Aksi Pembodohan Massal oleh Negara, Rakyat Dididik, Dipandang, dan Diperlakukan seperti Keledai Bodoh

ARTIKEL HUKUM

Alih-alih Mengemban Amanat Konstitusi untuk Mencerdaskan Bangsa, Negara Indonesia lewat Pemerintah yang Berkuasa justru Membodohi Rakyatnya Sendiri Dikala Situasi Bangsa dalam Kondisi Urgen akibat Pandemik Wabah Menular antar Manusia

Negarawan Dadakan, Negeri Lelucon, Rakyat Dijadikan Kelinci Percobaan. Negeri ini Terlampau Besar untuk Dicoba-Coba Pemimpin yang Kerdil dan Hanya Buang-Buang Waktu untuk Ucapan Seremonial

Mungkin, satu-satunya penduduk di Indonesia yang merasa sedikit atau banyaknya merasa masih bisa bersyukur ditengah-tengah kondisi pandemik akibat wabah virus menular antar manusia yang sedang melanda dunia tidak terkecuali di Indonesia, disamping para produsen, pedagang besar, dan pengecer alat pelindung diri, obat, suplemen, dan produk-produk kesehatan, serta para raksasa korporasi pemilik marketplace, ialah sang Menteri Pertanahan, Prabowo Subianto. Bagaikan cuaca mendung dan berhujan, menguntungkan para pedagang payung, sekalipun merugikan para pegadang produk-produk es-krim.

Betapa tidak, jika saja pada Pilpres (pemilihan umum presiden periode kedua Joko Widodo Vs. Prabowo Subianto) dimenangkan oleh Prabowo, kini Prabowo telah menjabat sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, dan harus menghadapi kenyataan bahwa besar kemungkinan sukar mengatur rakyat Indonesia yang dikenal sukar untuk diatur, dan menghadapi pula potensi resiko didemo oleh rakyat secara masif akibat berlarut-larutnya penanganan wabah yang mencapai tempo bertahun-tahun tanpa pernah ada satu kali pun mencetak kesuksesan prestasi selayaknya negara-negara tetangga di ASEAN yang setidaknya pernah berhasil mengatasi wabah lewat kebijakan tegas semacam “lockdown”.

Secara pribadi, penulis pesimis, mengingat watak bangsa Indonesia, siapa pun pemimpin yang menjadi pucuk pemimpin negeri ini, tidak akan sanggup menghadapi berbagai tingkah-polah rakyatnya yang memang tidak rasional, sukar diatur, tidak disiplin, tidak kooperatif, selalu membuat blunder yang tidak perlu di-blunder, gemar membangkang, suka mencari penyakit sendiri, agoran, tuding-menuding, lempar tanggung-jawab, penuh kesombongan (atas kesehatannya sendiri), kerap berspekulasi (jika Tuhan berkehendak mati maka akan mati, jika tidak maka akan tetap hidup), terbiasa memancing di air keruh, tidak akan pernah dapat terpuaskan, banyak maunya, dan tidak logis disamping masih jauh dari kata “beradab”. Rakyat yang kekanakan, butuh pemimpin yang lebih dari sekadar visioner dan sekaligus impementatif.

Posisi Prabowo yang saat kini hanya mengemban jabatan sebagai Menteri Pertahanan, tentunya tidak dapat dipersalahkan oleh rakyat bila kondisi pandemik di Indonesia tidak pernah ada sejarah prestasi meski wabah telah berlangsung bertahun-tahun lamanya, sehingga sasaran tudingan rakyat pada mulanya ialah menunjuk hidung Menteri Kesehatan untuk digulingkan dan sekaligus menjadi kambing-hitam kegagalan aksi tanggap (akibat “kerja santai”) sang Kepala Negara. Meski demikian, akan lebih “cantik” permainannya bila Prabowo sama sekali tidak masuk sebagai koalisi kabinet sang Bapak Presiden, mengingat Prabowo dapat kembali “bercuit” kepada publik : “Andaikan saja dahulu saat pemilihan umum kepada negara, kalian memilih saya sebagai presiden, mungkin akan lain ceritanya. Karena itulah, mari pilih saya saat Pilpres periode ketiga nanti.”

Saat ulasan ini disusun, kekecawaan masyarakat di Indonesia terhadap presiden incumbent telah menuju titik nadir, kepercayaan terhadap pemerintah kian sampai pada titik terendah, sebuah distrust, yang bisa jadi akan benar-benar bermuara kepada di-makzul-kannya sang Kepala Pemerintahan. Bila itu sampai terjadi, maka sang Wakil Presiden yang akan naik pangkat dan naik tahta menjadi Kepala Negara, dimana petaka akan jauh lebih besar lagi daripada petaka apapun yang mungkin timbul dan telah terjadi oleh Kepala Negara yang saat kini masih berkuasa. Negara ini, terlampau besar untuk ditumbangkan oleh seorang “pembicara jargon”.

Seorang epidemiolog dalam keterangannya saat diwawancara salah satu stasiun radio swasta nasional, pernah mengungkapkan fakta di lapangan, terdapat “persekongkolan” tidak etis oleh para penguasa republik ini, dimana para tenaga kesehatan diberikan target penurunan kasus aktif harian, secara tidak rasional karena tanpa memberikan “guideline” yang jelas cara mengatasi wabah. Alhasil, tekanan tersebut mendapat jalan keluar berupa dikuranginya jumlah testing maupun tracing, semata agar jumlah kasus aktif harian menjadi tampak menurun drastis sebagaimana kita lihat pada grafik kurva penurunan “gelombang pertama” wabah di Indonesia beberapa waktu lampau, sebuah penurunan “by design” pemerintah yang pamornya di-“ujung tanduk”, mengakibatkan masyarakat mulai kembali menyepelekan wabah, mengendurnya kewaspadaan publik, serta meremehkan ancaman dibaliknya dengan nekad berangkat mudik saat hari raya keagamaan. “By design” serupa, tampaknya hendak kembali diterapkan pemerintah ketika lonjakan kasus positif aktif kembali meningkat secara dramatis paska mudiknya masyarakat Indonesia yang bermolitas tanpa kenal batas sekat ruang di tengah kecanggihan era digital saat kini.

Negeri kita sudah kebanyakan orang-orang yang hanya pandai melontarkan jargon, dan negeri kita tidak kekurangan ahli jargon. Kita pun tidak membutuhkan seorang Wakil Presiden—terlebih bila menjadi Presiden—yang hanya digaji oleh rakyat untuk mereproduksi jargon-jargon miskin makna (baca : biar kelihatan “kerja”). Seolah belum cukup tinggi tingkat positive rate di Indonesia yang mana senyatanya jauh diatas standar WHO maupun negara tetangga, blunder disampaikan oleh Wakil Presiden RI dalam berita bertajuk “Wapres: Tes Antigen Jangan Kebanyakan, Positivity Rate Jadi Sangat Rendah”, sebagaimana dilasir oleh detikNews, 22 Juli 2021:

Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin meminta penggunaan tes antigen dikurangi. Sebaliknya, dia meminta tes PCR untuk menangani kasus COVID-19 diperbanyak karena tingkat akurasinya lebih tinggi.

Memang antigen ini jangan terlalu banyak. Sebab, tingkat positivity rate-nya itu menjadi sangat rendah,” kata Ma’ruf dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (22/7/2021).

Pernyataan tersebut disampaikan Ma'ruf saat memimpin rapat koordinasi penanganan COVID-19 secara virtual bersama gubernur, bupati/wali kota, serta jajaran Satgas COVID-19 di wilayah Provinsi Jawa Timur, Rabu (21/07)

Saat pernyataan tersebut dilontarkan sang Wapres, positive rate di Indonesia saja telah begitu tinggi meski testing menggunakan pula antigen selama ini. Dari fakta tersebut, kita dapat mengetahui makna terselubung dari sang Wapres. Sejatinya, dengan membiarkan tetap dilakukan testing apa adanya sebagaimana saat kini berjalan (yakni disertakan tes antigen), positive rate seperti yang sekarang ada ini saja sudah tergolong terlampau sangat amat tinggi, jauh diatas standar WHO, sehingga tiada faedah dan tiada relevansinya dengan pemikiran orisinil apa yang betul-betul dibutuhkan oleh republik ini untuk mencari solusi dan alternatif jalan keluar.

Apakah sang Wapres, hendak mengejar dan mencetak angka positive rate mencapai 50 persen? Adapun tanggapan netizen terhadap pernyataan sang Wakil Presiden tersebut yang juga menjadi konsumsi publik bukan hanya internal pejabat negara dan kepala daerah, antara lain berupa perasaan keterhinaan dari masyarakat di akar rumput yang untuk makan sehari-hari pun mengalami kesukaran tersendiri:

Antigen kan murah Pak kalo pcr mau Bapak bayarin ya baguslah itu.  Artinya Bapak ga hanya nyuruh aja tapi ikut action.

Sekali ngomong langsung ambyaaaaaaarrr...... pak tua gak ngarti beda harga Antigen dan PCR yang macam beda langit dan bumi. Atau jangan-jangan dia benar-benar gak tau. Apes bener kita punya Wapres macem beginian.

Kalau dibayarin saya mau tes 3x seminggu pak.

bapak becanda nih,,, uang bansos aja gak cukup buat PCR, apalagi klo buat PCR sekeluarga.

Kalo mau cepat selesai, bebas biayakan pcr swab. Akan segera ketahuan positive rate aslinya. Anehnya, test antigen yg tidak akurat hasilnya, berbayar, masih dipakai syarat untuk segala macam keperluan.

Kalau ngak ngomong antigen, test, paling-paling mbahnya ngomong doa, ngak ada terobosan lain apa mbah.

Data pemerintah berdasarkan PCR bukan antigen... Waduh blunder...

Data pemerintah berdasarkan antigen + pcr.

Itu dulu, sekarang antigen+PCR, kenapa? karena kebanyak daerah gak mampu klo PCR terlalu banyak sedangkan testing harus jalan terus, contohnya di tempat saya aja, Jawa Barat, max yg bisa dites disini hanya sekitar 5000an orang/hari, sedangkan jumlah yg positif hampir selalu diatas 5000/hari di jawa barat, kenapa bisa gitu? karena sekarang antigen juga dipake... klo bergejala + antigen positif pasti akan dihitung sebagai positif...

Tahu harga pcr ga pak yai? Ngomong asal jeplak.. Klo ditanggung pemerintah si ga masalah.

Mau Pak Wapres kalau ada yang bayarin., buat makan sehari hari saja susah, apalagi buat bayar PCR yg harganya ratusan ribu.

Tau harganya pak?

Tambah mahal dong pak beban lagi aja hadeuuuuhhh.

PCR swab mahal banget om , kalo om kyai sih dibayarin negara jadi ga berasa.

Ternyata kalo silent lebih baik..

kirain mw ngomong yang spektakuler... nyatanya cuma gn doang. pengulangan yang udh ada... btw wapres tau gak harga antara pcr dan swab antigen?

harganya disamakan sama antigen. duit segitu mending buat makan pak

Gak ada solusi yang konkrit.. Menyedihkan..

Sudah tau tdk akurat kenapa masih di pakai utk acuan dan rakyat masih di suruh bayar?

Jedemar Antigen masih akurat kok... 95%, kalau semuanya suruh PCR apa mampu? Atau maunya gak dites sekalian?

Jedemar namanya screening, seperti cek suhu meski tidak akurat perlu dilakukan.

Masalahnya ga semua orang bisa bayar untuk pcr pak,, daripada ngeluarin uang 700rb -1jt untul pcr lebih baik untuk beli makan keluarga..

Test swab PCR mahal

Banyak provinsi gak sanggup pak kalau harus banyak PCR, pemerintah pusat yg harus turun tangan mendorong lab-lab di tingkat provinsi untuk bisa meningkatkan jumlah test.. di Jawa Barat sendiri kebanyakan angka positif justru dari antigen, karena kemampuan PCR cuma sekitar 5000/hari, dan itu dijadikan untuk pelaporan data nasional..

Berikut berbagai macam komentar dan pendapat para netizen yang penulis himpun sebagai tanggapannya, terkait kebijakan pemerintah yang benar-benar mencoba “mengakali” positive rate yang kelewat tinggi dalam kasus perbandingan angka positif dan testing, yakni dengan cara mengurangi kuantitas testing harian, antara lain:

Testing kok dibuat mainan. Yang konstan dong, sekalian gak usah di testing biar nol. Ysng ente mau kan gitu?? Mending test nya seribu aja per hari biar kasusnya turun jadi ratusan.

Duhhhh kok masih tinggi ya, bagaimana kalau tes dilarang aja supaya data segera turun.

Sabtu Minggu lab nya libur. Besok rilis data lagi juga masih 30 ribuan

Pemerintah mulai goyah, jumlah tes sengaja di turunkan untuk memberikan ruang bagi RS dan faskes untuk “napas” dikit, karena kalo digenjot terus jumlah tesnya, semua juga tau, selain sangat mahal, jumlah yang positif pasti bakal melonjak drastis, RS KOLAPS, imbasnya adalah kepercayaan kepada pemerintah bakal rontok, ekonomi hancur, yang ada bakal rusuh. makanya sekarang tarik ulur dengan tes dikurangi dan vaksin digenjot.

Jangan nanggung. Sekalian aja gak ada tes spesimen Covid. Biar nol kasus. Pemerintah sukses. Covid hilang dari Indonesia.

Rakyat dianggap bodoh.... susah kalau begini terus.

Yang jelas POSITIVE RATE naik dibanding kemarin... hati-hati!!!

Hanya sentuhan Data bikin kasus Corona Menurun... Hebatnya pemerintahan skrng sampai negara lain takut,,,,,

Harusnya indikator yg valid dari jumlah testing .. ini kan cm biar keliatan tren-nya turun, padahal cuma permainan jumlah testingnya diturunin.

Pemerintah dari tahun lalu gak pernah becus, kasus turun gak pernah bener karena emang minim penularan tapi karena test-nya yang nurun, tapi anehnya klaim berhasil cuma karena lihat penambahan kasus harian tapi abai lihat testing.

Ngak mungkin relaksasi. harian covid masih tinggi yang meninggal juga busyet dah.

Tidak ada hubungannya dengan hari libur testing jadi turun, wabah tidak kenal hari libur, dan yang tewas juga tidak kenal hari libur.

Seorang diktator pernah berkata, satu orang tewas, merupakan tragedi kemanusiaan yang akan diharu-birukan. Namun puluhan ribu orang meninggal, hanyalah (sebuah) statistik. Mereka yang masih mengabaikan dan menyepelekan wabah, sama artinya meremehkan keberadaan para korban tersebut yang bisa jadi adalah kolega dan kerabat terdekat maupun jauh kita, kini maupun nantinya, hanya persoalan waktu ketika penanganan wabah tidak kunjung efektif dan dibiarkan berlarut-larut dengan “separuh hati”, dimana yang dijadikan alibi ialah selalu perihal ekonomi, ekonomi, dan ekonomi, seolah-olah selama puluhan tahun Indonesia tidak berpacu dalam ekonomi.

Ingatlah juga, tiada catatan sejarah prestasi apapun dalam urusan penanganan wabah oleh pemerintah dan rakyat Indonesia, yang dapat kita wariskan kepada generasi penerus ataupun sebagai bekal kepercayaan diri bagi kita untuk menghadapi wabah serupa dikemudian hari, selain polesan penuh manipulasi, penurunan testing agar jumlah kasus positif tampak turun dan pemerintah dapat mengklaim keberhasilan mengatasi wabah secara tidak akuntabel—sebuah cara atau jalan instan, tidak ingin, tidak bersedia, dan tidak berani berkorban seperti negara-negara tetangga yang rela dan siap berkorban menghadapi “lockdown” berulang kali demi menekan angka kasus positif secara real konkret, bukan sekadar polesan ala “pecundang”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.