berlakunya yang hanya hitungan bulan.

Pihak perbankan memang dapat dituduh sebagai telah menghilangkan ataupun menggelapkan sertifikat hak atas tanah, karena bagaimana pun format baku Akad Kredit biasanya mengatur bahwa asli sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek fasilitas KPR akan dikuasai serta disimpan oleh pihak kreditor hingga fasilitas KPR usai seperti akibat terjadinya pelunasan. Namun pihak perbankan dapat semudah berkelit, bahwa pihaknya tidak pernah diberikan dokumen legalitas objek rumah berupa asli sertifikat tanah tempat berdirinya rumah yang menjadi objek fasilitas KPR, dimana pihak penjual rumah maupun debitor tentu tidak dapat memperlihatkan surat keterangan telah menerima dokumen dimaksud yang ditanda-tangani oleh pihak bank selaku penerima dokumen.

Surat Tanda Terima Dokumen dari pihak penjual kepada pihak notaris / bank, biasanya hanya terjadi pada konteks “rumah second”, namun itu sifatnya sertifikat hak atas tanah masih atas nama pihak penjual, dimana tiada jaminan proses peralihan hak (balik-nama) akan berlangsung lancar tanpa hambatan oleh pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jika balik-nama telah tuntas dan usai diurus oleh pihak PPAT, pihak PPAT barulah dapat menyerahkannya kepada pihak bank—dan PPAT tersebutlah yang dapat dimintakan informasi oleh debitor perihal kejelasan dimana fisik asli dokumen legalitas rumah yang dibeli olehnya berada.

Jika pihak PPAT memberi informasi kepada debitor, bahwa dokumen hak atas tanah objek fasilitas KPR telah diserahkan kepada pihak bank, dan bank gagal untuk menyerahkannya kepada debitor ketika kredit dicicil hingga lunas, maka itu menjadi bukti telah terjadinya tindak pidana “penggelapan” oleh pihak perbankan—mengingat bagaimana pun dokumen legal (surat berharga) berupa sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan milik debitor. Sementara itu jika sebaliknya, pihak PPAT memberikan informasi bahwa terdapat kendala yang mengakibatkan sertifikat hak atas tanah tidak dapat diproses peralihan haknya ke atas nama debitor, maka itu menjadi sinyalir nyata bahwa pihak bank tidak atau setidaknya belum memiliki agunan jaminan pelunasan piutang.

Bila dalam waktu paling lambat satu semester atau satu tahun lamanya, pihak bank tetap gagal untuk menunjukkan asli dokumen kepemilikan objek fasilitas KPR yang sudah diatas-namakan ke atas nama sang debitor, meski telah dimintakan oleh pihak debitor, maka ancaman debitor akan menunggak dengan tidak akan mencicil kredit untuk saat kini dan seterusnya, patut direalisasikan, guna menghindari kerugian yang lebih besar lagi dari pihak debitor atas ketidak-terbukaan pihak bank (asas transparansi dan akuntabilitas yang telah dilanggar oleh pihak bank, karena hak atas informasi yang jujur dan dapat dipertanggung-jawabkan terkait kepentingan pihak debitor, merupakan hak mutlak debitor yang tidak dapat dinihilkan atas alasan apapun terkait kepemilikannya).

Ketika menunggak untuk saat kini dan seterusnya direalisasi, dan terdapat indikasi konkret berupa pihak bank menjadi sangat reaktif, dalam artian merasa terancam piutangnya tidak akan terlunasi akibat tiada agunan apapun yang dapat di-“parate eksekusi” dengan dijual lelang (secara eksekusi) pada pelelangan yang terbuka bagi umum, maka itu menjadi sinyalemen tidak terbantahkan lagi bahwa tidaklah “worthed” bila pembayaran cicilan terus dilangsungkan, mengingat dibayarkannya hingga kredit lunas dapat dipastikan pihak debitor akan menemukan kekecewaan mengingat pihak bank kelak tidak akan mungkin sanggup memberikan dokumen-dokumen legal terkait kepemilikan rumah terutama sertifikat hak atas tanah atas nama sang debitornya.

Sehingga segala jirih-payah dan itikad baik sang debitor dalam mencicil hingga lunas, menjadi sia-sia sebagaimana kerap kita jumpai berita seputar kejadian serupa yang mewarnai praktik pertanahan serta perkreditan di Indonesia, dengan jumlah angka kasus yang tergolong fenomenal dan berulang terjadi setiap tahunnya sementara korban-korban serupa berjatuhan seolah tanpa perlindungan oleh negara, dan seolah-olah masyarakat kita tidak pernah belajar dari pengalaman orang lain meski telah demikian kerap menjadi berita yang mewarnai media massa kita, dimana seolah-olah masyarakat kita dibiarkan berspekulasi seorang diri ketika membeli produk properti—bersyukur bila berjodoh dengan kalangan penjual yang baik dan jujur, namun akan menjadi mimpi buruk bila ternyata pihak penjual memiliki itikad tidak baik terhadap konsumennya sendiri.

PEMBAHASAN:

Bukanlah lagi menjadi berita baru ataupun kabar yang jarang terjadi, namun sudah menjadi momok klasik yang terus berulang hingga saat kini, seolah regulasi hukum pertanahan dan agraria yang sudah menyerupai “rimba belantara hukum” di Republik Indonesia ini belum cukup “over-regulated” dan rumit, tetap saja negara seolah absen melindungi kepentingan masyarakat yang menjadi calon pembeli ataupun konsumen produk properti, dimana ketika masyarakat mengikatkan diri sebagai debitor fasilitas KPR dari suatu kalangan perbankan, dan beritikad baik melunasi cicilan hingga lunas, entah mencicil selama beberapa tahun, hingga beberapa belas tahun, atau bahkan hingga puluhan tahun, barulah diketahui bahwa pihak bank tidak dapat memberikan dokumen legalitas kepemilikan rumah dengan alasan pihak sertifikat induk atas nama pihak developer masih bermasalah tanpa dapat diproses, seperti tidak dapat dipecah atau tidak dapat di-balik-nama-kan karena satu alasan atau lain sebab.

Atas kejadian seperti demikian, pihak perbankan telah melakukan “perbuatan melawan hukum” dan dapat digugat ke hadapan pengadilan karena telah menimbulkan kerugian bagi pihak debitor, namun bukan atas tudingan telah tidak dapat atau gagal memberikan dan menyerahkan sertifikat hak atas tanah yang telah diatas-namakan ke atas nama sang debitor selaku pembeli dan penerima fasilitas KPR, namun “perbuatan melawan hukum” akibat KETIDAK-JUJURAN, TIDAK TRANSPARANSI, dan TIDAK AKUNTABEL-nya pihak kreditor penyalur fasilitas KPR—yakni lebih tepatnya ialah tidak jujur dari sejak awal dana yang bersumber dari kredit KPR disalurkan kepada pihak penjual produk properti, dimana ternyata mengandung “cacat tersembunyi” pada legalitas kepemilikan tanah sang penjual, karena ternyata tidak dapat dipecah, dibalik-namakan, atau lain sebagainya, sehingga kerugian yang diderita konsumen produk properti sekaligus merangkap debitor penerima fasilitas KPR ialah : Tidak bisa seketika itu juga mengambil langkah “first legal aid” terhadap pihak penjual, sehingga terjadi apa yang disebut sebagai “justice delay, justice denied”, dimana bisa jadi pihak penjual telah gulung-tikar belasan tahun lampau saat fasilitas KPR telah dilunasi oleh sang debitor, sehingga tidak dapat lagi digugat pembatalan jual-beli, disita asetnya, dan lain sebagainya.

Pokok persoalannya ialah ketidak-jujuran yang bersumber dari tidak kooperatifnya pihak kreditor penyedia fasilitas KPR terhadap hak-hak nasabah debitornya, yakni ketika pihak bank tidak bersedia memperlihatkan sertifikat rumah yang dibeli oleh pihak debitor dengan dana bersumber dari fasilitas KPR yang dikucurkan oleh pihak bank. Ketidak-mampuan pihak bank untuk memperlihatkan asli maupun setidaknya menyerahkan salinan dari sertifikat hak atas tanah yang dibeli dari dana fasilitas KPR, karena satu dan lain sebab yang biasanya karena kendala di pihak developer yang gagal memecah dan membalik-nama pada data yuridis sertifikat, bermuara pada ketidak-jujuran pihak bank yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak debitor, yakni debitor berasumsi bahwa perihal sertifikat hak atas tanah tidak memiliki masalah apapun dalam proses pengalihan haknya, karena tiadanya “sounding” informasi demikian dari pihak bank sehingga sang debitor dapat membuat rencana antisipasi dan kuratif terhadap sertifikat tanah objek rumah yang tidak kunjung tuntas diproses ke atas nama debitor fasilitas KPR.

Kerugian mana, berupa “gap” rentang waktu saat pertama kali dana fasilitas KPR dikucurkan untuk pembelian produk properti hingga terjadinya pelunasan belasan atau bahkan puluhan tahun kemudian, sehingga pemulihan ataupun antisipasi kerugian dan langkah hukum tidak dapat ditempuh secara cepat akibat ketertutupan pihak bank (non-transparan) atas informasi yang sebenarnya perihal terdapat “cacat tersembunyi” yang dibiarkan tanpa penanganan memadai, tidak akan terjadinya bilamana pada kesempatan pertama pihak bank seketika memberikan informasi secara urgen dan “full alert” dengan kegentingan yang mendesak kepada debitornya untuk segera mengambil langkah hukum terhadap pihak penjual yang melalaikan janjinya untuk menyerahkan sertifikat hak atas tanah tanpa adanya “cacat tersembunyi” apapun secara aman dan bebas dari segala masalah—karena bagaimana pun, pihak penjual telah menerima dana jual-beli secara utuh dan penuh lewat dana kucuran hasil fasilitas KPR, sementara pihak penjual tidak mau memusingkan betapa berat dan sukarnya pihak pembeli harus mencari sumber penghasilan dan mencicilnya selama sekian lama, yang karenanya pun pihak pembeli tidak perlu memusingkan kewajiban dan kesukaran yang dipikul pihak penjual (resiko usaha) yang harus menyerahkan apa yang menjadi hak konsumennya.

Setidaknya, bila pada tahun-tahun awal terdapat kendala dalam proses peralihan hak atas tanah pada data yuridis sertifikat hak atas tanah, debitor fasilitas KPR dapat segera mengambil langkah hukum kuratif, sedini mungkin, semakin awal semakin baik, bisa berupa teguran / somasi, hingga gugatan litigasi dengan tujuan untuk membatalkan proses jual-beli dengan konsekuensi pengembalian seluruh dana jual-beli, sehingga debitor tidak perlu terikat oleh kewajiban mencicil fasilitas KPR untuk selama belasan hingga puluhan tahun.

Akibat ketidak-terbukaan pihak bank, yang secara disengaja (pastinya) menyembunyikan informasi adanya “cacat tersembunyi” terkait hak atas tanah yang tidak kunjung dapat dialihkan haknya ke atas nama debitor fasilitas KPR, mengakibatkan pihak penjual terus-menerus menguasai dana jual-beli tanpa pengembalian apapun kepada pihak pembeli—semata atas dasar paradigma berpikir pragmatis : sepanjang belum ada gugatan pembatalan jual-beli dari pihak pembeli (debitor fasilitas KPR), maka itu dapat diartikan secara diam-diam pihak pembeli tidak keberatan atas kondisi tiadanya sertifikat hak atas tanah yang telah berhasil dibalik-namakan ke atas nama sang pembeli.

Adalah sudah merupakan hak subjektif pihak debitor fasilitas KPR yang disaat bersamaan menjadi kewajiban hukum pihak kreditor fasilitas KPR, untuk bersikap transparan terkait sertifikat hak atas tanah objek fasilitas KPR, dengan atau tanpa menyebut ketentuan tersebut di atas secara eksplisit di dalam Akad Kredit—mengingat, bilamana debitor tidak mendapatkan haknya dan kreditor tidak melaksanakan kewajibannya, maka bukanlah jenis gugatan wanprestasi yang dapat ditempuh oleh pihak debitor fasilitas KPR, namun gugatan “perbuatan melawan hukum”, karena terpenuhi seluruh unsurnya seperti adanya hak subjektif debitor yang terlanggar, kewajiban hukum kreditor yang diabaikan, kerugian pada pihak debitor fasilitas KPR, dan hubungan kausal antara perbuatan / pengabaian kreditor terhadap kerugian yang diderita debitornya.

Dengan demikian, kata kuncinya secara lebih ringkas, ialah : Semestinya pihak bank selaku kreditor fasilitas KPR, bersikap terbuka dan transparan untuk memperlihatkan sertifikat hak atas tanah objek fasilitas KPR, setidaknya memberikan informasi secara proaktif, terbuka, jujur, serta penuh tanggung-jawab dalam kesempatan pertama (tanpa menunda hingga bertahun-tahun berjeda lamanya). Karena jika tidak, debitor fasilitas KPR menjadi tidak mengetahui bahwa dirinya selama ini menderita kerugian, dikira / diasumsikan oleh dirinya sudah ada sertifikat hak atas tanah atas nama sang debitor, ternyata masih atas nama pengembang, belum pecah pula sertifikat induknya, namun telah menerima harga jual-beli secara penuh dan sang debitor pun selama bertahun-tahun hingga puluhan tahun terus-menerus mencicil pelunasan fasilitas KPR tanpa menyadari keadaan yang sesungguhnya terjadi atas sertifikat tanah rumah yang dibeli olehnya.

Semisal pada awal-awal tahun cicilan fasilitas KPR berjalan satu atau dua tahun, terdengar berita bahwa pihak developer selaku penjual rumah yang dibiayai fasilitas KPR, jatuh pailit. Sang debitor fasilitas KPR selaku pembeli, tidak mengajukan piutang atas nama dirinya kepada pihak kurator ataupun hadir dalam rapat kreditor di Pengadilan Niaga, semata karena berasumsi dirinya tidak punya hak tagih apapun kepada sang developer dan sertifikat hak atas tanah adalah sudah atas nama sang debitor fasilitas KPR—ternyata sama sekali belum, semisal faktanya masih berupa sertifikat induk atas nama pihak developer. Artinya, ketidak-transparanan pihak kreditor fasilitas KPR, mengakibatkan kerugian nyata secara materiil bagi pihak debitornya—suatu “perbuatan melawan hukum”, bukan wanprestasi.

Bertahun-tahun atau bahkan hingga berpuluh-puluh tahun sang debitor mencicil secara patuh sesuai ketentuan dalam Perjanjian Kredit fasilitas KPR, sampai lunas, ternyata tak ada sertifikat yang dapat dikantungi oleh pihak debitor saat pelunasan telah dilakukan olehnya hingga tuntas sepenuhnya. Yang juga dapat kita artikan, jika saja sedari awal pihak kreditor fasilitas KPR bersikap transparan dan terbuka perihal informasi tiadanya sertifikat hak atas tanah yang telah dialihkan haknya ke atas nama pihak debitor, maka sang debitor menjadi bisa memilih untuk tidak melanjutkan pembayaran cicilan fasilitas KPR-nya, dan pihak bank bisa menggugat pembatalkan pembayaran harga jual-beli kepada pihak developer selaku penjual yang ingar janji menyerahkan sertifikat hak atas tanah ke atas nama pembeli.

Adalah merupakan bentuk itikad buruk alias itikad tidak baik itu sendiri, ketika pihak kreditor fasilitas KPR mengulur-ngulur waktu hingga sang debitornya mencicil sampai lunas, belasan atau puluhan tahun kemudian, barulah kebenaran perihal tiadanya sertifikat hak atas tanah alias “cacat tersembunyi” legalitas kepemilikan objek jual-beli rumah yang dibiayai oleh fasilitas KPR, dibuka oleh pihak kreditor kepada debitornya, yang jelas-jelas sudah sangat terlambat, dimana pemulihan kerugian pihak debitor selaku pembeli sudah hampir mustahil untuk ditempuh karena bisa jadi pihak developer sudah beroperasi dengan memakai bendera nama badan hukum lainnya atau sudah tidak jelas kabar maupun keberadaannya, disamping fakta sosiologis bahwa penundaan penagihan hak yang terlampau lama berjeda waktu akan berakibat hilangnya momentum untuk menagih tanggung-jawab moral pihak penjual produk properti.

Menunggu bertahun-tahun hingga saat cicilan fasilitas KPR dinyatakan lunas, barulah keadaan sebenarnya diungkap oleh pihak bank kepada debitornya, itu namanya buang-buang waktu milik debitor yang menderita kerugian seorang diri pada akhirnya, karena tak bisa lagi memilih untuk membatalkan pembelian, karena bagaimana mungkin setelah belasan atau puluhan tahun baru batalkan pembelian terhadap atau melawan pihak developer selaku penjual? Artinya, pihak kreditor fasilitas KPR telah mengorbankan kepentingan pihak nasabah debitornya dengan mengalihkan seluruh resiko serta kerugian disamping fakta tidak bertanggung-jawabnya pihak penjual, semata ke pundak pihak debitor fasilitas KPR.

Dapat kita sinyalir dari itikad tidak baik akibat tiadanya transparansi dari pihak kreditor seperti demikian, bank mau mengambil “zoma aman” bagi kepentingan dirinya sendiri semata, yakni dilunasi seluruh dana fasilitas KPR yang telah dibayarkan kepada pihak penjual, lalu memiliki motif “memperdaya” (baca : mengecoh) debitornya sendiri dengan membuat suatu kesan seolah-olah sudah ada sertifikat rumah yang dibiayai oleh fasilitas KPR dan sudah beralih ke atas nama pihak pembeli, yakni dengan tidak mengatakan kenyataan yang sebenarnya, sehingga pihak debitor secara patuh membayar terus cicilan hutang fasilitas KPR tiap bulan, selama belasan hingga puluhan tahun lamanya.

Kecurangan utama pihak perbankan selaku kreditor penyalur fasilitas KPR, sekalipun dirinya mengetahui bahwa terdapat kendala para proses peralihan hak atas sertifikat rumah objek jual-beli (karenanya tidak dapat menahan dan menguasai asli dokumen legalitas kepemilikan tersebut sebagai abjek agunan jaminan pelunasan piutang), pihak bank tidak mau mereporkan diri menekan penjual, baik secara politis maupun secara jalur legal formal, dimana bahkan debitor pun tidak menekan pihak penjual semata karena mengira semua sudah beres, tidak ada masalah terkait sertifikat hak atas tanah kepemilikan objek jual-beli. Pihak bank pun tidak perlu menekan pihak debitor, karena sang debitor dibiarkan masuk pada jebakan delusi bahwa, “Setelah cicilan hutang menjadi lunas untuk seluruhnya, maka saya akan mendapatkan sertifikat rumah yang saya beli ini dan sudah atas nama saya, dan bisa saya tebus dari pihak bank setelah saya lunasi seluruh hutang fasilitas KPR ini sepuluh tahun mendatang.” Faktanya kemudian, berkata lain, ketika segalanya sudah terlambat.

Siapakah, yang sejatinya tengah paling diuntungkan dalam kerangka kejadian semacam tersebut di atas? Yang paling diuntungkan serta merasa untuk berhak “enak seorang sendiri”, ialah pihak penjual produk properti serta pihak kreditor penyalur fasilitas KPR, semata karena menjual rumah tanpa terdapat sertifikat hak atas tanah yang dialihkan haknya ke atas nama pihak penjual, akan tetapi tidak ada gugatan yang masuk dalam rangka menuntut pembatalan jual-beli, juga kenyataan bahwa sang debitor selaku pihak pembeli, tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya serta dengan senang hati terus-menerus mencicil secara patuh hingga lunas dengan harapan haknya atas setifikat rumah dapat diperoleh oleh sang pembeli “suatu saat nanti” yang entah kapan akan terealisasi menunggu.

Jika mau dibatalkan pun, harga tanah sudah membubung naik tinggi secara dramatis, sehingga jual-beli yang dibatalkan sekalipun, yang selalu yang diuntungkan ialah pihak penjual, semata karena perhitungan kalkulasi bisnis yang kurang sehat dan tidak etis, yakni penjual digugat untuk mengembalikan sejumlah uang harga jual-beli tanah senilai harga tanah puluhan tahun lampau ketika harga jual-beli ada saat itu masih sangat kecil dan murah nilai nominalnya, namun ketika saat kini debitor fasilitas KPR / pembeli, merasa kecewa haknya tidak diindahkan, bahkan nilai objek tanah telah naik berkali-kali lipat, maka itu artinya hanya menguntungkan pihak penjual, tanpa adanya “punishment” yang lebih memadai untuk membuat perbuatan jahat pihak penjual, mendapat “dis-insentif” yang menimbulkan efek jera bagi kalangan penjual “nakal” demikian yang tidak bertanggung-jawab secara dibuat-buat (siapa yang tahu? Namanya juga “modus”).

Sekadar sebagai salah satu contohnya ialah, modus yang dilakukan Panca Budi Group yang dimiliki oleh seorang bos perusahaan plastik raksasa bernama Jonny Taslim, menjual ruko pada kawasan bisnis di Kota Tangerang kepada puluhan pelaku usaha yang membeli unit-unit ruko yang dijual-olehnya dengan sejumlah harga yang pada masa itu terjadi terbilang jauh sangat murah. Namun, saat kini, ketika bertahun-tahun sertifikat hak atas tanah tidak kunjung diserahkan dengan mengatas-namaan (mengkambing-hitamkan) pihak Kantor Pertanahan yang tidak kooperatif menyelesaikan proses pecah sertifikat induk ke atas nama konsumen, ketika harga jual unit ruko pada kawasan bisnis strategis tersebut telah melonjak berkali-kali lipat dari harga awal jual-beli, pihak pemilik Panca Budi Group hanya menawarkan opsi secara “mau menang sendiri”, yakni jual-beli dibatalkan dan harga jual-beli dikembalikan kepada pihak pembeli sebagaimana harga jual-beli dalam Akta Jual Beli bertahun-tahun lampau, sehingga sebagai konsekuensi yuridisnya ialah Akta Jual-Beli dibatalkan, dan ruko kembali menjadi milik pihak Panca Budi Group, untuk kemudian dijual lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi sebagai cara mencetak profit usaha yang tidak dirambui “etika berbisnis” yang sehat, jujur, dan adil.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.